Anda di halaman 1dari 6

qwertyuiopasdfghjklzxcvb

nmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjkl
CERPEN
zxcvbnmqwertyuiopasdfgh
Sepasang yang Bertolak Belakang
jklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuio
pasdfghjklzxcvbnmqwerty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwe
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcv
bnmqwertyuiopasdfghjklz
xcvbnmqwertyuiopasdfghj
klzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuio
pasdfghjklzxcvbnmqwerty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwe
Oleh :

Novalia Larissa Fandhira (14)


X AcP

SEPASANG YANG BERTOLAK BELAKANG

Bunyi percikan air itu mengiringi langkah kecilku menyusuri


Jalan Malioboro. Meski hujan tidak deras, angin malam ini cukup
mampu membuatku menggigil. Semakin kurapatkan jaket tipisku ini.
Namun ku ingin tetap berjalan. Tak peduli jariku yang semakin
membeku, tak peduli pula kakiku yang terasa gemetaran. Ku hanya
ingin rasa perih hatiku ini luntur bersama aliran air.
Hati hati dong Mbak kalau jalan! kata seorang pemuda
saat aku menginjak kakinya.
Maaf Mas. Saya tidak sengaja. jawabku sambil kupandang
wajah tirusnya.
Wajahnya aneh. Pikirku dalam hati. Namun kupandang lagi
wajahnya. Kudalami lekuk lekuk wajah tirusnya itu. Tak salah lagi.
Mas Bambang? kataku sambil memegang pundaknya.
Diam. Pemuda itu hanya diam dan memandangi wajahku.
Badan tegapnya sama sekali tak bergerak. Seolah olah ia sedang
berpikir. Pandangannya seperti menghakimiku. Atau mungkin ia
bukan Mas Bambang. Pikirku lagi dalam hati. Dulu Mas Bambang
pernah berjanji akan mengabariku jika ia telah kembali ke Jogja. Ya
mungkin ia hanya seseorang yang mirip dengan Mas Bambang.
Hm. Maaf Mas. Saya kira Anda adalah teman saya. kataku
sambil menarik tanganku dari bahunya. Namun saat aku siap tuk
berjalan kembali, kurasakan tanganku dicengkeram kuat.
Iya. Saya Bambang. Kamu Wulan? katanya dengan nada
ragu.
Iya Mas. Ini Wulan. Mas beneran Mas Bambang? Duh Gusti.
Akhirnya Mas Bambang pulang ke Jogja. Aku kangen lho Mas.
jawabku dengan semangat.
Maaf ya tadi Mas agak pangling sama wajahmu. katanya
singkat.
Tidak apa apa Mas. Mas kok tidak kasih kabar sih kalau
sudah pulang ke Jogja? tanyaku penasaran.
Tidak ada jawaban. Mas Bambang hanya diam. Wajahnya
terlihat bingung. Namun tiba tiba ia menarikku dan mengajakku

berlari. Kuturuti saja kemana pun ia mengajakku berlari. Hingga


akhirnya kita tiba di salah satu angkringan yang cukup nyaman dan
teduh.
Hujannya semakin deras. Sebaiknya kita ngobrol disini saja
ya. kata Mas Bambang dengan nafas tersengal, namun tetap
dengan senyum manisnya.
Mas Bambang tidak berubah. Masih baik seperti dulu saat
membantuku bersembunyi dari kejaran anjing. Juga saat
menolongku turun dari pohon waktu aku marah kepada mama.
Aku hanya dapat tersenyum di balik rasa bahagiaku ini. Mas
Bambang yang dulu pergi ke ibukota menyusul ayahnya kini telah
kembali. Lelaki yang sejak dulu sudah kuanggap kakak ini menepati
janjinya untuk kembali ke jogja, meskipun tak mengabariku terlebih
dahulu.
Kamu mau pesan apa
menghamburkan lamunanku.

Wulan?

kata

Mas

Bambang

Ha? Hm. Sama seperti Mas Bambang saja deh. jawabku


gugup.
Baiklah. Wedang ronde dua ya Mbak. katanya kepada
pelayan angkringan tersebut. Bagaimana kabar kamu Wulan?
tambahnya.
Kujawab pertanyaan sederhana itu dengan santai, juga
kutambahi dengan sedikit candaan. Rasa perih di hatiku kini sudah
mulai luntur.
Obrolan kami semakin banyak. Tentunya dengan diselingi
canda dan tawa. Aku sering bertanya kepada Mas Bambang tentang
beberapa kenangan saat kami masih kecil. Rasanya seperti kembali
pada masa masa itu. Masa masa dimana aku hanya seorang
gadis polos yang tidak menanggung beban.
Hingga kulihat jam tangan klasikku, tak kusangka jarum
pendek telah menunjukkan angka 9. Kusampaikan kepada Mas
Bambang bahwa aku harus segera pulang atau aku akan dimarahi
mama. Akupun menawarkan agar ia mampir sebentar ke rumahku.
Ibu pasti sangat senang akan kehadirannya.
Baiklah Wulan. Aku akan mengantarmu ke rumah. Tak baik
kan anak perawan malam malam jalan sendirian. ujar Mas
Bambang lembut.

Hah? Aku terkejut mendengar ucapan Mas Bambang tadi.


Namun aku mencoba menepis perasaan tidak enak itu. Aku akan
mencoba melupakannya.
Akhirnya kami berjalan menyusuri Jalan Malioboro lagi. Hujan
tinggal menyisakan gerimis gerimis kecil. Jejeran pertokoan telah
kami lewati. Hingga tiba tiba, seorang lelaki dengan jaket kulit
hitam menabrakku hingga membuatku terjengkang. Lalu terdengar
suara tawa laki laki di seberang sana.
Kepalaku kini pusing. Dan seketika aku berteriak sekeras
kerasnya. Aku takut. Ku tak peduli Jalan Malioboro kini sedang
ramai. Aku terus berteriak ketakutan. Kututup telingaku. Dalam
bayang bayang kulihat Mas Bambang di depanku bingung. Terasa
banyak orang yang mengelilingiku. Hingga akhirnya ku tak sadarkan
diri.
Putih. Semua putih saat kubangun dari tidur panjang ini. Aku
tahu ini bukan kamarku. Kulihat mama duduk di kursi dekat
ranjangku.
Ma. Ini rumah sakit ya? kataku lirih.
Wulan kamu sudah sadar ya. Alhamdulillah nduk. Iya ini di
rumah sakit. Nak Bambang semalem nganterin kamu kesini.
Katanya kamu teriak teriak ketakutan terus pingsan. Kamu tidak
apa apa kan nduk? ujar mama dengan nada khawatir.
Aku berteriak? Oh aku ingat malam itu. Aku sebenarnya ingin
bercerita, namun aku belum siap. Aku takut. Aku sangat takut.
Akhirnya kuputuskan aku akan bercerita setelah pulang dari rumah
sakit ini. Mama memang seharusnya mengetahui keadaan anaknya
sekarang. Aku juga akan bercerita kepada Mas Bambang nanti.
Besoknya, aku pulang dari rumah sakit ini. Aku meneguhkan
hatiku untuk bercerita kepada mama dan Mas Bambang. Siang ini
Mas Bambang ikut menjemput dan mengantarku sampai rumah.
Ma, Mas Bambang. Aku mau cerita boleh kan. ujarku hati
hati.
Ya boleh toh nduk. Mau cerita apa? jawab mamaku masih
dengan suara lembutnya.
Aku......... Aku... Aku diperkosa. kataku lirih.
APAA? teriak mama dan Mas Bambang hampir bersamaan.
Ya aku tak heran jika mereka terkejut. Akhirnya ku ceritakan semua
kejadian 5 hari yang lalu. Kejadian yang sangat memilukan hatiku.

Ditambah lagi, aku tidak mengetahui siapa yang telah melakukan


hal nista itu. Tak lupa aku pun bercerita alasanku berteriak tak jelas
malam itu. Ya. Aku serasa dilanda deja vu dengan keadaan malam
itu. Hampir seperti malam saat lelaki itu merenggut kehormatanku.
Mas Bambang dan mama seolah mengerti bagaimana
perasaanku sekarang. Mama juga bersikeras ingin menangkap
pelaku pemerkosaan ini. Perasaanku sedikit terasa tenang sekarang.
Beban yang ada di pundakku kini mulai terangkat satu persatu.
Esoknya mama dengan bantuan Mas Bambang mengurus
segala berkas untuk laporan tindakan kriminal tersebut. Akhirnya
polisi segera mencari dan berusaha menangkap penjahat tersebut
menurut info info yang aku berikan.
Beberapa hari kemudian aku sudah mulai melupakan
kejadian memilukan itu. Hingga suatu hari, di sebuah mall yang
cukup terkenal di Jogja, aku berniat jalan jalan dan cuci mata
dengan fashion yang sedang tren sekarang. Tak kusangka di sebuah
cafe aku melihat Mas Bambang dengan seorang laki laki yang
bertubuh gemuk penuh dengan tato. Saat ku akan mendekati dan
menyapanya,
aku
mendengar
percakapan
yang
sangat
mencengangkan. Akhirnya aku duduk di kursi yang sekiranya tidak
dapat mereka lihat, namun aku dapat mendengar suara mereka.
Yok, kamu itu sudah gila ya. Setelah cewek itu kamu
perkosa, sekarang kamu malah pura pura jadi temennya. kata
laki laki penuh tato itu.
Hahaha! Aku kan menyamar jadi adik kembarku sendiri.
Lagipula sebelum dia meninggal, dia kan titip putri kecilnya itu ke
aku. Jadi terserah dong mau aku apain aja. Jawab Mas Bambang
yang dipanggil dengan sebutan Yok oleh temannya itu.
Perkosa? Adik kembar? Apa mungkin? Hatiku semakin
bergejolak tak karuan. Akhirnya kuputuskan untuk meminta
penjelasan langsung kepada Mas Bambang. Kuhampiri tempat
duduknya, dengan harapan, ia orang lain, bukan Mas Bambang
yang aku kenal kemarin.
Wulan! Sejak kapan kamu ada di sini? ujar Mas Bambang
terkejut. Pupuslah sudah harapanku bahwa ia bukan Mas Bambang.
Siapa kamu? Dimana Mas Bambang? tanyaku penuh
amarah.
Hm. Baiklah jika kamu mau jawaban jujur. Kenalkan, aku
Aryo saudara kembar Bambang. Aku dulu tinggal bersama papaku,

sedangkan Bambang sama mamaku. Dan abang tersayangmu itu


kini telah mati. jelasnya panjang lebar yang semakin membuat
hatiku remuk.
Tak perlu waktu lama tangisku langsung tumpah. Dan kamu
yang telah....
YA! Aku yang malam itu memperkosa kamu! Asal kamu
tahu, malam sebelum Bambang meninggal, ia menitipkan kamu
kepada aku. Jadi, terserah aku dong mau melakukan apa
kepadamu! jawab Mas Bambang, oh bukan, Mas Aryo dengan cepat
namun tegas.
Ta tapi kenapa Mas? Kenapa Mas tega perkosa dan
berbohong kepadaku seperti ini? tanyaku diiringi isak tangis yang
semakin menjadi jadi.
Aku... Aku tidak rela saudara kembarku tersiksa karena terus
menerus khawatir akan peri kecilnya yang ada di Jogja. Asal kamu
tahu ya! Ia mati karena stres mikirin kamu! Juga stres karena
larangan mama papa agar ia tidak kembali ke Jogja! Semua karena
kamu, Wulan! jelasnya lagi yang semakin menusuk dan
meremukkan hatiku.
Spontan kudorong tubuhnya dan berlari keluar dari cafe itu.
Dengan isak tangis yang masih mengiringi langkahku, aku keluar
dari mall dan terus berlari. Biarpun hujan kini mengguyur tubuhku,
aku tak peduli.
Setelah kuceritakan semuanya kepada mama, akhirnya
mama melaporkan Mas Aryo ke polisi. Polisi segera mencari Mas
Aryo. Dan kabar terakhir yang kudengar, ia telah berhasil ditangkap
dan dipenjarakan. Kini aku menjalani sisa hidupku dengan perih luka
dan juga trauma yang mendalam akan kenangan pahit ini. Namun
setiap hari, aku tak pernah lupa untuk mendoakan Mas Bambang
yang telah tenang di alam sana.

Anda mungkin juga menyukai