Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN
Bahwa sejak manusia mulai hidup bermasyarakat, maka sejak saat itu sebuah gejala yang
disebut masalah sosial berkutat di dalamnya. Sebagaimana diketahui, dalam realitas sosial
memang tidak pernah dijumpai suatu kondisi masyarakat yang ideal. Dalam pengertian tidak
pernah dijumpai kondisi yang menggambarkan bahwa seluruh kebutuhan setiap warga
masyarakat terpenuhi, seluruh perilaku kehidupan sosial sesuai harapan atau seluruh warga
masyarakat dan komponen sistem sosial mampu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan
yang terjadi.
Pada jalur yang searah, sejak tumbuhnya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai obyek
studi kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi masalah sosial mulai dilakukan. Dari
masa ke masa para Sosiolog mengumpulkan dan mengkomparasikan hasil studi melalui
beragam perspektif dan fokus perhatian yang berbeda-beda, hingga pada akhirnya semakin
memperlebar jalan untuk memperoleh pandangan yang komprehensif serta wawasan yang
luas dalam memahami dan menjelaskan fenomena sosial.
Masalah sosial menemui pengertiannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan
dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang
telah disepakati. Keberadaan masalah sosial di tengah kehidupan masyarakat dapat diketahui
secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang salah satunya berupa
tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan
sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan
adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan system blame approach.
Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada
level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Melalui
diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang mungkin berasal dari
kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
Sedangkan pendekatan system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami
sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan
struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga
masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat
menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu mendorong adanya
tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Perwujudan kesejahteraan setiap
warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan negara. Di
lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah sosial jika menghendaki
kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
Salah satu contoh masalah sosial ialah kemiskinan dalam masyarakat. Kemiskinan adalah
keadaan di mana terjadi kekurangan hal-hal secara umum seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung dan air minum. Hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan
kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu
mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga
negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara
subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,

dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah negara
berkembang biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang miskin.
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten, tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah
persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh
manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Kemiskinan merupakan masalah yang selalu ada pada setiap Negara. Permasalahan
kemiskinan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang saja, bahkan di negara maju
juga mempunyai masalah dengan kemiskinan. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang rumit,
walaupun fakta menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di negara berkembang jauh lebih
besar dibanding dengan negara maju. Hal ini dikarenakan negara berkembang pada umumnya
masih mengalami persoalan keterbelakangan hampir di segala bidang, seperti : kapital,
teknologi, kurangnya akses-akses ke sektor ekonomi, dan lain sebagainya.
Dengan melihat dari sisi negara berkembang salah satunya adalah Negara Indonesia,
percapaian pembangunan manusia di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara
tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Dalam laporan pembangunan
manusia (Human development Report 2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat
menengah dalam pembangunan manusia global (Medium Human Development) dengan
peringkat ke-110 dari 177 negara. Negara Indonesia yang pada saat ini masih berada pada
tahap pemulihan restrukturisasi di bidang ekonomi dan juga perubahan-perubahan di bidang
sosial politik. Dalam proses ini tidak dapat dihindari semakin meluasnya kesenjangan
antarkelompok, juga antar daerah yang kaya dan daerah miskin, terutama kesenjangan Indek
Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tentang masalah kemiskinan.
Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan
program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa
Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar
7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih
sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang.
Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak Ekonom yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada
akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan
kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis
ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS
persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi sebesar 17,4
persen dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada
tahun 2001, persentase keluarga miskin (Keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001
mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka-angka
ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum
berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
BAB 2

INTENSITAS DAN KOMPLEKSITAS MASALAH


Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk
minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka
tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan
lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan telah membuat perangkap-perangkap ketidakberuntungan yang melilit kehidupan
sebagian masyarakat kita. Kemiskinan telah melahirkan generasi busung lapar di berbagai
daerah, putus sekolah dan lestarinya kebodohan di tengah masyarakat bahkan realitas
kemiskinan telah menjadi sumber berbagai kejahatan. Kemiskinan juga membuat kita seperti
hilangnya kebebasan sebagai orang merdeka.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif
dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong
miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara
yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika
Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era
kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris
berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan
upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di
permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti : prostitusi,
kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa
depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat
sebagai negara adidaya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam
kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara
lain. Namun dibalik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah
penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa
penduduk yang tergolong miskin (Survei Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah
penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di
perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996
(sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta
jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin
diperkirakan makin bertambah.
Anggaran negara kita tidak cukup kuat untuk menyuplai masyarakat miskin. Karena hampir
separonya sudah terkuras habis untuk membayar cicilan utang. Tahun 2006, pemerintah
terpaksa harus membayar utang negara cicilan pokok plus bunga bank sebesar 42 % dari

APBN. Pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2006 mencapai Rp. 91,71
triliun dan utang dalam negeri sebesar 74,93 triliun, dengan total Rp 166,64 triliun.
Sebagai contoh nyata melihat data yang dicatat Badan Pusat Statistik jumlah penduduk
miskin di Sumatra Utara hingga Maret 2007 mencapai 1,768 juta jiwa dengan perhitungan
telah terjadi angka penurunan dari 1,980 yang tercatat di bulan Mei 2006. Karena
pertumbuhan ekonomi sebesar 8,44 persen. Meski begitu masih perlu dilakukan berbagai
pembinaan terhadap masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan itu.
Terutama pemberdayaan perempuan yang tersentuh langsung pada persoalan budget, karena
kaum perempuan adalah manager dalam rumah tangga yang mengatur keuangan untuk
berbagai keperluan. Kemiskinan seringkali menyeret manusia kepada tindakan yang merusak
diri dan menjadi lahan pemanfaatan orang lain. Bisa dilihat dari banyaknya kasus bunuh diri
yang dilakukan para ibu disertai anak-anaknya dengan alasan kemiskinan.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan
buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas,
penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena
lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak
mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia hingga mereka
tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan
pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai
aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya
kualitas SDM, interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada
terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah
mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme,
malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses
terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminasi, posisi lemah dalam proses
pengambil keputusan.
Sebagai contoh dikriminasi, praktik diskriminasi merupakan tindakan pembedaan untuk
mendapatkan hak dan pelayanan kepada masyarakat dengan didasarkan warna kulit,
golongan, suku, etnis, agama, jenis kelamin, dan sebagainya. Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan
perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pengangguran,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain.
Dari segi peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan perundang-undangan telah
diarahkan untuk menghapuskan kesenjangan dan menghilangkan praktik diskriminasi, antara
lain untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, suku etnis, kelompok rentan, dan
kelompok minoritas.
Namun, perubahan yang diharapkan belum terwujudkan secara optimal, antara lain
disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada belum dijadikan acuan dalam
melakukan tindakan untuk dijadikan dasar hukum pada proses hukum penanganan kasus atau

perkara. Diskriminasi juga terjadi pada kehidupan masyarakat miskin atau kurang mampu.
Akses untuk mendapatkan pelayanan khususnya pelayanan kesehatan masih sering
menimbulkan diskriminasi, terutama kepada golongan masyarakat miskin dan menimbulkan
ketidakadilan. Hal tersebut antara lain, disebabkan rendahnya kepedulian sosial
penyelenggara rumah sakit.
Di samping itu, dikarenakan tidak adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang
mempunyai aturan kekuatan hukum dan sanksi yang tegas bagi rumah sakit yang menolak
memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien miskin, menyebabkan penolakan dan
penahanan rumah sakit terhadap pasien miskin masih sering terjadi.
Belum lagi sikap dan komitemen pemerintah dalam kebijakan dan program Pro Poor yang
masih perlu dipertanyakan. Pemerintah daerah pun banyak yang melahirkan kebijakan
kontraproduktif yang lebih memprioritaskan fasilitas bagi para pejabat. Misalnya : mobil
dinas baru, rumah baru, dan uang kehormatan bagi anggota Dewan, fasilitas rekreasi yang
dibungkus dengan program studi banding dan fasilitas-fasilitas lainnya yang jauh dari
kepentingan publik.
Boleh jadi kompleksitas problem tersebut yang membuat pemerintahan SBY-JK sebagai ikon
perubahan gagal mewujudkan impian masyarakat. Sesuai dengan hasil polling yang
dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), 50% masyarakat Indonesia menilai pemerintah
belum berhasil mengatasi problem ekonomi, terutama masalah kemiskinan.
Pemerintah harus mencari format baru yang lebih ideal dalam melakukan proses pembinaan
pada masyarakat miskin. Puluhan tahun birokrasi mengelola anggaran masyarakat miskin
belum juga ada hasil yang optimal. Problemnya masih tetap klasik, prosedurnya birokratis,
pendampingan kurang efektif sampai pada monitoring dan evaluasi yang kurang optimal.
Program masyarakat miskin terkesan hanya formalitas. Selain itu masih terjadi
penyimpangan di sana sini, karena strategi penanganan yang kurang tepat bersifat temporer
dan berkelanjutan.
BAB 3
LATAR BELAKANG MASALAH
Bank Dunia menyatakan Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup
manusia yang bisa berupa fisik dan sosial. Kekurangan fisik adalah ketidakcukupan
kebutuhan dasar materi dan biologis (basic material and biological needs) termasuk
kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Ketidakcukupan sosial adalah
adanya resiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri
yang kurang.
Peraih hadiah Nobel Amartya Sen mengatakan, kemiskinan adalah kegagalan memenuhi
kapabilitas minimum tertentu (poverty is the failure to have certain minimum capabilities).
Kapabilitas melekat pada kemampuan yang ada pada diri si miskin sendiri, dan dapat
ditingkatkan dengan upaya yang sistematik. Makanya penanggulangan kemiskinan tidak
semata-mata memenuhi kebutuhan dasar material, jauh lebih dari itu bagaimana mengatasi
ketidakcukupan pelayanan pendidikan, kesehatan hingga kepuasan psikologis dan
keberdayaan untuk menopang hidup diri sendiri, lepas dari ketergantungan terus menerus
pada pihak lain.

Kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural.


Kemiskinan alamiah adalah kondisi di mana kemiskinan terjadi akibat faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosial (malas, kurang trampil, kurang kemampuan intelektual, lemah fisik,
dll). Lingkungan fisik membuat orang sulit melakukan usaha atau bekerja. Kemiskinan
struktural terkait dengan ketidakadilan dalam perbandingan nilai pertukaran (terms of trade)
antara nilai barang dan jasa yang dihasilkan dan dijual oleh si miskin dibandingkan dengan
nilai barang dan jasa yang harus dibelinya. Termasuk ketidakadilan dalam pembayaran jasajasa pekerja (upah yang rendah dan eskploitasi pekerja). Juga pengenaan pungutan yang
memberatkan dan relatif memeras rakyat kecil.
Menurut teori konservatif, kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial, tetapi dari
karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Misalnya : malas, boros, tidak
merencanakan kehidupannya, dan pasrah pada keadaan. Orang miskin mempunyai budaya
miskin (culture of poverty). Mereka miskin karena mereka miskin.
Penyebab orang menjadi miskin adalah karena ia terjebak dalam perangkap kemiskinan
(kemiskinan materil, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan). Ini
masalah sosial dan kultural. Makanya penanggulangan kemiskinan mesti melibatkan
transformasi sosial dan kultural juga, termasuk perubahan nilai-nilai (misal : etos kerja).
Pembagian sesuatu yang gratis adalah langkah tidak karena membudayakan kemiskinan.
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan :

Penyebab individual atau patologis (yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan atau kemampuan dari si miskin)
Penyebab keluarga (yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga)

Penyebab sub-budaya / subcultural (yang menghubungkan kemiskinan dengan


kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar)

Penyebab agensi (yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,
termasuk perang, pemerintah dan ekonomi)

Penyebab struktural (yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil


dari struktur sosial)

Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di
Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia), misalnya : memiliki jutaan masyarakat
yang diistilahkan sebagai pekerja miskin, yaitu orang yang tidak sejahtera atau rencana
bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan
kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang
miskin. Hal itu antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan
kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat
memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin

seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, programprogram bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah :
sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) serta dibebaskannya biaya-biaya
pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri
sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan
yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan
sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan
perencanaan nasional yang sentralistik dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman
dan fokus pada indikator dampak.
Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat
keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang
mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat
budaya maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan
lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (Pemerintah kabupaten / kota).
Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten
Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya
dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu
pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27
persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan
BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84%.
Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena
data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara
alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung
BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya
(walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta
perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun data makro tersebut mempunyai
keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target
sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga
atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin diperlukan data mikro yang
dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal.
Secara garis besarnya, ada 3 faktor penyebab kemiskinan yang menimpa masyarakat saat ini,
yaitu :

1. Kemiskinan Alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami


seseorang, misalnya : cacat mental, cacat fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu
bekerja, dan lain-lain.
2. Kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas
SDM akibat kultur kebiasaan masyarakat tertentu, misalnya : sifat malas, tidak
produktif, bergantung pada harta orang tua, harta warisan, berjudi, kecanduan
narkoba, kebiasaan menghayal tanpa kerja dan lain-lain.
3. Kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang
digunakan oleh negara dalam mengatur urusan rakyat. Misalnya : bencana alam dan
pendistribusian bantuan bencana alam, tidak sampainya informasi-informasi kepada
orang miskin baik mengenai keuangan, pendidikan dan kesehatan serta informasiinformasi lainnya.
Faktor penyebab kemiskinan nomor satu dan nomor dua masuk kepada kategori penyebab
faktor utama secara individu yang tergantung kepada perseorangan atau bergantung kepada
orang tersebut. Kelemahan individu pada nomor 2 ini biasanya kelemahan yang
penyebabnya adalah orang itu sendiri, bukan disebabkan oleh orang lain walaupun dia berada
dalam lingkungan suatu masyarakat yang penuh dengan peluang rezeki.
Sedangkan penyebab nomor tiga adalah masuk kepada kategori publik (masyarakat) dan
sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan angka kemiskinan. Kemiskinan jenis inilah
yang menjadi fenomena di berbagai negara dewasa saat ini, baik di negara-negara sedang
berkembang maupun di negara-negara maju. Bahkan problema ekonomi sesungguhnya bukan
kelangkaan keuangan di perbendaharaan negara, melainkan karena buruknya pendistribusian.
Fakta menunjukkan bahwa kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang
yang ada tidak sepenuhnya sampai kepada orang-orang miskin.
Selain itu penyebab dasar kemiskinan dapat terjadi, antara lain :
1. Kegagalan pemilikan (terutama tanah dan modal).
2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar (sarana, dan prasarana).
3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor.
4. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan dan sistem yang
kurang mendukung.
5. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern).
6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat.
7. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya
alam dan lingkungannya.
8. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good goverment)
9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Selain penyebab dasar di atas, bahwa kemiskinan dapat juga disebabkan karena :

1. Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar,


seperti : modal sumber daya manusia (pendidikan formal, ketrampilan, dan kesehatan
yang memadai), modal produksi (lahan dan akses terhadap kredit), modal sosial
(jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik), sarana fisik
(akses terhadap prasarana jalan seperti jalan, air bersih, listrik), termasuk yang hidup
di daerah terpencil.
2. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena : krisis
ekonomi, kegagalan panen karena hama, banjir, atau kekeringan, kehilangan
pekerjaan (PHK), konflik sosial dan politik, korban kekerasan sosial dan rumah
tangga, bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global), musibah (jatuh
sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit).
3. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam
institusi negara dan masyarakat karena : tidak ada kepastian hukum, tidak ada
perlindungan dari kejahatan, kesewenang-wenangan aparat, ancaman dan intimidasi,
kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan
kemiskinan, rendahnya posisi tawar masyarakat.
Alasan lain penyebab masalah kemiskinan dilihat dari aspek pemenuhan hak-hak dasar,
kependudukan, ketidakadilan dan kesetaraan gender, antara lain :

Kegagalan pemenuhan Hak Dasar

Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan
memenuhi persyaratan gizi masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin, rendahnya
kemampuan daya beli masyarakat merupakan persoalan masyarakat miskin.

Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan. Masalah utama yang
menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses
terhadah pelayanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar,
kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan
kesehatan reproduksi. Masalah lain, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar
disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya
sarana kesehatan. Pada umumnya tingkat kesehatan masyarakat miskin masih rendah.
Angka Kematian Bayi (AKB) pada kelompok pendapatan rendah selalu di atas AKB
kelompok pendapatan tinggi.
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Pembangunan pendidikan
merupakan salah satu upaya penting dalam penanggulangan miskin. Berbagai upaya
pembangunan pendidikan yang dilakukan secara signifikan telah memperbaiki tingkat
pendidikan.

Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Masyarakat miskin umumnya


menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang usaha,
lemahnya perlindungan terhadap asset usaha, perbedaan upah serta lemahnya
perlindungan kerja terutama pekerja anak dan pekerja perempuan seperti pembantu
rumah tangga. Masyarakat miskin memiliki modal yang terbatas dan kurang
ketrampilan maupun pengetahuan.

Memburuknya kondisi lingkungan akibat bencana Tsunami. Meningkat jumlah


masyarakat miskin di Nanggroe Aceh Darussalam juga turut disebabkan terjadinya
bencana alam dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Masyarakat di daerah

pedesaan, perkotaan dan kawasan pesisir yang sangat terkena dampak sosial budaya
dan ekonomi.
Ada dua masalah pokok dalam kemiskinan, yaitu faktor penyebab dan dampak-dampak yang
ditimbulkannya serta penanganannya :
1. 1. Faktor Penyebab
Faktor penyebab kemiskinan adalah berbagai situasi yang memberi ruang akan terjadinya
insiden kemiskinan, baik yang menyangkut situasi sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya
maupun situasi-situasi alami yang terjadi di luar perhitungan manusia. Termasuk dalam
kategori ini adalah berbagai krisis yang terjadi baik akibat situasi dalam negeri maupun
akibat dampak persoalan global. Krisis moneter sebagai dampak persoalan global merupakan
faktor yang sangat berpengaruh.
1. Dampak yang ditimbulkan
Dampak yang ditimbulkan akibat kemiskinan sangat beragam mencakup hampir semua
dimensi kehidupan masyarakat dan negara. Terjadinya berbagai permasalahan sosial seperti
kejahatan, ketunasosialan, keterlantaran, keterasingan, merupakan manifestasi dan
kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan terbukti menjadi faktor utama rapuhnya ketahanan
tatanan sosial sebuah keluarga, suatu komunitas, kelompok atau masyarakat, bangsa dan
bahkan negara.
BAB 4
PENANGANAN MASALAH BERBASIS MASYARAKAT
Tahun 2003 dilaksanakan uji coba model rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) terhadap
penyandang cacat (Penca). RBM adalah sistem pelayanan yang dilaksanakan dari, oleh dan
untuk masyarakat. Gambaran riil di lapangan pelaksanaan uji coba ini model ini
dimungkinkan dapat berfungsi sebagai informasi bagi policy maker dalam penyempurnaan
program yang akan datang dan informasi bagi Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan
pelayanan sosial Penca. Pengembangan pelayanan RBM ini dimaksudkan untuk memperluas
jangkauan pelayanan bagi Penca khususnya yang berada di pelosok perdesaan. Hal ini
didasarkan perkiraan WHO, bahwa jumlah penca sebanyak 10% dari populasi penduduk
Indonesia, dimana 65,5% tinggal di desa. Pengembangan sistem pelayanan ini didasari atas
pertimbangan bahwa sejak lama pada masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya di
pedesaan telah tumbuh dan berkembang nilai budaya saling menolong dan saling membantu
ketika ada warga yang sedang ditimpa musibah, sedang hajatan dan lain sebagainya. Nilai
budaya seperti itu dimungkinkan untuk dikembangkan guna mengatasi berbagai
permasalahan sosial dan khususnya masalah sosial Penca yang ada di masyarakat.
Salah satu lokasi pelaksanaan uji coba model adalah Desa Aikmual yang merupakan salah
satu dari 14 desa dan kelurahan di wilayah Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah
Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang jumlah penduduknya: 2.135 KK (9.888 jiwa : 4.595 jiwa
laki-laki dan 4.893 jiwa perempuan) dan luas wilayah 8,98 km2. Di desa tersebut terdapat 54
orang Penca (cacat tubuh : 33 orang, cacat netra : 9 orang, cacat mental : 3 orang, cacat
mental (Psikotik/Gila) : 2 orang, tuna wicara : 5 orang; dan penyakit kronis (TB Paru : 2
orang serta kusta : 1 orang). Dilihat dari sisi kecacatan : terdapat 11 orang cacat berat, 35

orang cacat sedang, dan 8 orang cacat ringan. Sedangkan dari tingkat pendidikan: tamat SMA
2 orang, tamat SMP 4 orang, tidak tamat SMP 3 orang, tamat SD / SLB 12 orang dan tidak
tamat SD / SLB 24 orang.
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pemetaan sosial adalah identifikasi terhadap
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) khususnya Penca maupun sumber
kesejahteraan sosial (SKS) yang ada di Desa Aikmual. Serangkaian kegiatan orientasi dan
konsultasi, sarasehan, dan pemetaan sosial tersebut dilakukan oleh aparat instiusi sosial baik
pusat, propinsi dan kabupaten. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ujicoba model adalah:
kader RBM, aparat desa, pemuka masyarakat, aparat kecamatan, aparat PUSKESMAS, dan
instansi sosial baik kabupaten maupun propinsi. Uji coba model ini dilaksanakan di balai desa
dan rumah kepala desa.
Mereka juga berpendapat, Penca juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945 : Setiap warga negara berhak atas taraf kehidupan
yang layak sesuai harkat dan martabatnya. Mereka juga menyatakan setuju jika kepada Penca
dilakukan pemberdayaan secara terencana dengan dukungan dana dan peralatan yang
memadai serta kerjasama antara pihak pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya, mereka juga
setuju jika kepada para Penca dilakukan pendataan, yang dengan pendataan itu diketahui
jumlah penca, jenis kecacatan mereka, kebutuhan yang diperlukan dan permasalahan sosial
yang mereka dihadapi. SKS yang ada di Desa Aikmual antara lain: TKSM / PSM, Karang
Taruna, Orsos (Panti Asuhan Anak, Panti Lanjut Usia), dan lembaga keagamaan IslamPondok Pesantren. Di samping itu, juga tersedia tenaga profesional dokter. Selanjutnya,
menurut kader RBM, dalam upaya pemberdayaan Penca dibutuhkan pembekalan / pelatihan
keterampilan secara memadai dan setelah itu diberikan bantuan stimulan sebagai modal awal
usaha, yang dapat berwujud peralatan kerja ataupun bantuan finansial.
Menurut mereka sumber dana dapat berasal dari : Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten
maupun dari swadaya masyarakat. Dalam uji coba model, kepada Penca diberikan berbagai
jenis bimbingan, yaitu kesehatan, sosial, dan keterampilan. Menurut Penca jenis-jenis
bimbingan tersebut dirasakan masih kurang, karena mereka belum memperoleh informasi
secara jelas dan lengkap, tidak memperoleh alat bantu yang diperlukan sesuai tingkat
kecacatan mereka, dan tidak memperoleh peralatan usaha maupun modal usaha. Namun
demikian, menurut mereka, pelaksanaan uji coba model berjalan cukup baik karena ada
kerjasama yang baik aparat desa, kecamatan / Puskesmas, instansi sosial kabupaten, instansi
sosial propinsi dengan pemuka masyarakat. Pemuka masyarakat, pengurus Osos, dan aparat
desa menyatakan sangat setuju jika mereka harus mengambil peran dalam penanganan
permasalahan penca, dan mereka semua menyatakan terlibat (berpartisipasi) dalam kegiatan
ujicoba model.
Bentuk partisipasi mereka bervariasi, antara lain : penyebaran informasi, memberikan
motivasi, mengantar dan menjemput penca pada saat pelaksanaan ujicoba model.
Selanjutnya, hasil wawancara mendalam dengan penca diperoleh informasi, uji coba model
cukup bermanfaat bagi mereka. Dari pelaksanaan uji coba model, terdapat perubahan yang
significant dari penca. Hal ini terlihat dari 37 penca peseta ujicoba model dari hasil moniring
dan evaluasi yang dilakukan, terdapat 25 orang penca yang dinilai terjadi perubahan sikap
dan prilaku sosial, yaitu kemauan mereka mengikuti kegiatan sehari-hari dalam masyarakat,
disamping itu juga mulai ada motivasi untuk maju dan menyejajarkan diri dengan warga
masyarakat yang tidak cacat.

Mereka mengharapkan, setelah selesai mengikuti kegiatan RBM mereka diberikan bantuan
stimulan yang dapat berupa peralatan maupun bantuan finansial sebagai modal awal usaha.
Hal ini sejalan dengan harapan pemuka masyarakat, pengurus Orsos, dan aparat desa bahwa
setelah kegiatan RBM kepada peserta RBM diberikan bantuan stimulan karena pada
umumnya mereka adalah miskin. Faktor pendukung dalam pelaksanaan uji coba model antara
lain : dukungan dari pemuka masyarakat, aparat desa, dan aparat instansi terkait, serta
kerjasama yang baik unsur pemuka masyarakat dengan aparat desa, kecamatan, kabupaten,
maupun propinsi.
4.1 Mengembangkan Sistem Sosial Yang Responsif
Pembangunan ditinjau dari Ilmu Sosial, pembangunan diartikan perubahan masyarakat yang
berlangsung secara terus menerus sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat
secara optimal. Paradigma pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi
mulai ditinggalkan karena tidak dapat menjawab masalah sosial seperti kemiskinan,
kenakalan, kesenjangan, dan keterbelakangan.
Keunggulan pembanguan berbasis masyarakat mengarahkan perkembangan pada : (1)
kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan, (2) konsep
teknologi tepat guna, indigenous technology, indigenous knowledge dan indigenous
institutions sebagai akibat kegagalan konsep transfer teknologi, (3) Tuntunan masyarakat
dunia tentang hak asasi, keadilan, dan kepastian hukum dalam proses pembangunan, (4)
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang merupakan suatu
alternatif paradigma pembangunan baru, (5) lembaga swadaya masyarakat, (6) meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pendekatan pengembangan masyarakat dalam praksis
pembangunan.
Pembangunan berbasis masyarakat menciptakan masyarakat berdaya dan berbudaya.
Keberdayaan memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan mengembangkan diri untuk
mencapai kemajuan. Sebagian besar masyarakat berdaya adalah individunya memiliki
kesehatan fisik, mental, terdidik, kuat dan berbudaya. Membudayakan masyarakat adalah
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu
lepas dari kemiskinan, kebodohan, ketidaksehatan, dan ketertinggalan. Pengembangan daya
tersebut dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki masyarakat. Penguatan tersebut meliputi : penyediaan berbagai
masukan serta membuka akses pada berbagai peluang yang ada. Masyarakat menjadi pelaku
utama pembangunan, dengan inti pemberdayaan adalah transformasi menejemen komunitas
menuju kesejahteraan bersama. Pemberdayaan ini merupakan sarana ampuh untuk keluar dari
kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan menuju kesejahteraan bersama.
Isu pengentasan kemiskinan dan masalah kesehatan dan lingkungan hidup berkembang akhirakhir ini di beberapa negara khususnya Uni Eropa. Asumsinya yaitu kemiskinan yang akut di
negara-negara berkembang menjadi penyebab utama berlangsungnya kerusakan lingkungan
hidup. Mencermati situasi tersebut, makalah ini mencoba untuk mengelaborasi secara singkat
beberapa hal mendasar terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi agenda
dunia melalui pembangunan berkelanjutan sebagai upaya pengembangan wilayah berbasis
penataan ruang. Elaborasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan
menjadi poin penting yang menentukan keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan hanya
kalangan publik yang cukup makmur yang mampu mengatasi problem lingkungan.

Sosok final dari konsep pembangunan berkelanjutan belum terlihat jelas, kendati berbagai
konvensi internasional dan pertemuan-pertemuan besar telah melahirkan berbagai gagasan
maupun kesepakatan termasuk yang mempunyai implikasi hukum secara internasional.
Namun demikian, pada garis besarnya proses menuju pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan meliputi tindakan-tindakan di bidang kebijakan publik yang meliputi antara
lain :
1. Kebijakan konservasi dan diversifikasi energi, ke arah pengurangan penggunaan
energi fosil dan makin dominannya penggunaan energi alternatif yang ramah
lingkungan.
2. Kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk sampai ke
tingkat yang dapat ditenggang oleh keberadaan sumber daya alam dan dapat terlayani
baik oleh fasilitas publik di bidang kesejahteraan rakyat.
3. Kebijakan spatial untuk menjamin penggunaan ruang wilayah sehingga berbagai
kegiatan ekonomi manusia dapat berjalan secara serasi didukung oleh infrastruktur
fisik yang memadai, sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan di
perairan untuk konservasi sumber daya alam.
4. Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya hidup hemat, bersih dan sehat,
sehingga kualitas hidup manusia dapat terjamin dengan menghindarkan pemborosan
energi, material dan mengurangi tindakan medik kuratif.
5. Kebijakan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan untuk menjamin
tersedianya kebutuhan dasar manusia akan air bersih, udara bersih, sumber-sumber
makanan dan pencegahan bencana.
6. Kebijakan di bidang hukum, informasi, pemerintahan, ekonomi, fiskal dan pendidikan
dan lainnya untuk menunjang hal-hal di atas.
Elemen-elemen kebijakan di atas telah hadir di Indonesia sejak didirikannya kelembagaan
lingkungan hidup pada tahun 1978, namun sampai hari ini pembangunan berkelanjutan masih
belum mencapai tahapan yang signifikan. Bahkan dewasa ini berbagai masalah kronis yang
mengancam integritas lingkungan masih saja terjadi, malahan mengalami eskalasi seperti
penebangan kayu illegal, kebakaran hutan, kelangkaan air bersih dan turunnya kualitas udara
di daerah-daerah urban.
4.2 Pemanfaatan Modal Sosial
Orang miskin sekarang yang sudah berusia lanjut barangkali tidak mungkin lagi
diberdayakan. Orang yang cacat dan rentan mungkin sulit diberdayakan maksimal. Tetapi
yang penting generasi kedua mereka tidak senasib mereka. Siklus kemiskinan harus diputus.
Anak orang miskin tidak boleh miskin lagi. Kesempatan harus dibuka lebar dan adil bagi
semua. Maka perlu pertumbuhan yang cukup tinggi untuk menciptakan kesempatan kerja
yang besar. Beri kesempatan untuk bekerja dan meningkatkan produktivitas.
Yang terutama adalah memberikan pengakuan kepada rumah tangga miskin atas hak mereka.
Jika mereka punya lahan berikan sertifikasi hak milik (tentu tanpa biaya). Jika mereka tidak
punya lahan, berikan lahan alias lakukan reformasi agraria (land reform). Lahan-lahan
menganggur yang dikuasai individu atau perusahaan besar diambilalih (tentu saja dengan
membeli) dan mendistribusikannya kepada rumah tangga miskin yang berhak. Untuk itu

perlu pendataan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Lahan dengan sertifikat
dapat menjadi agunan pinjaman, jaminan asuransi, dan mengurangi risiko pada saat kondisi
ekonomi merosot. Pada hakikatnya jadikan aset mati atau menganggur menjadi modal yang
hidup (turn dead assets into living capital) dan dengan demikian kita memberikan peluang
kepada rumahtangga miskin untuk mencetak uang sendiri tanpa perlu disuapi bantuan tunai
terus menerus.
Kedua, ciptakan peluang-peluang usaha bisnis. Usaha ekonomi pertanian dan pengolahan
hasil pertanian di Aceh masih kecil-kecil dan selalu kalah bersaing karena tidak kompetitif
dari sudut pemasaran, biaya satuan, penerapan teknologi, dan kualitas produk. Usaha skala
besar di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, dan agrobisnis perlu dihadirkan dan
peluang-peluang baru dapat tercipta karena keterkaitan input-output. Petani miskin secara
tidak langsung akan terlibat dari mata rantai itu, asalkan mereka punya lahan sendiri.
Modal dapat diperoleh sesuai mekanisme pasar. Pemerintah tidak perlu menjadi lembaga
keuangan penyalur kredit dan menjadi saingan bank sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Yang diperlukan hanyalah perluasan Badan Perkreditan Rakyat atau sejenisnya yang jumlah
dan jangkauannya di Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain.
Pembangunan (ekonomi) yang salah satu tujuannya menghapus atau setidak-tidaknya
mengurangi kemiskinan, dalam realitasnya justru sering kali menimbulkan kemiskinan baru.
Bahkan lebih daripada sekadar paradoks, realitas kemiskinan diyakini atau paling tidak
disinyalir justru merupakan salah satu produk pembangunan Dalam konteks itulah
pembicaraan mengenai modal menjadi amat relevan sebab faktanya orang kerap kali menjadi
miskin (mengalami pemiskinan) dalam proses pembangunan karena orang tersebut tidak
memiliki cukup modal.
Dalam literatur ekonomi modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu
ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan
produktif atau productive services. Secara spesifik, modal dalam literatur ekonomi merujuk
pada modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Modal fisik
mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), keras, dan sering kali tahan lama
(durable) seperti bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory). Yang
tampaknya luput dari perhatian para ahli ekonomi ketika mereka merumuskan berbagai jenis
modal adalah bahwa manusia sebagai aktor bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh
tujuan, atas dasar kepentingan pribadi, dan bersifat independen. Dalam kenyataannya,
tindakan manusia juga tindakan ekonomisnya juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Dalam pandangan para sosiolog itulah yang kemudian dikenal sebagai modal sosial (social
capital). Terdapat berbagai definisi mengenai modal sosial ini. Terlepas dari berbagai definisi
yang diajukan oleh para ahli, modal sosial telah menjadi bahan perbincangan yang menarik
dan relevan ketika orang berbicara tentang pembangunan dan kemiskinan. Dengan
mendasarkan diri pada pemahaman bahwa modal sosial memberikan sumbangan berarti bagi
pembangunan (ekonomi) pada umumnya dan pengurangan kemiskinan pada khususnya,
menarik untuk memerhatikan betapa kelompok etnis tertentu mampu meraih prestasi dan
pencapaian-pencapaian lain dalam derajat yang lebih tinggi dibanding etnis lain. Dalam hal
ini, menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat dengan modal sosial yang tinggi mampu
mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi kelas yang lebih independen
dibandingkan dengan keluarga atau masyarakat dengan modal sosial yang rendah.

4.3 Pemanfaatan Institusi Sosial


Pemerintah melalui Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sebenarnya telah membuka peluang bagi
masyarakat untuk mengikuti program pendidikan keterampilan sesuai dengan keinginan dan
keperluan masing-masing. Kecakapan hidup, sebenarnya lebih bermanfaat bagi masyarakat,
terutama kaum perempuan yang akhirnya bertindak sebagai manager keuangan dalam rumah
tangganya. Bisa kita lihat berapa banyak perempuan yang rela berdagang, berapa banyak
yang rela menjadi penjaja jasa dan berapa banyak yang harus menerima sebagai pemulung
karena mereka tidak bisa berkreasi atau tidak ahli dalam bidang keterampilan. Padahal jika
mereka terampil, misalkan sebagai pengrajin, sebagai pengelola salon kecantikan, maupun
ahli di bidang lainnya, tentulah mereka bakal mendapatkan penghasilan tambahan yang
berguna sebagai penopang ekonomi keluarga.
Dari peningkatan ekonomi itu keinginan untuk terus menyekolahkan anak-anak mereka
sebagai generasi penerus bangsa. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
terkait perlu memberikan perhatian tentang hal ini. Tentu saja dengan membangun mata
rantai pembinaan keterampilan terhadap masyarakat, terutama kaum perempuan. Pendataan
diawali dari kelurahan, menyangkut potensi yang ada dan berapa jumlah perempuan yang ada
di daerah itu. Kemudian mengajak partisipasi lembaga penyelenggara kursus atau
keterampilan yang bisa mendidik atau membimbing kaum perempuan sesuai dengan hobi
atau bakat yang mereka miliki. Dalam hal ini, tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit
karena itu setiap Kepala Desa atau Lurah dapat mengikutsertakan orang berada atau lembaga
kursus maupun perusahaan di lokasi tersebut memberikan dukungan dana. Jika aliran dana
belum bisa menampung semua peserta didik, harus dilakukan sistem silang. Bila satu
kelompok selesai belajar harus memberikan ilmunya kepada kelompok lain.
Tentu saja, keterampilan yang didapatkan perlu penempatan atau mempekerjakan mereka.
Andil pemerintah tentu saja membangun dunia usaha sekaligus memberi kesempatan modal
untuk wirausaha. Untuk mampu melaksanakan profesi ini, semua pihak termasuk pemberi
modal usaha, perlu memberikan rangakaian pendidikan dan pengetahuan menyangkut
pemanfaatan modal usaha. Hal ini sangat perlu, mengingat kaum perempuan adalah ibu
rumah tangga yang harus mengatur keuangan rumah tangganya.
Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan
program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap
penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Adapun yang menjadi elemen utama
dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven di mana rakyat akan menjadi
aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis.
Meskipun partisipasi masyarakat merupakan komponen penting dalam pengentasan
kemiskinan. Namun, partisipasi masyarakat saja ternyata tidak cukup karena pengentasan
kemiskinan bukan hanya tanggung jawab masyarakat, tapi juga tanggung jawab semua pihak,
baik itu pemerintah, swasta, maupun pihak-pihak yang peduli terhadap pengentasan
kemiskinan. Untuk itu pengentasan kemiskinan butuh dukungan semua pihak. Selain itu,
perlu adanya kesepakatan tentang tingkatan partisipasi masyarakat dalam program-program
pengentasan kemiskinan. Hal ini untuk menghindari kembalinya masyarakat sebagai objek
pembangunan. Sekaligus juga untuk memperkuat peran masyarakat dalam suatu program.
Begitu pula dengan kelembagaan dalam bentuk wadah-wadah informal, seperti forum warga
sangat dibutuhkan dalam melaksanakan pendekatan partisipatif. Upaya itu untuk
memfasilitasi masyarakat miskin agar menyuarakan aspirasinya tanpa ada rasa takut.

Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat tersebut diperlukan tenaga pendamping lapangan.


Tenaga pendamping lapangan ini biasanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai
motivator dan fasilitator dalam pelaksanaan suatu program. Banyak keuntungan dalam
kerjasama antara LSM dengan pemerintah, yaitu antara lain (1) Pemerintah dapat menghemat
pembiayaan untuk menangani masalah-masalah lokal yang bersifat mikro, (2) programprogram pembangunan pemerintah yang selalu bersifat top-down, sehingga LSM dapat
berfungsi sebagai perantara (mediator) untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi dari bawah
dengan permasalahan mikro yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikian selain
masyarakat diuntungkan dengan penyampaian aspirasi dari bawah tersebut, juga berbagai
dampak negatif dapat diidentifikasi oleh LSM dan ditanggulangi secara swadaya oleh
masyarakat melalui kegiatan-kegiatan LSM.
4.3.1 Organisasi Masyarakat
Rancangan pembangunan masyarakat desa sejak lama ditengarai tidak dilandasi kebutuhan
dasar dan kearifan lokal. Bahkan ada kecenderungan untuk menyeragamkan dan
mengabaikan potensi besar yang dimiliki masyarakat di desa seperti semangat
kesetiakawanan, gotong royong, dan kesukarelaan. Sebagai upaya untuk pengentasan
kemiskinan di kawasan pedesaan, Japan International Cooperation Agency (JICA)
mendorong sebuah sistem untuk mendukung pembangunan desa di Kabupaten Takalar,
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Dukungan JICA ini dimulai dari Maret 1997 dan berakhir Februari 2002.
Merasakan manfaat dari Sistem Dukungan Terpadu Pembangunan di Desa (Sisduk),
Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar mereplikasi model ini ke seluruh desa/kelurahan di
wilayahnya. Sejumlah Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati telah dikeluarkan sebagai
bukti keseriusan Kabupaten Takalar menerapkan model ini dalam program penanggulangan
kemiskinan di pedesaan.
Ada tiga asas yang hendak dicapai oleh program Sisduk ini yaitu mendorong kegiatan
pembangunan desa yang partisipatif melalui metode pendampingan yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat di tiap desa; mendorong perencanaan dan penganggaran yang
partisipatif guna membuka ruang bagi masyarakat dalam mengatasi kemiskinan dan
menyusun strategi pembangunan bersama sesuai situasi dan kondisi setempat.
Potensi masyarakat desa yang terabaikan merupakan topik penting dalam mengatasi
kemiskinan. Kesalahan dalam menilai potensi masyarakat desa seringkali mendorong mereka
ke dalam jurang kemiskinan ketimbang mengeluarkan mereka dari belenggu kemiskinan.
Sistem Dukungan Terpadu memberi jawaban yang lebih konkrit dan membuka ruang bagi
masyarakat desa untuk berinisiatif melaksanakan kegiatan bersama dengan memobilisasi dan
menggunakan sumberdaya yang ada tanpa menunggu persetujuan dari pemerintah daerah
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat desa.
Setidaknya, pelaksanaan program ini yang didorong oleh JICA selama lima tahun telah
mengatasi kendala tidak efektifnya program penanggulangan kemiskinan di desa yakni
kurangnya transparan dan ketidakadilan dalam proses evaluasi kebutuhan dan perencanaan
anggaran pembangunan desa.

Sistem Dukungan Terpadu menargetkan pelembagaan sistem administrasi daerah untuk


menanggulangi kemiskinan di desa, dengan menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan,
kesejahteraan, dan usaha rakyat dengan mengajak partisipasi aktif masyarakat desa.
Masyarakat secara berkelompok menyusun rencana kegiatan dengan didampingi fasilitator
dan melalui serangkaian pemeriksaan (verifikasi) oleh Tim Asistensi Kecamatan agar dapat
menyusun rencana yang mudah (realistis), jelas, dan berskala kecil untuk diimplementasikan
di tingkat desa.
Dengan sistem ini, kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat dalam
mengalokasi penggunaan sumberdaya dan pengambilan keputusan tampak lebih jelas.
Masyarakat merasa dihargai dan merasa bertanggung jawab atas sebagian biaya dan kegiatan
dari rencana yang diajukan oleh kelompoknya di tingkat desa. Partisipasi masyarakat dan
keterbukaan Pemerintah Daerah dalam proses penganggaran kegiatan pembangunan terbukti
dapat mengefektifkan upaya penanggulangan kemiskinan.
Upaya penanggulangan kemiskinan dengan menerapkan Sistem Dukungan Terpadu tidak
hanya menyangkut aspek pembiayaan kegiatan tetapi juga dapat memperkuat pelembagaan
modal sosial dalam masyarakat desa. Dengan demikian diharapkan berbagai kegiatan
pembangunan desa dapat berkelanjutan dan mandiri.
4.3.2 Organisasi Swasta
Organisasi swasta juga memiliki peran penting dalam usaha mengentaskan kemiskinan,
sebagai contoh Bank Grameen. Bank Grameen adalah sebuah organisasi kredit mikro yang
dimulai di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu
tanpa membutuhkan collateral (jaminan). Sistem ini berdasarkan ide bahwa orang miskin
memiliki kemampuan yang kurang digunakan. Pendirian Grameen Bank diprakarsai oleh
Muhammad Yunus seorang profesor bidang ekonomi dari Chittagong University pada tahun
1976. Beliau berpendapat bahwa kemiskinan sungguh merupakan persoalan struktural yang
kompleks kemiskinan diciptakan oleh institusi dan kebijakan yang mengitarinya.
What good were all my complex theories when people were dying of starvation on the
sidewalks and porches across from my lecture hall? Nothing in the economic theorities I
thaught reflected the life around me (Moeis: 2008). Dengan memegang prinsip tersebut,
Muhammad Yunus memutuskan untuk menanggalkan semua pengetahuan / teori yang
didapatnya di universitas guna mengenali kemiskinan yang ada disekitarnya dan mulai
menganggap bahwa kaum miskin menjadi gurunya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
penyebab kemiskinan secara nyata dari orang miskin, menggunakan kepekaan hati untuk
memberikan solusi pengentasan kemiskinan.
Pada awal pendirian, Grameen Bank meluncurkan pemberian kredit mikro kepada
masyarakat miskin dimana pada saat ini pemberian kredit kepada masyarakat miskin
dianggap sesuatu yang tidak mungkin karena dianggap orang miskin tidak mampu untuk
membayar hutang. Pada akhirnya membuktikan bahwa pemberian kredit ke kaum miskin
bukanlah suatu yang mustahil. Kredit ke kaum papa itu juga berperan memotong lingkaran
kemiskinan, julukan bagi keadaan di mana kaum miskin tetap miskin karena dia miskin dan
demikian terus berlaku secara turun- temurun tanpa menemukan jalan keluar.
Grameen Bank merancang kredit mikro berbasis kepercayaan bukan kontrak legal maupun
jaminan. Konkretnya, peminjam diminta membuat kelompok yang terdiri dari lima orang

dengan satu pemimpin. Pinjaman diberikan secara berurutan dengan catatan orang kedua baru
bisa meminjam setelah pinjaman orang pertama dikembalikan. Selain itu, kelompok
peminjam dituntut membuat berbagai agenda sosial yang bermanfaat bagi masyarakat di
sekitarnya. Inisiatif berasal dari kelompok bukan didasarkan pada keinginan dari Grameen
Bank. Masyarakat diberi kesempatan untuk berkembang, dihargai untuk menjadi dirinya
sendiri, mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya dan belajar serta berupaya memenuhi
kebutuhannya.
secara
mandiri.
Selain itu pembentukan kelompok diperkuat, pemilihan pemimpin kelompok dan pengurus
melalui memilihan yang demokratis, mendorong diskusi yang intensif untuk mengambil
keputusan yang berhubungan dengan lingkungan, pendidikan anak dan teknologi. Dalam hal
ini pihak Grameen Bank hanya sebagai fasilitator dan meminjamkan kredit. Model
pemberdayaan ini bukan sekadar berfokus kepada kemiskinan finansial, tetapi juga sosial. Ia
dirancang guna mendorong rasa tanggung jawab dan solidaritas terhadap sesama peminjam
dalam satu komunitas. Hal ini dibangun karena diyakini bahwa kemiskinan bukan semata
disebabkan oleh kekurangan modal finansial, tetapi juga sosial.
Disinilah Grameen Bank mampu membangun social capital pada masyarakat miskin di
Bangladesh dan memberdayakannya sehingga mampu untuk bergerak keluar dari garis
kemiskinan yang selama ini menyelimutinya. Program Grameen Bank sudah membuktikan
dirinya dalam mengentaskan kemiskinan di Banglades.
Faktor keberhasilan Grameen Bank dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat
Bangladesh dikarenakan karakter kredit mikro yang diberikan Grameen Bank berpihak
kepada kaum miskin dan mendorong pemberdayaan serta social capital masyarakat miskin
yang tergabung dalam kelompok seperti : 1) fokus pada orang yang termiskin diantara yang
miskin, 2) diprioritaskan pada wanita miskin, 3) kredit berdasarkan kepercayaan bukan
berdasarkan penjaminan, kontrak legal , prosedur dan sistem, 4 ) kredit diupayakan untuk
menciptakan lapangan kerja sendiri dirumah tangga miskin dan bukan untuk konsumsi, 5)
menyediakan layanan untuk orang miskin (bank proaktif mendatangi orang miskin), 6) untuk
memperoleh pinjaman, satu peminjam harus bergabung dengan kelompok peminjam 7)
peminjaman baru dapat tersedia bagi satu peminjam jika seorang peminjam yang lain telah
mengembalikan pinjaman sebelumnya Semua pinjaman diharapkan dapat dibayar/diangsur
dalam mingguan atau dua mingguan 9) Peminjam dapat meminjam lebih dari satu kali 10)
ada dua model simpanan bagi anggota yakni simpanan wajib dan sukarela 11) Suku bunga
pinjaman dijaga dekat dengan suku bunga pasar tanpa mengorbankan tujuan langsung untuk
mengentaskan kemiskinan 12) Memberi prioritas yang tinggi untuk membangun social
capital seperti pembentukan kelompok diperkuat , pemilihan pemimpin kelompok dan
pengurus melalui memilihan yang demokratis, mendorong diskusi yang intensif untuk
mengambil keputusan yang berhubungan dengan lingkungan, pendidikan anak dan teknologi.
Belajar dari Grameen Bank, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan pembelajaran dalam
proses pengentasan dan pemberdayaan masyarakat miskin sebagai berikut :
1. Dalam pemberdayaan masyarakat miskin, hal yang perlu dilakukan adalah
menjadikan mereka sebagai subyek garap bukan obyek garap. Warga miskin diajak
untuk merumuskan permasalahan yang dihadapi dan difasilitasi untuk memecahkan
permasalahannya tanpa harus memberikan paket paket program yang sudah jadi.
2. Kemiskinan tidaklah sekedar miskin finansial akan tetapi dapat terjadi karena miskin
sosial, ketiadaan akses, adanya budaya kemiskinan. Untuk itu perlu mengembangkan

sosial capital pada kelompok masyarakat miskin melalui pengembangan kapasitas


pada masyarakat miskin.
3. Perlu membongkar mindset yang beranggapan bahwa masyarakat miskin selamanya

bodoh, terbelakang , tidak bisa dipercaya dan tidak bisa diajak maju. Namun jika
diberi kesempatan, diberdayakan dengan benar dan diberi kepercayaan berkembang
untuk menjadi dirinya sendiri maka mereka akan mampu mengembangkan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pada akhirnya akan keluar
dari garis kemiskinan yang selama ini membelenggu hidupnya.
4.3.3 Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial
Pelayanan kesehatan bagi orang miskin sering menjadi sorotan pemerintah, seiring
meningkatnya jumlah orang miskin dan naiknya pelayananan pengobatan. Adanya program
ASKESKIN dari pemerintah memang sedikit membantu bagi orang miskin namun
pelaksanaannya banyak menemui kendal-kendala. Program pelayanan kesehatan bagi orang
miskin perlu diperbaiki dengan cara mengajak partisipasi aktif dari masyarakat sekitar untuk
mendukung
program
pelayanan
ini.
Perancangan dibutuhkan untuk memudahkan Rumah Sakit dan Keluarga Miskin dalam
menggunakan program layanan kesehatan ini dan juga memberikan gambaran rancang
bangun bagi Rumah Sakit dan badan-badan sosial mengintegrasikan program layanan
kesehatan bagi keluarga miskin di kabupaten Bandung.
Dengan program Layanan Kesehatan ini keluarga miskin yang akan berobat tidak perlu lagi
khawatir masalah biaya pengobatan karena sudah ada yang membiayai sedang bagi rumah
sakit
tidak
perlu
khawatir
nantinya
klaimnya
tidak
dibayar.
Perancangan program layanan kesehatan ini dapat membantu pemerintah dalam mengatasi
masalah sosial pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, selain itu juga dapat membantu
orang miskin dalam pemenuhan kebutuhan kesehatannya. Program ini juga membutuhkan
partisipasi aktif warga kabupaten Bandung untuk menyukseskan program ini.
Pelayanan sosial bagi masyarakat miskin seharusnya juga lebih diutamakan. Seperti yang
diungkapkan Menteri Kesehatan dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr.PH mengatakan
Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk masyarakat miskin (Jamkesmas) tetap dilanjutkan.
Bahkan dalam program 100 hari Depkes cakupannya diperluas meliputi masyarakat miskin
penghuni panti sosial, masyarakat miskin penghuni Lapas/ Rutan dan masyarakat miskin
akibat korban bencana (pasca tanggap darurat).
Lebih lanjut Menkes menambahkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tersebut
berlaku sejak ditanda tanganinya kesepakatan bersama antara Menkes dengan Mensos,
Menkum dan HAM dan Mendagri pada tanggal 17 Desember 2009 di Jakarta.
Sementara kartu Jamkesmas dalam proses penyelesaian, warga miskin di Panti Sasial,
Lapas/Rutan yang memerlukan pelayanan kesehatan sementara sudah dapat dilayani dengan
cukup membawa surat pengantar dari kepala panti sosial, Lapas/ Rutan.
Jamkesmas telah menunjukkan keberhasilan, tidak hanya penjaminan dan perlindungan
pelayanan kesehatan, tapi melalui Jamkesmas akan mempercepat reformasi bidang kesehatan.
Melalui program ini telah mendorong Rumah Sakit lebih sadar biaya dan sadar mutu
pelayanan. Manajemen rumah sakit telah terdorong melakukan cost containment, dokter lebih
patuh membuat diagnosa dengan benar, resume medis, pengendalian penggunaan obat dan

bahan habis pakai, mendorong peran dan fungsi pemerintah provinsi/kota/kabupaten, pada
suatu saat akan mendorong pemanfaatan alat/bahan/obat produk dalam negeri, sehingga
menumbuhkan industri dan lapangan kerja, jelas Menkes.
Menkes menegaskan, pelaksanaan Jamkesmas sebagai bagian dari penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan Sosial secara menyeluruh. Penjaminan kesehatan sosial yang dilaksanakan
pemerintah melalui Jamkesmas merupakan kewajiban negara terhadap fakir miskin dan orang
tidak mampu memang mendapat prioritas, tetapi secara bertahap kepesertaannya akan
ditingkatkan seluruh penduduk sebagaimana diamanatkan dalam UU no.40 tahun 2004,
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN).
4.3.4 Kerjasama dan Jaringan
Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Juli 1997, beberapa negara dikawasan Asia
yaitu Malaysia, Filiphina, Thailand, Korea Selatan serta Indonesia diguncang krisis moneter
dan mengalami penurunan nilai tukar negara-negara dikawasan Asia. Menurut beberapa
pengamat dan analis, krisis moneter ini terjadi karena adanya krisis kualitas lembaga-lembaga
keuangan yang berbasis pada penerapan suku bunga. Tingginya nilai suku bunga sebagai
penyebab dari krisis moneter mengakibatkan ambruknya dunia perbankan dan sektor riil yang
berpengaruh pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.
Pada saat krisis moneter melanda, perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana
liquid yang cukup untuk operasionalnya. Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan
untuk mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan
pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada
ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank
Indonesia. Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak tinggi, kondisi ini mengakibatkan
goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan konvensional. Selain itu, perbankan
konvensional juga cenderung kurang dalam pengembangan sektor riil dan lebih bermain pada
transaksi yang spekulatif berdasarkan nilai suku bunga.
Terpuruknya perekonomian Indonesia (perbankan konvensional) yang berakibat kepada krisis
sosial menjadi suatu pembelajaran bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan moneter
untuk mencoba menerapkan sistem manajemen moneter alternatif, dikarenakan sistem yang
ada secara faktual dan berdasarkan pengalaman telah berimplikasi negatif terhadap bangunan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem manajemen Syariah disebut-sebut dan diyakini
dapat menjadi solusi dalam membangun kembali sistem perekonomian di Indonesia.
Sistem ini menggaris bawahi bahwa uang hanya berfungsi sebagai alat tukar bukan
merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan, apalagi mengandung unsur spekulasi yang
diyakini dapat mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Selain itu, sistem Syariah juga
menekankan bahwa peredaran uang tidak boleh terjadi hanya dibeberapa kelompok saja,
karena akan terjadi konsentrasi modal yang mengakibatkan lumpuhnya perekonomian pada
masyarakat ditingkat bawah.Permasalahan bunga dalam sistem perbankan konvesional telah
mendapatkan kritik habis-habisan baik secara normatif maupun ijma dari ulama-ulama Islam
kontemporer. Bunga diyakini sebagai salah satu bentuk riba modern yang cenderung
eksploitatif serta memiliki semangat dehumanisasi, selain itu riba juga mendidik manusia
untuk menjadi pemalas dan memiliki mental penunggu. Dalam konteks sosial, riba akan
menimbulkan benih-benih permusuhan dan potensi-potensi konflik horizontal yang akan ikut
menciptakan kemiskinan terstruktur secara gradual.

Sistem Syariah sangat berbeda dengan sistem konvensional yang cenderung eksploitatif dan
tidak manusiawi. Ia sangat menekankan keadilan, kesamaan dan kesejahteraan yang merata
untuk semua lapisan masyarakat serta memiliki visi dan komitmen sosial yang konstruktif
dan manusiawi. Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi cara pandang yang mendorong pelakupelakunya untuk selalu menjalankannya, sehingga pada tataran aksiologis dan aplikatif
diterapkan pola-pola atau mekanisme yang produktif dan saling menguntungkan.
Peristiwa lainnya seperti pada akhir Nopember 2006, ketika menutup Konferensi Nasional
Pembangunan Manusia, Presiden Rl, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa
kondisi dan pertumbuhan penduduk Indonesia sangat memprihatinkan. Penduduk Indonesia
mempunyai pendidikan rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Pertumbuhan penduduk
diperkirakan sudah meningkat kembali menjadi sekitar 1,3 persen atau lebih. Oleh karena itu
Presiden menyerukan agar semua pihak segera mengambil langkah-langkah konkrit
membangun penduduk dan merevitalisai program KB seperti masa lalu.
Untuk menanggapi ajakan tersebut, Yayasan Damandiri mengembangkan program untuk
membangun penduduk melalui pemberdayaan keluarga dengan merangsang pembentukan
forum silaturahmi dan informasi pada tingkat pedesaan dan pedukuhan. Forum tersebut
dinamakan Pos Pemberdayaan Keluarga atau disingkat Posdaya. Melalui forum tersebut
berbagai anggota organisasi diundang membantu keluarga yang berada di sekitar Posdaya
memahami fungsi dan perannya serta bergotong royong mengentaskan kemiskinan dan
membangun keluarga sejahtera.
Posdaya adalah forum komunikasi, silaturahmi, advokasi, penerangan dan pendidikan,
sekaligus wadah kegiatan penguatan fungsi keluarga secara terpadu. Apabila memungkinkan
Posdaya bisa dikembangkan sebagai wadah pelayanan keluarga secara terpadu, utamanya
pelayanan kesehatan, pendidikan, wirausaha, dan pengembangan lingkungan yang
memudahkan keluarga berkembang secara mandiri. Upaya pemberdayaan yang ditawarkan
dalam Posdaya diarahkan untuk mendukung penyegaran fungsi keluarga, yaitu keagamaan,
budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi dan kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan
lingkungan. Dalam Posdaya keluarga yang lebih mampu, kalau perlu dengan pendampingan
petugas pemerintah atau organisasi masyarakat, membantu penguatan kemampuan keluarga
yang kurang mampu.
Secara ringkas tujuan pembentukan Posdaya adalah :
1. Menyegarkan modal sosial seperti hidup gotong royong dalam masyarakat untuk
membantu pemberdayaan keluarga secara terpadu dan membangun keluarga bahagia
dan sejahtera.
2. Ikut memelihara lembaga sosial kemasyarakatan yang terkecil, yaitu keluarga, yang
dapat menjadi perekat masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai dan
memiliki dinamika tinggi.
3. Memberi kesempatan kepada setiap keluarga untuk memberi atau menerima
pembaharuan yang dapat dipergunakan dalam proses pembangunan keluarga yang
bahagia dan sejahtera.
BAB 5
UPAYA PENANGANAN MASALAH

Penanggulangan kemiskinan merupakan upaya terus menerus terjadi karena kompleksitas


permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin dan keterbatasan sumberdaya untuk
mewujudkanpemenuhan hak-hak dasar. Langkah-langkah penanggulangan kemiskinan tidak
dapat ditangani sendiri oleh satu sektor tertentu, tetapi harus multi sektor dan lintas sektor
dengan melibatkan stakeholder terkait untuk meningkatkan efektivitas pencapaian program
yang dijalankan. Olehsebab itu, langkah-langkah yang ditempuh dalam penanggulangan
kemiskinan dijabarkan ke dalam program sebagai berikut :
1. PROGRAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan dan kapasitas kelembagaan dan


peningkatan infrastruktur pedesaan yang mendukung sistem distribusi untuk
menjamin terjangkau pangan.

Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan melalui bantuan pangan kepada


keluarga miskin/rawan pangan.

Revitalisasi sistem lembaga ketahanan pangan masyarakat.

Pemberian subsidi dan kemudahan kepada petani dalam memperoleh sarana produksi,
bibit, pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama.

Penelitian untuk meningkatkan varietas tanaman pangan unggul.

Pelatihan penerapan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan


produksi pertanian.

Pengembangan industri pengolahan pangan

Pelaksanaan pemantauan ketersediaan, harga bahan pangan di pasar tradisionil.

1. PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT

Pelayanan kesehatan penduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya.

Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan


jaringannya.

Pengadaan peralatan dan perbekalan termasuk obat generik.

Peningkatan pelayanan kesehatan dasar mencakup kesehatan ibu dan anak, keluarga
berencana, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan gizi.

Pengadaan dan Peningkatan SDM tenaga kesehatan.

1. PROGRAM PELAYANAN PENDIDIKAN

Peningkatan Pendidikan Dasar

Peningkatan Pendidikan Menengah dan Tinggi

Peningkatan Pendidikan Luar Sekolah

Pengembangan dan Pemanfaatan Hasil Penelitian dan IPTEK

Peningkatan Apresiasi seni

Pelestarian dan Pengembangan Adat Aceh

1. PROGRAM PENINGKATAN KESEMPATAN KERJA DAN BERUSAHA

Peningkatan kemampuan calon tenaga kerja berkemampuan memasuki lapangan kerja


di dalam negeri dan luar negeri.

Peningkatan jaminan keselamatan, kesehatan dan keamanan kerja.

Peningkatan ketrampilan kerja bagi calon tenaga kerja.

Menurut Soetatwo Hadiwiguno, kemiskinan adalah masalah yang kronis dan kompleks.
Dalam menanggulangi kemiskinan permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas pada
hal-hal yang menyangkut pemahaman sebab-akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga
melibatkan preferensi, nilai, dan politik. Kemudian menurut Nurhadi, dijelaskan bahwa untuk
menanggulangi kemiskinan dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu :
a)

Pendekatan peningkatan pendapatan.

b)

Pendekatan pengurangan beban.

Kedua pendekatan tersebut ditopang oleh empat pilar utama, yaitu :


a)

Penciptaan kesempatan

b)

Pemberdayaan masyarakat

c)

Peningkatan kemampuan

d)

Perlindungan sosial

Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah :

Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah
menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk
mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman,
pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada
orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang
dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang
dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti
kebutuhan akan perawatan kesehatan.

Kondisi Indonesia yang masih banyak masyarakat miskin membuat pemerintah bereaksi
dengan membentuk program-program. Adapun tujuan utama dari pembuatan program ini

adalah mengentaskan kemiskinan. Dalam pemerintahan SBY program ada dalam bentuk
Bantuan langsung dan ada juga bentuk pemberdayaan. Program pengentasan kemiskinan
SBY diantaranya diantaranya: BLT, Jamkesmas, PNPM mandiri, dan menurunkan harga bbm.
Paling tidak ke-4 program ini mencerminkan bahwa pemerintahan SBY bukanlah neolib,
sebab ke-4 program merupakan program yang berbasis kemasyarakatan
Upaya penanggulangan kemiskinan melalui proses pemberdayaan masyarakat. Beberapa
program pemberdayaan masyarakat dari berbagai program serupa yang telah dan sedang
dilaksanakan oleh pemerintah adalah P2KP, CERD, WSLIC, dan P2D, sekarang SBY
membuat program PNPM. Program-program pemberdayaan tersebut selain memberikan
pengalaman kepada masyarakat mengenai bagaimana penyusunan program, pelaksanaan
sampai dengan pemantapan dan pengawasannya, juga membangun sarana dan prasarana
dasar serta stimulan kegiatan ekonomi. Atau pembangunan sarana dan prasarana yang
dilaksanakan sebagai media pemberdayaan masyarakat melalui pemberian pengalaman serta
peningkatan partisipasi masyarakat.
BAB 6
KESIMPULAN
Kemiskinan merupakan masalah yang selalu ada pada setiap Negara. Permasalahan
kemiskinan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang saja, bahkan di negara maju
juga mempunyai masalah dengan kemiskinan. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang rumit,
walaupun fakta menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di negara berkembang jauh lebih
besar dibanding dengan negara maju. Hal ini dikarenakan negara berkembang pada umumnya
masih mengalami persoalan keterbelakangan hampir di segala bidang, seperti : kapital,
teknologi, kurangnya akses-akses ke sektor ekonomi, dan lain sebagainya.
Dengan melihat dari sisi negara berkembang salah satunya adalah Negara Indonesia,
percapaian pembangunan manusia di Indonesia masih tertinggal dengan Negara-negara
tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Dalam laporan pembangunan
manusia (Human development Report 2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat
menengah dalam pembangunan manusia global (Medium Human Development) dengan
peringkat ke-110 dari 177 Negara.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan
buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas,
penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena
lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak
mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka
tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan
pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai
aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya
kaulitas SDM, interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada
terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah
mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme,
malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses

terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminasi, posisi lemah dalam proses
pengambil keputusan.
Penyebab orang menjadi miskin adalah karena ia terjebak dalam perangkap kemiskinan
(kemiskinan materil, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan). Ini
masalah sosial dan kultural. Makanya penanggulangan kemiskinan mesti melibatkan
transformasi sosial dan kultural juga, termasuk perubahan nilai-nilai (misal : etos kerja).
Pembagian sesuatu yang gratis adalah langkah tidak karena membudayakan kemiskinan.
Tahun 2003 dilaksanakan uji coba model rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) terhadap
penyandang cacat (Penca). RBM adalah sistem pelayanan yang dilaksanakan dari, oleh dan
untuk masyarakat. Gambaran riil di lapangan pelaksanaan uji coba ini model ini
dimungkinkan dapat berfungsi sebagai informasi bagi policy maker dalam penyempurnaan
program yang akan datang dan informasi bagi Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan
pelayanan sosial Penca. Pengembangan pelayanan RBM ini dimaksudkan untuk memperluas
jangkauan pelayanan bagi Penca khususnya yang berada di pelosok perdesaan.
Pembangunan berbasis masyarakat menciptakan masyarakat berdaya dan berbudaya.
Keberdayaan memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan mengembangkan diri untuk
mencapai kemajuan. Sebagian besar masyarakat berdaya adalah individunya memiliki
kesehatan fisik, mental, terdidik, kuat dan berbudaya. Membudayakan masyarakat adalah
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu
lepas dari kemiskinan, kebodohan, ketidaksehatan, dan ketertinggalan.
Pembangunan (ekonomi) yang salah satu tujuannya menghapus atau setidak-tidaknya
mengurangi kemiskinan, dalam realitasnya justru sering kali menimbulkan kemiskinan baru.
Bahkan lebih daripada sekadar paradoks, realitas kemiskinan diyakini atau paling tidak
disinyalir justru merupakan salah satu produk pembangunan Dalam konteks itulah
pembicaraan mengenai modal menjadi amat relevan sebab faktanya orang kerap kali menjadi
miskin (mengalami pemiskinan) dalam proses pembangunan karena orang tersebut tidak
memiliki cukup modal.
Partisipasi masyarakat ternyata tidak cukup karena pengentasan kemiskinan bukan hanya
tanggung jawab masyarakat, tapi juga tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah,
swasta, maupun pihak-pihak yang peduli terhadap pengentasan kemiskinan. Untuk itu
pengentasan kemiskinan butuh dukungan semua pihak.
Upaya penanggulangan kemiskinan dengan menerapkan Sistem Dukungan Terpadu tidak
hanya menyangkut aspek pembiayaan kegiatan tetapi juga dapat memperkuat pelembagaan
modal sosial dalam masyarakat desa. Dengan demikian diharapkan berbagai kegiatan
pembangunan desa dapat berkelanjutan dan mandiri.
Faktor keberhasilan Grameen Bank dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat
Bangladesh dikarenakan karakter kredit mikro yang diberikan Grameen Bank berpihak
kepada kaum miskin dan mendorong pemberdayaan serta social capital masyarakat miskin
Perancangan program layanan kesehatan dapat membantu pemerintah dalam mengatasi
masalah sosial pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, selain itu juga dapat membantu
orang miskin dalam pemenuhan kebutuhan kesehatannya.

Posdaya adalah forum komunikasi, silaturahmi, advokasi, penerangan dan pendidikan,


sekaligus wadah kegiatan penguatan fungsi keluarga secara terpadu. Apabila memungkinkan
Posdaya bisa dikembangkan sebagai wadah pelayanan keluarga secara terpadu, utamanya
pelayanan kesehatan, pendidikan, wirausaha, dan pengembangan lingkungan yang
memudahkan keluarga berkembang secara mandiri.
Kondisi Indonesia yang masih banyak masyarakat miskin membuat pemerintah bereaksi
dengan membentuk program-program. Adapun tujuan utama dari pembuatan program ini
adalah mengentaskan kemiskinan. Dalam pemerintahan SBY program ada dalam bentuk
Bantuan langsung dan ada juga bentuk pemberdayaan. Program pengentasan kemiskinan
SBY diantaranya diantaranya: BLT, Jamkesmas, PNPM mandiri, dan menurunkan harga bbm.
Paling tidak ke-4 program ini mencerminkan bahwa pemerintahan SBY bukanlah neolib,
sebab ke-4 program merupakan program yang berbasis kemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai