Anda di halaman 1dari 15

Sistematika sumber hukum antar Imam Mazhab

A. MADZHAB HANAFI: IMAM ABU HANIFAH Abu Bakr Muhammad Ali


Thayib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi
menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah, sebagai
berikut:
Aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan di dalamnya,
aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan AsSunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil perkataan
yang aku
kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki.
Dan
aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain
mereka.
Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah dating kepada Ibrahim, AlSyaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Said, dan Abu Hanifah menyebut
beberapa
orang lagi, mereka orang-orang yang telah bertihad.
Selain itu, Hasby Asy-Syiddieqy, menguraikan dasar-dasar pegangan Imam
Hanafi
sebagai berikut.
Pendirian Abu Hanifah sebagaimana Hanafiyah, ialah mengambil dari
orangorang
kepercayaan, dan lari dari keburukan, memerhatikan muamalah manusia
dan
apa yang telah mendatangkan maslahat bagi urusan mereka. Beliau
menjalankan
urusan asas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, beliau melakukannya
atas
istihsan, selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan beliau
kembali

kepada urf masyarakat. Dan mengamalkan hadits yang terkenal yang telah
dimakan ulama, kemudian beliau meng-Qiyas-kan sesuatu kepada hadits itu
selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian, beliau kembali kepada
istihsan,
mana diantara keduanya yang lebih tepat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan madzhab
Hanafi
adalah:
1. Kitab Allah (Al-Quran)
2. Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di
antara para
ulama yang ahlu
3. Fatwa-fatwa dari sahabat
4. Ijma
5. Al-Qiyas
6. Al-Istihsan
7. Al-Urf
Perbandingan Madzhab | 91
Pola Pemikiran
1. Al-Kitab (Al-Quran)
Suatu hal yang menjadi permasalahan Al-Kitab dalam pandangan Madzhab
Hanafi adalah apakah yang dinamakan Al-Quran itu hanya makna lafaznya
saja
atau kedua-duanya, menurut As-Sarkhasi, Al-Quran dalam pandangan Hanafi
hanya maknanya saja, bukan lafazh dan makna. Adapun menurut AlBadzdzawi,
Abu Hanifah menetapkan Al-Quran adalah lafazh dan maknanya.
Jika diambil pendapat As-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita shalat
dengan
membaca terjemahan Al-Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemahan AlQuran

sama dengan Al-Quran itu sendiri.


Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak adanya pendapat yang jelas
dari
Abu Hanifah. Akan tetapi, menurut sebuah riwayat, Abu Hanifah pernah
berkata,
Ia membolehkan membaca terjemahan Al-Quran dalam shalat, baik kita
dapat
membaca ataupun tidak. Pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan
Muhammad
Al-Hasan, yang tidak membolahkan hal tersebut, kecuali apabila tidak
sanggup
membaca Al-Quran dengan lafazh arabnya.
Ulama Madzhab Hanafi berpandangan bahwa pesan Al-Quran tidak
semuanya
qathi ad-dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap
hukum
yang di tunjukan oleh Al-Quran tersebut, terutama ayat-ayat yang
menerangkan
muamalah umum antar manusia.
Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi
penggunaan
akal dalam mencari hukum suatu mashlahah lebih besar. Hal itu telah
dibuktikan,
baik oleh Imam Hanafi maupun oleh murid-muridnya, dank arena ini juga
Madzhab
Hanafi duluki sebagai madzhab yang paling Umari, dan madzhab liberalis,
dan
rasionalis.
Dalam memahami Al-Quran, ualama Madzhab Hanafi tidak hanya melakukan
interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga
melakukan

penelaahan terhadap aam dank has ayat Al-Quran tersebut. Dan inilah yang
tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam
Hanafi
dan ulama-ulama Haz yang semadzhab dengan mereka.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum khas mencapai yang muhkam adalah
qathI
tanpa perlu adanya bayan, karena khasbasul quran. Qathi di dalamnya, dan
segala
nash yang mengubah hukumnya di pandang nasikh, dan nasikh harus sama
kuatnya
dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiyah tersebut merupakan hasil
takhr
dari hukum-hukum furu yang ditetapkan oleh Abu Hanifah sendiri.
Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang membedakan fuqaha rayi
dan
fuqaha hadis. Fuqaha rayi mengumumkan Al-Quran, tidak mengkhususkan
dengan
hadis ahad. Fuqaha hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Asy-SyafiI
dalam
Ar-Risalah dan Al-Umm, mengkhususkan amm Al-Quran dengan hadis ahad.
92 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Ayat-ayat Al-Quran yang berpautan dengan hukum, selain diteliti dari segi
amm dank has-nya, juga harus ada usaha bayan, karena sifatnya mujmal
atau agak
tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau sifat-sifatnya
muthlaq
memerlukan taqyid. Oleh Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
Assunnah
bias menjadi bayan bagi Al-Quran.
Bayan Al-Quran menurut hanafi terbagi tiga bagian:

1. Bayan taqrir, seperti sabda Nabi, Berpuasalah kamu sesudah melihat


bulan dan
berbukalah kamu sesudah melihatnya
2. Bayan tafsir, seperti hadits yang menerangkan kaifiyat shalat, kaifiyat haji,
zakat,
cara memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang
berkenaan
dengan riba.
3. Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan nasakh. Al-Quran boleh
dinasahkan
dengan As-sunnah dengan syarat bahwa As-sunnah tersebut adalah
mutawatir
atau masyhurah dan mustafidhah.
2. As-Sunah
Dasar yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat AsSunnah terletak dibawah Al-Quran. Imam Abu Yusuf berkata, Aku belum
pernah
melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu
Hanifah.
Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-penyakit hadis dan mentadil dan
men-tarjib hadis.
Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan AsSunnah yang mutawatir, mashur, dan shahih. Hanya saja, Imam Hanafi
sebagaimana
ulama Hanafiyah, agak ketat menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan
untuk
menerima hadis ahad.
Abu Hanifah menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan mana AlQuran,
baik makna yang diambil dari nash, atau yang diambil dari illat hukum. Ali

Hasan
Abd. Al-Qadir mengatakan, Musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak
senang
dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar
terhadap
hadis. Ia memprioritaskan rayu. Abu Shalih Al-Fura menuturkan, Aku
mendengar
Ibn Asbath berkata, Abu Hanifah menolak 400 atau lebih hadis.
Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan dengan qiyas.
Tetapi
jika berlawanan hadis ahad dengan qiyas yang illatnya mustanbath dari
suatu ashal
yang dhanni, walaupun dari ashal yang qathi, atau diistanbathkan dari ashal
yang
qathi, tetapi penetapannya kepada furu adalah dhanni, maka hadis ahad
didahulukan
atas qiyas.
Perbandingan Madzhab | 93
Pola Pemikiran
3. Fatwa Shahabi
Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia
menerima,
mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada pada
suatu
masalah beberapa pendapat sahabat, maka ia mengambil salah satunya.
Dan jika
tidak ada pendapat-pendapat sahabat pada suatu masalah, ia bertihad dan
tidak
mengikuti pendapat tabiin. Menurut Abu Hanifah, ma sahabat ialah:
Kesepakatan
para mujtahidin dari umat Islam di suatu masa sesudah Nabi, atas suatu

urusan.
Tarif itulah yang disepakati ulama Ahlu Al-Ushul. Ulama Hanafiyah
menetapkan
bahwa ma itu dadikan sebagai hujjah. Mereka menerima ma qauli dan
ma sukuti.
Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu
urusan yang
telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah
menyalahi
ma. Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah
dalam
menerima ma sebagai hujjah:
a. Para sahabat bertihad dalam menghadapi masalah yang timbul. Umar bin
Khaththab dalam menghadapi suatu masalah, sering memanggil para
sahabat
untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam
musyawarah
tersebut diambil kesepakatan, Umar pun melaksanakannya.
b. Para Imam salalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah
diambil
oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan tidak
dipandang
menyalahi umum. Dan Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah
difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
c. Hadis-hadis yang menunjukkan keharusan menghargai ma seperti:
Dengan demikian, jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ma
merupakan salah sartu hujjah dalam agama, yang merupakan hujjah
qathiyyah.
Mereka tidak membedakan antara macam-macam ma. Oleh karena itu,
apapun
bentuknya kesepakatan yang datangnya dari kesepakatan para

ulama/masyarakat,
itu berhak atas penetapan suatu hukum dan sekaligus menjadi hujjah
hukum.
4. Qiyas
Qiyas adalah penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak
ada
nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam Kitabullah
atau
As-Sunnah atau ma karena kesamaan illatnya. Yang menjadi pokok
pegangan
dalam menjalankan qjyas adalah bahwa segalanya hukum syara ditetapkan
untuk menghasilkan kemashlahatan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.
Hukum-hukum itu mengandung pengertan-pengertian dan hikmah-hikmah
yang
menghasilkan kemashlahatan, baik yang diperintahkan maupun yang
dilarang,
atau yang dibolehkan maupun yang dimakruhkan. Semuanya demi,
kemashlahatan
umat.
94 | Perbandingan Madzhab
Modul III
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah yang baru timbul
dan
tidak ada hukumnya dalam Al-Quran dan As- Sunnah serta ma, boleh
diqoaskan
begitu saja, atas dalil kemashlahatan umum. Ada beberapa syarat dan rukun
yang
harus dipenuhi tatkala hendak mengqiaskan suatu permasalahan kepada
hukum
lama.

Di antara rukun yang harus dipenuhi dalam qias adalah: 1). ashal, yaitu
sesuatu
yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiaskan, dalam istilah
ushul
fiqh disebut al-ashlu atau al-musyabbah bihi; 2) cabang (al-faru), yaitu
sesuatu yang
tidak dinashkan hukumnya. Dalam istilah ushul fiqh disebut al-faru almaqis
atau
al-musyabbah; 3) hukum ashal, yaitu hukum yang dinashkan pada pokok
yang kemudian
akan menjadi hukum pada cabang; 4) illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan
tertentu
yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum.
Dan illat
inilah yang akan menjadi titik tolak serta pakan dalam melaksanakan qiyas.
Tentang illat hukum yang ada dalam nash, tidak semua nash itu dapat
diselami
illatnya oleh akal pikiran. Oleh karena itu Hanafiyah membagi nash itu pada
dua
bagian:
1. Nushus taabbudiyah, yaitu nash-nash yang berkenaan dengan masalahmasalah
ibadah, seperti masalah tayamum, ibadah haji dan lainnya. Pada nash ini
tidak
dilakukan qiyas. Karena hukumnya telah disyariatkan Allah, serta ada kaidah
yang mengatakan tidak ada qias dalam masalah ibadah.
2. nash-nash yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan
illatnya itu.
Nash inilah yang disebut nash muallal, nash-nash yang diteliti illatnya,
maksudnya,
sebab, dan ghayah- ghayahnya, dan pada nash ini berlaku qias.

5. Istihsan
Istihsan yang, diartikan sebagai konstruksi yang menguntungkan
(favourable
construction), atau juga sering dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic
preference)
dadikan hujjah oleh fuqaha Madzhab Hanafi (Abdullah Ahmed An-Naim,
1994:
50). Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara kaku, seorang
fuqaha
Hanafi lebih suka memilih (yabtasin) jalan keluar yang lain, yaitu
meninggalkan qias
yang tersembunyi atau halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas yang
jelas (jali)
dan bersifat eksternal dengan model pengambilan keputusan dari dalam diri
yang
terkondisi.
6. Al-urf
Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber
syariah
oleh madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, urf dapat melampaui qias,
namun
tidak dapat melampaui nash Al-Quran dan As-Sunnah. Sahal ibn Muzahim
berkata,
Pendirian Abu Hanifah adalah mengambil yang tepercaya dan lari dari
keburukan
Perbandingan Madzhab | 95
Pola Pemikiran
setta memethatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan
mashlahat
bagi mereka. Ia melakukan segald urusan atas qiyas. Apabila tidak baik
dilakukan

qiyas, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila


tidak dapat
dilakukan istihsan, kembalilah ia kepada urf manusia. (Abdullah Ahmed AnNaim,
1994: 53).
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode
Abu Hanifah adalah: pertama, Abu Hanifah menggunakan qias atau istihsan
yang
tidak ada, nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang lebih tepat di antara
qiyas
dan istihsan. Kedua, apabila tidak dapat dalankan qiyas atau istihsan, Abu
Hanifah
mengambil urf, apabila tidak ada nash Al-Quran, As-Sunnah, ma, dan
istihsan, baik
istihsan qiyas maupun istihsan istisnai (atsar, istihsan ma, dan istihsan
darurat).
Dalam pandangan Barat, Abu Hanifah tampaknya telah memainkan peranan
sebagai seorang penyusun teori yang sistematis yang telah mencapai
banyak kemajuan
di dalam mengembangkan dasar hukum yang bersifat teknis. Abu Hanifah
bukanlah
seorang qadhi seperti Abu Layla, karena itu, cara berpikirnya tidak begitu
terikat
dengan pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan tugas seharihari atau
praktis. Meskipun diakui bahwa pemikirannya berpandangan lebih luas dan
cermat
daripada tokoh tua semasanya...
B. MADZHAB MALIKI: IMAM MALIK
Sistematika sumber hukum atau instinbath Imam Maliki, pada dasarnya, ia
tidak

menuliskan secara sistematis. Akan tetapi para, muridnya atau madzhabnya


menyusun
sistematika Imam Malik sebagaimana Qadhiyad dalam kitabnya AI-Mudarak,
sebagai
betikut:
Sesungguhnya manbaj imam Dar Al-Hrah, pertama, ia mengambil
Kitabullah,
jika tidak ditemukan dalam Kitabullah nashnya, ia mengambil As-Sunnah
kategori
As-Sunnah menurutnya, hadis-hadis nabi Saw dan fatwa sahabat, amal AhIu
almadinah,
al-qiyas, al mashlahah al-mursalah, sadd adz-Dzarai al-urf, dan al-addt
Secara analitik, delaskan pula oleh Muhammad Salam Madkur dalam kitab
Al-ljtihadu fi At-Tasyri Al-IsIami, bahwa Imam Malik berpegang teguh kepada
Al-Quran,
Sunnah mutawatir, ma, terutama ma, Ahlu Madinah. Adapun ma selain,
itu, dicari
yang paling kuat; qaul sahabat [kibar] karena perkataan mereka dati Nabi %,
fatwa kibar
tabiin diperhatikan, tetapi sebagian besar Imam Maliki mendahulukan hadis
ahad atas
qiyas apalagi kabar ahad yang sesuai dengan Ahlu Madinah. Istihsan,
maslahat, saddu
dzariah dipegang oleh Imam Malik yang sesuai dengan dalil kulli, bahkan
saru man
qablana (syariat sebelum Nabi) diambil selama tidak ada dalam syariat kami.
Dalam ringkasan Thaha Jabir, Madzhab Malik atau madzhab orang Hazsahabat
Imam Said Al-Musayyab, memiliki kaidah-kaidah tihad sebagai berikut:
(1) Mengambil dari Al-Quran [Al-Kitab Al-Aziz];
96 | Perbandingan Madzhab

Modul III
(2) Menggunakan zhahir Al-Quran, yaitu lafazh yang umum;
(3) Menggunakan dahr Al-Quran, yakni mafhum al-mukhalafah;
(4) Menggunakan mafhum Al-Quran, yaitu mafhum muwafaqah;
(5) Menggunakan tanbih Al-Quran, yaitu memerhatikan illat.
Lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah. Adapun langkahlangkah dari
segi Al-Sunnah ada sepuluh, yaitu:
(1) ljma
(2) Qiyas,
(3) Amal penduduk Madinah,
(4) Istihsan,
(5) Sadd adZ-Zarai,
(6) Al-mashalih al-mursalab,
(7) Qaul ash-shahabi, [jika sanadnya sahih, ia bagian yang diterima]
(8) Muralat al-khilaf, [jika dalil ikhtilafnya kuat],
(9) Al-istishhab dan,
(10) Syaru man qablana.
a. Al-Quran
Dahun pandangan Malik, Al-Quran adalah di atas semua dalil-dalil hukum. Ia
menggunakan nash sharih [jelas] dan tidak menerima tawil. Dzahir Al-Quran
diambil
ketika bersesuaian dengan takwil selama tidak didapati dalil yang
mewajibkan
takwil. Imam Malik menggunakan mafhum al-Muwafaqat, yaitu fahwa alkitab. Selain
itu, Imam Malik menggunakan mafhum al-mukhalafah, tanbih atas illat,
isyarat [qarinah].
Imam Malik mendahulukan Al-Quran selama tidak ada dalam As-Sunnah.
b. As-Sunnah
Madzhab Malik Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir, masyhur

[setingkat dibawah mutawatirl, dan kbabar ahad [sebagian besar,


mendahulukan
hadis ahad dari qiyas]. Selain itu, Imam Malik menggunakan hadis munqathi
dan
mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
c. Amalan Ahlu Al-Madinah [Al-urf]
Imam Malik memegang tradisi Madinah sebagai hujjah [dalil] hukum karena
amalannya, dinukil langsung dari Nabi. Ia mendahulukan amal Ahlu AlMadinah
ketimbang khabar ahad sedangkan para fuqaha tidak seperti itu.
d. Fatwa sahabat
Fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena ia atsar di mana sebagian
para sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi. Oleh karena itu, qaul
shahabi
Perbandingan Madzhab | 97
Pola Pemikiran
digunakan sebab bila dinukil dari hadis. Bahkan, Imam Malik mengambil juga
fatwa
para kibar attabiin meskipun derajatnya tidak sampai ke fatwa sahabat,
kecuali
adanya ma para Ahlu Madinah.
e. ljma
Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada iima seperti
tertera
dalam kitabnya Al-Muwatbtba kata-kata al-amru al-mujtama alaih dan
sebagainya.
Ijma Ahli Madinah pun dadikan hujjah, seperti ungkapannya, hadza huwa alamru
al-mujtama alaihi indana. Asal amalan Madinah tersebut berdasarkan
Sunnah, bukan
hasil tihad fatwa.

f. Qiyas, Mashlahat Mursalat, dan Istihsan


Qiyas yang digunakan Imam Malik adalah qias isthilahi,sedangkan istihsan
adalah memperkuat hukum mashlahat juziyah atas hukum qiyas. Qiyas
adalah
menghubungkan suatu kasus yang tidak dejaskan nash dengan suatu
perkara yang
ada nashnya karena ada kesesuaian antara kedua perkara tersebut pada Mat
kedua
hukum tersebut. Adapun mashlahat juziyah tidak seperti itu. Dalam
menetapkan
hukum, inilah yang disebut isfibsan isbtbilabi. Menurut kami, istihsan adalah
hukum
mashlahat yang tidak ada nashnya.

Anda mungkin juga menyukai