Anda di halaman 1dari 22

Trisomi 21 Sindrom Down

Disusun Oleh:
Roswita Arliani Da Marli
102012049 / C 2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kampus II Jalan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
Email: roswitamarli@ymail.com
Pendahuluan
Kelainan genetik dapat disebabkan oleh kelainan kromosom maupun mutasi gen dominan
maupun gen resesif pada autosom maupun kromosom seks. Kelainan kromosom sering menjadi
penyebab keguguran, bayi meninggal sesaat setelah dilahirkan, maupun bayi yang dilahirkan
dengan Sindrom Down. Kromosom merupakan tempat DNA atau zat dasar genetik yang
mencetak manusia. Kromosom adalah untaian materi genetik (DNA) di dalam setiap sel makhluk
hidup. Setiap sel normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom
kromosom tubuh (autosom, kromosom 1 s/d kromosom 22) dan satu pasang kromosom seks
(kromosom X dan Y) yang menentukan jenis kelamin.
Kelainan kromosom dapat berupa kelainan jumlah maupun struktur , seperti sindrom
Patau atau trisomi 13 sindrom Down atau trisomi 21. Sindroma Down merupakan suatu cacat
pada anak yang paling sering terjadi di dunia, disebabkan karena kelainan kromosom. Sindroma
Down merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Meskipun orangtua dari segala
usia mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita sindroma Down, tetapi
kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun.

Anamnesis

Pemeriksaan Penunjang
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down.
Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah
uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom
Down atau tidak. Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14 kehamilan. Apa yang diuji
adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi
dengan sindrom Downdapat dikenal pasti dengan tehnik ini . Hasil ujian sonogram akan
dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa
yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG).
Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang
dikandung.
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk mendeteksi sindrom Down.
Amniocentesis
Dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk
menganalisa kromosom janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS)
Dilakukan dengan mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk
melihat kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga 14.
Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS)
PUBS adalah tehnik dimana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan
sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih
tinggi.

Working Diagnosis
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai
tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini
akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik. Tipe
pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom
21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini. Tipe yang
kedua adalah translokasi. Translokasi ialah peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom,
disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan potongan kromosom
lainnya yang bukan homolognya. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi dengan
kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom yang
ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4%
dari total kasus.
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai kelebihan
kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita
lebih ringan.

Etiologi

Sindroma Down disebabkan oleh trisomi 21, autosomal trisomi yang paling sering pada bayi
baru lahir. Tiga tipe abnormalitas sitogenik pada fenotipe Sindroma Down adalah: trisomi 21 (47,
+21), di mana terdapat sebuah salinan tambahan pada kromosom 21, diperkirakan 94%.
Translokasi Robertsonian pada kromosom 21, sekitar 3-4%. Translokasi Robertsonian adalah
penyusunan seluruh lengan pada kromosom akosentrik (kromosom manusia 13-15, 21, dan 22)
dan juga bisa berupa sebuah translokasi antara kromosom 21 (atau ujung 21q saja) dan sebuah
kromosom nonakrosentrik. Trisomi 21 mosaikisme (47, +21/46), terjadi pada 2-3% kasus. Pada
bentuk ini, terdapat dua kelompok sel: sebuah sel normal dengan 46 kromosom dan kelompok
lain dengan trisomi 21.
Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan oleh nondisjunction, sebuah
kesalahan selama meosis. Nondisjunction adalah kegagalan kromosom homolog untuk
pemisahan selama meosis I atau meosis II. Oleh karena itu, satu anak sel menurunkan tiga
kromosom pada kromosom yang terkena dan menjadi trisomi, sedangkan anak sel lainnya
menurunkan satu kromosom yang menyebabkan monosomi. Kesalahan dalam meosis yang
menyebabkan nondisjunction sebagian besar diturunkan dari ibu; hanya sekitar 5% terjadi
selama spermatogenesis. Kesalahan pada meosis meningkat seiring dengan pertambahan usia
ibu. Kesalahan yang diturunkan dari ibu paling sering terjadi pada meosis I (76-80%) dan terjadi
pada 67-73% pada kasus trisomi 21. Kesalahan yang diturunkan dari ibu lainnya terjadi pada
meosis II dan mungkin diakibatkan oleh kegagalan pemisahan pasangan kromatid. Mereka
terjadi pada 18-20% kasus trisomi 21. Nondisjunction yang diturunkan dari ayah biasanya terjadi
pada meosis II.
Mekanisme nondisjunction masih belum jelas. Hal itu mungkin berhubungan dengan kegagalan
pada rekombinasi, di mana proses alami pemecahan dan penggabungan kembali susunan DNA
selama meosis untuk membentuk kombinasi baru pada gen agar menghasilkan variasi genetik.
Pada beberapa studi, peningkatan risiko pada nondisjunction meosis telah dihubungkan dengan
polimorfik maternal pada gen yang mengkode enzim yang memetabolisme folat,
methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) dan methionine synthase (MTRR).

Diperkirakan 5% kasus kromosom ekstra 21 muncul diakibatkan oleh kesalahan pada mitosis.
Kasus ini tidak berkaitan dengan meningkatnya umur ibu. Translokasi trisomi 21, yaitu
ketidakseimbangan translokasi Robertsonian, seluruh lengan panjang pada sebuah kromosom
ditranslokasikan ke lengan panjang pada sebuah kromosom akosentrik melalui penggabungan
sentral. Pada Sindroma Down, bentuk yang paling umum adalah translokasi yang mengenai
kromosom 14 dan 21. Individu yang memiliki 46 kromosom, tetapi kromosom 14 mengandung
lengan panjang kromosom 14 dan 21. Hal ini memberikan tiga salinan pada lengan panjang
kromosom 21 (dua berasal dari kromosom 21 dan yang ketiga berasal dari lengan panjang yang
ditranslokasikan dari kromosom 14).
Mayoritas translokasi Robertsonian yang mengakibatkan trisomi 21 adalah mutasi yang baru.
Mereka hampir selalu berasal dari ibu dan terjadi terutama selama oogenesis. Sindroma Down
yang disebabkan oleh mekanisme ini tidak berhubungan dengan umur ibu. Sejauh ini, tidak
ditemukan hubungan antara Sindroma Down dan diet, obat-obatan, ekonomi, status, ataupun
gaya hidup. Risiko Sindroma Down juga tidak meningkat meskipun memiliki saudara dengan
Sindroma Down. Beberapa bukti menunjukkan bahwa Sindroma Down sedikit lebih umum
terjadi pada keluarga dengan penyakit Alzheimer dalam satu atau lebih anggota keluarga yang
lebih tua.
Faktor Risiko
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun.
Walau bagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down. Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down,
atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama.
Walau bagaimanapun kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal.
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down berdasarkan umur ibu yang
hamil:

20 tahun: 1 per 1,500


25 tahun: 1 per 1,300
30 tahun: 1 per 900

35 tahun: 1 per 350


40 tahun: 1 per 100
45 tahun: 1 per 30

Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam
nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal.
Anak anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi,
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan
kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial
yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis
molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21 bertanggungjawab
menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang
baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2, adalah sangat
terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek
jantung. Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolism thiroid dan malabsorpsi
intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan
meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap
proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain yang
abnormal. Sebagai contoh, anak anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolic menjadi faktor predisposisi
terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab
peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down. Anak anak yang
menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti Transient Myeloproliferative
Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita
sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic transcription factor
gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi
yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik
yang belum diketahui pasti.

Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar 85% bayi
dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun.
Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom
Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula transesofageal,
Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan mortalitas. Selain itu,
penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena mempunyai respons
sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils,
choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran nafas atas.
Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar Hypoventilation,
Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor
pulmonale dan gagal jantung. Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan
pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada
anak anak dengan sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan
kemampuan interpersonal.
Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh
Gejala Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka sering
kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down
mempunyai ciri ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari
yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi
tulang pinggul (6%). Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan
xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis transversal pada telapak tangan, hanya
satu lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses
dan infeksi pada kulit yang rekuren. Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi.
Intelegent quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang
diderita akan meningkat apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi.

Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah, ceria,
cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal
dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi
pada anak anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada
yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur,
hipogonadism, katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang
disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif,
ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering
terjadi pada penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang
orang lanjut usia. Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly,
dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang
tengkorak yang lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta
hipoplasia pada sinus maksilaris. Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik
titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%),
blepharitis (33%), conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil
edema, spasma nutans dan keratoconus. Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata,
disebabkan hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata. Apabila mulut dibuka, lidah
mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan
yang disertai dengan air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi
yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi
primer dan sekunder, maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas. Pasien sindrom
Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis media yang kronis dan
kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira 6080% anak penderita sindrom Down
mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga .
Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang
lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor
myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada

kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient
Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM)
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada penderita yang
dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan. Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular
Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular
Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan
Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent
Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion
defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira
kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka.
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya kelainan
anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap
embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary
venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada
dalam kondisi asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada
decade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary
venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel.
Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain takipnu dan
penurunan berat badan. AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan pada
salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan
jantung pada bagian superior dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi
komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum.
Akan terjadi letak katup atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta.
Perfusi jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur pada
leaflet katup mitral. Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila
penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui ostium primum

pada septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada
septum ventrikel dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading
pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia.
Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti
dengan gagal jantung kongestif
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana
adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali
primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan
seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition of
great arteries,dan corrected transpositions.
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur yang
menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya, melalui septum
interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini
juga disebut sebagai shunt. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang sering
ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen dengan darah yang
kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup
pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini
akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat
yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal
defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur. Akibatnya
akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis
berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve
stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi karena darah masih lagi

bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah
lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat.
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal menutup
dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi
antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita
Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia.
Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan
Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte
antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat
antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.
Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada sistem
endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga
10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis,
dan compensated hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada
penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur.
Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau
prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat gangguan psikis.

Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum
Autisme.
Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala sindrom Down yang
sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer.
Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel sel trisomik
yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh.
Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi mental pada
penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu mengatasi kondisi ini. Walau demikian
usaha pengobatan terhadap kelainan yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat
memperbaiki kualitas hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.
Pemeriksaan Kesehatan Reguler pada Anak Penderita
Sindrom Down
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau perkembangan tingkat
kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun dewasa. Beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai
pencegah keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti follikulitis,
xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur, vitiligo dan alopesia perlu dirawat
segera. Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan
komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik. Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus
dilakukan, yang ditandai dengan kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang
yang lambat dan penurunan berat badan. Selain itu, kesulitan untuk menelan makanan harus juga
diperhatikan, dipikirkan kemungkinan terjadi sumbatan pada jalan nafas. Perhatian khusus harus
diberikan terhadap proses operasi dikarenakan tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang
mungkin terjadi pada sistem respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining
untuk kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus. Jangan dilupakan
untuk memberi perhatian terhadap kebersihan yang berkaitan dengan menstrual, seksual,
kehamilan dan sindrom premenstruasi.

Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia, kejang dan stroke. Pastikan
juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan, dengan memberi
perhatian pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak. Bagi pasien sindrom Down, baik
anak atau dewasa harus sentiasa dipantau dan dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia,
ketidakmampuan mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme, masalah makanan dan lain
lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada penderita sindrom Down harus
dilakukan. Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan pergaulan. Yaitu
dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa anak ke dewasa. Penting untuk
memberi pendidikan dasar juga harus diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan
bersekolah dan sebagainya. Hal hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas.
Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur, anak penderita
sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung. Apabila resistensi pada
vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat
dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat
dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan perubahan
pada vaskular yang ireversibel. Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada
jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang
dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan.
Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama. Bagi
penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler, simptom biasanya timbul
sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang
tinggi, disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal. Resistensi
pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting sistemik-pulmonal
yang diikuti dengan sianosis. Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk
menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal.
Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan
fungsi endotelial yang terganggu. Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat
mencegah terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru. Apalagi
dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan

phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup


bagi penderita hipertensi arteri pulmonal (Livingstone, 2006). Meskipun demikian penyakit
jantung koroner didapatkan rendah pada penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui
pemeriksaan patologi dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis
pada penderita sindrom Down.
Manajemen
Semua bayi dengan Sindroma Down harus dievaluasi mengenai penyakit jantung bawaan
dengan mengkonsultasikan ke ahli kardiologi anak. Ekhokardiogram direkomendasikan untuk
mendeteksi abnormalitas yang tidak memiliki gejala ataupun tidak tampak pada pemeriksaan fisik.
Evaluasi klinis jantung harus berkesinambungan karena risiko prolaps katup mitral dan regurgitasi
aorta yang tinggi pada masa remaja dan dewasa muda. Pendengaran: bayi baru lahir harus dinilai
pendengarannya dan, jika ada kelainan, maka dibutuhkan evaluasi brainstem auditory evoked
response dan otoacoustic emission. Pendengaran harus dievaluasi secara teratur sejak masa kanakkanak. Gangguan oftalmologi: penilaian oftalmologi harus dilakukan pada bayi baru lahir atau paling
tidak pada umur 6 bulan untuk menilai strabismus, nistagmus, dan katarak. Anak-anak yang
mengalami hal tersebut harus melakukan penilaian penglihatan secara berkala.

Fungsi tiroid: tes fungsi tiroid harus dilakukan pada saat bayi baru lahir. American Academy of
Pediatric (AAP) merekomendasikan agar skrining harus diulang pada umur 6 dan 12 bulan, dan
kemudian setiap tahun. Tinggi dan berat badan harus diukur setiap tahun karena adanya kombinasi
deselerasi dari pertumbuhan linear berkaitan dengan pertambahan berat badan adalah indikator yang
sensitif untuk hipotiroid.
Hematologi: pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan pada saat lahir untuk mengevaluasi
kelainan mieloproliferatif dan polisitemia. Bayi dengan TMD harus diikuti setiap 3 bulan sampai
umur 3 tahun dan setiap 6 bulan sampai umur 6 tahun.
Penyakit periodontal: penyakit periodontal sering pada anak-anak dan dewasa dengan Sindroma
Down. Mekanisme ini diperkirakan karena perubahan flora normal pada mulut, dengan frekuensi
Actinobacillus actinomycetemcomitansi yang lebih tinggi. Gigi yang tumpang tindih, kurangnya
kebersihan gigi, dan defisiensi sistem imun juga berpengaruh.
Atlantoaksial yang tidak stabil: AAP merekomendasikan pemeriksaan radiografi pada keadaan
atlantoaksial yang tidak stabil atau subluksasio pada umur 3 sampai 5 tahun. Selain itu, juga
dibutuhkan evaluasi neurologis untuk menilai adanya kerusakan medula spinalis. Skrining ini
sebaiknya dilakukan paling tidak setiap tahun. Anak yang mempunyai gejala neurologis harus
dilakukan pemeriksaan MRI untuk mengetahui apakah terdapat kompresi medula spinalis dan harus
diperlukan pengobatan defenitif.
Pengobatan alternatif: stres oksidatif, ketidakseimbangan produksi dan pembuangan oksigen, dapat
mempengaruhi beberapa gejala dan ciri dari Sindroma Down, seperti menurunnya sistem imun,
penuaan dini, gangguan fungsi mental, dan keganasan. Suplemen dengan nutrisi antioksidan telah
diajukan untuk terapi Sindroma Down. Suplemen yang dimaksud mencakup zink, selenium,
megavitamin dan mineral, vitamin A, vitamin B6, dan koenzim Q10. Tetapi dari hasil penelitian, hal
ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi pasien.

Universitas Sumatera Utara

Konseling: konseling dapat dimulai sejak diagnosis prenatal ataupun pada kasus yang dicurigai.
Diskusi tersebut sebaiknya mencakup tentang variabilitas dari manifestasi dan prognosis. Pengobatan
medis dan edukasi dan juga penting untuk dibicarakan (Roizen et al., 2009).

Kromosom 21 dan Penyakit Genetik


a. Penyakit Monogenik
Jika salah satu dari 14 gen berikut yang terdapat dalam kromosom 21
mengalami mutasi maka akan menyebabkan munculnya penyakitpenyakit
monogenik di antaranya salah satu bentuk Alzheimer (mutasi
pada gen APP), Amyotropic Lateral Sclerosis (SOD1), penyakit
Autoimmune Polyglanduar (AIRE), Homocystinuria (CBS), dan
Progressive Myoclonus Epilepsy (CSTB). Gen AML1 pada kromosom 21
merupakan penyebab munculnya leukaemia. Sedangkan beberapa gen
penyebab penyakit monogenik diantaranya Recessive Nonsyndromic
Deafness (DFNB10 dan DFNB8), sindroma Usher tipe 1E, Sindroma
Knobloch dan Holoprocencephaly tipe 1 (HPE1) belum berhasil
didapatkan klonnya.
b. Neoplasia
Hilangnya heterosigositas pada beberapa wilayah dalam kromosom 21
diketahui menyebabkan berbagai jenis tumor diantaranya kanker leher
dan kepala, payudara, pankreas, mulut, usus, oesophagus dan kanker
paru-paru. Ketiadaan heterosigositas pada penderita kanker tersebut
mengindikasikan kemungkinan kromosom 21 memiliki paling tidak satu
gen penghambat tumor (Tumour Suppressor Gene).
c. Abnormalitas Kromosom
Kromosom 21 merupakan agen yang menyebabkan penyimpangan
kromosomal meliputi monosomi, translokasi kromosom serta
5
rearrangement lainnya. Melalui proyek genom manusia, gen-gen klon
yang telah dipetakan dan disekuens sekarang tersedia sehingga diagnosis
dan karakterisasi molekuler yang akurat terhadap abnormalitas
kromosomal dapat dilakukan. Hal ini akan membantu dalam identifikasi

gen-gen yang terlibat dalam mekanisme perkembangan penyakit.


d. Down-Syndrom
Implikasi medis terbesar yang terkait dengan kromosom 21 adalah
sindroma Down. Sindroma Down diderita paling sedikit 300 ribu anak di
seluruh Indonesia dan 8 juta manusia diseluruh dunia. Satu dari 700 anak
yang dilahirkan memiliki kemungkinan menderita sindroma Down.
Sebagaimana yang telah banyak diketahui sindroma Down bukan
merupakan penyakit genetik yang diturunkan tetapi disebabkan
kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom
normal yang hanya memiliki 2 kembaran (Gambar 2). Kesalahan
penggandaan tersebut berkorelasi erat dengan umur wanita saat
mengandung. Semakin tua maka semakin besar kemungkinan untuk
mendapatkan anak yang menderita sindroma Down. Kesalahan
penggandaan tersebut menyebabkan munculnya kelambatan mental
(Mental Retardation) yang merupakan ciri utama penderita sindroma
Down. Selain itu penderita seringkali harus menderita juga penyakit
jantung bawaan, perkembangan tubuh yang abnormal, dysmorphic,
Alzheimer semasa muda, leukemia tertentu (childhood leukaemia),
defisiensi sistem pertahanan tubuh, serta berbagai problem kesehatan
lainnya.
6
Gambar 2. Triplikasi Kromosom 21 yang menyebabkan sindroma Down
(Reeves, 2000)
Data yang diperoleh dari penelitian yang menggunakan tikus transgenik
memperlihatkan bahwa hanya beberapa gen dalam kromosom 21 yang diduga
menyebabkan munculnya fenotipik sindroma Down. Para peneliti hingga saat ini
masih mengalami kesulitan untuk menentukan gen-gen apa saja yang merupakan
kandidat munculnya fenotipik sindroma Down pada manusia. Meskipun demikian
diketahui beberapa produk gen tertentu lebih sentitif dibanding produk gen
lainnya jika terjadi ketidakimbangan gen di dalam sel. Produk-produk tersebut
diantaranya morfogen, molekul adhesi sel, komponen protein multi-subunit, ligan

dan reseptornya, regulator transkripsi dan transporter. Identifikasi gen penyebab


munculnya fenotipik sindroma Down akan semakin terbuka di masa yang akan
7
datang dengan semakin lengkapnya katalog gen yang didapatkan dari proyek
genom manusia. Selain berakibat negatif, peningkatan dosis gen pada penderita
sindroma Down ternyata juga menimbulkan efek positif. Kemungkinan penderita
mendapatkan berbagai jenis tumor (Solid Tumours) jauh lebih rendah dibanding
individu normal. Peningkatan jumlah beberapa gen di kromosom 21 diduga
merupakan penyebab terlindunginya individu penderita sindroma Down dari
tumor-tumor tersebut.
Jumlah gen yang relatif rendah pada kromosom 21 konsisten dengan
pengamatan bahwa trisomi 21 merupakan satu-satunya kesalahan penggandaan
kromosom yang tidak menyebabkan kematian. Katalog gen kromosom 21
membuka kesempatan emas untuk memecahkan dasar-dasar molekuler sindroma
Down serta kemungkinan untuk menyembuhkan penyakit tersebut.
3. TERAPI GEN : HARAPAN UNTUK MENYEMBUHKAN SINDROMA
DOWN
Terapi sindroma Down hingga saat ini hanya dilakukan terhadap gejala
yang telah muncul. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah mengatasi
penderitaan pasien sindroma Down secara tuntas. Ketidakimbangan gen dan
ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan terus berlangsung sepanjang
hidup pasien. Ketidakimbangan tersebut akan menyebabkan kekacauan fungsi
produk-produk gen yang sensitif yang kemudian muncul dalam ujud fenotipik
khas sindroma Down. Jika demikian sudah hilangkah harapan penderita untuk
hidup dengan normal sebagaimana anggota masyarakat lainnya? Jika jawabannya
tidak, adakah alternatif lain terapi untuk sindroma Down?
Harapan ditaruh ke teknologi terbaru yang dikenal dengan terapi gen.
Terapi gen merupakan pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer
bahan genetik ke tubuh pasien. Dengan demikian melalui terapi gen bukan gejala
yang diobati tetapi penyebab munculnya gejala penyakit tersebut. Studi klinis
terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Kontroversi terhadap terapi

gen menjadi mengemuka ketika terjadi peristiwa kematian pasien setelah


8
menjalani terapi gen pada bulan September 1999 di University of Pennsylvania,
AS.
Terlepas dari kegagalan tersebut, terapi gen merupakan sistem terapi baru
yang menjanjikan banyak harapan. Beberapa pelajaran dan kegagalan-kegagalan
yang diperoleh selama dekade pertama serta pesatnya perkembangan bidang
tersebut saat ini membuka kemungkinan teknologi tersebut akan merevolusi dunia
kedokteran di dekade mendatang. Seluruh uji klinis transfer gen hanya dilakukan
terhadap sel-sel somatik bukan ke sperma atau ovum yang jika dilakukan pasti
akan menimbulkan kecaman dan pelanggaran etika yang dianut saat ini. Transfer
gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro.
Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara
genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Keunggulan metode ini adalah
transfer gen menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan
baik dan menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan
immunogenisitas sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel
terekayasa sulit dikontrol.
Seluruh uji klinis terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu
transfer langsung gen target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban
(vektor). Pengemban yang paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke
tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga pengembanpengemban
lain yaitu Retrovirus, Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA
telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi. Uji-uji
klinis terapi gen yang saat ini sedang berjalan dilakukan terhadap penderita
kanker, penyakit monogenik turunan, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular,
arthritis reumatoid, serta Cubital Tunnel Syndrome.
Apakah sindroma Down dapat diobati melalui terapi gen? Penulis optimis
pada beberapa tahun mendatang terapi gen dapat dilakukan juga terhadap
penderita sindroma Down, paling tidak pada tahapan uji klinis. Sebagaimana telah
diuraikan di depan, sindroma Down disebabkan ketidakimbangan gen akibat

kesalahan penggandaan pada kromosom 21. Kajian sangat intensif saat ini sedang
dikerjakan di banyak lembaga riset terkemuka di dunia. Dalam beberapa tahun
9
mendatang diharapkan dasar molekuler sindroma Down akan tersingkap. Dengan
tersingkapnya hal itu maka pendekatan terapi gen untuk mengatasi penyakit
tersebut dapat dikembangkan, misalnya dengan mengubah gen-gen yang
ekspresinya menyebabkan kerusakan, atau membuat gen-gen tertentu lebih
resisten terhadap ketidakimbangan gen yang terdapat dalam sel (Gambar 3).
Dengan berhasil dipetakannya kromosom 21 maka harapan kesana
semakin terbuka lebar. Semoga saja impian tersebut dapat segera terwujud yang
akan menjadi hadiah terbesar bagi penderita sindroma Down dan keluarga terkait.
Sungguh kita berharap itu semua akan terjadi.
Gambar 3. Teknologi untuk mengubah

gen-gen yang rusak.


2.1.7 Prognosis
Prognosisnya sangat bergantung pada adanya dan keparahan dari cacat jantung. Kemungkinan pasien
untuk mengalami penyakit saluran napas meningkat dan dapat terjadi akut leukemia. Apabila
sindroma ini mengenai laki-laki maka akan menjadi infertil. Hampir 80% pasien tanpa cacat jantung
dapat mencapai umur 30 tahun; 60% dari semua pasien masih hidup pada usia 50 tahun. Tinggi
badan pada umur 18 tahun antara 136-145 cm untuk wanita dan 140-162 cm untuk laki-laki. Dari
usia dekade keempat, penyakit Alzheimer harus diperhatikan (Weidemann, 1995).
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Kelainan ditemukan diseluruh dunia pada semua suku bangsa. Diperkirakan angka kejadian 1,5 : 1000
kelahiran dan terdapat 10 % diantara penderita retardasi mental. 3
Menurut Biran, sejauh ini diketahui faktor usia ibu hamil mempengaruhi tingkat risiko janin mengidap
SD. Usia yang berisiko adalah ibu hamil pada usia lebih dari 35 tahun. Kehamilan pada usia lebih dari 40
tahun, risikonya meningkat 10 kali lipat dibanding pada usia 35 tahun. Sel telur (ovum) semakin menua

seiring pertambahan usia perempuan.

Anda mungkin juga menyukai