Anda di halaman 1dari 42

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 KEHAMILAN
1.1.1 PERUBAHAN FISIOLOGIS SELAMA KEHAMILAN
Perubahan fisik selama kehamilan merupakan efek adanya perubahan
hormonal, efek mekanis uterus, peningkatan kebutuhan metabolik dan oksigen
oleh karena kebutuhan metabolik unit fetoplasenta, dan perubahan hemodinamik
yang berhubungan dengan sirkulasi plasenta. Semakin bertambah usia
kehamilan, beberapa perubahan tampak semakin signifikan, yang memiliki
implikasi penting dalam manajemen anestesi, khususnya pada kelahiran dengan
resiko tinggi.
Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Perubahan sistem kardiovaskuler terjadi dimulai sejak trimester pertama,
dan berlanjut hingga trimester kedua dan ketiga, berupa peningkatan cardiac
output kurang lebih 40% dibandingkan wanita tidak hamil. Peningkatan cardiac
output dimulai sejak lima pekan kehamilan dan mencapai level maksimumnya
pada usia kehamilan tiga puluh dua pekan, dan terus mengalami peningkatan
yang minimal hingga masa persalinan dan periode postpartum. Sekitar 20%
perubahan pada denyut jantung meningkat pada minggu keempat kehamilan.
Takiaritmia sangat umum dalam kehamilan oleh karena perubahan pada faktor
hormonal dan khususnya pada kehamilan trimester ketiga disebabkan hormonal
dan otonom.
Perubahan volume darah dan output jantung yang sering dikaitkan dengan
klinis dampaknya terhadap parturients yang telah seiring penyakit jantung,
namun mereka mungkin juga bisa berdampak pada parturients sehat. Banyak
pasien hamil mengeluh gejala sugestif penyakit kardiovaskular pada istilah ,
termasuk sesak napas, palpitasi, pusing, edema, latihan fisik yang kurang.
Seperti digambarkan dalam tabel 1.1, kehamilan memiliki banyak efek pada
jantung evaluasi, termasuk perubahan pada elektrokardiogram, radiograf dada
dan echokardiogram. Meskipun perubahan-perubahan kecil ini terjadi pada
wanita hamil yang sehat, gejala dan tanda-tanda seperti nyeri dada, pingsan,
aritmia parah, sistolik murmur lebih dari kelas 3, atau diastolik murmur
menandakan penyakit parah dan perlu penyelidikan lebih lanjut. Pengembalian

bertahap volume darah prepregnancy terjadi pada minggu ke 6 hingga 9 post


partum
Tabel 1.1 Perubahan Kardiovascular dalam Kehamilan
Parameter

Perubahan

Amount (%)

Denyut jantung

Meningkat

20-30

Stroke volume

Meningkat

20-50

Cardiac output

Meningkat

30-50

Contractility

Variabel

Central venous pressure

Tetap

Pulmonary capillary wedge


pressure

Tetap

Systemic vascular resistance

Menurun

Systemic blood pressure

Sedikit menurun

Pulmonary vascular resistance

Menurun

10

20
Midtrimester 10-15 mm Hg,
then rises
30

Pulmonary artery pressure


Sedikit menurun
Dari Birnbach DJ, Gatt SP, Datta S (eds): Textbook of Obstetric Anesthesia. New York,
Churchill Livingstone, 2000, p 34.

Perubahan Hematologi
Volume darah ibu mulai meningkat pada awal kehamilan akibat dari
perubahan dalam osmoregulasi dan sistem renin-angiotensin, menyebabkan
natrium retensi dan meningkatkan total tubuh air ke 8.5 L. Volume darah
meningkat hingga 45% sedangkan sel merah volume meningkat hanya 30%.
Perubahan peningkatan ini mengarah ke "anemia fisiologis" kehamilan. Namun,
transportasi oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini karena tubuh ibu
mengkompensasi itu dengan peningkatan output jantung, peningkatan PaO2,
dan pergeseran rightward dalam kurva disosiasi oxyhemoglobin.
Keadaan hiperkoagulabilitas pada kehamilan, dengan peningkatan
kebanyakan faktor koagulasi (Tabel 1.2). Fibrinogen dan faktor VII meningkat,
sedangkan peningkatan faktor-faktor lain lebih rendah. Peningkatan faktor-faktor
koagulasi ini telah diverifikasi oleh thromboelastography dan mungkin adaptasi
pelindung untuk mengurangi risiko yang terkait dengan pendarahan akut yang
terjadi pada persalinan. Keadaan hiperkoagulabel ini dapat mengakibatkan
thromboembolism, yang merupakan penyebab utama kematian ibu. Jumlah
trombosit tetap sepanjang kehamilan, tapi itu mungkin sedikit berkurang di
trimester ketiga dengan peningkatan aktivitas in vivo. Jumlah trombosit

meningkat dalam periode postpartum, mungkin karena aktivasi hemostasis pada


saat persalinan. Insiden trombosit rendah pada kehamilan normal adalah sekitar
8%. Namun, trombositopenia selama masa kehamilan tidak berhubungan
dengan sequelae adverse. Saat ini, sebagian besar specialis anestesi merasa
nyaman menggunakan teknik regional dengan hitungan trombosit di atas 75.000
109/L dan antara 50.000 dan 75.000 jika perhitungannya stabil dan tiada
kelainan pada klinis laboratorium atau tanda-tanda keadaan koagulopathik.
Tabel 1.2 Faktor Koagulasi dalam Kehamilan
Factor

Change

II

Tidak berubah

VII

Meningkat +++

VIII, IX, X, XII

Meningkat

XI

Menurun

Fibrinogen

Meningkat +++

Platelets
Stabil
dari Birnbach DJ, Gatt SP, Datta S (eds): Textbook of Obstetric Anesthesia. New York,
Churchill Livingstone, 2000, p 41.

Sistem Respirasi
Untuk mengakomodasi peningkatan kebutuhan oksigen dan eliminasi
karbondiaoksida, maka selama kehamilan terjadi peningkatan volume respirasi
per menit dan pernafasan.
Perubahan yang paling mengesankan dalam dinamika paru-paru ibu
adalah penurunan kapasitas sisa fungsional (FRC), yang mungkin telah berubah
sebanyak 20% dari nilai-nilai prepregnancy. Ventilasi menit meningkat dengan
45%, akibat dari peningkatan tidal volume karena kecepatan pernapasan pada
dasarnya tidak berubah. Perubahan hormon dan peningkatan laju produksi
karbon dioksida menyebabkan peningkatan ventilasi. Progesteron meningkatkan
sensitifitas pusat pernapasan pada karbon dioksida. PaCO2 menurun sekitar 30
mm Hg pada minggu ke12 kehamilan, dan tetap pada tingkat ini selama sisa
kehamilan. Tidal volume meningkat sebesar 50%, di mana setengah dari
peningkatan ini terjadi selama trimester pertama. Pola pernafasan pada
parturient berubah; yaitu menjadi lebih diafragma selama kehamilan karena efek
dari rahim gravid dan pembatasan gerakan pada rongga toraks. Namun closing
kapasitas (CC), masih belum berubah.

Sistem Gastrointestinal
Tidak ada keraguan bahwa sistem pencernaan mengalami perubahan
anatomi dan fisiologis yang signifikan yang meningkatkan risiko aspirasi yang
terkait dengan anestesi umum. Progesteron merelaksasi otot polos; akibatnya,
mengganggu

esofagus

dan

usus

motilitas

selama

kehamilan.

Apakah

pengosongan lambung tertunda selama kehamilan masih kontroversial. Namun,


risiko aspirasi isi lambung oleh paru tetap nyata dalam parturients, terutama
ketika mengalami persalinan cesarean darurat di bawah anestesi umum.
Walaupun motilitas pencernaan tidak terpengaruh selama kehamilan, tetapi
administrasi opioid secara parenteral menunda pengosongan lambung.
Epidural analgesia menggunakan lokal anestesi tanpa opioid tidak
mempengaruhi pengosongan lambung, dan penggunaan dosis kecil epidural
fentanyl juga tidak berpengaruh pada fungsi lambung.Tetapi dosis besar fentanyl
dapat memperlambat pengosongan lambung.
Sistem Renal
Sistem ginjal mengalami perubahan besar pada pasien hamil, karena
adanya efek progesteron dan efek-efek mekanika kompresi dari pembesaran
rahim. Ureum, kreatinin dan asam urat clearance meningkat dalam kehamilan
(seperti yang digambarkan dalam tabel 1.3). Aliran plasma ginjal dan laju
penyaringan glomerular (GFR) keduanya meningkat pesat dalam kehamilan
akibat dari peningkatan cardiac output. GFR naik sebesar hampir 50%;
peningkatan ini, disertai oleh efek dilutional plasma volume ekspansi,
menyumbang dalam penurunan plasma Kreatinin dan urea. Oleh karena itu,
indeks ginjal "normal" dalam kehamilan lebih rendah daripada keadaan
nonpregnant. Oleh itu, peningkatan urea nitrogen dan kreatinin dalam darah
biasanya indikasi gangguan ginjal yang parah pada parturients. Peningkatan
GFR umumnya mendahului perluasan volume darah dan dianggap sebagai
pregnancy-induced vasodilation.

Parameter

Tabel 1.3. Nilai untuk Fungsi Renal


Hamil
Tidak Hamil

Creatinine clearance

140-160 mL/min

90-110 mL/min

Urea

2.0-4.5 mmol/L

6-7 mmol/L

Creatinine

25-75 mol/L

100 mol/L

Uric acid

0.2 mmol/L

0.35 mmol/L

pH

7.44

7.40

Bicarbonate
18-22 mmol/L
23-26 mmol/L
Dari Birnbach DJ, Gatt SP, Datta S (eds): Textbook of Obstetric Anesthesia. New York,
Churchill Livingstone, 2000, p 37.

Sistem Saraf Pusat


Wanita hamil mengalami peningkatan sensitivitas pada anestesi regional dan
umum. Dari tahap awal, ketika neuraxial anestesi diatur, wanita hamil
membutuhkan anestesi lokal yang lebih sedikit dibandingkan wanita yang tidak
hamil untuk mencapai tingkat sensoris dermatomal tertentu. Konsentrasi alveolar
minimum halothane dan isoflurane berkurang sebesar 25% dan 40%, masingmasing, selama kehamilan. Mekanisme yang mendasari penurunan kebutuhan
anestesi masih belum diketahui secara jelas. Selain itu, mengurangi lokal
anestesi persyaratan mendahului efek-efek mekanika rahim gravid.
1.1.2

Plasenta dan Janin


Plasenta merupakan tempat yang menghubungkan sirkulasi antara ibu dan

janin, dan memiliki beberapa fungsi seperti penyokong endokrin selama


kehamilan dan menjadi tempat pertukaran nutrien. Interaksi secara fisiologis dan
farmakologis dibahas dalam unit maternal-plasenta-janin, yang seperti tampak
pada gambar 1.1, unit maternal-plasenta-janin dapat dikompartemenkan menjadi
komponen maternal, plasenta, dan fetal.

Gambar 1.1 Unit maternal-plasenta-janin. A, Komponen Maternal. B. Komponen


plasenta. C. Komponen janin. (From Birnbach DJ [ed]: Ostheimer's Manual of Obstetric
Anesthesia, 3rd ed. New York, Churchill Livingstone, 2000, p 45.)

Plasenta dibentuk oleh jaringan maternal dan janin yang mengandung


lempeng basal dan korion, yang merupakan membran semipermeabel yang
menghubungkan sirkulasi maternal dan janin. Rongga intervillous memisahkan
kedua lempeng dan dipisahkan lagi oleh desidua. Vili korion dan arteri spiral
masuk ke dalam rongga intervillous. Aliran darah ibu mengalir ke rongga
intervillous dari arteri spiral saat transfer plasenta terjadi dari ibu pada janin.
Kurang lebih 80% aliran darah uterine akan melalui rongga intervillous.
Empat puluh hingga lima puluh persen dari cadiac output janin mengalir ke
plasenta, dan sejumlah darah yang sama mengalir kembali ke jantung melalui
vena umbilikal (Gambar 1.2). Darah janin masuk ke plasenta melalui dua arteri
umbilikal yang muncul dari arteri iliaka internal. Arteri ini bercabang dan
membentuk kapiler umbilical melintasi vili korion. Aliran darah janin kurang lebih
75 mL/kg/menit, merupakan rasio yang jauh lebih kecil dibandingkan aliran ibu.
Walaupun tekanan fetal dan parturient tidak merata, transfer melalui plasenta
terjadi secara cepat pada hampir semua obat.

Gambar 1.2 Sirkulasi janin menunjukkan pola aliran darah mayor dan nilai saturasi
oksigen (angka yang dilingkari menunjukkan persentase saturasi). Ao, aorta; DA, ductus
arteriosus; DV, ductus venosus; IVC, vena cava inferior; Li, hepar; Lu, paru; P, plasenta;
PA, arteri pulmonar; PV, vena pulmonar; RA dan LA, atrium kanan dan kiri; RHV dan
LHV, vena hepatika kanan dan kiri; RV dan LV, ventrikel kanan dan kiri; SVC, vena cava
superior; UA, arteri umbilikal; UV, vena umbilikal. (From Birnbach DJ, Gatt SP, Datta S
[eds]: Textbook of Obstetric Anesthesia. New York, Churchill Livingstone, 2000, p 51.)

Sirkulasi umbilikal-plasenta diregulasi oleh perubahan refleks fisiologis dan


neuroendocrine axis. Beberapa substansi, termasuk prostaglandin, endorfin,
katekolamin, dan vasopresin, berperan dalam mengatur perfusi umbilicalplasenta.
Transfer Obat Anestetik Melalui Plasenta
Banyak obat yang dikonsumsi oleh ibu akan menembus plasenta, dan obat
ini dapat memberikan efek yang besar pada janin. Obat yang umum digunakan
memiliki efek farmakologis secara langsung maupun tidak langsung pada
kandungan. Setelah pemberian obat pada ibu, sejumlah obat akan menembus
dalam plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin. Obat mampu menembus

plasenta melalui tiga proses: difusi sederhana, transpor aktif, dan apinositosis.
Seberapa banyak transfer obat yang terjadi tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya berat molekul, ikatan protein, daya larut terhadap lemak, konsentrasi
obat yang diminum ibu, dan pH ibu dan janin. Hukum prinsip Fick transfer untuk
rasio obat dalam menembus membran:

di mana Q/t adalah laju difusi, K adalah koefisien difusi, A adalah luas permukaan
membran tersedia untuk pertukaran, Cm - Cf gradien konsentrasi antara sirkulasi
ibu dan janin , dan D ketebalan membran.
Molekul-molekul yang besar kemungkinannya untuk menyeberangi plasenta
adalah sangat kecil, tetapi molekul-molekul di bawah 500 daltons akan
menyeberang dengan mudah. Kebanyakan obat-obatan yang diberikan untuk
parturient memiliki berat molekul yang rendah; oleh itu, mereka dengan mudah
transfer ke janin. Obat-obatan dengan larut lemak tinggi juga mudah akan
menyeberangi plasenta. Zat-zat yang sangat terionisasi dengan larut lipid yang
tinggi (misalnya, nondepolarizing otot relaxants) memiliki transfer yang terbatas.
Derajat ionisasi obat ditentukan oleh persamaan Henderson-Hasselbalch:

dimana pKa adalah logaritma negatif dari konstanta disosiasi asam. pK a obat
adalah pH di mana itu adalah 50% terionisasi dan 50% tidak terionisasi.
Kebanyakan nilai pKa lokal anestesi berkisar dari 7.7 sampai 9.1, yang mendekati
nilai pH fisiologis. Perubahan pH darah ibu dan janin dapat mengubah tingkat
ionisasi obat dan transfernya plasental. Sebuah fenomena yang dikenal sebagai
"ion trapping" mungkin terjadi pada janin dengan asidosis karena nilai pH janin
rendah lebih cenderung pada ionisasi lokal anestesi dasar (misalnya, lidokain)
dan mungkin menjelaskan akumulasi obat-obatan pada janin yang terjadi fetal
compromise.
Setelah obat melintasi plasenta, pH janin dan protein binding mempengaruhi
disposisi obat. Tingkat ionisasi sangat mempengaruhi transfer obat karena hanya
bagian nonionized dari obat dapat menyeberangi plasenta.
Karena karakteristiknya yang unik, sirkulasi fetus memiliki pengaruh yang
kuat dalam distribusi obat. Setelah obat menembus plasenta, mereka masuk ke
8

sirkulasi fetus melalui vena umbilikus, kurang lebih 40% diantaranya melewati
hepar. Hepatic drug uptake pada janin menjadi salah satu metode perlindungan
diri janin dari efek yang tidak diinginkan beberapa obat pada sistem saraf pusat.
1.2 FARMAKOLOGI
Agen anestesi lokal yang diberikan pada ibu hamil meliputi dua golongan,
ester (procain, chloroprocaine) dan amida (lidocaine, bupivacaine). Procaine
memiliki kelebihan onset yang cepat, toksisitas yang rendah, dan dimetabolisme
dengan cepat (T pada wanita hamil 23 detik), dengan kerugian kemungkinan
terjadi alergi. Tetracaine lebih panjang masa kerjanya, namun kurang terlalu baik
dalam mengeblok sensoris, dan memiliki toksisitas yang tinggi. Golongan Amida
mampu memblok sensoris yang baik dengan dosis yang rendah, dan dengan
blok motorik yang minimal, memiliki durasi yang lebih lama, jarang menimbulkan
alergi. Namun pada golongan amida ini perlu berhati-hati, seperti pada
penggunaan bupivacaine yang memiliki efek kardiotoksik bila kurang hati-hati
disuntikkan pada vena, dengan dosis toksik 1 mg/kgBB intravena, dan dapat
terjadi takifilaksis setelah diberikan pengulangangan lidokain.
Efek toksisitas yang mungkin terjadi pada pasien, antara lain : (1) sistem
saraf pusat: perasaan mengantuk, mabuk, telinga berdenging, reaksi toksisitas
yang utama adalah kejang dan koma, (2) kardiovaskuler: irama jantung irreguler,
A-V blok, fibrilasi ventrkel, mengakibatkan penurunan cardiac output dan
cardiovascular collapse dengan cardiac arrest. Bila muncul gejala toksisitas
minor, dapat diterapi dengan pemberian oksigen, dengan kasus kejang, dapat
diberikan sodium pentotal 50 mg atau 10 mg i.v. Airway harus dilindungi dengan
intubasi endotrakea, paru-paru diberikan ventilasi oksigen 100% untuk menjamin
oksigenasi dan ventilasi, dan mensupport dengan vasopresor, terapi cairan, dan
cardiac massage bila diperlukan.
1.3 ANESTESIA
1.2.1 Nyeri Pada Persalinan
Persepsi nyeri melahirkan merupakan proses dinamis yang melibatkan
mekanisme peripheral sentral. Banyak faktor mempengaruhi derajat nyeri yang
dirasakan ibu saat melahirkan, termasuk kesiapan psikologis, dukungan
emosional, pengalaman masa lalu, ekspektasi proses melahirkan dari ibu, dan

induksi atau augmentasi kelahiran dengan oksitosin. Presentasi abnormal (misal


occiput-posterior) juga dapat menyebabkan rasa nyeri yang hebat.
Selama kala I, impulse nyeri awalnya bermula dari uterus. Kontraksi uterus
dapat mengakibatkan iskemia myometrial, yang kemudian dapat mengakibatkan
pelepasan bradikinin, histamin, dan serotonin. Peregangan dan distensi segmen
uterus bawah dan cervix dapat menstimulasi mekanoreseptor. Impuls ini
mengikuti serabut saraf sensori yang menyertai nerve ending simpatetis;
melewati regio paracervical dan pleksus hipogastrik untuk melalui rantai simpatis
lumbal. Stimuli ini masuk spinal cord pada segmen T10, T11, T12, dan spinal.
Nyeri parturien digambarkan dengan nyeri tumpul dan tidak terlokalisir. Pada
saat kala II dan peregangan perineum, serabut saraf afferent somatis
meneruskan impuls melalui saraf pudendal ke spinal cord level S2, S3, dan S4
(Gambar 1.3 dan 1.4).

Gambar 1.3. Jalur nyeri kelahiran menggambarkan jalur saraf yang bertanggung
jawab terhadap nyeri pada setiap stadium kelahiran dan tipe blok yang dapat
mengeblok transmisi impuls saraf untuk meredakan nyeri kelahiran. (Redrawn from
Eltzchig HK, Lieberman ES, Camann WR: Regional anesthesia and analgesia for
labor and delivery. N Engl J Med 348:319, 2003.)

10

Gambar 1.4 Distribusi dan intensitas nyeri saat melahirkan pada masing-masing
stadium kelahiran. Pada stadium awal kala I (A), nyeri menjalar ke dermatom T11
dan T12. Selama fase akhir kala I (B), nyeri juga menyebar ke dermatom T10 dan
L1. Pada kala II (C), distribusi dermatom kala I fase akhir, nyeri dirasakan seperti
tekanan pada bagian bawah punggung dan perineum dan bagian atas kaki.
Selama akhir kala II (D), nyeri berasal dari perineum. (Redrawn from Bonica JJ:
Obstetric Analgesia and Anesthesia. World Federation of Societies of
Anesthesiologists. Seattle, University of Washington Press. As modified by Bonica
JJ: The nature of pain in parturition. In Van Zundert A, Ostheimer GW [eds]: Pain
Relief and Anesthesia in Obstetrics. New York, Churchill Livingstone, 1996, p 32.)

1.2.2 Pilihan Teknik Anestesi Untuk Seksio Sesaria


Indikasi paling umum dilakukannya seksio sesaria diantaranya failure to
progress,

non-reassuring

fetal

status,

cephalopelvic

disproportion,

malpresentasi, prematur, dan riwayat sesaria sebelumnya. Pemilihan anestesia


seksio sesaria tergantung pada indikasi operasi, derajat urgensi, status maternal,
dan keinginan pasien.
Anestesi Neuraxial
Teknik

anestesi

neuroaksial

memiliki

beberapa

keuntungan,

seperti

penurunan resiko kegagalan intubasi dan aspirasi dari isi lambung, menghindari
agen depresan, dan kemampuan ibu untuk tetap terjaga dan menikmati
pengalaman melahirkan. Regional anestesi juga disarankan untuk sesaria
karena adanya penurunan resiko kehilangan darah.
Spinal Anesthesia

11

Anestesi spinal (subarachnoid) memberikan banyak keuntungan untuk


seksio sesaria. Onset nya cepat dan mengeblok neural secara penuh. Dosisnya
yang rendah meminimalisir resiko terjadinya toksisitas anestesi lokal, dan
meminimalisir transfer obat ke janin, terlebih, kegagalan spinal anestesia jarang
terjadi. Namun teknik ini memiliki kekurangan seperti durasi anestesi yang
terbatas dan insidensi hipotensi yang lebih sering.
Anestesi spinal dapat dimulai pada pasien dengan posisi duduk atau posisi
lateral dan dengan larutan plain atau hiperbarik. Masing-masing metode memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Posisi duduk, akan lebih optimal
untuk blok neuroaksial pada pasien parturient yang obese. Ketinggian blok dari
larutan hiperbarik lebih mudah untuk diprediksi dibandingkan ketinggian blok
larutan plain, dan hal ini memudahkan pihak anestesi untuk mengatur ketinggian
blok dengan mengatur posisi meja operasi.
Kualitas anestesi spinal dapat ditingkatkan

dengan

penambahan

epinephrine, morfin, fentanyl, atau sufentanil.


Kontraindikasi dilakukan spinal anestesi dibagi ke dalam dua kategori,
kontraindikasi mutlak, meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan
intrakranial, serta kontraindikasi relatif meliputi neuropati, prior spine surgery,
nyeri

punggung,

penggunaan

obat-obatan

praoperasi

golongan

AINS

(antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin


subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, dan a resistant surgeon.
Anestesi Epidural
Ketika dibutuhkan fleksibilitas (misalnya untuk seksio sesaria yang lama),
teknik kateter lebih optimal namun teknik epidural lebih sering dipilih. Pada
parturien resiko tinggi, kateter epidural seringkali didahulukan sehingga dapat
digunakan seksio sesaria emergensi sewaktu-waktu.
Anestesi lokal yang ideal dapat menimbulkan onset blok sensori yang cepat
dengan durasi aksi yang tepat. Agent yang sering digunakan antara lain 2chloroprocaine, lidocaine, dan bupivacaine. Dibandingkan dengan anestesi
spinal, dosis anestesi lokal yang digunakan jauh lebih besar untuk mencapai
level yang adekuat untuk seksio sesaria. Sejumlah besar volum anestetik lokal
untuk seksio sesaria berpotensi toksik diberikan melalui epidural catheter,
beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menurunkan resiko toksisitasnya.
Pertama, kateter sebaiknya diaspirasi sebelum digunakan dan dilakukan tes

12

dosis. Kedua, anestetik sebaiknya diberikan dalam beberapa dosis terpisah.


Terakhir, gunakan obat yang lebih aman (misal chloroprocaine dan lidocaine)
atau golongan anestetik lokal amide yang baru (misal ropivacaine dan
levobupivacaine).
Semua anestesi lokal merupakan basa lemah dan dijual dalam pelarut asam,
mereka terionisasi sehingga tidak dapat menembus membran lipid. Penambahan
sejumlah kecil bicarbonate meningkatkan pH dari pelarut dan proporsi anestetik
lokal yang tidak ter-ion; hal ini mempersingkat onset blokade. Penambahan
bicarbonate pada lidocaine dan chloroprocaine memperpendek onset; tapi, tidak
banyak

penelitian

menunjukkan hasil

yang sama

dengan

bupivacaine.

Bupivacaine dapat mengendap saat dicampur dengan zat basa, karena itu
sebaiknya diberikan dosis yang rendah (0.1 mEq/20 mL).
Kondisi intraoperatif dengan anestesi epidural dapat ditingkatkan jika
anestesi lokal ditambahkan fentanyl (50-100 g) atau sufentanil (10-20 g).
Clonidine juga umum digunakan sebagai penambah anestesi lokal epidural,
namun dapat menyebabkan sedasi, bradikardia, dan hipotensi.
Combined Spinal-Epidural (CSE)
Teknik CSE memberikan onset yang cepat of dense surgical anestesi while
allowing kemampuan untuk memperpanjang pengeblokan dengan epidural
kateter. Karena blok dapat dilengkapi sewaktu-waktu, anestetik lokal dengan
dosis yang lebih rendah dapat digunakan, sehingga dapat menurunkan resiko
high spinal block dan hipotensi. Masalah utama teknik CSE untuk seksio sesaria
adalah tidak dapat dilakukan tes kateter, kemungkinan terjadi kegagalan epidural
catheter setelah injeksi spinal, dan resiko peningkatan penyebaran obat spinal
yang sebelumnya diinjeksikan setelah dilakukan epidural catheter.
Continuous Spinal Anesthesia (CSA)
CSA memiliki banyak kelebihan potensial bila dibandingkan dengan teknik
single-shot spinal atau epidural. Teknik klasik membutuhkan penggunaan jarum
large-bore

epidural;

teknik

baru

menggunakan

32-gauge

microcatheter

dimasukkan melalui jarum spinal 26-gauge. CSA dilakukan dengan menembus


lapisan dura dengan jarum epidural dan benang epidural catheter 3-4 cm di
dalam rongga intrathecal. Untuk mengetahui lokasi kateter, dilakukan tes aspirasi
CSF. Karena menggunakan kateter, dosis yang lebih rendah dapat diberikan.
Pemberian seperti ini bermanfaat khususnya pada kelahiran dengan resiko tinggi

13

seperti pasien dengan penyakit jantung, respirasi, obesitas yang tidak wajar, dan
neuromuskuler.
General Anesthesia
Walaupun anestesi umum untuk seksio sesaria mulai jarang digunakan,
namun

masih

diperlukan

untuk

beberapa

kondisi,

seperti

perdarahan,

koagulopati, fetal compromise yang mengancam nyawa, atau kasus dimana


pasien

menolak

dilakukan

anestesi

regional.

Anestesi

umum

memiliki

keuntungan induksi yang cepat, airway yang terkontrol, dan hemodinamik


superior. Pemilihan metode anestesi umum tergantung dari banyak faktor,
termasuk jumlah pasien yang menerima analgesi epidural untuk kelahiran,
persentase parturien resiko tinggi, dan kemampuan (skill) dari anestesiologis.
Walaupun tidak ada kontraindikasi pasti anestesi umum, pada kondisi khusus
seperti hipertermia malignan atau pasien dengan airway tidak paten, diperlukan
teknik modifikasi anestesi. Potensi masalah dengan anestesi umum untuk seksio
sesaria termasuk kegagalan intubasi, aspirasi isi lambung, depresi neonatal, dan
maternal awareness.

Figure 69-11 Manajemen kegagalan intubasi pada kehamilan dengan keterangan


ada atau tidak adanya distres janin. ASA, American Society of Anesthesiologists.
(Redrawn from Reisner LS, Benumof JL, Cooper SD: The difficult airway: Risk,
prophylaxis, and management. In Chestnut DH [ed]: Obstetric Anesthesia:

14

Principles and Practice. St Louis, CV Mosby, 1999, p 607.)

1.2.3

PRE-OPERATIVE

Tujuan:
1.
2.
3.
4.

Mengetahui status fisik pasien praoperatif.


Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
Memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai.
Meramalkan penyulit yang mungkin akan terjadi selama operasi dan atau

pasca bedah.
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
Waktu evaluasi
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesi dilakukan beberapa hari
sebelum operasi. Evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi, selanjutnya
dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim ke kamar operasi dan
evaluasi terakhir dilakukan di kamar persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS)
untuk menentukan status fisik ASA. Pada kasus bedah darurat, evaluasi
dilakukan pada saat itu juga di ruang persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat.
Kunjungan Premedikasi
Hal-hal berikut dilakukan selama kunjungan premedikasi:

Mengkonfirmasi kembali identitas pasien, meninjau kembali diagnosis,


mengusulkan prosedur pembedahan, dan meminta persetujuan untuk

dilakukan pembedahan dan anestesi.


Memberikan penilaian melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan menilai hasil
pemeriksaan penunjang yang berkaitan dengan memberikan perhatian
khusus pada riwayat anestesi sebelumnya, riwayat alergi obat, pemakaian
obat dahulu dan saat ini, masalah-masalah anestesi yang potensial seperti

kesulitan airway, obesitas, penyakit kardiopulmonal yang signifikan.


Klasifikasi status fisik pasien menurut American Society of Anaesthesiologist

(ASA).
Persiapan preoperative yang relevan seperti mengoptimalkan penagganan
medis, fisioterapi dada preoperative dan latihan pernafasan, group dan crossmatch darah/atau produk darah.

15

Menginformasikan kepada pasien tentang rencana teknik anestesi dan

managemen perioperatif, termasuk penilaian resiko dan penjelasannya.


Memberikan instruksi yang jelas terhadap pengobatan: apakah melanjutkan
dosis atau dihentikan dan kapan harus memberikan obat pada hari

pembedahan.
Peresepan obat-obatan premedikasi.

Pemeriksaan Preanestesi Yang Dianjurkan


Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur
pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari
prosedur bedah yang direncanakan.
Tabel 1.4 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
Pemeriksaan rutin
Indikasi
Urinalisis
Pada semua pasien (periksa konsentrasi glukosa
darah jika glukosa urine positif)
FBC
Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayor
Ureum, Creatinin, Elektrolit
Bedah mayor
ECG
Umur > 50 tahun
Foto Torak
Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati (Liver Function Test)
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Tabel 1.5. Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:
No
1

Test
Darah Lengkap

Ureum, creatinin dan


konsentrasi elektrolit

Konsentrasi glukosa darah

Elektrokardiografi

Chest X-ray

Arterial blood gases

Test fungsi paru

Indikasi
Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
Penyakit ginjal
Penyakit metabolic misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit
atau menunjukkan efek toksik dari adanya
abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic,
antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.
Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
Pasien yang akan operasi thorakotomi

16

Skreen koagulasi

Test fungsi hati

10

Tes fungsi thyroid

Penyakit paru sedang sampai berat seperti COPD,


bronchiektasis
Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alcohol
Tumor dengan metastase ke hepar
Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama period waktu, jarak dari yang
1 minggu ( FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan
(ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam
keadaan berikut ;

Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah


Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk
hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan
gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

Klasifikasi Status Fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran seseorang yang
berasal dari The Society of Anesthesiologists (ASA).
ASA 1
ASA 2

pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.


pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik

ASA 3

ringan sampai sedang


pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak

ASA 4

mengancam nyawa.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik

ASA 5

berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.


pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun

ASA 6

tidak dalam 24 jam pasien meninggal.


pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ
untuk donor.

Masukan Oral

17

Reflex laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan resiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan operasi elektif dengan anesthesia
harus dipantangkan dari masukkan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi
3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anesthesia. Pedoman untuk puasa preoperatif tertera pada tabel 1.7.

Pemasangan Infus
Pemasangan infus bertujuan untuk menggantikan defisit cairan selama
puasa, koreksi deficit cairan prabedah, fasilitas vena terbuka untuk memasukkan
obat-obatan selama operasi, memberikan cairan pemeliharaan, koreksi deficit
atau kehilangan cairan selama operasi, koreksi cairan akibat terapi lain dan juga
untuk fasilitas darah.
Tabel 1.7 Pedoman untuk Puasa Preoperative
Usia pasien
< 6 bulan

6 bulan 5 tahun

> 5 tahun
Dewasa, jadwal
operasi pagi
Dewasa, jadwal
operasi siang

Jenis asupan oral


Clear Fluid
ASI
Susu formula
Clear Fluid
Susu formula
Solid
Clear Fluid
Solid
Clear Fluid
Solid
Clear Fluid
Solid

Lama puasa (jam)


2
3
4
2
4
6
2
6
2
Puasa mulai jam 2400
2
Puasa mulai jam 8 pagi
setelah sarapan ringan

Jumlah cairan yang


diperbolehkan
20 ml/kg

10 ml/kg

10 ml/kg

18

Jenis-jenis cairan infus untuk pemeliharaan atau pengganti puasa pra anestesi,
sesuai dengan indikasi dan usia pasien, adalah sebagai berikut :
a. Neonatus diberikan cairan Dextrose 5 % dalam NaCl 0,0225 %.
b. Anak-anak (<12 tahun), diberikan Dextrose 5 % dalam Nacl 0,45%.
c. Umur > 12 tahun, tidak ada indikasi pasti dapat diberikan cairan: kristaloid
atau campuran dextrose 5% dalam larutan kristaloid, misalnya: dextrose 5 %
dalam NaCl 0,9% dalam ringer dan dalam ringer laktat.
d. Penderita diabetes mellitus diberikan cairan Maltose 5% dalam ringer.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak
adanya intake oral, deficit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel 1.8.
Tabel 1.8 Kebutuhan Maintenance Normal
Berat Badan
10kg pertama
10 kg berikutnya
Tiap kg di atas 20kg

Kadar (mL/kg/jam)
4
+2
+1

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Deficit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia
diantaranya : (1) Meredakan kecemasan dan ketakutan, (2) Memperlancarkan
induksi anesthesia, (3) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, (4)
Meminimalkan jumlah obat anestetik, (5) Mengurangi mual-muntah pasca bedah,
(6) Menciptakan amnesia, (7) Mengurangi isi cairan lambung, (8) Mengurangi
reflex yang membahayakan.

19

Tabel1.9 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi


No.
1

3
4

Jenis Obat
Sedatif:
Diazepam
Difenhidramin
Promethazin
Midazolam
Analgetik Opiat
Petidin
Morfin
Fentanil
Analgetik non opiat
Antikholinergik:
Sulfas atropine
Antiemetik:
Ondansetron
Metoklopramid
Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Ranitidine
Antasid

Pemberian

premedikasi

dapat

Dosis (Dewasa)
5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
0,1 mg/kgBB
4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
Dosis disesuaikan

diberikan

secara

(a)

suntikan

intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan


intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis
obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya
disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.
Persiapan Di Kamar Operasi
a.
b.
c.
d.
e.

Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan


Mesin anestesi dengan system aliran gasnya
Alat-alat resusitasi (STATICS)
Obat-0bat anestesia yang diperlukan.
Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat dan lain-lainnya.


f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
i.
j.

Pulse Oxymeter dan Capnograf.


Kartu catatan medic anestesia
Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 1.10 Komponen STATICS
S

Scope

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.

20

1.2.4

Tubes

Airways

Tapes

Introducer

C
S

Connector
Suction

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang


sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

DURANTE OPERATIVE

Induksi dan Rumatan Anestesia


Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau
rektal. Setelah pasien tidur dengan akibat induksi anestesia lansung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Induksi intravena paling banyak dikerjakan karena cepat dan menyenangkan.
Induksi ini harus dikerjakan dengan hati-hati, pelahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntik dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesia, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien
yang kooperatif. (a) Thiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena
dengan kepekatan 2.5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena
menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan
dewasa muda sehat dosis tinggi. (b) Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan
kepekatan dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan
propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya
sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena. (c) Ketamin (katalar)
intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesia dengan ketamin sering
menimbulkan halusinasi, karena itu dianjurkan menggunakan sedative seperti

21

midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan


darah tinggi (>160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar tetapi mata
terbuka.
Induksi intramuscular, sampai sekarang hanya ketamin (ketalan) dengan
dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. Induksi inhalasi hanya
dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Induksi halotan memerlukan
gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 >
4 liter/menit atau campuran N2O: O2 3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan
halotan 0.5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, setelah pasien sudah tenang dinaikkan lagi
sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi
karena pasien jarang batuk , walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai
kebutuhan. Induksi dengan enfluran ( etran), isofluran (foran, aeran) atau
desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi
menjadi lama.
Monitoring selama operasi untuk setiap pemberian anestetika dan atau
analgesia yang dilakukan di dalam ruangan yang telah disediakan untuk itu,
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien. Meskipun
demikian standar ini tidak menjamin hasil akhir keadaan pasien. Pada keadaan
gawat darurat, bantuan kehidupan lebih diutamakan. Pada keadaan tertentu,
beberapa cara pemantauan yang ada dalam standar ini mungkin secara klinis
tidak praktis dan mungkin juga gagal menemukan perubahan-perubahan klinis
yang tidak menguntungkan.
Standar ini dapat dilampaui dan diubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan
perkembangan status fisik pasien selama anestesi/analgesia dan pembedahan
atas pertimbangan dan tanggungjawab dokter spesialis Anestesiologi.
Standar I
Tenaga anesthesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah
selama pemberian anesthesia/analgesia. Oleh karena keadaan pasien selama
anesthesia/analgesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga anesthesia
yang berkualifikasiharus selalu ada untuk memantau pasien dan memberikan
antisipasi segera terhadap perubahan abnormal yang terjadi. Pada keadaan

22

khusus (adanya bahaya langsung terhadap tenaga anestesi misalnya radiasi)


dan pasien perlu diawasi dari jarak jauh, maka beberapa cara/teknik pemantauan
tertentu tetap harus dilakukan. Pada keadaan-keadaan darurat di tempat lain,
yang memerlukan kehadiran Sp. An yang bertanggung jawab, maka keputusan
untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat kedaruratan tersebut,
keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anesthesia yang
tinggal.
Standar II
Selama pemberian anastesia/analgesia, jalan nafas, oksigenasi, ventilasi,
dan sirkulasi pasien harus dievakuasi secara teratur dan sering bahkan pada
kasus-kasus tertentu dilakukan secara kontinyu.

1. Jalan Nafas
Bertujuan untuk mempertahankan keutuhan jalan nafas, dapat dilakukan
dengan cara memantau secara ketat jalan nafas yang dianestesi dengan teknik
sungkup atau intubasi trakea. Pada pola nafas spontan, pemantauan dilakukan
melalui gejala/tanda sebagai berikut: terdengar suara nafas patologis, gerakan
kantung reservoir terhenti atau menurun, tampak gerakan dada paradoksal.
Pada nafas kendali tekanan inflasi terasa berat, tekanan positif inspiratif
meningkat.
2. Oksigenasi
Oksigenasi dipastikan untuk kadar zat asam di dalam udara/gas inspirasi dan
di dalam darah. Dilakukan terutama pada anestesia umum inhalasi. Memeriksa
kadar oksigen gas inspirasi, dilakukan dengan alat pulse oxymeter yang
mempunyai alarm batas minimum dan maksimum. Oksigenasi darah, diperiksa
secara klinis dengan melihat warna darah luka operasi dan permukaan mukosa,
secara kualitatif dengan alat oksimeter denyut dan pemeriksaan analisis gas
darah.
3. Ventilasi
Untuk memantau keadekuatan ventilasi. Diagnotik fisik dilakukan secara
kualitatif dengan mengawasi gerak naik turunnya dada, gerak kembang
kempisnya kantong reservoar atau auskultasi suara nafas. Memantau end tidal

23

CO2 terutama pada operasi lama, misalnya bedah kraniotomi. Sistem alarm, jika
ventilasi dilakukan dengan alat bantu nafas mekanik, dianjurkan dilengkapi alat
pengaman (sistem alarm) yang mampu mengeluarkan sinyal/tanda yang
terdengar jika nilai ambang tekanan dilampaui. Analisis gas darah, untuk menilai
tekanan parsial CO2. Pemantauan ini dilakukan terutama pada kasus bedah
saraf, bedah torak-kardiovaskuler dan kasus-kasus/pasien lain yang berisiko
tinggi.
4. Sirkulasi
Bertujuan untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien adekuat. Dilakukan
dengan menghitung denyut nadi secara teratur dan sering dengan stetoskop
prekordial (pada bayi dan anak) atau secara manual pada orang dewasa.
Mengukur tekanan darah secara non invasif mempergunakan tensimeter airraksa, diukur secara teratur dan sering. Mengukur tekanan darah secara invasif,
EKG dan disertai dengan oksimeter denyut. Pemantauan ini dilakukan pada
pasien resiko tinggi anastesia atau bedah ekstensif dan dilakukan secara
kontinyu selama tindakan berlangsung. Produksi urin, ditampung dan diukur
volumenya setiap jam terutama pada operasi besar dan lama. Mengukur tekanan
vena sentral dengan kanulasi vena sentral untuk menilai aliran darah balik ke
jantung, hal ini dikerjakan pada kasus resiko tinggi.
5. Suhu Tubuh
Bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh. Apabila dicurigai atau
diperkirakan akan atau ada teradi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh
harus diukur secara kontinyu pada daerah sentral tubuh melalui esofagus atau
rektum dengan termometer khusus yang dihubungkan dengan alat pantau yang
mampu menayangkan secara kontinyu.
1.2.5

PASCA OPERATIVE

Pasca Anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah


pembedahan dan anestesia diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh
anestesia.
1. Risiko pasca anestesia
Berdasarkan masalah-masalah yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah,
pasien pasca anestesia/bedah dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok:

24

Kelompok I
Pasien

yang

mempunyai

risiko

tinggi

gagal

nafas

dan

goncangan

kardiovaskular pasca anestesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca


anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini langsung dirawat di
Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa menunggu pemulihan di ruang
pulih.
Kelompok II:
Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam kelompok ini.
Tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya.
Kelompok III:
Pasien yang mengalami operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada
kelompok ini bukan hanya fungsi respirasinya adekuat tetapi harus bebas dari
rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelamahan otot, sehingga pasien bisa kembali
pulang.
2. Pemindahan pasien dari kamar operasi
Pemindahan pasien harus dilaksanakan dengan hati-hati mengingat: (a)
Pasien yang belum sadar baik atau belum pulih dari pengaruh anestesia, posisi
kepala diatur sedemikian rupa sehingga ventilasi terjamin, (b) Apabila dianggap
perlu, pada pasien yang belum bernafas spontan, diberikan nafas buatan, (c)
Gerakan pada saat memindahkan pasien dapat menimbulkan atau menambah
rasa nyeri akibat tindakan pembedahan dan bisa terjadi dislokasi sendi, (d) Pada
pasien yang sirkulasinya belum stabil bisa terjadi syok atau hipotensi, (e) Pasien
yang dilakukan blok spinal, posisi penderita dibuat sedemikian rupa agar aliran
darah dari daerah tungkai ke proksimal lancer, (f) Yakinkan bahwa infus, pipa
nasogastrik dan kateter tetap berfungsi dengan baik atau tidak lepas. Saat
mendorong kereta, tidak perlu tergesa-gesa karena hal tersebut dapat
mengakibatkan rasa nyeri dari daerah bekas lapangan operasi, perubahan posisi
kepala, sehingga dapat menimbulkan masalah ventilasi, muntah atau regurgitasi,
atau kegoncangan sirkulasi.
3. Serah terima pasien di ruang pulih
Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat serah terima: (a) Masalah-masalah
tatalaksana anestesia, penyulit selama anestesia/pembedahan, pengobatan dan

25

reaksi alergi yang mungkin terjadi, (b) Tindakan pembedahan yang dikerjakan,
penyulit-penyulit saat pembedahan, termasuk jumlah pendarahan, (c) Jenis
anestesia yang diberikan dan masalah-masalah yang terjadi termasuk jumlah
cairan infus yang diberikan selama operasi, dieresis serta gambaran sirkulasi dan
respirasi, (d) Posisi pasien di tempat tidur, (e) Hal-hal lain yang perlu mendapat
pengawasan khusus sesuai dengan permasalahan yang terjadi selama anestesia
operasi, (f) Apakah pasien perlu mendapat penanganan khusus di ruang terapi
intensif (sesuai dengan instruksi dokter).
4. Ruang pulih
Ruang pulih adalah ruangan khusus pasca anestesia/bedah yang berda di
kompleks kamar operasi yang dilengkapi dengan tempat tidur khusus, alat
pantau, alat/obat resusitasi, tenaga terampil dalam bidang resusitasi dan gawat
darurat serta disupervisi oelh Dokter Spesialis Anestesiologi dan Spesialis
Bedah.
Syarat-syarat ruang pulih: (a) Berada dalam kompleks kamar operasi atau
satu atap dengan kamar operasi dan satu koridor, (b) Ruangan cukup memadai
untuk 4-6 tempat tidur, (c) Jarak tempuh dari masing-masing kamar operasi ke
ruang pulih kurang lebih lima menit, (d) Dilengkapi dengan tempat tidur khusus,
penerangan yang cukup dan tempat cuci, (e) Dilengkapi dengan alat pantau, alat
dan obat resusitasi, (f) Personilnya terampil dalam bidang resusitasi, dengan
jumlah minimal satu orang untuk dua tempat tidur.
Tujuan perawatan pasca anestesia/bedah di ruang pulih:

Memantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah

respirasi dan sirkulasi


Mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi
Memantau perdarahan luka operasi
Mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah

Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anestesia/bedai ruang pulih


karena berbagai alasan adalah:

Pasien dengan analgesia local yang kondisinya normal


Pasien dengan risiko tinggu tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak

ada ruang isolasi


Pasien yang memerlukan terapi intensif
Pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan (atas kesepakatan
Dokter Spesialis Bedah dan Spesialis Anestesiologi)
26

5. Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan medic


a. Kesadaran
Pemanjangan pemulihan kesadaran, merupakan salah satu penyulit yang
sering dihadapi di ruang pulih. Banyak faktor yang terlibat dalam penyulit ini.
Apabila hal ini terjadi diusahakan memantau tanda vital yang lain dan
mempertahankan fungsinya agar tetap adekuat. Disamping itu pasien belum
sadar tidak merasakan adanya tekanan, jepitan atau rangsangan pada anggota
gerak, mata atau pada kulitnya sehingga mudah mengalami cedera, oleh karena
itu posisi pasien diatur sedemikian rupa, mata ditutup dengan plester atau kasa
yang basah sehingga terhindar dari cedera sekunder.
Masalah gelisah dan berontak, seringkali mengganggu suasana ruang pulih
bahkan

bisa

membahayakan

dirinya

sendiri.

Penyebab

gaduh

gelisah

pascabedah adalah; (a) Pemakaian ketamin sebagai obat anesthesia, (b) Nyeri
yang hebat, (c) Hipoksia, (d) Buli-buli yang penuh, (e) Stres yang berlebihan
prabedah, (f) Pasien anak-anak, seringkali mengalami hal ini.
Penanggulangannya, disesuaikan dengan penyebabnya.
b. Respirasi
Parameter respirasi yang harus dinilai pasca anestesia tertera pada tabel
1.11. Apabila dalam penilaian dalam tabel tersebut dijumpai tanda-tanda
insufisiensi respirasi, segera dicari penyebabnya sehingga dengan cepat
dilakukan usaha untuk memulihkan fungsinya.
Tabel 1.11 Parameter Monitoring Respirasi
Parameter
Suara nafas paru
Frekuensi nafas
Irama nafas
Volume tidal
Kapasitas vital
Inspirasi paksa
PaO2 pada FiO2 30%
PaCO2

Normal
Sama pada kedua paru
10-35x/menit
Teratur
Minimal 4-5 ml/kgBB
20-40 ml/kgBB
-40 cmH2O
100 mmHg
30-45 mmHg

Sumbatan jalan nafas


Pasien tidak sadar sangat mudah mengalami sumbatan jalan nafas akibat:
jatuhnya lidah ke hipofaring, timbunan air liur atau secret, bekuan darah, gigi
yang lepas dan isi lambung akibat muntah atau regurgitasi.

27

Sumbatan bisa terjadi pada daerah: Supra laring (lidah jatuh ke hipofaring, air
liur, bekuan darah dan isi lambung akibat muntah atau regurgitasi), Laring (benda
asing, spasme, edema dan kelumpuhan pita suara), Infra laring (trakeo-malasia,
aspirasi benda asing, dan spasme bronkus).
Usaha penanggulangannya disesuaikan dengan penyebabnya.
Tanpa alat
Tiga langkah jalan nafas
Posisi miring stabil
Sapuan pada rongga mulut

Dengan alat
Pipa oro/nasofaring
Pipa orotrakea
Alat isap

Bila diperlukan, dapat dilakukan bronkoskopi atau trakeostomi.


Depresi nafas:
-

Depresi sentral: paling sering akibat efek sisa opiate, di samping itu bisa

juga disebabkan oleh keadaan hipokapnea, hipotermia dan hipoperfusi.


Depresi perifer : karena efek sisa pelumpuh otot, nyeri, distensi abdomen
dan rigiditas otot.

Usaha penanggulangannya disesuaikan dengan penyebabnya.


c. Sirkulasi
Parameter hemodinamikyang perlu diperhatikan adalah:

Tekanan darah (hipertensi, hipotensi, dan syok)


Tekanan darah normal berkisar 90/50-160/100
Aldreta menilai perubahan tekanan darah pasca anestesia dengan criteria
sebagai berikut:
- Perubahan sampai 20% dari nilai prabedah
- Perubahan antara 2-50% dari nilai prabedah
- Perubahan melebihi 50% dari nilai prabedah

:2
:1
:0

Sebab-sebab hipertensi pasca bedah adala: hipertensi yang diderita


prabedah, nyeri, hipoksia dan hiperkarbia, penggunaan vasopresor, dan
kelebihan cairan.
Sebab-sebab hipotensi/syok pasca bedah adalah: perdarahan, deficit
cairan, depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.
Penanggulangannya, disesuaikan dengan penyebabnya.

Denyut jantung
Denyut jantung normal berkisar 55-120v/menit, dengan irama yang
teratur.
Sebab-sebab gangguan irama jantung:

28

Takikardia,

disebabkan

oleh

hipoksia,

hipovolemia,

akibat

simpatomimetik, demam dan nyeri. Penanganannya disesuaikan


-

dengan penyebabnya.
Bradikardi, disebabkan oleh blok subarakh noid, hipoksia (pada bayi)
dan reflex vagal. Penanganannya disesuaikan dengan penyebab,

umumnya diberikan sulfas atropin.


Disritmia (diketahui dengan EKG), paling sering disebabkan karena
hipoksia. Penanggulangannya adalah: memperbaiki ventilasi dan
oksigenasi. Apabila sangat mengganggu dapat diberikan obat anti
disritmia seperti lidokain. Hal lain yang perlu mendapat perhatian

pasca bedah yang termasuk dalam sirkulasiadalah:


Perdarahan luka operasi
Kemungkinan adanya perdarahan dari luka operasi, selalu harus
diperhatikan. Adanya perembesan darah dari luka operasi atau
bertambahnya jumlah darah dalam botol penampung drainase luka
operasi, perlu dipertimbangkan untuk tindakan eksplorasi kembali.

Bendungan di sebelah distal dari tempat bebat luka operasi bisa


menimbulkan edema dan nyeri di daerah tersebut. Bila hal ini terjadi,

bebat dilonggarkan.
d. Fungsi ginjal dan saluran kencing
Perhatikan produksi urin, terutama pada pasien yang dicurigai risiko tinggi
gagal ginjal akut pasca bedah/anestesia. Pada keadaan normal produksi urin
mencapai > 0,5 cc/kgBB/jam, bila terjadi oliguri atau anuri, segera dicari
penyebabnya, apakah pre renal, renal, atau salurannya. Penanggulangannya
tergantung dari penyebabnya.
e. Fungsi saluran cerna.
Kemungkinan terjadi regurgitasi
anestesia/bedah,

terutama

pada

atau

kasus

muntah
bedah

pada

akut,

periode

pasca

senantiasa

harus

diantisipasi.
Untuk mengantisipasi hal ini, pencegahan regurgitasi atau muntah lebih
penting artinya daripada menangani kejadian tersebut. Akan tetapi bila terjadi
penyulit seperti ini, maka tindakan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk
menguasai jalan nafas.
Walaupun demikian, kemungkinan terjadi aspirasi asam lambung senantiasa
mengancam. Bila hal ini terjadi, pasien dirawat secara intensif di unit terapi
intensif karena pasien akan mengalami ancaman gagal nafas akut.

29

Aktivitas motorik
Pemulihan

aktivitas

motorik

pada

penggunaan

obat

pelumpuh

otot,

berhubungan erat dengan fungsi respirasi. Bila masih ada sisa efek pelumpuh
otot, pasien mengalami hipoventilasi dan aktivitas motorik yang lain, juga belum
kembali normal.
Petunjuk yang sangat sederhana untuk menilai pemulihan otot, adalah menilai
kemampuan

pasien

untuk

membuka

mata

atau

kemampuan

untuk

menggerakkan anggota gerak terutama pada pasien yang menjelang sadar.


Kalau sarana memadai, dapat dilakukan uji kemampuan otot rangka dengan alat
perangsang saraf.
Suhu tubuh
Penyulit hipotermi pasca bedah tidak bisa dihindari terutama pada pasien bayi
atau anak dan usia tua.
Beberapa penyebab hipotermia pada kamar operasi adalah:
1
2
3
4
5
6

Suhu kamar operasi yang dingin.


Penggunaan desinfektan
Cairan infus dan transfusi darah
Cairan pencuci rongga-rongga pada daerh operasi
Kondisi pasien (bayi dan orangtua)
Penggunaan halotan sebagai obat anestesia

Usaha untuk menghangatkan kembali di ruang pulih adalah dengan cara:


1
2
3

Pada bayi, segera dimasukkan dalam inkubator


Pasang selimut penghangat
Lakukan penyinaran dengan lampu

Disamping hipotermi, kemungkinan hipertermi harus diwaspadai terutama yang


menjurus pada hipertermia malignan.
Beberapa hal yang bisa menimbulkan hipertermia adalah:
1
2

Septikemia, terutama pada pasien yang menderita infeksi pra bedah


Penggunaan obat-obatan seperti: atropin, suksinil cholin, dan halotan.

Usaha penanggulangannnya adalah:


1
2
3
4
5

Pasien didinginkan secara konduksi mengggunakan es.


Infus dengan cairan infus dingin
Oksigenasi adekuat
Antibiotika, bila diduga sepsis.
Bila dianggap perlu, rawat di unit terapi intensif.

30

Masalah nyeri
Trauma akibta luka operasi sudah pasti akan menimbulkan rasa nyeri. Hal ini
harus disadari sejak awal dan bila pasien mengeluh rasa nyeri atau ada tandatanda pasien menderita nyeri, segera berikan analgetika.
Diagnosis nyeri ditegakkan melalui pemeriksaan klinis berdasarkan pengamatan
perubahan perangai, psikologis, perubahan fisik, antara lain pola nafas, denyut
nadi dan tekanan darah, serta pemeriksaan laboratorium yaitu kadar gula darah.
Intensitas nyeri dinilai dengan visual analaog scale (vas) dengan rentang nilai
dari 1 sampai 10 yang dibagi menjadi: (1) Nyeri ringan ada pada skala 1-3, (2)
Nyeri sedang ada pada skala 4-7, (3) Nyeri berat ada pada skala 8-10.
Pedoman penangggulangan nyeri pasca bedah menggunakan konsep analgesia
preemptif, melalui pendekatan trimodal dengan analgesia balans, yaitu:
1

Menekan pada proses transduksi di daerah cedera, menggunakan


preparat atau obat; analgesia lokal atau analgetik non steroid atau anti

prostaglandin, misalnya: asam mefenamik, ketoprofen , dan ketorolac.


Menekan pada proses transmisi, mempergunakan obat anlgesia lokal
dengan teknik analgesia regional, seperti misalnya blok interkostal dan

blok epidural.
Menekan pada proses modulasi dengan mempergunakan preparat
narkotika secara sistemik yang diberikan secara intermiten atau tetes
kontinyu atau diberikan secara regional melalui kateter epidural.

Nyeri luka operasi laparotomi, menimbulkan pengaruh yang serius terhadap


fungsi respirasi. Pengembangan diafragma ke arah rongga abdomen akan
menurun, menyebabkan kapasitas residu fungsional akan menurun, sehingga
ventilasi alveolar akan berkurang. Disamping kemampuan batuk pasca bedah
untuk mengeluarkan sputum berkurang, sehingga timbul retensi sputum. Oleh
karena itu, pada pasien laparotomi tinggi yang insisinya mencapai prosesus
xiphoideus dilakukan ventilasi mekanik selama 1x24 jam, selanjutnya pada saat
yang

sama

dipasang

kateter

epidural

untuk

mengendalikan

nyeri

mempergunakan preparat opiat (morfin).


Posisi
Posisi pasien perlu diatur di tempat tidur ruang pulih.

31

Hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah kemungkinan:


1
2
3
4
5

Sumbatan jalan nafas, pada pasien belum sadar.


Tertindihnya atau terjepitnya satu bagian anggota tubuh.
Terjadi dislokasi sendi-sendi anggota gerak.
Hipotensi, pada pasien dengan analgesia regional.
Gangguan kelancaran aliran infus.

Posisi pasien diatur sedemikian rupa tergantung kebutuhan sehingga terasa


aman dan nyaman bagi pasien, antara lain:
1
2
3

Posisi miring stabil pada pasien operasi tonsil


Ekstensi kepala, pada pasien yang belum sadar.
Posisi terlentang dengan elevasi kedua tungkai dan bahu (kepala) pada

pasien blok spinal dan bedah otak.


Posisi elevasi tungkai saja pada pasien syok.

Pemantauan paska anestesi dan kriteria pengeluaran, menggunakan skor


aldrete paska anestesia di ruang pulih.
Tabel 1.12 Aldrete Skor
Obyek
Aktivitas

1
2
3

Respirasi

1
2
3

Tekanan darah

1
2
3

Kesadaran

Warna kulit

1
2
3
1
2
3

Kriteria
Mampu menggerakkan 4
ekstremitas
Mampu
menggerakkan 2
ekstremitas
Tidak
mampu
menggerakkan ekstremitas
Mampu nafas dalam dan
batuk
Sesak
atau
pernafasan
terbatas
Henti nafas
Berubah sampai 20 % dari
pra bedah
Berubah 20-50% dari pra
bedah
Berubah > 50% dari pra
bedah
Sadar baik dan orientasi baik
Sadar setelah dipanggil
Tak ada tanggapan terhadap
rangsang
Kemerahan
Pucat agak suram
Sianosis

Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0

Nilai Total

Penilaian dilakukan pada:


1

Saat masuk

32

Selanjutnya dilakukan penilaian setiap saat dan dicatat setiap lima menit
sampai tercapai total nilai 10. Nilai untuk pengiriman pasien adalah 10.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum mengirim pasien ke ruangan


adalah :
1

observasi minimal 30 menit setelah pemberian obat narkotik atau

penawarnya (nalokson) secara intravena.


Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik, antiemetik atau

3
4
5

narkotik secara intramuskular.


Observasi minimal 30 menit setelah oksigen dihentikan.
Observasi minimal 60 menit setelah ekstubasi.
Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh dokter

spesialis

anestesiologi dan dokter spesialis bedah.

33

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Iva Nur Anita
Usia
: 24 tahun
Jenis Kelamin
: Wanita
Alamat
:Jl. Sawahan No. 3 / Sanan RT 01/08
Tlogowaru - Malang.
Berat Badan
: 54 kg
Register
:1208401
Dirawat di
: Ruang 8
Tanggal dilakukan Anestesi

: 19 Maret 2012

Lama anestesi

: 18.25 19.10 WIB

Diagnosis pra bedah

: G1P0000Ab000 gr 42-43 minggu T/H +


Fetal Compromised + Oligohidramnion +
Panggul sempit relatif + floating head

Jenis pembedahan

: SCTP

Jenis anesthesia

: Regional Anestesia-Sub Arachnoid Block

2.2 PRE-OPERATIVE (19 Maret 2012)


2.2.1.
Anamnesa Pre Operative
Alergi
Medication
Past Medical History
Last Meal
Event

: Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan


: Tidak mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya.
: DM (-), HT (-), Asma (-)
: sejak 11 jam sebelum operasi
: rujukan bidan puskesmas dengan post date 4243 mg dengan panggul sempit relatif dan
kepala tidak masuk PAP.

2.2.2.

Pemeriksaan Fisik

B1 (Breathing)

: Airway paten, nafas spontan reguler, RR 20x,


mallampati 1, gerak leher bebas, tidak ada

B2 (Blood)
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)

obstruksi.
: S1-2 single reguler, TD 120/80, N: 72x/m
: GCS 456, RC +/+
: Produksi urine (+) 30 ml/jam, Douer Cath (+)
: Bising usus (+), TFU sesuai usia kehamilan
: Akral hangat, edema (-/-), CRT<2 detik

2.2.3.
Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi 19 Maret 2012
- Darah Lengkap :

34

Leukosit
Hb
Hematokrit
Trombosit
- Faal Hematostasis
PPT
APTT

: 9.000/l
: 9.6 gr/dl
: 28.1%
: 211.000/l
:
: 10.6 detik
: 27.1 detik

(N : 3.500 10.000 /l)


(N : 11 16,5 gr/dl)
(N : 35,0 50,0 %)
(N : 150.000 390.000 /l)
(kontrol 12,1 detik)
(kontrol 21,3 detik)

Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka pasien ini dikategorikan


ke dalam ASA 2 dengan anemia 9.6 gr/dl.
2.3 DURANTE OPERASI
2.3.1. Laporan Anestesi
- Jenis anestesia
- Teknik anestesia

: Regional anestesia-Sub Arachnoid Blok


: insersi spino catheter 27 G di L3-L4,
barbotage (+), LCS (+).
- Lama anestesi
: 18.25 - 19.10
- Lama operasi
: 18.35 19.10
- Premedikasi
: metoclopramide 10 mg
Ranitidine 50 mg
2.3.2. Tindakan Regional Anestesia
- Posisi anestesi
: duduk, mendekap bantal, kepala menekuk
ke dada, punggung tidak tegang.
- Teknik anestesi
: infiltrasi lokal dengan lidokain 5%
Anestesi regional spinal dengan
bupivacaine 0.5% heavy 12.5 mg dan
morfin 0.1 mg
2.3.3. Monitoring
- Pernafasan
: O2 nasal canule, 2 lpm
- Medikasi durante operasi :
Metoclopramide 10 mg
Ketorolac 30 mg
Asam tranexamat 100 mg
Oxytocin 10 iu i.v
Oxytocin 20 iu drip
- Cairan :
Pre operasi
: RL 2000 cc
Durante operasi
: RL 500 cc
Estimated Blood Volume (EBV)
: 3510 cc
Allow Blood Loss (ABL)
: 700 cc
Maintenance
: 100 cc/jam
O6
: 324 cc
Perdarahan
: 300 cc
Produksi urine PO
: 150 cc
Produksi urine DO
: 50 cc

35

2.3.4. Hemodinamik
140
120
100
80
60

Sistolik

40

Diastolik
Nadi

20
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

2.4 POST-OPERATIVE
2.4.1.
Pemeriksaan Fisik Post Operasi
B1
: Airway Paten, nafas spontan, RR 20 x/mnt, Rh (-), Wh (-),Airway,
B2
B3
B4

mallampati 1, gerak leher bebas, tidak ada obstruksi.


: Akral hangat, kering, merah, nadi 84 x /mnt, TD 120/80
S1S2 single regular, murmur (-)
: sadar penuh, GCS 456, Pupilisokor, reflek cahaya +/+
: terpasang kateter 16 fr, BAK (+), warna kuning jernih (250cc),

produksi urin 50 cc/jam


B5
: BU (+) N, flat, soefl.
B6
: edema (-), CRT <2 detik
Infus
: RL 100 ml/jam
Antibiotika
: sesuai TS Obgyn
Pengobatan lain:
inj
metoclopramide

3 x 10 mg

Inj

3 x 30 mg

2.4.2.

ketorolac

Monitoring
Cek tensi, nadi dan nafas setiap 5 menit selama di RR
Bila muntah, kepala dimiringkan, head down dan suction aktif
Bila masih kesakitan, hubungi PPDS anestesi
Pindah ruangan jika Aldrete score > 8 dan tidak terdapat nilai 0

36

BAB III
PEMBAHASAN
Pada tanggal 19 Maret 2012, pasien Ny. I, wanita berusia 24 tahun
datang ke UGD RSSA Malang atas rujukan bidan puskesmas dengan postdate
42-43 minggu T/H dan panggul sempit relatif. Pada pasien ini akan dilakukan
tindakan SCTP.
Persiapan pre operasi sebelum tindakan operasi sangat penting untuk
mengurangi terjadinya kecelakaan anatestesi. Pada pasien ini evaluasi
preanestesi dilakukan beberapa jam sebelum tindakan operasi dilakukan karena
pasien ini merupakan pasien SC emergency. Penilaian kondisi medis pasien
dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang berkaitan.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak
muncul pada anamnesa. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien in meliputi
tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, serta suhu
dan semuanya di batas normal. Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan
paru-paru. Tidak ditemukan kelainan. Dari pemeriksaan oleh pihak Obgyn
didapati floating head, panggul sempit relative dan oligohidramnion.
Pemeriksaan laboratorium pada pasien ini didapatkan anemia dengan
nilai hemoglobin 9.6 gr/dl. Anemia yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh
adanya perubahan hematologi pada ibu hamil berupa peningkatan volume darah
hingga 45% sedangkan sel merah volume meningkat hanya 30%. Perubahan
peningkatan ini mengarah ke "anemia fisiologis" kehamilan. Namun kondisi ini
bukan kontraindikasi dilakukannya tindakan regional anestesi, sub arachnoid
blok.
Pemeriksaan penunjang lain untuk pasien ini adalah Fetal Non-Stress
Test (NST) dan didapati terjadinya fetal compromise yang bisa membahayakan
nyawa janin.
Dari evaluasi pre operasi, didapatkan diagnosis G1P0000Ab000 gr 42-43
minggu T/H + Fetal Compromised + Oligohidramnion + Panggul sempit relatif +
floating head, dapat disimpulkan bahwa tidak didapatkan kelainan bermakna

37

pada pasien ini yang dapat mengganggu proses anestesi, pasien digolongkan
dalam kategori Mallampati 1. Menurut American Society of Anaesthesiologist
(ASA), status fisik pasien ini bisa diklasifikasikan sebagai ASA 2 yaitu pasien
dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. Pada pasien ini disarankan
untuk dilakukan Regional Anestesia-Sub Arachnoid Block. Inform consent juga
telah dilaksanakan.
Pemilihan spinal anestesia sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien dalam kondisi emergensi, khususnya
bagi janin yang compromised, yang membutuhkan tindakan operasi segera,
sehingga membutuhkan onset cepat dari pemberian anestesi, yang juga memiliki
resiko paling minimal bagi pasien dan janin. Spinal anastesi memiliki onset yang
cepat dan mengeblok neural secara penuh. Obat yang digunakan dapat
diberikan dengan dosis yang rendah, sehingga dapat meminimalisir resiko
terjadinya toksisitas anestesi lokal, dan meminimalisir transfer obat ke janin,
terlebih, kegagalan spinal anestesia lebih jarang terjadi. Sehingga, teknik RASAB menjadi pilihan utama bagi pasien obstetrik yang akan melakukan seksio.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50mg.
Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi
kelenjar. Sedangkan Ranitidine yang merupakan H2 antagonist berfungsi dalam
mencegah terjadinya stress ulcer akibat peningkatan asam lambung yang
berlebihan pada pasien pre operasi. Premedikasi dilakukan 1 hingga 2 jam
sebelum induksi anastesi.
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien dengan
kondisi duduk, meluruskan punggung, tapi tetap dalam keadaan tidak tegang,
dan menundukkan kepala. Lokasi injeksi diberi antiseptik, dengan savlon atau
dengan betadine. Kemudian di infiltrasi lokal dengan lidokain 5%.di area L4-5
dengan menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan insersi spino
catheter ukuran 27 gauge, barbotage (+), dan cairan serebrospinal (+), kemudian
diinjeksikan morfin 0.1 mg bersama dengan bupivacaine 0.5% heavy 12.5 mg.
Kemudian dilakukan pengecekan area sensoris, motoris dan tanda-tanda

38

toksikasi pada pasien. Setelah obat anestesi bekerja, langkah-langkah operasi


bisa segera dilakukan oleh TS obgyn.
Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangatlah
penting dalam keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung.
Selama puasa, pasien diberikan cairan infus sejumlah 2000 cc, 1000 cc sebagai
pengganti cairan kebutuhan pasien selama puasa, dan 1000 cc sebagai loading
dose. Dengan menghitung estimated blood volume (EBV) = 3510 cc, allowed
blood loss = 700cc, kebutuhan cairan maintenance = 100 cc/jam, kebutuhan
cairan durante operasi = 324 cc/jam (O6), serta estimated intraoperative blood
loss maka dapat diperkirakan jumlah cairan yang keluar dan masuk tiap jamnya
demi mempertahankan keseimbangan hemodinamik cairan selama operasi
berlangsung.
Saat operasi akan berakhir, kondisi pasien stabil. Kemudian, berdasarkan
hasil monitoring didapatkan bahwa pasien stabil dengan Aldrete score pada
pasien ini berjumlah 9, yaitu terdiri atas 2 poin untuk warna kulit yang
menunjukkan SpO2 pasien >92% dengan udara ruangan; 2 poin untuk respirasi
di mana pasien dapat bernapas dalam dan batuk dengan bebas; 2 poin untuk
sirkulasi di mana tekanan darah pasien di ruang PACU 120/80 mmHg (termasuk
dalam 20% dari normal); 2 poin untuk kesadaran yang menunjukkan pasien
sadar dan berorientasi;serta 1 poin untuk pergerakan ekstremitas. Dari Aldrete
score yang bernilai 9 tanpa disertai nilai 0, pasien dapat dipindahkan ke ruang
rawat biasa (RR Obg).
Sebelum dipindahkan ke RR Obg, dilakukan pemantauan terlebih dahulu
di RR OK dengan kategori pemantauan sebagai berikut. Kesadaran pasien
didapatkan hasil baik dengan GCS 456. Pemantauan kesadaran dilakukan
sembari memantau posisi karena pasien belum dapat merasakan adanya
tekanan, jepitan, atau rangsangan pada anggota gerak bawah karena hal
tersebut dapat mempermudah terjadinya cedera pada pasien. Respirasi pasien
diperiksa dengan parameter suara nafas paru yag sama pada kedua paru,
dengan frekuensi nafas 20 kali/menit, dan irama nafas yang teratur. Tidak
didapatkan sumbatan jalan nafas dan depresi nafas. Pemantauan sirkulasi
menggunakan parameter antara lain tekanan darah (120/80), dan denyut jantung
(84x/menit). Kondisi hemodinamik pasien dinyatakan dalam batas normal.
Pemantauan fungsi ginjal dan saluran kencing pasien dimonitoring dari produksi

39

urin, dinyatakan normal dengan produksi urin yang positif (200 cc). Sementara itu
fungsi saluran cerna dimonitor dari kemungkinan terjadinya regurgitasi atau
muntah pada periode pasca anestesia atau bedah, pada pasien tidak didapatkan
kedua hal tersebut. Kategori selanjutnya adalah monitoring aktivitas motorik
dengan menilai kemampuan pasien untuk membuka mata dan menggerakkan
anggota gerak, dimana pada pasien kemampuan kemampuan membuka mata
positif, dan kemampuan anggota kemampuan gerak anggota yang terblok
anstesi masih negatif. Pemantauan terakhir adalah pemantauan posisi yang
perlu diatur di ruang pulih, dimana seharusnya pada pasien blok spinal
diposisikan terlentang dengan elevasi kedua tungkai dan bahu (kepala), namun
pada pasien, tidak diposisikan seperti itu.
Ketika tiba di RR Obg, dilakukan pemeriksaan 6B dan didapatkan hasil
sebagai berikut. Pada B1 didapatkan nafas spontan, dengan O2 3 liter/menit dan
respiratory rate 20 kali/menit. Pada B2 didapatkan tekanan darah 120/80 mmHG
dengan nadi 84 kali/menit dan terpasang infus NS drip oksitosin 20 IU. Pada B3
didapatkan kesadaran pasien dengan GCS 456. Pada B4 didapatkan terpasang
Downey Catheter dengan produksi urin sebanyak 250 cc. Pada B5 didapatkan
luka operasi bersih, kontraksi uterus (+) dan tidak didapatkan muntah. Pada B6
didapatkan akral pasien hangat dan tidak didapatkan anemia. Selain itu juga
didapatkan hasil pemeriksaan darah lengkap (post-operasi) dengan leukosit
17.900/l, Hb 11,9 gr/dl, hematokrit 34,9%, dan trombosit 209.000/l. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami leukositosis yang mungkin
dikarenakan sebagai respons inflamasi dari tindakan operatif sedangkan kadar
hemoglobin mengalami perbaikan dengan didukung keadaan klinis pasien yang
tidak lagi anemis.

40

DAFTAR PUSTAKA
Eveline. Anesthesia for the Pregnant Patient. University of Chicago.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
kedua. Jakarta : Universitas Indonesia.
Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Millers
Anesthesia 7th ed. US : Elsevier
Mangku Gde, Senapathi TGA. 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta : Macanan Jaya Cemerlang.
Wlody D. 2003. Complications of Regional Anesthesia in Obstetrics. Sept: 2003
vol 46, number 3, 667-678.

LAPORAN KASUS

ANESTESI REGIONAL SUB ARACHNOID BLOCK


PADA SECSIO CAESARIA

41

Oleh:
Lovita Meika Savitri

0710710019

Norma Rahayu Najihah

0710710039

Hanis Aminah bt John M.

0710714008

Pembimbing:
dr. Buyung Hartiyo Laksono, SpAn

LABORATORIUM/SMF ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG
2012

42

Anda mungkin juga menyukai