Anda di halaman 1dari 57

1

ETIKA TERAPAN
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Secara umum etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika
umum membicarakan mengenai norma dan nilai-nilai moral, kondisi dasar bagi
manusia untuk bertindak secara etis, bagaiman manusia mengambil keputusan etis,
teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (suara hati manusia) dan lainnya. Etika
umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoretis, kendati
istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan
dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupan
sehari-hari dan tidak hanya bersifat teoretis.1
Sementara itu etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip atau normanorma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma
dan prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia
yang lebih khusus. Etika khusus di sini memberi pegangan, pedoman dan orientasi
praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang
dijalaninya. Etika khusus juga merupakan refleksi kritis atas kehidupan dan
kegiatan khusus tertentu yang mempersoalkan praktik, kebiasaan dan perilaku
tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum
tertentu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan tersebut di
pihak lain.2
Etika khusus dibagi menjadi etika individual memuat kewajiban manusia
terhadap diri sendiri dan etika sosial, yang merupakan bagian terbesar dari etika
khusus. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota
umat manusia. Diagram di bawah ini menunjukkan pembagian etika, sebagai
berikut di bawah ini: 3

Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penebit
Kanisus, 1998), hlm. 32
2
Ibid, hlm. 32-33
3
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 7-8

2
Diagram
Sistematika ETIKA

UMUM
Prinsip
Moral dasar
ETIKA
ETIKA INDIVIDUAL
KHUSUS
terapan
ETIKA SOSIAL

PENDAKATAN ETIKA TERAPAN


Ada dua pendekatan Etika khusus atau Etika Terapan, yaitu: pendekatan
multidisipliner dan kasuistik yang akan dijelaskan di bawah ini.
Pendekatan Multidisipliner
Pada perkembangannyannya etika sebagai etika terapan atau applied ethics
ini memberikan kontribusi penting yang dapat diberika etika sebagai bagian dari
filsafat kepada bidang lintas disiplin ilmu lainnya. Bukan hanya pada Fakultas
Filsafat berkembang mata kuliah-mata kuliah seperti etika biomedis, etika bisnis,
etika lingkungan hidup, etika media massa dan lain sebagainya. Perkembangan
yang sama terjadi juga di fakultas-fakultas lainnya, misalnya etika biomedis
diberikan di Fakultas Kedokteran, etika bisnis di Fakultas Ekonomi dan seterusnya.
Dengan demikian etika bagaikan magnet yang menghimpun ilmu-ilmu atau bidang
kajian lainnya.4
Kerja sama etika dengan disiplin ilmu lain tersebut diperlukan, sehubungan
dengan etika harus melakukan pertimbangan-pertimbangan sesuatu yang di luar
bidangnya.
Seorang Etikawan tentunya akan mengalami kesulitan untuk
memberikan pertimbangan dengan baik, bila tidak mendapatkan penjelasanpenjelasan yang memadai dan lengkap yang hanya diperoleh dari disiplin ilmu yang
membidanginya.5 Misalnya, seorang etikawan tidak akan mendapatkan penjelasan
4

K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan Publika,


2005), hlm. 24-25
5
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia Alam, Iptek dan Kerja, (Jakarta: Penerbit
PT Elex Media Komputindo, 2005), hlm 24

3
yang memadai, ketika memberi pertimbangkan mengenai masalah bayi tabung,
apabila etikawan tersebut tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari dunia
kedokteran. Demikian juga para profesional seperti halnya Ikatan dokter Indonesia
pun menuliskan dampak teknologi kedokteran bagi etika.6
Kasuistik
Sehubungan dengan etika terapan menggeluti masalah-masalah yang sangat
konkret, tidak mengherankan bahwa di sini telah berkembang kebiasaan untuk
mempelajari kasus, seperti yang telah dilakukan oleh ilmu kedokteran dengan etika
biomedisnya dan ilmu manajemen dengan etika bisnisnya kasus-kasus banyak
dibicarakan. Bahkan saat ini sudah ada buku-buku yang memuat kasus-kasus dan
pembahasan dari kasus tersebut, baik di bidang etika biomedis maupun etika bisnis,
misalnya kasus-kasus yang membahas Susu Bayi Nestle, kasus mobil Ford Pinto dan
kasus-kasus lainnya di bidang etika bisnis.7
Kasuistik itu sendiri merupakan usaha memacahkan kasus-kasus konkret di
bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Jadi, Kasuistik
ini sejalan dengan maksud umum dari etika terapan. Tidak mengherankan bila
dalam suasana etis yang menandai jaman kita saat ini, timbul minat baru untuk
kasusistik ini. Kasuistik itu sendiri memiliki sejarah panjang dan kaya yang
sebenarnya sudah ada sejak Aristoteles menyatakan etika sebagai ilmu praktis.8
Pertimbangan moral yang praktis selalu bersifat kasuistik. Dalam hal ini
kasuistik secara khusus dapat membantu menjembatani kesenjangan antara
relativisme9 dan absolutisme. Pada satu sisi adanya kasuistik mengandaikan secara
tidak langsung bahwa relativisme moral tidak bisa dipertahankan. Dalam hal ini
mengandaikan, bahwa setiap kasus memiliki kebenaran-kebenaranannya masingmasing, maka dalam pandangan ini kasuistik sebenarnya tidak diperlukan lagi. Di
satu sisi norma-norma etis juga tidak juga bersifat absolut begitu saja, sehingga sulit
diterapkan tanpa mempertimbangkan situasi konkret. Jadi faktor situasi konkret
yang disebut dengan circumstantiae merupakan faktor yang penting yang menjadi
pertimbangan, faktor inilah yang merupakan faktor khas yang menandai situasi
tersebut atau dalam bahasa Indonesia kita kenal sebagai sikon. Sebuah rumusan
klasik yang tetap berlaku hingga saat ini untuk memahami kasuistik ini berupa
rumusan: quis, quid, ubi, quibus auxiliis, cur, quomodo, quando atau dalam

Kartono Mohamad di dalam K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007), hlm. 274
7
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2003), hlm. 26
8
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 275-276
9
Relativisme moral merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa moralitas
didasarkan terutama pada budaya, dan bahwa pada kenyataannya tidak ada kebenaran dan kealahan
mutlak.
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm. 37

4
bahasa Indonesia yang sudah sangat populer dengan siapa, apa, di mana, dengan
sarana mana, mengapa, bagaimana, kapan kasuistik ini dirumuskan.10
METODE ETIKA TERAPAN
Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak seragam. Etika
sebagai ilmu yang praktis tidak ada metode yang siap pakai yang dapat begitu saja
digunakan oleh orang yang berkecimpung dalam bidang ini. Pada etika terapan,
variasi metode dan variasi pendekatan berbeda-beda. Dalam hal ini paling tidak ada
empat unsur yang melalui salah satu cara selalu berperan dalam etika terapan.
Empat unsur tersebut mewarnai setiap pemikiran etis, jadi metode etika terapan
dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada
umumnya. Empat unsur yang dimaksud disini adalah: Sikap awal, informasi,
norma-norma moral, logika. Berikut di bawah ini dipaparkan empat unsur tersebut,
sebagai berikut:11
1. Sikap Awal
Selalu ada sikap awal dan tidak pernah bertolak dari titik nol dalam
membentuk suatu pandangan mengenai masalah etis apa pun. Sikap moral
ini dapat berupa pro atau kontra atau juga netral, atau malah tidak peduli
sama sekali, namun sikap-sikap awal ini belum direfleksikan. Sikap awal ini
terbentuk karena berbagai faktor misalnya pendidikan, kebudayaan, agama,
pengalaman pribadi dll. Sikap awal akan bertahan sampai suatu saat
berhadapan dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah reflesinya.
Bisa jadi sikap awal tersebut menjadi masalah ketika berjumpa dengan orang
yang memiliki sikap yang berbeda dengan dirinya. Pada awalnya mungkin
kita belum berpikir mengapa kita bersikap demikian, misalnya dalam
masyarakat yang sudah biasa menggunakan teknologi nuklir sebagai sumber
energinya, tanpa keberatan apa pun mereka menerima begitu saja
penggunaan energi nuklir tersebut. Akan tetapi seiring dengan sikap negara
yang menggunakan nuklir sebagai alat persenjataannya, seperti Korea Utara
yang sering kali melakukan uji coba nukir ditambah dengan peristiwa gempa
besar di Jepang yang merusak reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir yang
efeknya begitu besar bagi manusia, peristiwa tersebut seperti membuka mata
masyarakat akan bahaya energi nuklir bagi kehidupan manusia. Dari
peristiwa ini sikap awal orang akan tergugah dan menjadi problema etis.
2. Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang diperlukan adalah
informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis yang terkait dengan
perkembangan ilmu dan teknologi, seperti masalah di atas. Bisa saja sikap
awal yang diambil pro, karena energi nuklir energi yang sangat murah
namun menghasilkan energi listrik yang besar. Sikap awal seringkali bersifat
subjektif yang tidak sesuai dengan kondisi objektifnya. Melalui informasi
10
11

K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika,hlm. 33-35


K. Bertens, ETIKA, hlm. 295-303

5
dapat diperoleh, bahwa bahan sisa-sisa energi nuklir ternyata tidak mudah
musnah. Sampah nuklir mengandung radioaktif yang membutuhkan 6000
tahun untuk tidak aktif. Hal ini tentu sangat mencemari lingkungan, air,
tanah dan udara melalui radioaktif yang dilepaskan ke udara. Tentu
informasi-informasi ini diperoleh melalui data ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan, informasi tersebut diperoleh dari para ahli di
bidangnya. Dengan demikian etika terapan memerlukan informasi-informasi
yang berkaitan dengan masalah etis tersebut, hal ini sesuai dengan konteks
yang sudah dijelaskan di atas etika terapan mengadakan pendekatan
multidisipliner.
3. Norma-norma Moral
Metede etika terapan berikutnya adalah norma-norma moral yang relevan
untuk topik atau bidang bersangkutan. Penerapan norma-norma moral ini
merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan. Penerapan normanorma ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, tidak seperti mata kuliah
teknik yang dapat menerapkan prinsip teori teknik secara langsung dalam
mengaplikasikannya ke dalam praktik, misalnya dalam membangun sebuah
bangunan. Hal ini lebih dikarenakan norma-norma tersebut tidak dalam
kondisi siap sedia dan tinggal diterapkan begitu saja, akan tetapi normanorma tersbut perlu diuji dan dibuktikan terlebih dahulu, sebagai norma yang
dapat diterima dan digunakan untuk kasus tersebut, serta dapat diterima
secara umum. Misalnya mengenai masalah perbudakan, tidak serta merta
semua orang menyadari bahwa hal itu tidak sesuai norma. Hal ini melalui
penerapan pada sekelompok kecil yang akhirnya mempengaruhi orang secara
keseluruhan, bahwa perbudakan bukan hal yang baik untuk kemanusiaan.
4. Logika
Etika terapan harus bersifat logis, dalam hal ini menuntut uraian yang logis
dan rasional dalam pemaparannya.
Melalui bantuan logika dapat
memperlihatkan bagaimana suatu argumentasi mengenai masalah moral,
kaitan antara kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan apakah
penyimpulannya tersebut tahan uji, jika diperiksa secara kritis menurut
aturan-aturan logika.
Melalui logika dapat menunjukkan kesalahankesalahan penalaran dan inkonsistensi yang terjadi dalam argumentasi yang
dipaparkan. Logika juga dapat menilai definisi yang tepat tentang konsep
yang dibicarakan dalam etika terapan. Diskusi akan menjadi tidak terarah
apabila penyaji tidak berhasil mendefinisikan topik-topik yang dibahas itu
secara jelas. Misalnya penyaji harus terlebih dahulu mendefinisikan
mengenai topik perjudian, korupsi, suap dan sebagainya secara jelas menurut
aturan logika. Melalui pendefinisian yang dibantu dengan logika tersebut
perdebatan moral menjadi lebih terarah dan menarik.

6
PENUTUP
Demikianlah etika terapan merupakan penerapan prinsip-prinsip atau normanorma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam kaitan ini, norma
dan prinsip moral ditinjau dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia
yang lebih khusus. Etika terapan juga bersifat multidisipliner, dalam hal ini
memerlukan ilmu-ilmu lain selain etika untuk menjelaskan masalah yang disoroti,
agar dalam penyimpulan etis dapat dilakukan dengan tepat. Metode etika terapan
terdapat empat unsur yang terdiri dari: sikap awal, informasi, norma-norma moral,
logika

DAFTAR PUSTAKA
Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penebit
Kanisus, 1998)
Antonius Atosokhi Gea, Relasi Dengan Dunia Alam, Iptek dan Kerja, (Jakarta:
Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2005)
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989)
K Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Penerbit Teraju PT Mizan Publika,
2005)
K. Bertens, Keprihatian Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2003)
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004)

ETIKA SOSIAL
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Pembagian lain dari Etika Terapan adalah pembedaan antara etika individual
dan etika sosial. Bidang kajian etika individual membahas berbagai kewajiban
manusia terhadap dirinya sendiri, sementara itu etika sosial lebih menekankan
kepada pembahasan kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat. Pembagian
etika kedalam etika individual dan etika sosial ini pun sebenarnya diragukan
relevansinya, mengingat manusia secara individu merupakan bagian dari
masyarakat, dengan demikian agak sulit membedakan etika yang semata-mata untuk
individu manusia tertentu dan etika yang semata-mata sosial. Sebut saja masalah
yang berkaitan dengan kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri, misalnya bunuh
diri yang sama sekali tidak melibatkan orang lain diprosesnya, tetap saja pada
akhirnya merepotkan orang lain yang menemukan dirinya yang sudah didapati
tidak bernyawa, karena orang yang bersangkutan memiliki famili, teman-teman,
tetangga dan lain sebagainya.12
Dengan demikian tidak ada suatu masalah pun yang dapat dilepaskan begitu
saja dari konteks sosial, sehingga pembagian etika ke dalam etika individual
kehilangan relevansinya, mengingat manusia sebagai mahluk sosial.
PEMBAGIAN ETIKA SOSIAL
Secara khusus etika sosial membahas menyangkut hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya, etika sosial memiliki ruang lingkup yang sangat luas.
Etika sosial menyangkut hubungan individu yang satu dengan individu yang
lainnya, serta menyangkut juga interaksi sosial secara bersama-sama, termasuk
dalam bentuk-bentuk kelembagaan (Keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis
terhadap paham yang dianut, serta pola perilaku dalam bidang kegiatan masingmasing.13
Selanjutnya Sonny Keraf membagi etika tersebut sebagai berikut di bawah
ini:14

12

Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 272
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 34
14
Ibid, hlm. 34
13

8
Etika Umum

Etika

Etika Individual
- Sikap terhadap sesama

- Etika Keluarga
Etika Khusus

Etika Sosial
- Etika gender

-Biomedis
- Bisnis

- Etika Profesi
Etika Lingkungan

-- Hukum
- Ilmu

- Etika Politik

Pengetahuan
- Pendidikan

- Kritik Ideologi - dll

Dengan demikian, melihat sistematika pembagian etika khusus di atas,


hampir seluruh materi etika terapan yang diberikan dalam Mata Kuliah Etika di
Universitas Kristen Maranatha pada setengah semester ini sebagian bersar
merupakan bidang kajian dari Etika Sosial yang terdiri atas: Etika Bisnis, Etika
Politik dan Etika Seksual.
TEMA-TEMA ETIKA SOSIAL
Berikut dipaparkan tema-tema yang terdapat dalam kajian Etika Sosial,
sebagai berikut di bawah ini:
Menurut buku Manual of Social Etics15 terdiri atas: The Natural Law, The
Dignity of Man, Mans Natural Rights, The Rights to Life, The Right to
Bodily Integrity, The Family, The State, Lesser Associations in the State,
Vocational Organization, Trade Unionism, Education, Property, Capitalism,
Communism, Strikes, Wages, Profit-Sharing and Co-Partnership.
15

Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of Social Ethics,
(Dublin: M.H. Gill and Son LTD, 1956)

9
Sedangkan menurut buku ETIKA Sosial karya Jenny Teichman16, Bagian
Pertama: Dasar Etika terdiri dari (Moralitas dan Humanitas; Egoisme,
Relativisme dan Konsekuensialisme); Bagian Kedua: Pembelaan
Humanisme (Manusia dan Pribadi, Manusia dan Binatang, Manusia dan
Mesin), Bagian Ketiga: Kematian dan Kehidupan (Eutanasia- Pro dan
Kontra, Eutanasia Logika dan Praktek, Aborsi, Etika Profesional), Bagian
Keempat: Ideologi dan Nilai (Feminisme dan Maskulisme, Kebebasan
Berpikir dan Berekspresi dan Kelompok Kiri, Kanan dan Hijau)
DASAR ETIKA
Tindakan atau cara bertindak seseorang dipengaruhi oleh keyakinannya
mengenai apa yang baik dan yang jahat, ada anggapan bahwa teori-teori etika tidak
mempengaruhi tindak-tanduk seseorang. Akan tetapi anggapan ini nampaknya
keliru, teori yang berbeda akan membuat tindakannya pun berbeda pula. Kelompok
konsekuensialis dalam hal ini utilitarian dan teman-temannya akan melihat sisi
manfaat atau keuntungannya ketimbang sisi benar dan salah apa yang
dilakukannya.17
Demikian juga dengan Egoisme, dalam hal ini egoisme teoritis merupakan
teori yang menempatkan moralitas pada kepentingan dirinya sendiri. Secara kodrati
menurut faham ini segala tindakan manusia didorong oleh motivasi cinta diri dan
tindakan-tindakan yang nampak sepertinya tidak menunjukan cinta diri, namun
ternyata ada motivasi lain dibalik tindakannya tersebut. Misalnya hasrat menolong
orang menurut faham ini didasari oleh rasa cinta diri itu sendiri. Sementara itu
Friedrich Nietzsche menekankan bahwa pandangan egoisme itu harus dianut,
manusia unggul harus menganut egoisme agar dapat memajukan bangsanya (bermensch).18
Adapun Relativisme moral merupakan aliran etika yang menyatakan benar
dan salahnya bergantung pada masyarakat tempat dimana manusia itu hidup.
Seperti kita maklumi bahwa masing-masing kelompok masyarakat memiliki kode
perilaku yang berbeda-beda. Dengan demikian terdapat standar moralitas yang
berbeda-beda, seseorang tidak dapat menghakimi orang lain dari komunitas lain
yang berbeda standar moralnya, bila ini terjadi maka ini berarti terjadi imperialisme
kultur. Apabila berpegang pada sudut pandang relativisme moral, kegiatan para Ku
Klux Klan dipandang sebagai tindakan yang jahat dan tidak adil dari sudut pandang
orang kulit hitam saja atau rasisme harus selalu dikutuk, kecuali ditempat dimana
masyarakat dapat menerima pandangan membeda-bedakan menurut dasar ras. Maka
dengan demikian, jika semua nilai bersifat relatif bagi suatu masyarakat, maka tidak
ada alasan untuk mengatakan bahwa konsistensi yang logis sebagaimana adanya

16

Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)


Ibid, hlm. 3
18
Ibid, hlm. 5-10
17

10
lebih baik daripada rasisme atau tirani, semuanya bergantung pada sudut pandang
masyarakat bersangkutan.19
Menempatkan manusia pada sisi harkat dan martabatnya diperlukan dalam
mempelajari berbagai teori-teori etika yang ada, agar kita dapat memiliki prinsip
dalam mengambil sebuah tindakan. Dan prinsip tindakan itu adalah terletak pada
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang menjadi dasar yang utama
dalam tindakan seseorang.
Jenny Teichman dengan tegas mengemukakan prinsip dasar yang harus
dipegang dalam etika sosial, prinsip pertama adalah bahwa manusia secara intrinsik
berharga, yakni kudus, dalam arti religius ataupun sekuler dan kedua bahwa manusia
mempunyai hak-hak kodrati.20
KEHIDUPAN MANUSIA DAN NILAI INTRINSIK
Lebih lanjut Jenny Teichman dalam bukunya ETIKA SOSIAL
mengemukakan mengenai nilai intrinsik dalam kehidupan manusia. Kehidupan
manusia dan nilai intrinsiknya dapat kita ketahui melalui pertimbanganpertimbangan sebagai berikut:21
1. Hampir setiap orang ingin hidup, apakah mereka bahagia atau pun tidak
dengan caranya masing-masing, menunjukkan kepada kita bahwa hidup itu
memiliki nilai yang lebih besar dari sekedar keberadaan jiwa maupun
raganya. Selain itu orang-orang di mana pun menilai kehidupan mereka
sendiri dan kehidupan orang-orang yang mereka cintai lebih tinggi daripada
apa pun yang lain di dunia ini.
2. Kehidupan manusia hanya mempunyai nilai intrinsik jika layak dihidupi.
Kehidupan yang bagaimana yang layak dihidupi itu? Apakah hidup yang
tidak layak dijalani ada dalam penderitaan seperti dalam keadaan sakit yang
berkepanjangan atau bahkan keadaan koma. Namun kehidupan dalam
tahanan, kesedihan, ataupun kesakitan bahkan dalam kekurangan makanan
pun ternyata dinilai layak dijalani.
3. Kaum utilitaris berpendapat bahwa hanya keadaan jiwa seperti dalam
keadaan senang dan bahagia yang memiliki nilai intrinsik, pendapat ini
digambarkan seperti menaruh kereta di depan kuda. Sementara itu apabila
kita menilai sebilah pisau, kita menilainya hanya sebagai alat saja, lain
halnya kita menilai sebuah Lukisan Leonardo da Vinci, maka kita
mengatakan lukisan tersebut memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian
penilaian memiliki nilai intrinsik tersebut dinilai dari kualitasnya bukan
dilihat dari sisi instrument yang memiliki kegunaan saja. Demikian juga
halnya dengan menilai manusia jika dilihat dari sisi kebergunaan sebagai

19

Ibid, hlm 10-15


Jenny Teichman, hlm 20
21
Ibid, hlm. 22-24
20

11
instrumen tadi, maka manusia yang ada dalam keadaan yang tidak berdaya
mungkin dinilai tidak ada gunanya.
4. Kalau begitu jika kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik,
bagaimana manusia dapat memberikan nilai kepada hal-hal lain? Bagaimana
suatu yang bernilai sekunder dapat memahami dan menciptakan sesuatu yang
bernilai primer?
5. Bila masyarakat yang moral dan politiknya didasarkan atas teori bahwa
kehidupan manusia tidak mempunyai nilai intrinsik akan bertindak
memperlakukan orang lain sebagai cecunguk yang layak diinjak dan
ditendang, misalnya perlakuan terhadap orang Yahudi.
6. Jika ada tataran nilai di dunia ini dan manusia tidak berada pada puncak
tataran ini, lalu apakah yang ada di puncak?
Dalam poin-poin tersebut di atas dapatlah kita simpulkan bahwa setiap manusia
bernilai pada dirinya sendiri, dan sama sekali tidak mengurangi nilainya manakala
manusia ada dalam kehidupan tidak bahagia sekali pun. Sehingga tidak ada alasa
bagi kita memandang rendah sesama kita, betapa pun secara kedudukan misalnya
dia adalah rakyat jelata dan miskin sekali pun, tetaplah kita harus menghormati dia
sebagai manusia.
Karena manusia bernilai pada dirinya sendiri, maka manusia pun
merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini dapat diartikan, bahwa tidak ada
alasan sedikit pun bagi kita menggunakan manusia sebagai sarana untuk mencapai
suatu tujuan. Tidak selayaknya mengorbankan orang-orang atau golongan yang
lemah demi kemajuan masyarakat, hal ini jelas menyangkal manusiawinya sendiri.22
HAK-HAK ASASI UNIVERSAL
Gagasan mengenai hak-hak manusia yang universal atau hak-hak kodrati,
merupakan konsep pokok yang mendasari dan menginspirasi revolusi Amerika
maupun Prancis. Ada beberapa jenis hak yang berbeda, diantaranya: hak-hak
warisan, hak-hak legal, hak-hak sipil, dan hak-hak kodrati atau hak-hak asasi
manusia.23
Hak-hak warisan dalam hal ini tidak memerlukan negara dalam
pembelaannya, hak ini terbahas secara implisit dalam saling pemahaman dan
kepercayaan. Hak-hak legal mengandaikan adanya sistem hukum. Adapun Hakhak sipil dimiliki oleh semua warga (dewasa) meliputi, hak-hak yang berkaitan
dengan hak legal, dan hak-hak yang berkaitan dengan pemerintah demokrasi seperti
hak memilih. Sementara itu Hak-hak kodrati meliputi hak-hak mutlak dan
universal. Hak-hak itu diakui sebagai dimiliki oleh semua manusia tanpa kecuali.24

22

Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982). Hlm.

23

Jenny Teichman, hlm. 24-25


Ibid, hlm 26-27

90-91
24

12
Mengenai hak kodrati ini, Thomas Hobbes (1588-1679) mengemukakan
dalam bukunya yang terkenal Leviathan, bahwa manusia memiliki hak asasi yang
masing-masing setiap individu miliki, namun rangka pemenuhan haknya itu antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain terjadi yang namanya bellum omnes
contra omnia (perang semua melawan semua) dan homo homini lupus (manusia
adalah serigala bagi sesamanya). Untuk itulah, Hobbes membayangkan sebuah
keadaan asali atau the state of nature dimana saat semua manusia mengadakan
kontrak sosial, setiap manusia dalam kontrak sosial itu menyerahkan kekuasaan dan
hak-hak kodratinya kepada sebuah lembaga yang disebut negara, agar ada lembaga
yang memiliki kekuatan mengamankan kepentingan manusia itu dan memaksakan
norma-norma dan ketertibannya.25
Berbeda dengan Hobbes yang menggambarkan keadaan manusia yang saling
bertentangan, karena masing-masing memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. John
Locke (1632-1704)
dalam bukunya The Second Treatise of Government,
menggambarkan keadaan asali manusia yang hidup bermasyarakat diatur oleh
hukum-hukum kodrat dan masing-masing individu memiliki hak-hak yang tak boleh
dirampas darinya. Jadi dalam masyarakat asali itu ada kebebasan dan kesamaan.26
Dalam pemaparan di atas kita sudah melihat sekilas ide mengenai hak-hak
asasi manusia yang universal ini dikemukakan oleh para filsuf, dan di dalam
pemaparan mengenai kehidupan manusia dan nilai intrinsiknya telah dipaparkan
bahwa manusia memiliki nilai pada dirinya sendiri atau dengan kata lain berharga
dan memiliki martabat. Martabat manusia di hormati, apabila segenap anggota
masyarakat dihormati hak-hak asasinya.
Hak Asasi Manusia
Apa itu hak asasi manusia? Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki
manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak itu dimiliki manusia karena ia
manusia. Sejak seseorang berada dalam kandungan ibunya sampai dengan ia
dilahirkan, ia sudah memiliki hak-hak asasi tersebut. Dalam pemandangan hak asasi
manusia, bahwa hak-hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku
oleh masyarakat atau negara.27
Hak asasi manusia tersebut dapat dibedakan dalam tiga kelompok, sebagai
berikut:28
(1) Hak-hak kebebasan, hak-hak ini bersifat melindungi kebebasan dan otonomi
manusia dalam kehidupan pribadi. Hak-hak ini meliputi diantaranya: (a) hak
atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak (pada dasarnya hak di
dalam kebebasan fisik manusia); (b) kebebasan dalam memilih jodoh,
kebebasan beragama (dan hak-hak lainnya yang meliputi kebebasan secara
25

F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI NIETZSCHE,


(jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 65-72
26
Ibid, hlm 80-81
27
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, hlm. 98-99
28
Ibid, hlm. 99-101

13
psikis); (c) perlindungan terhadap hak milik, hak untuk tidak ditahan secara
sewenang-wenang dan hak atas perlindungan hukum lainnya (dan hak-hak
lain yang berkaitan dengan kebebasan normatif).
(2) Hak-hak demokratis, hak-hak ini berdasarkan keyakinan akan kedaulatan
rakyat, dimana rakyat berhak untuk mengurus diri sendiri di dalamnya
termasuk hak untuk memilih dengan bebas siapa yang akan mewakili dalam
lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang, hak untuk
menyatakan pendapat, kebebasan pers, hak untuk berkumpul dan
membentuk serikat (perkumpulan).
(3) Hak-hak sosial, hak-hak ini berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan
negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya. Dalam hal ini meliputi hak atas jaminan sosial dasar seperti hak
atas pekerjaan, mendapatkan upah yang wajar, perlindungan terhadap
pengangguran, hak atas pendidikan, hak wanita atas perlakuan yang sama,
dan hak untuk dapat ikut dalam kehidupan kultur masyarakat.
Jelaslah hak-hak asasi manusia tersebut dapat dijabarkan dalam pembagian di atas
dan hak-hak tersebut perlu dirumuskan secara konkrit, agar nilai-nilai dan filosofi
hidup luhur yang menghargai martabat manusia tersebut memiliki arti dan
dikongkritkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian menghormati hak-hak
asasi manusia beserta harkat dan martabatnya dapat diukur. Hak-hak asasi manusia
merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politi, sosial, ekonomi,
kultural dan ideologis yang melindasnya. Maka sebaiknya pembangunan yang
berperikemanusiaan dan bermartabat itu jelas ukurannya adalah tidak melanggar hak
asasi manusia.
KEMATIAN DAN KEHIDUPAN
Dalam bagian ini, bagaiman kita memandang mengenai kematian, apakah
manusia memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, sehubungan dengan berbagai hal
dalam kehidupannya, misalnya penyakit yang sulit disembuhkan yang menyebabkan
penderitaan yang sedemikian hebatnya.
Eutanasia dalam Oxford English Disctionary dirumuskan the painless killing
of a patient suffering from an incurable and painful disease or in an irreversible
coma29 atau sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam
kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.
Ada tujuh alasan yang dapat diberikan untuk mendukung pembunuhan belas
kasih ini, meliputi: (1) tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyak hak
yang tidak dapat dialihkan dan tidak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya
sendiri; (2) anggapan mengenai kepemilikan, bahwa kehidupan seseorang
merupakan miliknya sendiri; (3) fakta bahwa sejumlah penyakit dirasakan membuat
sangat menderita; (4) keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan
kendatipun bukan karena rasa sakit, namun dirasa tidak memiliki arti atau hidupnya
29

http://oxforddictionaries.com/definition/english/euthanasia diakses 10 Maret 2013

14
sudah tidak berarti lagi (kualitas hidup); (5) pendapat bahwa ketergantungan kepada
perhatian orang lain yang merendahkan dan tidak pantas (martabat dan penghinaan);
(6) gagasan bahwa teknik medis modern memaksa kita untuk menerima
pembunuhan belas kasih dalam banyak kasus dan (7) teori filosofis mengenai
tindakan dan kelalaian.30
Berdasarkan ketujuh alasan yang mendukung adanya eutanasia ini, marilah
kita membahas satu-persatu sanggahan atas dukungan terhadap eutanasia di atas.
Pertama, salah satu pendukung yang mengajak untuk menghormati
Otonomi, merumuskan prinsip bahwa kepada kita membiarkan para pelaku rasional
untuk menghayati hidupnya sendiri menurut keputusan otonomnya sendiri, bebas
dari paksaan atau campur tangan. Jika pelaku itu memilih secara otonom untuk
mati, maka hormat pada otonomi itu membawa kita untuk memantu mereka
melakukan apa yang mereka pilih. Dalam pemikiran ini jelaslah ada sesuatu yang
salah, prinsip otonomi seperti yang dilukiskan di atas akan membawa pada dokter
mematikan siapa pun, termasuk orang sehat, demi permintaannya. 31
Pendapat di atas tentu tidak dapat diterima oleh Kant (sebagai Bapa
Deontologis, bagi Kant otonomi tidak sama dengan hak supaya keinginannya yang
sepertinya rasional, diperlakukan sebagai suatu keharusan yang mutlak. Menurut
Kant dalam Kritik der praktischen Vernunft, mengemukakan pengetahuan moral,
misalnya dalam putusan orang harus jujur, tidak menyangkut dengan kenyataan
yang ada, melainkan sebagai suatu kenyataan yang seharusnya atau das sollen.
Pengetahuan semacam ini bersifat a priori, karena tidak perlu hal yang empiris,
namun merupakan suatu asas-asas dari tindakan. Asas tindakan ini dihasilkan oleh
rasio praktis, dimana rasio praktis membuat suaru objek menjadi nyata melalui
tindakan.32 Dengan demikian tindakan ingin mengakhiri hidup ini merupakan
pelanggaran hukum moral dan karenanya secara hakiki merupakan suatu yang
irasional.
Memang benarlah adanya tindakan seperti bunuh diri atau merusak diri
sendiri sebagai sesuatu yang irasional. Hal ini nampak dari tindakan orang yang
kecanduan obat bius tindakannya sudah bukan lagi sebagai suatu tindakan yang
otonom, dirinya sudah bukan lagi mahluk yang benar-benar otonom sehubungan
dirinya dikuasi dengan keinginan terus-menerus menikmati obat bius. Tindakan
semacam ini adalah menunjukkan orang yang lemah atau cupet yang tidak
memiliki pandangan yang lebih jauh.
Kedua, anggapan sebgai kepemilikan, Milik siapa hidup ini? nampaknya
memang setiap pribadi memiliki hidupnya sendiri-sendiri, seakan kehidupan ini
semacam harta milik.
Mari kita lihat alasan, kalau hidup ini milik saya sendiri, apakah ini berarti
saya harus dibiarkan merusak diri saya? Kalau pun saya memiliki benda apa pun
dan saya berhak atas benda itu dan berhak juga untuk memusnahkannya, tetapi tidak
30

Jenny Teichman, hlm. 75-76


Ibid, hlm 76
32
F. Budi Hardiman, hlm. 144-145
31

15
berarti bahwa orang dibenarkan untuk merusak apa pun yang dimilikinya itu.
Bagaimana dengan koleksi barang-barang berharga yang kita miliki? Atau
bagaimana dengan karya-karya seni yang indah? Apakah saya atau anda pecinta
karya seni setuju atas tindakan saya merusak koleksi karya seni yang berharga itu?
Pengertian memiliki hidup seseorang dalam arti apa pun sifatnya agak
khusus. Kita berbicara mengenai hidup saya dan hidup anda, tetapi tidak harus
berarti memiliki sungguh-sungguh. Dengan lain perkataan, tidak semua penggunaan
kata sifat milik-ku, mu, nya dan sebagainya mengartikan pemilik hak.33
Ketiga, rasa sakit, barangkali ketakutan akan rasa sakit tak tersembuhkan
merupakan alasan utama orang mengakhiri hidupnya, dengan alasan kasihan, tidak
tega melihat hidupnya dan lain sebagainya. Alasan rasa sakit ini sebenarnya seiring
dengan berkembang pesatnya kedokteran, maka alasan eutanasia karena alasan rasa
sakit itu bukan lagi menjadi alasan. Dr. James Gilbert MRCP menuliskan sebagai
berikut: Perawatan untuk meringankan rasa sakit memperteguh kehidupan dan
memandang kematian sebagai proses normal tidak mempercepat ataupun
memperlambat kematian menyumbngkan sistem bantuan untuk menolong pasien
menghayati hidupnya seaktif mungkin hingga kematian menyumbangkan sistem
bantuan untuk menolong mereka yang dekat dengan pasien baik selama
menanggulangi penyakit si pasien maupun dalam menghadapi kesulitan mereka
sendiri.34
Keempat, Kualitas hidup. Kondisi yang memaksa eutanasia berkaitan
dengan rendahnya kualitas hidup, misalnya kehidupan bayu yang dilahirkan
dengan cacat, atau orang dalam keadaan koma. Dalam kondisi ini orang tidak dapat
menggunakan otonominya sama sekali, sehingga apakah kehidupannya dapat
dihakimi oleh pihak luar dan apakah hidup semacam ini tidak berharga sama sekali?
Seperti halnya dikemukan dalam bagian sebelumnya, bahwa keputusan
kehidupan itu tidak berharga tidak bisa muncul dari luar, setiap kehidupan manusia
menjadi layak untuk dihayati oleh banyak atau kebanyakan yang menghayatinya.
Dengan demikian selalu ada alasan untuk meyakini bahwa suatu keputusan yang
berakibat hidup orang lain tidak pantas dilanjutkan tidak saja tidak konsisten dengan
otonomi tetapi sering kali justru merupakan pelanggaran otonomi itu sendiri.
Kelima, Martabaat dan penghinaan. Apakah amat memalukan bergantung
kepada orang lain dalam perawatan? Apakah merawat merupakan penghinaan bagi
para perawat? Memberi perhatian kepada orang lain merupakan sifat manusia yang
penting, yang dapat memberi arti kepada kehidupan individu. Misalnya anak-anak
muda yang kecewa di dunia Barat yang kaya menemukan arti dalam menolong
orang-orang sakit di Afrika dan India atau orang-orang miskin dalam kota mereka
sendiri. Jadi pandangan bahwa menaruh perhatian kepada orang lain adalah
merendahkan merupakan gagasan yang merendahkan seluruh profesi medis.35

33

Jenny Teichman, hlm. 79


Ibid, hlm. 81
35
Ibid, hlm. 84
34

16
Keenam, Teknik Medis Modern.
Kadang dipersoalkan teknik medis
modern telah menciptakan situasi yang menuntut moralitas baru. Hal ini dilihat
adanya fakta bahwa teknik modern dapat mempertahankan kehidupan pasien untuk
waktu lama. Karena itu, dapat terjadi ada orang yang bertahan hidup sampai waktu
yang tidak terbatas, tetapi tidak pernah akan pulih . Dalam hal ini para dokter harus
mengambil keputusan yang dahulu mungkin belum pernah diambil, yaitu keputusan
menyangkut siapa yang harus menggunakan sarana penunjang hidup lebih dahulu
dan kemudian keputusan mengenai kapan mesin bantuanitu harus dimatikan.
Dalam kondisi ini, tidak penting kita merumuskan kembali kematian, juga
tidak masuk akal juga berbicara mengenai etika baru. Sebab kepada kita
diberitahu bahwa menyembuhkan pasien itu tidak sama dengan memperpanjang
proses kematian.36
Keenam, tindakan dan pengabaian. Eutanasia yang pasif dikatakan terjadi
ketika penangan medis tidak dilakukan atau dihentikan inilah yang disebut
pengabaian. Seperti halnya kasus di atas, penggunaan mesin alat bantu hanya
memperpanjang proses kematian, tetapi tidak melakukan apa-apa pun juga menjadi
sesuatu yang sepertinya salah (eutanasia pasif), dalam kondisi inilah terjadi suatu
dilema.
Untuk menjawab persoalan di atas, sejumlah pengajar filsafat mencoba
mencari jawaban dengan logika. Menurut ahli logika, dalam kasus ini ada logika
yang tidak dapat diterima. Tidak ada yang tidak konsisten dalam mengatakan
bahwa (i) jikalau seorang dokter mempunyai kewajiban melanjutkan penanganan itu
berarti (ii) bahwa ia harus juga tidak membunuh pasiennya. Dari pernyataan ini,
mari kita lihat pernyataan berikut, pertama menyelamatkan dan membunuh bukan
lawan, kedua tidak berlawanan tetapi hanya berseberangan.
Maka tidak
menyelamatkan tidak ekuivalen dengan membunuh. Kedua, membunuh dan
menangani bahkan bukan berseberangan; secara logis keduanya saling mandiri.
Maka dengan demikian disimpulkan, tidak menangani tidak sama nilainya dengan
membunuh, karena membunuh dan tidak menangani secara logis tidak tergantung
satu sama lain.
Penutup
Sedemikian panjang dan luasnya bidang kajian Etika sosial ini, suatu hal
yang tidak mungkin seluruh kajian ini dituangkan dalam tulisan yang sederhana ini.
Namun kajian-kajian Etika Sosial lainnya dapat didalamai dalam bagian kuliah
masing-masing bagian terpisah secara khusus, seperti bagian ideologi dan nilai dapat
juga dibahas dalam kajian ETIKA POLITIK, bahasan ETIKA SEKSUAL tidak
melulu membahas persoalan seputar seksual tetapi masalah nilai-nilai Feminisme
yang sedemikian berkembang dewasa ini. Demikian juga dengan ETIKA BISNIS
dapat dipertajam lagi, sehingga bagian kuliah ETIKA SOSIAL ini menjadi
pengantar bagi kajian ETIKA SEKSUAL, POLITIK, BISNIS, PROFESI (baik
bisnis, engenering dan lainnya).
36

Ibid, hlm. 85-86

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)


F. Budi Hardiman, FILSAFAT MODERN DARI MACHIAVELLI SAMPAI NIETZSCHE,
(jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982)
Jenny Teichman, ETIKA SOSIAL, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Kees Bertens, ETIKA, (Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Reverend James Kavanagh, B.A., S.T.L., Dipl. Econ.Sc. (Oxon), Manual of Social Ethics, (Dublin:
M.H. Gill and Son LTD, 1956)

18

ETIKA BISNIS
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Bisnis dewasa ini sudah merupakan suatu profesi, sebagai suatu profesi
pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang yang profesional. Profesionalitas di sini
tidak hanya diartikan dalam kaitannya dengan keahlian dan keterampilan yang
terkait dengan bisnis seperti halnya dalam bidang manajemen operasi, pemasaran,
keuangan, sumber daya manusia dan lainnya, terutama dikaitkan dalam prinsip
efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya.37
Sebagaimana telah dipaparkan dalam materi Etika Sosial, bahwa Etika Bisnis
merupakan salah satu bagian dari kajian Etika Sosial. Hal ini dilihat lebih jauh oleh
Kees Bertens yang menegaskan, bahwa kompleksitas bisnis dewasa ini berkaitan
langsung dengan kompleksitas masyarakat modern dan bisnis juga dipandang
sebagai suatu kegiatan sosial dalam pengertian aspek hubungan antar manusia.38
Dengan demikian kegiatan bisnis dipandang bukan saja dilihat dari aspek
bagaimana seorang pengusaha mengelola operasi perusahaan yang mendatangkan
keuntungan serta melakukan efisiensi, akan tetapi kegiatan bisnis juga melibatkan
hubungan antara pengusahaan dengan karyawannya, pelanggan, masyarakat pada
umumnya hingga pemerintah (hubungan antar manusia). Sehingga, diperlukan
komitmen pribadi pengusaha yang tinggi, serius dalam menjalankan pekerjaannya,
bertanggung jawab agar tidak sampai merugikan pihal lain. Dengan demikian sikap
pengusaha yang diharapkan disini adalah orang yang menjalankan pekerjaannya
secara tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik dan tanggung jawab moral
pribadinya.
Tiga Aspek Pokok dari Bisnis
Kegiatan bisnis menurut K. Bertens dapat disorot dalam tiga sudut pandang
yang berbeda yang tidak selalu dapat dipisahkan, yaitu: (1) sudut pandang ekonomi,
37
38

A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 46-47
Kees Bertens, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 13

19
(2) sudut pandang hukum, dan (3) sudut pandang etika, sebagai berikut di bawah
ini:39
(1) Sudut pandang ekonomis. Dalam sudut pandang ekonomis ini, bisnis
dipandang sebagai suatu kegiatan tukar-menukar, jual-beli, memproduksimemasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia lainnya, dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan. Pencarian keuntungan dalam bisnis
disini tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi, komunikasi
sosial yang menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat dalam kegiatan
bisnis tersebut. Dalam konteks seorang yang bekerja pada suatu perusahaan,
motivasi utama untuk bekerja di perusahaan tersebut adalah untuk
mendapatkan gaji.
Walaupun seseorang bekerja pada perusahaan
saudaranya, motivasi saudaranya tersebut bukan dalam rangka membantu
usahanya, akan tetapi motivasi terbesar bekerja di sana adalah mendapatkan
gaji.
Good Business atau bisnis yang baik dalam pandangan ekonomis ini sedapat
mungkin bisnis membawa paling besar keuntungan bagi perusahaannya.
Dengan demikian kita dapat memaklumi bila seorang manajer operasi
mempertahankan produktivitas perusahaannya menghasilkan barang pada
suatu titik tertentu yang dianggap optimal agar biaya produksi dan biaya
variabel lainnya menjadi bertambah besar yang ujung-ujungnya akan
menaikan harga.
(2) Sudut pandang moral. Dengan tidak meninggalkan motivasi ekonomis
dalam berbisnis, perlu ditambahkan adanya sudut pandang lain yang tidak
boleh diabaikan begitu saja, yaitu sudut pandang dari aspek moral.
Pertimbangannya adalah selalu ada masalah etis dari perilaku kita yang
terlibat dalam kegiatan bisnis tersebut. Tidak semua yang dapat kita lakukan
dalam rangka mencapai keuntungan tersebut boleh kita lakukan. Kita harus
menghormati kepentingan dan hak orang lain, dengan pertimbangan kita pun
tidak mau kepentingan dan hak kita dilanggar yang berakibat kerugian bagi
diri kita. Dengan demikian menghormati kepentingan dan hak orang lain
harus dilakukan dalam menjaga kepentingan bisnis kita.
Good Business dalam sudut pandan moral ini, bukan saja bisnis yang
menguntungkan. Namun bisnis yang juga baik secara moral. Malah harus
ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata
baik. Perilaku yang baik di sini merupakan perilaku yang sesuai dengan
norma-norma moral (berperilaku etis).
(3) Sudut pandang hukum. Tidak disangkal lagi, bisnis terikat juga oleh hukum.
Hukum dagang atau Hukum bisnis merupakan cabang penting dari ilmu
hukum modern. Ada banyak masalah hukum dalam praktik hubungan bisnis,
baik dalam tataran nasional maupun internasional. Seperti halnya etika,
hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentunya antara hukum dan
39

Ibid, hlm. 13-32

20
etika, jelas sangat terkait. Quid leges sine moribus?, apa artinya undangundang kalau tidak disertai moralitas? Dengan demikian etika selalu harus
menjiwai hukum.
Untuk bisnis, sudut pandang hukum tentu penting. Bisnis harus menaati
hukum dan peraturan yang berlaku. Bisnis yang baik antara lain berarti
juga bisnis yang patuh pada hukum. Tetapi sudut pandngan hukum itu
tidaklah cukup, perlu juga sudut pandang moral. Tidak semua hal yang
pantas dan tidak pantas dilakukan diatur/dimuat dalam undang-undang, jadi
perlu juga pandangan moralitas dalam berbisnis. Kepatuhan pada hukum
merupakan suatu syarat yang minimum, patuh pada hukum dan tidak juga
melanggar moral itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pebisnis. If
its morally wrong, its probably also illegal.
Bagaimana ketiga aspek pokok ini dapat berlaku? Secara ekonomis kita dapat
dengan mudah mengukur suatu bisnis profitable atau tidak, tentu dengan melihat
kinerja perusahaan melalui laporan keuangan. Begitu juga dengan apakah
perusahaan ini melanggar atau tidak dari sisi hukum, dapat dilihat dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bahkan dapat menanyakan langsung kepada
pengadilan dan meminta putusan hakim.
Namun, dari aspek moral sulit
mengukurnya apakah baik atau buruk secara moral dari bisnis yang dijalankan
tersebut. Sehingga untuk membantu mengukurnya ada tiga tolok ukur, yaitu: hati
nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum.
Ukurang pertama adalah melalui hati nurani. Hati nurani ini mengikat diri
kita, karena kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh hati nurani dan bila
mengabaikannya itu berarti kita sedang menghancurkan integritas pribadi kita. Jadi
dalam berbagai kasus bisnis yang terjadi, misalnya memaksakan untuk menjaga
tingkat produktivitas yang diinginkan supervisor melangggar standar keamanan.
Yang pertama menilai dari masalah ini adalah hati nurani, apakah hati nurani
mengizinkan atau tidak, tentu jawabannya sangat subjektif hanya ada pada seorang
supervisor tersebut. Tentunya ini sangat subjektif, dan bila hati nurani orang
tersebut tidak dibina atau terdidik, maka akan membentuk hati nurani yang tidak
semestinya, menjadi terlalu longgar atau bahkan tumpul sama sekali.
Kaidah emas, Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda
memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan. Atau
dalam rumusan yang negatif berbunyi,Janganlah melakukan terhadap orang lain,
apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda. Melalui
prinsip kaidah emas ini, masing-masing kita akan mengukur apa yang akan kita
lakukan terhadap orang lain dengan kaidah emas ini. Kalau kita tidak ingin rugi,
maka kita pun tidak boleh merugikan orang lain pula.
Penilaian umum, cara ketiga barang kali ampuh menentukan baik buruknya
suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk
dinilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Kualitas etis suatu perbuatan
ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.

21
ETIKA BISNIS
Suatu uraian tentang etika bisnis ada baiknya dimulai dengan menyelidiki
dan menjernihkan kata seperti etika dan etis yang dibedakan antara etika
sebagai praksis dan etika sebagai refleksi. Berikut ini dijelaskan etika sebagai
praksis dan refleksi tersebut, di bawah ini:40
Etika sebagai praksis41 adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak
sesuai dengan nilai dan norma moral. Hal ini dapat kita lihat dari tema-tema
pemberitaan di media, misalnya Ada unsur tidak etis dalam proses akuisisi,
Tegakkan etika bisnis dengan Undang-undang Anti Korupsi, contoh
kalimat tersebut menunjuk kepada etika sebagai praksis, misalnya orang
yang memikirkan masalah korupsi, berpendapat bahwa undang-undang itu
harus secara konsisten dan ketat dijalankan sedemikian rupa sehingga nilai
dan norma dalam bisnis bisa ditegakkan. Dengan demikian Etika sebagai
praksis sama artinya dengan moral (apa yang boleh dan tidak untuk
dilakukan).
Sementara sebagai refleksi, etika merupakan pemikiran moral. Etika sebagai
refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis
sebagai obyeknya. Dalam surat kabar, majalah maupun media lainnya dapat
kita baca komentar atau analis-analis dari berbagai peristiwa yang
berkonotasi etis, misalnya masalah suap yang kasusnya terjadi akhir-akhir
ini. Baik berita-berita di koran, surat kabar maupun media lain berikut
analisisnya, dan demikian juga dengan kita yang membicarakan kasus etis
tersebut merupakan wujud dari etika sebagai refleksi pada taraf popular.
Etika sebagai refleksi dalam taraf ilmiah, dijalankan dan secara kritis,
metodis dan sistematis menjadikan refleksi ini mencapai taraf ilmiah.
Etika merupakan cabang filsafat yang mempalajari baik buruknya perilaku
manusia, karena itu etika sering disebut juga sebagai filsafat praktis. Secara
keseluruh etika membicarakan berbagai hal mengenai pemikiran moral yang lebih
terarah kepada masalah-masalah konkret dan membuka diri pada topik-topik konkret
dan aktual sebagai objek penyelidikannya. Dalam hal etika yang membuka diri
dalam topik konkret inilah sering kita sebut sebagai etika terapan
Etika bisnis sebagai etika terapan karena memfokuskan diri pada masalahmasalah moral aktual dibidang bisnis. Sebagaimana etika terapan etika bisnis dapat
dijalankan dalam taraf makro, meso dan mikro. Dalam taraf makro, etika bisnis
membicarakan masalah moral skala besar, misalnya keadilan dalm suatu masyarakat
40

Ibid, hlm. 32 - 35
Praksis merupakan praktik yang diterangi oleh refleksi dan sekaligus merupakan refleksi
yang diterangi oleh praktik. Dalam praksis berpadu antara teori dan praktik, dengan demikian
praksis merupakan pekerjaan yang diilhami oleh perenungan dan perenungan yang ditindaklanjuti
oleh pekerjaan.
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit BPK
Gunung Mulia, 2004), hlm. 88
41

22
terutama berkaitan dengan kaum buruh. Sementara dalam taraf meso (menengah),
etika bisnis meneliti masalah etis di bidang organisasi misalnya perusahaan, lembaga
dan lainnya. Sementara dalam tataran mikro, memfokuskan diri pada masalahmasalah moral dalam bisnis di kalangan manajer, karyawan, produsen, konsumen
dll.42
Bisnis dan Etika
Telah dijelaskan di atas secara panjang lebar mengenai etika sebagai filsafat
praktis yang mengkaji masalah-masalah moral, sampai dengan pembahasan etika
bisnis sebagai etika terapan yang mengkhususkan dirinya mengkaji masalahmasalah moral di bidang bisnis. Dalam bagian ini penekanan tulisannya lebih
kepada bagaimana bisnis tersebut dijalankan secara etis? Dan apakah memang benar
bisnis memerlukan etika? Dan bagaimana hubungan antara bisnis dan etika?
Mitos Bisnis Amoral
Business is business, sering kita dengar ungkapan ini yang intinya
menekankan bahwa urusan bisnis tidak ingin dicampuri dengan berbagai hal yang
tidak berhubungan dengan bisnis. Ungakan ini menurut De George dalam buku
Etika Bisnis Sonny Keraf disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral. Ungkapan ini
menggambarkan, bahwa orang berbisnis adalah semata-mata berbisnis dan bukan
sedang beretika. Singkat kata, mitos bisnis amoral ini menyatakan bahwa kegiatan
bisnis tidak ada hubungannya dengan masalah etika atau moralitas. Keduanya
adalah dua bidang yang terpisah satu sama lain. Karena itu bisnis tidak boleh
dicampuradukkan, bisnis hanya dapat dinilai dengan kategori dan norma-norma
bisnis dan bukan dengan kategori dan norma-norma etika.43
Dalam pandangan bisnis adalah bisnis tidak berkaitan dengan etika, maka
yang menjadi fokus dari bisnis itu sendiri tidak lain dari memperoleh keuntungan.
Maka kegiatan operasi perusahaan berfokus pada menekankan biaya serendah
mungkin, mengejar output produksi yang optimal, bisa saja untuk mengejar produksi
yang optimal pebisnis memaksa kerja mesin dan termasuk orang di dalamnya tanpa
memperhatikan kepentingan tenaga kerja tersebut. Sementara itu di bidang
pemasaran, tim pemasaran ditekan sedemikian rupa dengan target-target
penjualannya, tidak peduli bagaimana cara mencapai target tersebut yang penting
target terpenuhi. Demikian pun dengan bagian sumber daya manusia, bisa saja
mengabaikan
aturan-aturan
normatif
dibidang
ketenagakerjaan
demi
mempertahankan tingkat efisiensi produksi. Dapat kita bayangkan bagaimana
jadinya bisnis tersebut dijalankan dengan menghalalkan berbagai cara ini, pasti
pebisnis tersebut akan menemui berbagai persoalan di dalamnya.
Dengan demikian pandangan mitos bisnis amoral, kita tidak dapat terima
sepenuhnya. Walau pun bagaimana bisnis tetap memiliki kaitan dengan masalah
moral.
42
43

K. Bertens, ETIKA BISNIS, hlm. 35-37


A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, hlm. 55-56

23

KEADILAN
Seperti halnya etika-etika yang lain, etika bisnis pun memanfaatkan
sumbangan pemikiran-pemikiran filsafat yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan
bisnis. Hal ini dapat diperhatikan sekitar abad ke 19, di Eropa Barat telah
berkembang pemikiran di bidang kegiatan ekonomi yang cenderung mengadopsi
cara berpikir utilitarianisme. Seperti halnya sudah dipahami bersama, bahwa cara
berpikir utilitarianisme ini didasarkan pada sudut kemanfaatan (Utility) yang paling
besar bagi kebahagiaan manusia. Dengan demikian sesuatu dianggap baik dan
memadai ukurannya adalah manfaat yang mendatangkan kebahagiaan yang terbesar
yang menjadi pilihan tindakannya.44
Sumbangan pemikiran seperti di atas cukup menolong para pebisnis,
mengingat kompleksitas bisnis saat ini. Melalui prinsip utilitarianisme tersebut
tampaknya merupakan cara sederhana dalam memecahkan permasalahan yang
kompleks dalam dunia bisnis, artinya cukup berprinsip dari segi kemanfaatan
pebisnis dapat mengambil pilihannya. Pada kenyataannya prinsip pemikiran ini
kurang memadai, mengingat ukuran manfaat, kebaikan atau kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin orang yang berbeda-beda pemahamannya yang ujung-ujunganya
dapat menjadi perbedaan bagi satu sama lain.
Dengan demikian sumbangan utilitarianisme ini kurang memadai dalam
mengatasi kompleksitas di bidang bisnis tersebut. Apalagi kegiatan bisnis ini
berkaitan dengan masalah kelangkaan (scarcity), sehingga perlu ada pemikiran lain
yang membantu mengatasi masalah ini, diantaranya adalah teori keadilan.
Teori Keadilan John Rawls45
John Rawls mengemukakan teorinya, ia meminta untuk membayangkan
sebuah keadaan, di mana sekelompok orang sedang memperbincangkan mengenai
isi dan bentuk suatu masyarakat yang adil dengan kondisi belum ada apa-apa. Jadi
masyarakat yang adil tersebut diciptakan dari nol.
Selanjutnya menurut Rawls, dalam situasi yang memiliki tingkat objektivitas
yang maksimal, setiap orang akan memikirkan suatu masyarakat yang mampu
memberikan manfaat dan berkat bagi dirinya sendiri. Dalam situasi demikian
menurut Rawls akhirnya, bila orang-orang itu berakal sehat maka, masyarakat itu
harus bertindak fair kepada setiap anggotanya siapa pun dia. Dengan kata lain,
dalam masyarakat tersebut tidak ada anggotanya diperlakukan secara tidak fair.
Rawls menyimpulkan bahwa bersikap adil adalah bersifat fair. Justice as
fairness.
44

Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan
penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 35-36
45
Ibid, hlm. 37-40

24
Kemudian apakah fairness itu? Rawls menjelaskan dua prinsip. Pertama,
Equality atau kesamaan. Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama.
Fair berarti setiap orang harus tunduk pada peraturan main yang sama dan
peraturan main itu tidak dirumuskan hanya untuk menguntungkan sebagian orang.
Kedua, Kesamaan tidaklah sama dengan persamaan. Karena, memang orang tidak
sama.
Memperlakukan semua orang secara mutlak sama, justru tidak
menguntungkan semua orang, khususnya mereka yang berada dalam keadaan tidak
menguntungkan.
Dengan demikian, maka pembedaan adalah tidak adil, sedangkan perbedaan
itu diperlukan demi keadilan. Kemudian, perbedaan manakah yang dikatakan adil
atau fair tersebut? Rawls menyatakan, perbedaan dapat dikatakan fair apabila
hasilnya mendatangkan keuntungan bagi semua orang, khususnya anggotaanggota masyarakat yang paling lemah kedudukannya. Dengan demikian
perbedaan diharamkan bila ia hanya menguntungkan sekelompok kecil orang yang
kedudukannya kuat. Jadi, perbedaan dapat diterima, bila mereka yang berada di
tingkat paling bawah menganggap perbedaan itu menguntungan mereka. Rawl
mengatakan, Bukanlah suatu ketidakadilan bila keuntungan yang lebih besar
dinikmati oleh yang sedikit, dengan syarat bahwa melalui itu keadaan mereka yang
lemah mengalami perbaikan. Selanjutnya Rawls berkeyakinan, bawah prinsipprinsip fair ini merupakan dasar yang adil dapat diterima oleh setiap orang yang
berakal sehat.
Apa yang disampaikan Rawls di atas merupakan apa yang seharusnya
merupakan nilai yang luhur dan berharga, sehingga orang dengan sukarela dan
sungguh-sungguh mau mengikatkan dirinya. Sehingga dalam keputusan etis yang
diambil dalam praktik berbisnis bukan saja dari segi manfaat yang paling besar
yang akan diperoleh, tetapi juga memenuhi unsur keadilan (fairness) di dalamnya.
KEUNTUNGAN
Persoalan yang terjadi dalam masalah keuntungan, adalah: berapa besar
orang dapat mencetak laba atau keuntungan? Dan bagaimana pula ukuran-ukuran
etisnya? Pandangan umum mengatakan bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar bila
orang berusaha untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Pada jaman kejayaan liberalisme klasik, bahwa maksimalisasi keuntungan
atau profit maximization merupakan satu-satunya tujuan bagi perusahaan.46 Hal ini
dapat kita lihat dalam teks buku-buku pegangan mahasiswa ekonomi, profit
maximization ini masih dipelajari sampai saat ini. Mari kita lihat sebagai misal
bagaimana maksimalisasi laba itu diperoleh dalam kondisi industri kompetitif
sempurna, yang mana produksi akan mencapai titik di mana harga outpunya tepat
sama dengan biaya marginal jangka pendek, atau lebih dikenal dengan rumus

46

Kees Bertens, Keprihatinan Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2003), hlm. 70

25
MR=MC, pernyataan ini dapat ditemukan dalam buku pegangan mahasiswa
Ekonomi Akuntansi dan Manajemen sekarang.47
Tidak masalah memang topik ini dipelajari oleh seluruh mahasiswa ekonomi
sampai saat ini, namun perlu disadari topik ini bukan menjadi satu-satunya pegangan
dalam menjalankan berbisnis dikemudian hari. Beberapa hal yang harus dikritis
dalam memang prinsip maksimalisasi profit secara ketat dan merupakan satusatunya tujuan di dalam praktik berbisnis, diantaranya berimplikasi kepada
pengerahan semua sumber daya perusahaan agar mencapai profit yang maksimum.
Pengerahan sumber daya ini termasuk juga tenaga kerja yang terlibat di dalamnya,
jangan-jangan demi profit maksimum ini perusahaan menjadikan karyawan hanya
sebagai alat semata. Tidak heran bila beberapa waktu yang lalu kita menemukan
sebuah perusahaan yang memproduksi kuali mempekerjakan buruhnya dengan
semena-mena, bahkan beberapa diantaranya ada yang belum cukup umur (masih
usia anak-anak)48.
Menjadikan manusia sebagai sarana atau menjadi alat belaka jelas sangat
ditentang oleh filsuf terkemuka dari Jerman abad ke-18, yaitu Immanuel Kant. Kant
menuturkan dalam bukunya Foundations of the Metaphysics of Moral (1785),
Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah
dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai
sarana.49 Dengan demikian, sebagai pebisnis tetaplah harus memperlakukan
karyawannya sebagaimana manusia yang memiliki martabat dan tidak menganggap
karyawan mereka sebagai sarana atau alat untuk memperoleh keuntungan yang
menjadi tujuan utamanya.
Kalau begitu apakah salah perusahaan mengejar profit? Patut kita akui
bahwa bisnis tanpa profit bukan bisnis lagi. Kegiatan bisnis agar dapat memiliki
etika yang baik tidak perlu merubah menjadi suatu karya amal, bisnis tetaplah bisnis
yang mencari keuntungan. Keuntungan merupakan unsur yang hakiki dalam
berbisnis, namun keuntungan pebisnis tidak boleh memutlakan keuntungan.
Maksimalisasi keuntungan sebagai suatu tujuan perusahaan akan berakibat
timbulnya keadaan yang tidak etis. Dengan demikian kita harus melihat ulang
mengenai keuntungan itu dengan memandang keuntungan sebagai suatu yang relatif.
Relativasi Keuntungan50
Ronald Duska menegaskan relativasi keuntungan tersebut dan membedakan
keuntungan itu sebagai maksud (purpose) dan motivasi (motive). Maksud atau
purpose bersifat objektif, sedangkan motivasi bersifat subjektif. Hal ini dapat
dijelaskan, misalnya: kita memberikan sedekah kepada pengemis supaya ia bias
makan (merupakan maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan.
47

Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa Indonesia)I,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 212
48
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gugat.Mantan.B
osnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
49
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 235-236
50
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 160-162

26
Demikian juga dengan bisnis, menyediakan barang dan jasa merupakan maksud
(purpose) dari bisnis, supaya masyarakat dapat menerima manfaat barang dan jasa
yang ditawarkan perusahaan. Adapun memperoleh keuntungan merupakan motivasi
dalam berbisnis.
Dengan relativasi keuntungan ini, keuntungan atau profit bukanlah satusatunya tujuan berbisnis. Beberapa hal yang menggambarkan relativasi keuntungan
dalam bisnis diantaranya: keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai
kesehatan perusahaan, keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa
barang dan jasa dihargai oleh masyarakat, keuntungan adalah cambuk untuk
meningkatkan usaha, keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan dan
keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.
KONSUMEN
Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi
ekonomi yang hak-haknya sering terabaikan. Konsumen menurut UU Perlindungan
Konsumen pasal 1 angka 2, dapat didefinisikan sebagai berikut:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepenting diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.51
Dengan demikian konsumen sebagai stakeholder yang dekat dengan produsen sudah
seharusnya mendapat perhatian.
Perhatian etika dalam hubungan dengan konsumen tersebut, harus dianggap
hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri. Perhatian untuk segi-segi etis dari relasi
bisnis (dalam hal ini konsumen sudah mendesak), mengingat posisi konsumen
sering dalam posisi yang lemah. Walau pun konsumen memiliki gelas raja namun
pada kenyataannya kuasanya sangat terbatas karena berbagai sebab.52
Perumusan perhatian kepada konsumen itu dapat dirinci ke dalam empat hak
konsumen, sebagai berikut:53
1. Hak atas keamanan, banyak produk mengandung risiko tertentu untuk
konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan dan keselamatan. Konsumen
berhak atas produk yang aman, artinya produk tersebut tidak mempunyai
kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan dan
keamanan produsen.
2. Hak atas informasi, konsumen berhak mengetahui segala informasi yang
relavan mengenai produk yang dibelinya, baik bahan baku apa saja yang
digunakan dalam membuat produk tersebut, cara memakainya, maupun
risiko yang menyertai pemakaian itu.
3. Hak untuk memilih, konsumen berhak untuk memilih antara pelbagai
produk dan jasa yang ditawarkan. Kualitas dan harga produk dapat
51

Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008),

hlm. 22-23
52
53

Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 227-228


Ibid, hlm. 228-230

27

4.
5.

6.

berbeda, konsumen berhak untuk membandingkan sebelum memutuskan


membeli.
Hak untuk didengar, konsumen berhak atas keinginannya tentang produk
atau jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama keluhannya.
Hak lingkungan hidup, ia berhak produk dibuat sedemikian rupa,
sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan
keberlanjutan proses alam. Konsumen boleh menuntut bahwa dengan
memanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi
ini.
Hak konsumen atas pendidikan, konsumen diharapkan menjadi
konsumen yang kritis dan sadar akan haknya.

Tanggung jawab Menyediakan Produk yang Aman


Dalam bagian hak telah dijelaskan hak apa saja yang dimiliki konsumen,
sebaliknya produsen sendiri dituntut tanggung jawab untuk menyediakan produk
yang dihasilkannya tersebut aman. Tiga pandangan tentang tanggung jawab
produsen dalam menyediakan produk yang ditawarkan kepada konsumen tersebut
aman dapat dipaparkan sebagai berikut:54
1. Teori kontrak, jika konsumen membeli sebuah produk atau jasa, konsumen
seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjual produk
tersebut, misal seseorang memarkir kendaraannya di sebuah tempat parkir
umum, ia mendapatkan struk tanda parkir dan dibelakang struk tersebut
tertera berbagai ketentuan-ketentuan mengenai parkir di tempat tersebut, atau
jika anda membuka rekening tabungan di bank anda akan disodori berbagai
syarat dan ketentuan tabungan yang harus anda ketahui.
2. Teori perhatian semestinya, atau disebut dengan the due care theory.
Pandangan ini bertolak dari posisi konsumen yang lemah, maka produsen
mempunyai lebih banyak pengetahuan dan pengalaman pada produk
tersebut. Maka kewajiban produsen adalah menjaga agar konsumen tidak
merasa dirugikan, misalnya produsen mainan wajib mencantumkan dalam
kemasan akan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari mainan yang
dijualnya.
3. Teori biaya sosial, produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan
produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk
tersebut.
Demikianlah tanggung jawab produsen ini, agar konsumen tidak mengalami
kerugian atas pemakain barang dan jasa yang ditawarkannya.
IKLAN
Hampir disetiap sisi kehidupan kita dijejali dengan berbagai bentuk
informasi, diantaranya adalah iklan. Iklan ini mewarnai kehidupan kita, dari mulai
bangun pagi kita menyalakan TV sudah ditawari berbagai iklan. Kemudian kita
54

Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 232-239

28
pergi ke tempat pekerjaan di jalanan kita menemukan berbagai iklan media luar
ruangan yang memenuhi berbagai tempat.
Setelah tiba di kantor kita buka
komputer kerja dan terhubung dengan internet, di internet pun kembali kita
menemukan iklan. Demikian seterusnya sampai kita terlelap tidur barulah kita
terbebas dari iklan tersebut.
Iklan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu
produk untuk ditujukan kepada masyarakat melalui suatu media. Iklan sebenarnya
merupakan bagian dari bauran promosi yang terdiri dari personal selling, sales
promotion dan publicity. Sejatinya iklan itu sendiri memiliki fungsi, antara lain:
memberikan informasi atas produk, mempengaruhi konsumen untuk mengkonsumsi
produk, menciptakan kesan (image) yang baik tentang produk, alat komunikasi dan
menjaring khalayak.55
Kemudian bila melihat pengertian di atas, apa yang menjadi masalah etis di
dalam periklanan ini? Dan mengapa iklan ini diangkat dalam topik etika bisnis?
Sebenarnya tidak ada kegiatan bisnis lain yang begitu banyak kritik dan
menjadi tanda tanya besar seperti periklanan. Seperti dipahami secara umum, untuk
membuat sebuah iklan perusahaan tidak segan-segan membelanjakan dananya yang
besar, kemudian budget dana yang besar itu bila diamati tidak menambah suatu
produk dan tidak juga meningkatkan kegunaan bagi konsumen. Iklan sepertinya
hanyalah penyedot biaya yang besar yang alih-alihnya dibebankan kepada konsumen
untuk membayarnya. Sebagai misal produk susu formula untuk bayi, konsumen
membayar mahal untuk satu kali susu formula. Kalau dihitung biaya produksi saja
sampai ke tangan konsumen dikurangi biaya iklan, konsumen mungkin tidak harus
membayar mahal untuk sekaleng susu formula tersebut. Harga menjadi mahal
setelah ditambahkan dengan komponen biaya promosi mulai dengan membiayai
para tenaga penjualan (Sales Promotion Girl) yang selalu stand-by di
outlet/supermarket, tenaga penjualan yang datang berkunjung ke rumah sakit
menemui dokter, bidan dan ibu-ibu yang baru melahirkan, iklan diberbagai media
(cetak, elektronik, media luar ruangan dll).
Masalah tidak berhenti sampai pada biaya besar yang dibebankan kepada
konsumen, tetapi masalah sosio kultural juga menjadi perhatian. Tidak jarang iklan
yang hilir mudik di media komunikasi menampilkan suatu suasana hedonis,
materialis, tidak mendidik, dan cenderung mendorong sikap konsumtif kepada
masyarakat.56 Demikianlah permasalahan etis yang dapat dikaji dalam periklanan
ini.
Periklanan dan Kebenaran
Tahun 2012 yang lalu seorang ibu yang bernama Milla tertarik dengan
iklan bermerek Nissan March. Milla pun membeli Nissan March matic pada 7
Maret 2011 seharga Rp159,8 juta. Nyatanya, mobil (Nissan March) saya kok boros
55

Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori dan Praktek
Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo, 2010), hlm. 2-4
56
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 263-264

29
banget. Saya sih nggak mengharapkan yang muluk-muluk seperti di iklan, ya sekitar
1:14 atau 1:13, saya rasa sudah cukup bagus. Tetapi setelah melakukan pengujian
beberapa kali, hanya mampu 1:7 atau 1:8, kata Milla. Milla pun akhirnya
mengajukan gugatan secara resmi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah
keluhannya ini tidak didengar oleh Nissan. 57
Apabila ibu Milla merasa tertipu dengan iklan yang ditawarkan oleh
produsen mobil tersebut, bagaimana dengan anda? Pernahkah anda membaca iklan
yang anda tahu, pernyataan dalam iklan tersebut tidak mengandung kebenaran,
bombastis dan cenderung dibesar-besarkan? Iklan memang memiliki stereotipe
(mendapatkan cap dari masyarakat) yang suka membohongi, menyesatkan, dan
bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori (dipastikan) disamakan dengan
tidak bisa dipercaya.58 Tentu saja berbohong merupakan suatu perbuatan yang tidak
etis.
Tetapi apakah benar iklan mengandung unsur kebohongan? Dalam konteks
moral harus dilihat maksud dalam perbuatan berbohong ini. Maksud disini
adalah ada unsur kesengajaan. Dapat saja sebuah iklan mengatakan sesuatu yang
tidak benar, misalnya iklan sebuah obat yang sangat efektif mengatasi rasa sakit,
ternyata ada efek samping yang tidak terduga sebelumnya. Iklan obat ini tidak
berbohong, karena tidak dengan sengaja menyimpang efek samping yang
ditimbulkan. Maksud berikutnya adalah agar orang lain percaya, dalam hal ini iklan
informatif dan iklan persuasif.
Unsur informasi selalu benar, misalnya
menginformasikan kandungan makanan, zat pewarna, pengawet dan infomrasi
produknya halal.59
Iklan dalam penggunaan bahasa menggunakan retorika sendiri yang
cenderung produknya adalah yang terbaik dibidangnya atau nomor satu di kelasnya.
Misalnya melezatkan setiap masakan, membersihkan paling bersih, bintang
segala bir, dll. Bahasa periklanan disini sarat dengan superlatif dan hiperbol.
Dalam hal ini si pemasang iklan tidak bermaksud sama sekali agar public percaya
begitu saja, dan tentunya publik pun tahun bahasa retorika tersebut tidak perlu
dimengerti secara harafiah. Maksudnya di sini bukan memberi informasi yang
belum diketahui, melainkan menarik perhatian supaya dapat memikat calon pembeli.
Setelah mengamati masalah periklanan di atas, ternyata cukup sulit memlihat
hal yang etis dan tidak etis di dalam periklanan. Sama halnya dengan sulit untuk
membedakan antara melebih-lebihkan dan berbohong, sehingga masalah
kebenaran di dalam periklanan tidak dapat dipecahkan dengan cara membedakan
secara hitam dan putih. Banyak bergantung pada situasi konkret dan kesediaan
publik untuk menerimanya atau tidak.60
Kembali ke kasus Ibu Milla di atas, pertanyaannya apakah Nissan
berbohong? Di dalam konten iklan itu dinyatakan kendaaran irit/hemat bahan bakar
57

http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissan-berupayakaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42


58
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 264-266
59
Ibid, hlm. 266
60
Ibid, hlm. 269

30
dan di atas pernyataan irit itu ada tanda asteris (*) yang menerangkan kendaraan
tersebut telah diuji tingkat konsumsi bahan bakarnya di sebuah sirkuit oleh outo
bild. Akal sehat kita membandingkan sirkuit yang bebas hambatan dan jalanan di
Jakarta yang macet parah, kira-kira kendaraan macam apa yang dapat menghemat
bahan bakar sampai dengan 21 Km /liter atau minimal 14 km/liter? Jadi apakah
Nissan berbohong dalam iklannya?

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN


Tanggung jawab sosial diartikan sebagai menjalankan sebuah bisnis yang
memenuhi atau melampaui harapan etis dan legal yang dimiliki masyarakat terhadap
bisnis tersebut. Dalam hal ini memastikan keberhasilan komersial dalam cara-cara
yang menghormati nilai-nilai etis dan menghormati orang, masyarakat dan
lingkungannya.61
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat dibedakan dengan tanggung jawab
ekonomis perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan yang dimaksud di sini
merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial
dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara ekonomis. Perusahaan
dalam hal ini melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan ekonomis dan
semata-mata dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau salah satu
kelompok masyarakat, misalnya perusahaan menyelenggarakan pelatihan
keterampilan untuk para penganggur di lingkungannya.62
Tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat dilihat dari sisi negatif, di
mana perusahan menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan tertentu, yang
sebenarnya menguntungkan secara ekonomis. Misalnya sebuah perusahaan kertas
membuang limbahnya langsung ke sungai, praktik ini menguntungkan secara
ekonomis, karena tidak perlu membuat pengolahan air limbah yang mahal. Dalam
hal menanggung kerugian masyarakat inilah perusahaan harus bertanggung jawab,
sehingga tanggung jawab sosial di sini diartikan dari sisi negatif.
Demikianlah perusahaan seyogyanya selain melakukan kegiatan yang
menguntungkan bagi perusahaannya, juga memperhatikan berbagai kegiatan yang
memberikan sumbangan yang berarti untuk masyarakat secara luas.
PENUTUP
Demikian luasnya persoalan etika bisnis, apa yang dipaparkan di atas
merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan etika bisnis yang ada dalam
kegiatan bisnis. Untuk pokok bahasan lingkungan hidup secara khusus akan dibahas
dalam topik Etika Lingkungan hidup.

61
62

Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm. 143
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, hlm. 295-297

31
DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998)
Andar Ismali, Selamat berkarya: 33 renungan tentang kerja, (Jakarta: Penerbit BPK
Gunung Mulia, 2004)
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata, Ayo Bikin Iklan! Memahami Teori dan
Praktek Iklan Media Lini Bawah, (Jakarta: Penerbit Elex Media
Komputindo, 2010)
Dr. Phil. Eka Darmaputera, Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi, dan
penatalayanan, (Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia, 2001)
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008)
Jacobus Tarigan, MA. (Penyunting), ETIKA BISNIS: Dasar dan Aplikasinya,
(Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994)
James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004)
Kees Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000)
Kees Bertens, Keprihatinan Moral Telaah atas Masalah Etika, (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2003)
Karl E. Case dan Ray C. Fair, PRINSIP-PRINSIP EKONOM (edisi bahasa
Indonesia)I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006)
Patricia J. Parsons, Etika Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004)
Sumber internet:
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/23/1628453/Buruh.Kuali.Akan.Gugat.Ma
ntan.Bosnya diakses 30Oktober 2013 pk. 9:24
http://indopremiernews.wordpress.com/2012/04/03/digugat-konsumen-nissanberupaya-kaburkan-substansi/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2013 pukul 07:42

32

ETIKA KERJA
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai etika kerja ini, ada baiknya
kita terlebih dahulu mendapatkan penjelasan mengenai kerja. Beberapa orang
beranggapan, bahwa pekerjaan itu merupakan suatu beban atau bahkan sebagai suatu
kutukan karena kita telah berdosa kepada Tuhan. Sebagian lagi berpendapat, kerja
merupakan kewajiban manusia agar dapat bertahan hidup dan terus melanjutkan
kehidupannya di dalam dunia ini.
Dalam sebuah artikel bagi orang Jawa berpandangan mengenai kerja. Bahwa
hidup di dunia merupakan ujian yang harus diselesaikan dengan berbagai cara.
Orang hidup menurut pengertian Jawa wajib bekerja keras, tanpa pamrih yang
berlebihan seperti ungkapan bila seseorang ditanya tentang tujuan mereka bekerja,
adalah ngupoyo upo artinya mencari sebutir nasi. Ungkapan ini menggambarkan
betapa beratnya pekerjaan yang harus diupayakan sedemikian rupa.63
Mengenai arti kerja itu, memang bergantung kepada bagaimana seseorang
tersebut memaknainya. Marilah kita melihat mengenai kerja ini dipandang dari
tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Ternyata, bekerja merupakan bagian dari
hakikat manusia itu sebagai manusia. Pada awal penciptaan, manusia ditempatkan
di sebuah taman, namun bukan sebagai penikmat taman itu, tetapi Tuhan
menempatkan manusia di sana untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
Singkatnya, Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja. Jadi salah bila mengatakan
kerja itu sebagai beban atau kutukan.64
Adapun bagi seorang seniman, hakekat kerja adalah penciptaan. Maka atas
dasar penicptaan inilah, seorang seniman mampu memandang bahan-bahan sebagai
sesuatu yang mampu mengoyakan gairannya untuk berkreasi, untuk mendapatkan

63

Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm. 307
64
Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT BPK
Gunung Mulia, 1990), hlm. 100-101

33
warna atau bentuk terbaik digali sedemikian rupa dalam proses penciptaannnya.65
Nah kalau begitu, menurut anda apa itu kerja?
ETHOS KERJA
Ethos merupakan kata serapan dari bahasa Yunani yang sering digunakan
dalam bahasa modern saat ini. Menurut kamus Concise Oxford Dictionary (1974)
ethos dapat didefinisikan sebagai characteristic spirit of community, people or
system, atau merupakan sebagai suasana yang khas menandai suatu kelompok,
bangsa atau sistem. Sehingga bila kita mendengar ethos kerja atau etika profesi
itu berarti menunjuk pada suasana khas yang menandai kerja atau profesi. Suasana
khas yang dimaksud ini berkaitan dengan suasana yang baik secara moral. Suasana
yang bernuansa etis tersebut dalam kelompok kerja atau profesi tersebut.66 Sehingga
dalam rangka menuangkan suasana yang etis tersebut, biasanya kelompok tersebut
menuangkannya dalam suatu kode etik atau dituangkan dalam peraturan perusahaan.
Lebih lanjut mengenai ethos kerja ini, Jansen H. Sinamo yang dikenal
sebagai Bapak Ethos Indonesia merumuskan ada 8 Ethos Kerja yang
dikembangkannya, adalah: (1) kerja adalah rahmat: bekerja dengan tulus dan
penuh rasa syukur; (2) kerja adalah amanah: bekerja dengan penuh rasa tanggung
jawab; (3) kerja adalah panggilan: bekerja tuntas penuh integritas; (4) kerja
adalah aktualisasi diri: bekerja keras penuh semangat, (5) kerja adalah ibadah:
bekerja dengan serius penuh kecintaan; (6) kerja adalah seni: bekerja cerdas penuh
kreativitas; (7) kerja adalah kehormatan: bekerja tekun penuh keunggulan; (8)
kerja adalah pelayanan: bekerja sempurna penuh kerendahan hati.67 Delapan
rumusan ethos kerja di atas sangat menarik sarat dengan nilai-nilai religius dan etis
yang memberikan makna terhadap pekerjaan yang ditekuni.
Melihat pemaparan pendahuluan kita mendapat penjelasan mengenai konsepkonsep, nilai-nilai etis dan hakekat mengenai kerja itu sendiri. Sedangkan pada
bagian ethos kerja kita mendapatkan penjelasan tentang bagaimana sikap dan praktik
dari bekerja tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
ETIKA KERJA dan ETHOS KERJA adalah etika itu berada pada tataran ideal
(ingat bahan kuliah pertama), sedangkan ethos berada pada situasi yang faktual.
Atau secara singkat kita katakan etika kerja adalah teori dan ethos kerja adalah
praktiknya.
PEKERJAAN DAN PROFESI
Bila kita menanyakan mengenai profesi seseorang, sering kali kita
mendapatkan jawaban pekerjaan orang tersebut, misalnya: Profesi bapak sekarang
apa pak? Bapak tersebut menjawab, Saya memiliki profesi sebagai dokter.
65

Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie, (Jakarta:


Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 105
66
Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2005), hlm.219
67
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan Pemula, (Jakarta:
PT. BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 23

34
Sepintas dari jawaban bapak tersebut antara profesi dan pekerjaan yang digelutinya
adalah memang sama, profesi sebagai dokter ya bekerja juga sebagai dokter.
Dengan demikian pekerjaan seolah sama dengan profesi, dan profesi sama dengan
pekerjaan. Pemahaman ini tidaklah salah, karena profesi merupakan pekerjaan,
yang ditekuni oleh seseorang. Namun demikian, antara pekerjaan dan profesi
sebenarnya terdapat perbedaan, sehubungan dengan hal yang dikerjakan yang kita
golongkan sebagai profesi memiliki kekhususan.68
Berikut di bawah ini merupakan ciri dari profesi, sebagai berikut:69
a. Pengertian Profesi
Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah
hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan
dengan melibatkan komitmen pribadi dalam hal ini moral yang mendalam.
Dengan demikian seseorang yang layak disebut sebagai profesional adalah
orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan
itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta
memiliki komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya. Dengan
demikian secara sederhana kita dapat katakan, seorang yang profesional
adalah orang yang kehidupannya didedikasikan sepenuhnya pada
pekerjaannya dan mendapat penghidupan dari pekerjaannya tersebut. Atas
pertimbangan tersebut orang tersebut memiliki disiplin, ketekunan dan
keseriusan sebagai wujud komitmen atas pekerjaannya.
Ada tiga hal yang membedakan pekerjaan seorang profesional dan pekerjaan
sebagai sebuah hobi, yaitu: (1) pekerjaan sebagai hobi dijalankan terutama
demi kepuasan dan kepentingan pribadi, (2) pekerjaan sebagai hobi tidak
punya dampak dan kaitan langsung yang serius dengan kehidupan dan
kepentingan orang lain, serta tidak mempunyai tanggung jawab moral yang
serius atas hasil pekerjaan itu bagi orang lain. (3) pekerjaan sebagai hobi
bukan merupakan sumber utama dari nafkah hidupnya. Untuk menjelaskan
ketiga poin ini tentu kita bisa membedakan kegiatan photography sebagai
profesional dan hobi.
Dalam hal orang menjalankan profesi luhur, misalnya profesi sebagai dokter,
penasihat hukum, hakim, jaksa, rahaniawan (pendeta atau pastor), tentara dan
sebagainya, pada kenyataannya mereka membutuhkan nafkah hidup dan
bahkan hidup dari profesi ini. Akan tetapi tujuan utama mereka adalah
menjalankan profesi luhur ini, bukan untuk memperoleh nafkah hidup,
melainkan untuk mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat. Hal ini
dapat kita melihat dalam diri seorang dokter yang bernama, dr. Lo Siauw
Ging. Seorang dokter senior di kota Solo ini tidak pernah menentukan tarif
68

Antonius Atosokhi Gea, hlm. 219-220


A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Penerbit
KANISIUS, 1998), hlm. 35-48
69

35
untuk pasien yang datang kepadanya. Bahkan ia lebih banyak memberikan
pelayanan Cuma-cuma kepada pasien yang kurang mampu. Ketika ditanya
oleh wartawan mengenai motivasinya ini, dokter senior ini mengatakan,
kalau mau cari duit jangan jadi dokter, jadilah pedagang70
Dalam hubungan antara pengabdian kepada masyarakat dan nafkah hidup
berkembang menjadi saling mengisi dan mengkondisikan. Pada satu pihak,
para profesional ingin mengadikan seluruh hidupnya demi kepentingan
banyak orang. Namun di pihak lain semakin ia profesional dalam
menjalankan profesinya, semakin banyak pula ia memperoleh imbalan atas
profesinya itu.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
profesionalismenya. Artinya, semakin baik dan profesional ia melayani
masyarakat, semakin banyak pula orang yang menjadi langganannya dan
karena itu ia akan memperoleh imbalan yang semakin baik. Maka istilah
profesional hampir identik dengan mutu, komitmen, tanggung jawab dan
bayaran yang tinggi.
b. Ciri-ciri Profesi
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita peroleh ciri-ciri profesi, yaitu:
(1) adanya keahlian dan keterampilan khusus. (2) adanya komitmen moral
yang tinggi. (3) orang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya.
(4) pengabdian kepada masyarakat. (5) profesi luhur biasanya ada izin
khusus untuk mejalankan profesi tersebut, misal dokter, akuntan publik,
pengacara dll. (6) kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu
organisasi profesi, misalnya IDI untuk dokter, IAI untuk Akuntan, dll.
c. Prinsip-prinsip Etika Profesi
Ada empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua
profesi pada umumnya. (1) Prinsip tanggung jawab, seorang yang
profesioan sudah dengan sendirinya bertanggung jawab. Pertama, tanggung
jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Kedua, ia
juga bertanggung jawab atas dampak profesinya terhadap kepentingan atau
bahkan kehidupan orang lain. (2) Prinsip keadilan, prinsip ini menuntut
orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya tidak merugikan
hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang yang dilayani dalam
profesinya. (3) Prinsip otonomi, merupakan prinsip yang dituntut oleh
kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. (4) Prinsip integritas moral,
berdasarkanhakikat dan ciri-ciri profesi di atas, terlihat jelas bahwa orang
yang profesional adalah juga orang yangpunya integritas pribadi atau moral
yang tinggi.

70

http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kaya-jangan-jadidokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014

36
KEWAJIBAN SEBAGAI KARYAWAN DAN PERUSAHAAN71
Dalam kaitan dengan kerja dan mempekerjakan pada baian ini dibahas
mengenai kewajiban karyawan dan kewajiban perusahaan. Kewajiban karyawan
dan perusahaan di sini, tidak bermaksud membahas seluruh hubungan kewajiban
antara karyawan dan perusahaan, tetapi bagian ini membatasi hubungan yang dapat
menimbulkan masalah-masalah etis. Permasalahan itu diantaranya: konflik antara
kewajiban-kewajiban moral atau yang kita kenal sebagai dilema moral, misalnya
sebagai karyawan menghadapi kondisi harus memenuhi dua kewajiban yang
berbeda, disatu sisi sebagai karyawan ia memiliki kewajiban harus bekerja datang ke
kantor tepat waktu, di sisi lain ia juga sebagai kepala keluarga berkewajiban
memperhatikan anaknya yang sedang sakit. Mana yang akan dikerjakan terlebih
dahulu?
Berikut di bawah ini dipaparkan kewajiban karyawan dan perusahaan.
Kewajiban Karyawan Terhadap Perusahaan
Dari sekian banyak kewajian karyawan terhadap perusahaan, dipaparkan
hanya tiga kewajian yang menimbulkan masalah khusus, yaitu kewajiban ketaatan,
konfidensial dan loyalitas, yang dipaparkan sebagai berikut di bawah ini:
a. Kewajiban ketaatan, karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan,
sehubungan keterikatan kita dengan perusahaan itu menimbulkan
konsekuensi ketaatan pada pimpinan di dalam perusahaan tersebut.
Ketaatan di sini tidak berarti apa pun yang diperintahkan pimpinan kita
sebagai karyawan harus taat, kita tidak harus mematuhi perintah pimpinan
dalam hal, (1) perintah yang tidak bermoral, misalnya atas meminta
karyawan melakukan praktik penipuan (transaksi fiktif), (2) perintah yang
tidak wajar, walau pun dari segi etika tidak ada masalah (bukan masalah
etis), misalnya perintah yang tidak hubungannya dengan kepentingan
perusahaan seperti pimpinan meminta sopir perusahaan mencuci mobil
pribadinya, atau pimpinan meminta mengantar jemput anaknya. (3) tidak
perlu mematuhi walaupun demi kepentingan perusahaan, namun tidak
sesuai dengan job deskripsi yang disepakati, misalnya seorang karyawan
bagian keuangan tidak berkewajiban mematui perintah mengirim barang
pesanan kepada klien perusahaan. Namun hal ini perlu dilihat kasus per
kasus, bila perusahaan tempat kita bekerja merupakan perusahaan berskala
kecil, maka tidak menutup kemungkinan kita bekerja melampaui dari job
deskripsi yang telah disepakati, anda sebagai karyawan di bagian keuangan
harus dapat juga menjual produk perusahaan anda.
b. Kewajiban konfidensialitas, kewajiban untuk menyimpan informasi yang
bersifat konfidensial (rahasia) yang telah diperoleh dengan menjalankan
suatu profesi. Dalam konteks perusahaan konfidensialitas memang peranan
yang penting, misalnya akuntan, dengan pekerjaannya ia mempunyai akses
71

167-225

K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hlm.

37
pada informasi penting perusahaan. Informasi ini diperoleh karena
pekerjaannya sebagai karyawan di bagian tersebut dan jika ia tidak bekerja
di bagian ini tentu saja ia tidak akan mengetahui informasi rahasia tersebut.
Mengapa sebagai karyawan perlu menyimpan informasi rahasia ini? Alasan
utamanya adalah perusahaan merupakan pemilik informasi rahasia tersebu,
berarti membuka informasi rahasia sama dengan mencuri. Kemudian alasan
lainnya adalah dewasa ini persaingan bisnis sudah sedemikian ketat,
memiliki informasi tertentu dapat mengubah posisi perusahaan satu terhadap
perusahaan lainnya dengan drastis, sehingga membuka rahasia perusahaan
akan sangat mengganggu kompetisi yang fair. Rahasia perusahaan ini,
misalnya formula sebuah produk, resep masakan disebuah restoran terkenal,
racikan komposisi farmasi di perusahaan obat dll.
c. Kewajiban Loyalitas, merupakan konsekuensi dari status seseorang
sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan,
karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai
karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan
tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari apa yang merugikan
kepentingan perusahaan. Faktor yang bisa membahayakan loyalitas ini
adalah konflik kepentingan, antara kepentingan pribadi karyawan dan
kepentingan perusahaan, misalnya seorang montir bengkel resmi mobil,
setiap selesai jam kerja dia mengerjakan perbaikan mobil di rumah
customer. Hal ini tidak salah selama kepentingan pribadi dan perusahaan
tidak saling bersaing, lain halnya dengan kejadian misalnya ada seorang
klien bengkel resmi tersebut mempertimbangkan mahalnya biaya perbaikan
dan spare part yang juga tidak murah, anda sebagai montir kemudian
menawari klien bengkel tersebut untuk jasa perbaikan yang sama tentunya
dengan biaya yang jauh lebih murah dari pada bengkel tempat anda bekerja
tawarkan.
Demikianlah kurang lebih kewajiban karyawan terhadap perusahaan tempat di mana
ia bekerja.
Kewajiban Perusahaan Terhadap Karyawan
Berikut ini dipaparkan mengenai kewajiban perusahaan terhadap
karyawannya, sebagai berikut:
a. Perusahaan tidak boleh mempraktikan diskriminasi, diskriminasi di sini
menyangkut masalah gender, ras, golongan maupun agama tertentu.
b. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, terkait
dengan keselamatan kerja tersebut bisa terwujud bila tempat kerja itu aman.
Dan tempat kerja adalah aman, jika bebas dari risiko terjadinya kecelakaan
yang mengakibatkan si pekerja cedera. Kesehatan kerja dapat direalisasikan
karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat,
kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit.

38
c. Kewajiaban memberi gaji yang adil, sampai saat ini tidak dapat disangkal
gaji merupakan salah satu motivasi dalam bekerja, karena itu perusahaan
harus memperhatikan dalam pemberian gaji ini. Beberapa pertimbangan
dalam memberikan gaji antara lain: (1) menurut keadilan distributif, upah
atau gaji dianggap adil, bila merupakan imbalan untuk prestasi. Sehingga
wajar bila seseorang yang telah memberikan prestasinya yang besar
diberikan upah yang lebih besar. Berikut beberapa faktor agar gaji itu
dianggap adil atau fair, antara lain berpegang pada: a) peraturan hukum, b)
upah yang lazim dalam sektror industri tertentu atau daerah tertentu, c)
kemampuan perusahaan, d) sifat khusus pekerjaan tertentu, e) perbandingan
dengan upah/gaji lain dalam perusahaan, f) perundingan upah/gaji yang fair.
d. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semenamena, ada beberapa alasan mengapa perusahaan memberhentikan karyawan,
antara lain: internal perusahaan (restrukturisasi, otomatisasi, merger dengan
perusahaan lain), alasan eksternal (resesi ekonomi, konjungtur) dan
kesalahan karyawan itu sendiri.
PENUTUP
Pada bagian ini kita sudah belajar mengenai memaknai pekerjaan, bahwa
pada hakekatnya manusia adalah mahluk yang bekerja, manusia didesain untuk
bekerja bukan untuk bersenang-senang. ETIKA KERJA berada pada tataran ideal
yang mencoba mendalami mengenai makna dari kerja, sedangkan ETHOS KERJA
berada pada situasi yang faktual dalam praktik sehari-hari. Pemahaman antara
pekerjaan dan profesi, mempertajam kita bagaimana kita bersikap profesional dalam
menjalani profesi. Dan apabila kita bekerja pada orang lain atau suatu perusahaan,
kita memiliki kewajiban dan sebaliknya perusahaan pun memiliki kewajiban
perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA BISNIS Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta:
Penerbit KANISIUS, 1998)
Alberthine Endah, Eksplorasi Kreativitas Dua Dasawarsa Anne Avantie, (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Antonius Atosokhi Gea, Character Building IV Relasi dengan Dunia, (Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo, 2005)
Arya Ronal, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997)

39
Eka Darmaputera, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, (Jakarta: Penerbit PT BPK
Gunung Mulia, 1990)
Inggrid Tan, From Zero to the Best-Kiat Meniti Karier bagi Karyawan Pemula,
(Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2010)
K. Bertens, PENGANTAR ETIKA BISNIS,(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000)
Sumber Internet:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/12/02/dr-lo-kalau-mau-kaya-jangan-jadidokter-jadilah-pedagang diakses 09 Januari 2014

40

ETIKA POLITIK
oleh: Imam Tjahjo Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Etika Politik merupakan cabang filsafat yang sudah sangat tua, kehadirannya
bisa disejajarkan dengan kelahiran etika itu sendiri (filsafat moral). Etika politik
menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk persoalan-persoalan praktik
yang berkaitan dengan masalah politik. Para filsuf membahas mengenai masalah
politik ini secara panjang lebar di dalam buku mereka masing-masing, misalnya
Plato menulis buku yang berjudul Republic, mengemukakan secara sistematis dan
rasional system politik yang ideal. Sementara Aristoteles, menulis buku yang
berjudul Politics, dalam buku ini Aristoteles mengemukakan contoh yang
relevansinya terbatas pada sebuah model negara-kota Yunani kuno yang merupakan
perintis system politik demokrasi modern.72
Kedudukan etika politik itu sendiri di dalam filsafat, kurang lebih dapat
dijelaskan, bahwa filsafat di bagi menjadi dua bagian yaitu filsafat teoretis dan
filsafat praktis. Etika dikategorikan sebagai filsafat praktis, adapun etika itu sendiri
dibagi menjadi dua, yaitu etika etika umum dan etika khusus atau etika terapan.
Sedangkan etika terapan itu dibagi lagi menjadi beberapa bagian diantaranya etika
sosial, di dalam etika sosial itulah letak etika politik (lihat pembagian lebih lengkap
di dalam bagian etika sosial).
POLITIK
Beberapa waktu terakhir ini politik menjadi suatu kata yang paling populer,
apalagi menjelang tahun pemilihan umum yang kemudian dilanjutkan dengan
pemilihan presiden.
Tahun pemilihan umum tersebut, kemudian orang
menyebutkannya sebagai tahun politik. Pada tahun politik tersebut orang berharapharap cemas akan apa yang akan terjadi pada saat tahun politik ini, banyak orang
yang mengamati berbagai perkembangan yang terjadi mulai dari businessman,
aktivis partai, pejabat, sampai rakyat biasa.
72

Dr. Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 336-337

41
Sehingga tidak mengherankan bila Aristoteles menyebutkan politik
merupakan master of science, dalam arti pengetahuan tentang politik merupakan
kunci untuk memahami lingkungan. Selanjutnya bagi Aristoteles, dimensi politik
dalam keberadaan manusia merupakan dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi
lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Aristoteles mengemukakan, politik
berarti mengatur apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak
dilakukan.73
Penjelasan di atas mungkin memperjelas mengenai apa itu politik,
selanjutnya Ramlan Surbakti menjelaskan mengenai politik ini paling tidak melalui
lima pandangannya mengenai politik, yaitu: (1) politik merupakan usaha-usaha yang
ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama;
(2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (3)
politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat; (4) sebagai kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum dan (5) politik sebagai konflik dalam
rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.74
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita dapat simpulkan bahwa politik
berkaitan dengan usaha warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang
berkaitan penyelenggaraan negara dalam rangka perumusan dan pelaksanaan
kebijakan umum serta mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting dan
juga dalam rangka mempertahankan kekuasaan.
ETIKA POLITIK
Etika politik sebagai bagian dari etika sosial yang membahas mengenai
kewajiban-kewajiban bidang kehidupan manusia dalam bidangnya masing-masing,
etika politik merupakan filsafat moral mengenai kehidupan manusia dalam dimensi
kehidupan politik. Dengan demikian moral merupakan salah satu kunci untuk
masuk dalam pembahasan etika politik. Kata moral menunjuk pada manusia sebagai
manusia, sehingga apabila kita menambahkan di depan moral dengan kewajiban.
Maka kewajiban moral merupakan kewajiban manusia sebagai manusia, adapun
norma moral merupakan norma untuk mengukur betul salah tindakan manusia
sebagai manusia.75
Dengan demikian etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia sebagai manusia terhadap negara, hukum yang berlaku dan lain
sebagainya. Kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikannya sebagai warga
negara dalam hal ini tidak identik. Seperti yang Aristoteles kemukakan, bahwa
identitas antara manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat

73

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana


Indonesia, 2010), hlm. 1-2
74
Ibid, hlm. 1-2
75
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 13-14

42
apabila negara sendiri baik.76 Dengan demikian apabila negara itu buruk, maka
orang yang baik sebagai warga negara dalam hal ini hidup sesuai dengan aturan
negara tersebut, dengan sendirinya menjadi buruk. Hal ini dapat kita lihat, misalnya
di Afrika Selatan sebelum hukum politik aparteid dihapus, warga negara Afrika
Selatan yang baik adalah warga yang taat pada hukum yang berlaku di negara itu,
maka warga negara yang taat hukum dengan sendirinya menjadi orang yang tidak
baik, karena hukum dalam negara tersebut tidak baik.
Seperti halnya etika terapan yang lain, etika politik tidak berada pada tataran
mencampuri politik praktis, tetapi lebih berfungsi memberikan alat-alat teoritis dan
mempertanyakan berbagai hal mengenai legitimasi politik secara bertanggung
jawab. Perkembangan etika politik didasari atas ambruknya legitimasi kekuasaan
yang bersifat religius dan eliter, serta munculnya kesadaran akan kesalahan
dikhotomi moral dan politik.77

LEGITIMASI KEKUASAAN
Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang
dapat dirumuskan dalam pertanyaan, atas dasar hak moral apa seseorang atau
sekelompok orang memiliki wewenang untuk berkuasa? Seberapa pun besarnya
kekuasaan seseorang selalu akan diperhadapkan pada tuntuntan untuk
mempertanggungjawabkan.
Adapun mengenai tanggung jawab ini merupakan
salah satu faktor penentu dari sah tidaknya kekuasaan ini.78 Seorang penguasa yang
tidak sanggup mempertanggungjawabkan kekuasaannya, lambat laun ia tidak akan
memperoleh dukungan masyaraka dan pada akhirnya menggoyahkan kedudukannya
sebagai penguasa negara.
Pada Prinsipnya ada tiga macam legitimasi kekuasaan: (1) legitimasi religius,
(2) legitimasi eliter dan (3) legitimasi demokrasi.79
Legitimasi religius, merupakan legitimasi kekuasaan yang paling kuno,
dimana kekuasaan dipandang dan dihayati bersumber dari alam gaib. Pemimpin
rakyat atau raja dipandang sebagai perwujudan dari kekuasaan yang ilahi, sebagai
wadah yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan halus alam semesta, sehingga
melalui dirinya mengalir keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan keadilan bagi
orang-orang yang dipimpinnya. Implikasi dari legitimasi kekuasaan religius ini,
penguasa berada melebihi penilaian moral, sehubungan raja sendiri merupakan
perwujudan dari kekuatan Ilahi yang tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.80

76

Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral dasar


Kenegaraan Modern, hlm. 14-15
77
Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha
78
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern,hlm. 30-31
79
Ibid, hlm. 54
80
Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, 1995), hlm. 1

43
Legitimasi eliter, mendasarkan hak untuki memerintah pada kecakapan
khusus suatu golongan untuk memerintah. Anggapan ini didasari bahwa perlu
adanya kecakapan khusus yang harus dimiliki agar dapat memimpin seluruh rakyat.
Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat macam legitimasi eliter, yaitu legimasi
aristokratis, pragmatis dalam hal ini golongan militer, ideologis dan teknokratis.
Aristokratis secara tradisional merupakan suatu golongan, kasta atau kelas dalam
masyarakat yang dianggap lebih unggul dari masyarakat yang lainnya, sehingga
golongan ini dianggap paling berhak untuk memimpin.
Adapun Pragmatis,
merupakan golongan atau kelompok secara de facto menganggap diri paling tepat
memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut kekuasaan dalam hal ini golongan
militer. Ideologis, legitimasi ini mengadaikan adanya suatu ideologi negara yang
mengikat seluruh masyarakat. Para pengemban ideologi dianggap tahu bagaimana
seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdsarkan monopoli pengetahuan itu
mereka menganggap diri berhak untuk menentukannya. Dalam hal ini contohnya
adalah pemimpin partai komunis yang berkuasa.
Sedang bentuk yang ketiga merupakan legitimasi demokrasi, yang
berdasarkan kedaulatan rakyat.
LEGITIMASI KEKUASAAN MENURUT ETIKA POLITIK MODERN
Pada pemaparan di atas telah dijelaskan mengenai legitimasi kekuasaan, di
mana atas dasar kuasanya tersebut negara dapat memaksakan apa yang
dikehendakinya kepada warganya. Pemaksaan kehendak negara kepada warganya
tersebut apakah dapat dikatakan absah atau legitim. Penggunaan kekuasaan negara
hanya absah apabila beberapa syarat mutlak dipenuhi. Dengan demikian sebenarnya
tidak ada hak atas kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Berikut di bawah ini
ada tiga prasyarat keabsahan atau legitimasi kekuasaan negara menurut etika politik
modern, yaitu: (1) negara harus mengusahakan kesejahteraan umum; (2) negara
harus bersifat demokratis dan (3) negara harus bersifat negara hukum. Secara rinci
akan dijelaskan di bawah ini:81
Sebelum menjelaskan tiga prasyarat legitimasi kekuasan negara menurut etika
politik modern dijelaskan terlebih dahulu dua prinsip kehidupan bersama manusia,
yaitu Prinsip solidaritas, bahwa dalam sebuah masyarakat, masing-masing anggota
bersama-sama mengupayakan kesejahteraan bagi anggota masyarakat lainnya,
senasib sepenanggungan. Prinsip subsidiaritas, lembaga yang lebih tinggi
kedudukannya harus memberi bantuan kepada para anggotanya.
(1) Prinsip Kesejahteraan umum, tujuan negara yang terutama adalah
menciptakan kesejahteraan umum. Kondisi kesejahteraan umum ini
berkaitan dengan pemenuhan kondisi kehidupan sosial anggota
masyarakatnya, sehingga dapat mencapai keutuhan dan perkembangan
81

Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB I PBVI, (Jakarta:
Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 116-123

44
kehidupan yang lebih baik. Ada dua pengertian dalam kaitan negara
mengupayakan kesejahteraan umum ini, yaitu: (a) negara bukan tujuan pada
dirinya sendiri, melainkan negara adalah demi kesejahteraan manusia dan
masyarakat, dengan demikian tugas negara pada hakikatnya adalah
melayani. Dalam pengertian ini dipahami, apabila negara mengadakan
pungutan-pungutan berupa pajak kepada warganya, bukan diartikan dalam
kekuasaan negara kepada warganya, akan tetapi lebih diartikan sebagai
kesediaan warga yang lain berkorban demi anggota masyarakat yang
lainnya. (b) dalam pengertian kesejahteraan umum ini, negara tidak
menyelenggarakan kesejahteraan masing-masing anggota masyarakatnya
secara langsung, akan tetapi masing-masing individu mengupayakannya
secara sendiri-sendiri, adapun negara mengupayakan melalui fungsi
subsidier (membantu, menunjang), mengusahakan adanya semua kondisi
yang diperlukan agar para anggota masyarakat sendiri dapat mengusahakan
kesejahterannya.
(2) Negara Demokratis, Dalam negara demokratis ini ada beberapa prinsip,
yaitu Prinsip kedaulatan rakyat, mengatakan bahwa rakyat sendiri
berwenang untuk menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa.
Setiap warga memiliki kedudukannya yang sama sebagai manusia dan
warga negara, karenanya masing-masing tidak memiliki hak untuk
memerintah orang lain, sehingga untuk memerintah masyarakat lainnya
harus berdasarkan penugasan dan persetujuan para warga masyarakat itu
sendiri.
Prinsip perwakilan,
dalam hal ini rakyat menjalankan
kedaulatannya menurut prinsip perwakilan, karena tidak mungkin dilakukan
secara langsung oleh masing-masing warga. Untuk memenuhi prinsip
pewakilan ini pemilihan umum merupakan sarana untuk memilih wakitwakil rakyat. Ciri-ciri negara demokratis, sebuah negara belum dapat
disebut demokratis hanya dengan mengadakan pemilihan umum dan
mempunyai lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
(3) Negara Hukum. Tuntutan etis selain negara demokratis dalam hal
mengenai cara penyelenggaraan kekuasaan negara berikutnya adalah negara
harus taat pada hukum. Negara harus berwujud negara hukum dan bukan
negara kekuasaan. Pemerintah taat pada hukum, pemerintah dalam hal ini
harus selalu bertindak dalam batas-batas hukum. Kalau pemerintah tidak
berdasarkan hukum, masyarakat tidak mempunyai pegangan dan akibatnya
pemerintah menjadi sewenang-wenang. Taat pada hukum berart: negara
selalu bergerak dalam abats hukum dan dikontrol oleh lembaga kehakiman.
Kebebasan hakim, kebebasan hakim merupakan pilar utama bagi sebuah
Negara hukum. Hakim memiliki kebebasan dalam menjatuhkan keputusan
dari tekanan kekuasaan eksekutif atau pemerintah. Hakim sepenuhnya
bertanggung jawab terhadap hukum yang berlaku menurut suara hatinya
sendiri. Kebebasan hakim dari tekanan, ancaman dan paksaan pemerinatah
merupakan tanda paling jelas sebuah negara yang sungguh-sungguh
berwujud negara hukum.

45
PENUTUP
Jelaslah bahwa politik berkaitan dengan usaha warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama yang berkaitan penyelenggaraan negara dalam
rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum serta mempertahankan sumbersumber yang dianggap penting dan juga dalam rangka mempertahankan kekuasaan,
hanya dalam pelaksanaannya yang kita temui sering terjadi berbagai penyimpanganpenyimpangan di dalam menjalankan kekuasaan dan dalam rangka mempertahankan
kekuasaannya. ETIKA POLITIK lebih kepada menyediakan sebuah kondisi ideal
berupa alat-alat teoritis yang berguna untuk pelaksanaan menjalankan kekuasaan itu.
Pada dasarnya legitimasi menurut kekuasaan etika politik modern merupakan
kondisi ideal yang ditawarkan dalam menjalan kekuasaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Aristoteles di dalam Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral
dasar Kenegaraan Modern
Frans Magnis Suseno, ETIKA POLITIK-Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1987)
Frans Magnis Suseno, KUASA DAN MORAL, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, 1995)
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB I PBVI,
(Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm.
Hand Out Mata Kuliah ETIKA, Universitas Kristen Maranatha
Stephen Palmquist, Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2007)
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2010)

46

ETIKA LINGKUNGAN
Oleh: Imam T. Wibowo, SE., MA.
PENDAHULUAN
Dalam bagian di awal-awal pertemuan Etika bagian dari Etika dasar dengan
jelas disebutkan, bahwa dalam pembahasan Etika tidak dapat dilepaskan dari
manusia. Namun pada bagian ini justru etika membahas lingkungan, sehingga
menimbulkan pertanyaan, mengapa etika membahas mengenai masalah lingkungan?
Seperti halnya Etika Bisnis, bahwa sudut pandang etika melihat bisnis dalam
aspek hubungan antar manusia yang satu dan yang lainnya dalam lapangan dunia
bisnis. Demikian halnya pula Etika lingkungan, sama sekali tidak meninggalkan
manusia dan hanya membahas lingkungan. Tetapi, justru memandang masalahmasalah yang terjadi di bidang lingkungan hidup ini dalam sudut pandang manusia
sebagai sumber berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini.
Menurut A. Sonny Keraf dalam bukunya ETIKA LINGKUNGAN HIDUP
menegaskan, bahwa tidak dapat disangsikan lagi berbagai kasus lingkungan hidup
yang terjadi di lingkup nasional, maupun global, sebagaian besar bersumber dari
perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan di laut, hutang,
atmosfer, air, tanah dan sebagainya berawal dari perilaku manusia yang tidak
bertanggung jawab, tidak peduli dan cenderung mementingkan diri sendiri.82
Selanjutnya menurut Arne Naess di dalam A. Sonny Keraf menegaskan
bahwa, krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan
perubahan cara pandangan dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar dan
radikal. Menurutnya diperlukan sebuah gaya hidup baru yang tidak hanya
menyangkut orang per orang, tetapi budaya masyarakat secara keseluruhan.83
Beberapa waktu yang lalu ada seorang warga negara asing di Bandung
menulis mengenai kota Bandung yang disebutnya sebagai Bandung The City of
Pigs, Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa daging babi dianggap terlalu
kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya hidup dalam lingkungan yang lebih
kotor dari babi. Dari pernyataan tersebut dikaitkan dengan etika lingkungan hidup
82

A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT. Kompas Media
Nusantara, 2010), hlm.1-2
83
Ibid, hlm. 2

47
adalah yang diperlukan menutut gaya hidup baru yang tidak menyangkut orang per
orang namun seluruh warga kota Bandung. Dengan demikian diperlukan etika
lingkungan yang menuntun manusia untuk berinterkasi secara baru dengan
lingkungannya dan alam semesta.
Dengan demikian masalah lingkungan tidak dapat disangkal lagi, inti
permasalahannya ada dalam sikap moral manusia dalam memandang dan
memperlakukan alam.
LINGKUNGAN HIDUP
Lingkungan hidup menurut Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup (termasuk di dalamnya
manusia dan perilakunya) yang memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.84 Dari definisi di atas jelaslah,
bahwa lingkungan hidup merupakan ruang sebagai tempat bagi manusia dan mahluk
hidup lainnya tinggal dan hidup bersama.
Secara singkat lingkungan hidup itu sendiri meliputi lingkungan biofisik
yang terdiri atas abiotik dan biotik, lingkungan sosial ekonomi dan lingkungan
budaya.85
TEORI ETIKA LINGKUNGAN HIDUP
Pada prinsipnya etika lingkungan berusaha untuk memberikan kejelasan
rumusan tentang tindakan atau perilaku, yang baik atau pun yang tidak baik, secara
moral bagi individu maupun masyarakat. Melalui etika ini juga mencoba untuk
menetapkan kewajiban yang seharusnya secara alamiah, secara setia dilakukan oleh
seseorang pada diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam hubungan dengan
tatanan kehidupan.86
Ada beberapa pandangan yang dikembangkan mengenai hubungan manusia
dengan alam, penekanannya pada kenyataan bahwa lingkungan itu penting dan
bermanfaat bagi manusia. Selain dari pada itu, alam juga memiliki nilai pada
dirinya sendiri yang harus dihargai dan dihormati. Pandangan-pandangan etika
lingkungan yang dikembang dalam hal ini ada tiga teori utama, yang dikenal
sebagai Shallow Environtmental Etihics, Intermediate Environmental Ethics dan
Deep Environmental Ethics.
Ketiga teori tersebut dikenal juga sebagai
antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.87

84

Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa, (Jakarta:


Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 95-96
85
Lihat handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha
86
Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan
Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 159160
87
Ibid, hlm. 31

48
Antroposentrisme
Pandangan antroposentris ini merupakan pandangan yang telah lama dianut
oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau lingkungan ini hanya
memiliki nilai alat semata atau instrumental value bagi kepentingan umat manusia.
Pandangan antroposentris ini sering dikaitkan dengan pandangan masyarakat barat
yang melihat lingkungan hidup dari sisi maknanya bagi kesejahteraan adan
kemakmuaran manusia semata. Mereka memandang hubungan dengan lingkungan
sebagai sebuah hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Dalam kaitan
ini hanya manusia yang subjek sedangkan alam lingkungan adalah objek. Dengan
demikian alam diteliti, dieksplorasi, kemudian dieksploitasi88
Tinjauan kritis atas pandangan teori etika antroposentrisme ini sebagai
berikut seperti dipaparkan di bawah ini:89 (1) Pandangan ini didasarkan pada filsafat
yang mengklaim, bahwa manusia diklaim sebagai yang mempunyai nilai tertinggi
dan terpenting dalam kehidupan ini. Ajaran inilah yang menempatkan manusia
sebagai yang sentral dalam alam semesta, menjadikan manusia menjadi arogan
terhadap alam, (2) Antroposentrisme sangat instrumentalis, sehingga alam
dipandang sebagai alat kebutuhan manusia semata. Kalau pun ia peduli terhadap
alam, semata-mata demi kelangsungan atas jaminan kebutuhan bagi manusia.
Jelaslah teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit
atau shallow environmental ethics. (3) Antroposentrisme sangat bersifat teleologis,
karena pertimbangan peduli terhadap alam semata-mata karena didasarkan pada
akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia belaka. (4) Pandangan ini dituduh
menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah
menyebabkan manusia berani melakukan tindakan-tindakan eksplotatif terhadap
alam. (5) Walau pun demikian, pandangan ini cukup menjadi alasan kuat bagi
upaya pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Demi kelangsungan hidup
manusia, maka manusia wajib memelihara dan melestarikan lingkungan alamnya.
Biosentrisme
Biosentrisme merupakan pandangan yang menempatkan alam sebagai yang
mempunyai nilai intrinsik dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan-kepentingan
manusia. Dengan demikian teori biosentrisme ini berpandangan bahwa mahluk
hidup bukan hanya manusia saja. Manusia memiliki tanggung jawab untuk
melestarikan lingkungan alam tersebut.90 Paul Taylor di dalam Fachruddin M.
Mangunjaya menguraikan empat keyakinan yang mendasari pandangan biosentrisme
ini, yaitu: 91 (1) Keyakinan bahwa manusia merupakan anggota dari komunitas
kehidupan di bumi dalam pengertian yang sama dan dalam kerangka yang sama di
88

Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran,
(Jakarta: Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 137
89
Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja), (Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2005), hlm. 41-43
90
Ibid, hlm. 43-44
91
Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi Perubahan
Iklim, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 23-24

49
mana mahluk hidup lain juga anggota komunitas yang sama. (2) Spesies manusia
bersama dengan semua spesies lain adalah bagian yang saling bergantung sehingga
kelangsungan hidup mana pun serta peluangnya untuk berkembang atau sebaliknya,
tidak ditentukanoleh kondisi fisik melainkan oleh relasinya antara satu dengan yang
lainnya. (3) Semua organisme merupakan pusat kehidupan yang mempunyai
tujuannya sendiri, sehingga setiap spesies merupakan unik dalam mengejar
keperluannya dengan caranya sendiri. (4) Keyakinan bahwa manusia pada dirinya
sendiri tidak lebih unggul dari mahluk yang lain.
Dalam pandangan biosentris dapat disimpulkan bahwa tidak ada kelebihan
lain antara manusia secara biologis dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Dalam
posisi manusia sebagai mahluk yang dapat netral dalam rangka bagian dari alam
yang dapat juga mengalami kerusakan dan kebinasaan apabila berhadapan dengan
faktor-faktor alami lainnya yang tidak berbeda nasibnya dengan mahluk-mahluk
lainnya.92
Tinjauan kritis atas teori etika lingkungan hidup biosentris ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:93 (1) Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap
alam yang bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan merupakan sesuatu yang
bernilai, bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya. Sehingga prinsip moral yang
dikembangkan di sini, erupakan hal yang baik secara moral bahwa kita
mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita
menghancurkan kehidupan. (2) Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya
mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri. Dengan demikian kewajiban dan
tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral
bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka
mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi. (3) Sehubungan
dengan manusia tidak berbeda dengan mahluk biologis lainnya, maka seorang yang
bernama Leopold menghindari penyamaan tersebut. Menurutnya, manusia tidak
memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Hanya,
dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya
dengan cara mengorbankan kelangsungandan kelestarian komunitas ekologis.
Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia menggunakan
alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggungjawab untuk
mengorbankan integritas, stabilitas seta beauty dari mahluk hidup lainnya. (4) Teori
biosentrisme, disebut juga sebagai intermediate environmental ethics yang
menyangkut kedudukan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain di bumi ini.
Pada dasarnya teori ini berpusat pada komunitas biotis dan seluruh kehidupan yang
ada di dalamnya, sehingga teori ini memberikan bobot yang sama kepada semua
mahluk hidup.

92
93

Ibid, hlm 24
Antonius Atosokhi Gea, hlm. 44-46

50
Ekosentrisme
Ekosentrisme ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari teori etika lingkungan
biosentrisme. Dalam pemaparan di atas, biosentrisme memusatkan perhatian pada
kehidupan seluruhnya, sedangkan ekosentrisme lebih memusatkan perhatian pada
seluruh komunitas, baik yang hidup maupun yang tidak. Pandangan ini didasarkan
pada prinsip bahwa secara ekologis, baik mahluk hidup maupun benda-benda abiotik
lainnya saling terkait satu sama lain, misalnya air di sungai sangat menentukan bagi
kehidupan yang ada di dalamnya.94
Tinjauan kritis atas pandangan etika ekonsentrisme dapat dipaparkan di
bawah ini:95 (1) Ekosentrisme, yang disebut sebagai deep environmental ethics atau
deep ecology merupakan suatu paradigma baru tentang alam dan seluruh isinya.
Dalam hal ini perhatiannya bukan hanya kepada manusia melainkan pada mahluk
hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.
(2) Arne Naes menggunakan juga istilah ecosophy, eco berarti rumah tangga dan
sophy berarti kebijaksanaan. Maka ecosophy diartikan sebagai kebijaksanaan yang
mengatur hidup selaras dalam alam sebagai rumah tangga dalam arti luas. Sehingga
ecosophy ini merupakan gerakan dari seluruh penghuni alam semesta, untuk
menjaga dan memelihara lingkungannya secara arif dan bijaksana selayaknya
sebuah rumah tangga. (3) Deep Ecology menganut prinsip biospheric
egalitarianism, merupakan pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup
merupakan anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait
sehingga mempunyai martabat yang sama. (4) Sikap deep ecology terhadap
lingkungan sangat jelas, tidak hanya memusatkan perhatian pada dampak
pencemaran bagi kesehatan manusia, tetapi juga pada kehidupan secara keseluruhan.
Deep ecology ini mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran, dan
bukan sekedar dampak yang tampak dipermukaan saja dan berjangka pendek. Alam
harus dipandang juga dari segi nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual, medis dan
biologis.
PENDEKATAN TEKNOKRATIS
Apabila diamati kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan
karena beberapa faktor diantaranyanya pola pendekatan manusia modern terhadap
alam yang dikenal dengan sebutan teknokratis (dari bahasa Yunani tekne merupakan
keterampilan dan krattein menguasai). Sehingga teknokratis diaratikan, bahwa
manusia sekadar mau menguasai alam. Alam dipandang sekadar sarana untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Alam juga merupakan tumpukan kekayaan dan
energi yang dapat dimanfaatkan. Sikap teknokratis ini dapat diringkas sebagai sikap
merampas dan membuang, alam dibongkar untuk mengambil apa saja yang
diperlukan, dan apa yang tidak mengambil apa saja yang diperlukan dan apa yang

94
95

Antonius Atosokhi Gea, hlm. 47-49


Ibid, hlm. 47-49

51
tidak diperluka, begitu pula produk-produk samping pekerjaan manusia begitu saja
dibuang.96
Pendekatan teknokratis mempunyai lima ciri khas, sebagai berikut:97
a. Kepercayaan akan Kemajuan
Sejarah dipahami sebagai sejarah kemajuan linear. Kemajuan itu sendiri
dipahami sebagai penguasaan dan pemanfaatan alam yang semakin total.
Karena kepercayaan akan kemajuan itu manusia tidak dapat membatasi diri,
tidak sanggup untuk mencapai dan menjaga suatu keseimbangan dengan
ekosistem-ekosistem lainnya. Kemajuan memaksa manusia untuk menjadi
perusak.
b. Segala-galanya dapat diciptakan
Ciri kedua kebudayaan teknokratis ini tidak adanya batas alamiah lagi bagi usaha
manusia. Prinsip-prinsip perlawanan terhadap keterbatas yang ada menjadi
suatu hal yang dipuja-puja dalam kebudayaan teknokratis ini. Dengan demikian
batas-batas alamiah tersebut dianggap tantangan bagi manusia untuk bisa
mengatasinya.
c. Demitologisasi alam
Manusia pernah mengalami suatu penghayatan yang berpandangan alam
dianggap sebagai sesuatu yang penuh misteri, sehingga manusia harus
menghormati alam sedemikian rupa. Hal ini jelas tampak dalam dunia agraris,
ketika para petani akan menggarap tanahnya, mereka melakukan upacara ritualritual untuk mengawali penggarapannya. Namun kondisi saat ini, alam sudah
didemitologisasikan atau orang sudah mengesampingkan unsur-unsur mitos
terhadap alam itu. Akibatnya manusia tidak menghargai alam sedemikian rupa,
alam dapat diekspoitasi dan bahkan dijadikan tempat untuk membuang sampah.
d. Rasionalitas Irasional
Dalam budaya teknokratis rasionalis teknologis telah menjadi irasional. Dalam
konsep maksimalisasi keuntungan produksi, orang tidak lagi melayani
kebutuhan manusia. Namun yang terjadi saat ini kebutuhan itu seolah-olah
diciptakan oleh produsen, demi kelansungan produksi agar terus berjalan.
Perusahaan sedemikian rupa meluncurkan produk-produk baru yang memaksa
orang merasa membutuhkan produk barunya tersebut, produk tersebut seolah
membunuh produk lamanya dan orang dikondisikan untuk terus memburu
produk-produk baru tersebut. Demi produk baru tersebut manusia
mengeksploitasi kekayaan allam dan merusaknya sedemikian rupa. Sebenarnya
manusia bisa hidup tanpa merusak, namun kebudayaan teknokratis ini
menciptakan gaya hidup manusia sedemikian rupa, sehingga berusaha untuk
terus update dengan teknologi yang baru. Hampir setiap tahun produsen
kendaraan bermotor meluncurkan produk barunya dengan berbagai kelebihan96

Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB I PB VI,


(Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1989), hlm. 147
97
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1995), hlm. 146-148

52
kelebihan yang seolah menjawab kebutuhan manusia, padahal mobil yang lama
masih layak digunakan.
e. Pendekatan Monokasual
Ciri kelima kebudayaan teknokratis adalah monokausal.
Pendekatan
monokausal ini dimaksud sebagai campur tangan manusia dalam proses alamiah
diarahkan secara eksklusif pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Melalui
teknologi memungkinkan untuk mengendalikan perubahan-perubahan yang
diinginkan namun dampak lain dari pengendalian dari intervensi manusia ini
tidak mempertimbangkan hal-hal lainnya. Hal ini terjadi, karena lingkungan ini
merupakan supersistem yang saling terkait, apabila manusia mengendalikan
salah satu dari supersitem itu, maka akan mempengaruhi hal-hal lainnya.
Misalnya: dalam hal petani berusaha mengendalikan hama wereng, mereka
melakukan upaya dengan menyemprot pestisida, hama memang berhasil
dimatikan. Namun bersama-sama dengan matinya hama itu, mati juga musuh
alami hama wereng tersebut, sehingga pada saat muncul hama wereng yang
kebal terhadap pestisida tersebut, hama tersebut menjadi merajalela. Pendekatan
monokausal ini dalam jangka pendek dapat mengatasi persoalan, namun dalam
jangka panjang dapat merusak tatanan yang ada.
MUNCULNYA KESADARAN LINGKUNGAN
Dampak kerusakan alam saat ini sudah dirasakan kita bersama. Secara
global saat ini terjadi perubahan yang makin terasa pada beberapa dekade terakhir
ini, seperti meningkatnya badai tropis, perubahan pola cuaca, banjir, longsor,
mencairnya es di kutub utara dan selatan yang begitu mengkhawatirkan yang jelas
berdampak pada kenaikan muka air laut, kebakaran hutan yang diiringi dengan
kabut tebal yang melintas ke wilayah negara lain, dan peristiwa-peristiwa
lingkungan lainnya yang membuat kita merasa prihatin dan cemas.
Dalam upaya menanggapi dan mengatasi dampak kerusakan lingkungan
tersebut, berikut akan dipaparkan upaya-upaya manusia dalam mengatasi masalahmasalah lingkungan tersebut.
World Environment Movement
Gerakan kesadaran lingkungan secara internasional diprakarsai oleh PBB
dengan mengadakan Knferensi Gerakan Lingkungan Hidup Sedunia atau World
Environment Programme (UNEP). Sejak itu, gerakan lingkungan melibatkan
berbagai negara di dunia juga melibatkan lembaga-lembaga non-pemerintah atau
non government organization atau di Indonesia lebih dikenal dengan LSM.98
Konferensi Rio de Janeiro (1992)
Konferensi lingkungan berikutnya terjadi di Ibu Kota Brasil Rio de Janeiro,
Juni 1992. Sebanyak 154 kepala negara hadir dalam konferensi tersebut yang
kemudia masing-masing negara meratifikasi hasil konvensi yang diberlakukan dua
98

Antonius Atosokhi Gea, hlm. 89-90

53
tahun kemudian tahun 1994. Dalam konferensi tersebut disepakati mekanisme kerja
diantaranya membentuk Conference of the Parties to the Convention (COP) sebagai
badan pengambil keputusan konvensi. COP dipimpin presiden beserta biro dan
dipilih bergilir di antara menteri lingkungan negara anggota.99
Konferensi ini membahas permasalahan lingkungan yang semakin besar
yang tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang tetapi juga di negara
maju. Dampak-dampak pembangunan yang meningkat berupa hujan asam, lautan
yang semakin kotor, pencemaran udara, tanah yang semakin tandus serta kepunahan
flora dan fauna.
Kesimpulan akhir dari konferensi ini, menyatakan bahwa
lingkungan bukannya semakin baik malahan kualitas lingkungan semakin buruk,
sehingga PBB perlu merumuskan komitmenya kembali untuk mengelola
lingkungan. Dalam KTT Rio ini ditegaskan kembali Deklarasi Stockholm 1972 dan
merekomendasikan 21 agenda yang diantaranya: dibentuk prosedur secar hukum
dan administrasi di tingkat nasional; dibentuk prosedur secara hukum dan
administrasi untuk kompensasi, pemulihan lingkungan dan lain-lain; adanya akses
bagi individu, kelompok dan organisasi.100
Protokol Kyoto (1997)
Protokol Kyoto diselenggarakan pada bulan 1-10 Desember 1997 yang
diikuti oleh 2.200 delegasi dari 158 negara anggota Konvensi. Nama resmi
persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework convention
on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim).
Protokol Kyoto merupakan sebuah amandemen terhadap
Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah
persetujuan internasional mengenai pemanasan global.
Negara-negara yang
meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon
dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya melalui metodologi untuk menghitung
penurunan emisi yang jelas dan mekanisme penaatan terhadap pencapaian target
penurunan emisi yang mengikat. Jika ada pihak yang tidak menaatinya akan ada
konsekuensinya. 101
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam The World Commission on
Environment and Development (1987). Konsep Pembangungan berkelanjutan
tersebut dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini
dengan memperhitungkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Pembangungan berkelanjutan ini merupakan konsep
pembangunan yang mempertimbangkan sumber daya langka untuk generasi masa
99

Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT Kompas Media
Nusantara, 2010), hlm. 18
100
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2004), hlm.145-146
101
Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit
Panembahan, 2008), hlm. 146-147

54
depan. Dalam konsep pembangungan berkelanjutan ini mengijinkan kegiatan
manusia untuk mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya yang optimal sekaligus
memelihara lingkungan untuk generasi mendatang.102
Susan Smith di dalam N.H.T. Siahaan mengartikan Sustainable development
sebagai meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan
modal/sumber alam bagi generasi mendatang. Menurutnya dengan cara ini dapat
dicapai empat hal, yaitu: (1) Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara
berkelanjutan atas sumber-daya yang dapat diperbarui, (2) Melestarikan dan
menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible resources), (3)
Pemerliharaan sistem-sistem pendukung ekologis, (4) Pemeliharaan atas
keanekaragaman hayati.103
Dengan mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan ini, diharapkan
manusia tetap dapat membangun dengan mempertimbangkan kelestarian alam yang
tentunya sangat berdampak bagi generasi mendatang.
PENUTUP
Jelaslah bahwa etika lingkungan disini sangat berkaitan dengan manusia dan
dalam membahas masalah-masalah yang terjadi di bidang lingkungan, memandang
manusia sebagai sumber berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini.
Berbagai pandangan-pandangan etika lingkungan hidup antroposentris, biosentris
dan ekosentris memberikan pandangan kepada kita, mengenai bagaimana manusia
memandang lingkungannya. Budaya Teknokratis memberikan kontribusi pada
ketidakseimbangan lingkungan dan manusia.
Upaya-upaya manusia dalam
mengatasi masalah lingkungan ini telah dilakukan melalui berbagai upaya secara
global mulai dari world environment movement hingga protokol Kyoto. Dengan
demikian masalah lingkungan ini merupakan tanggung jawab kita bersama.

DAFTAR PUSTAKA
A. Sonny Keraf, ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, (Jakarta: Penerbit PT. Kompas Media Nusantara,
2010)
Atmakusumah, dkk (editor), Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa, (Jakarta: Penerbit
Yayasan Obor Indonesia, 1996)
Antonius Atosokhi Gea, Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek dan Kerja), (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2005)
Dr. dr. Anies, M.Kes., PKK., Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan
Menanggulangi Penyakit Menular, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, 2006),
hlm. 159-160
102

Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan Berwawasan


Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002), hlm. 27
103
N.H.T. Siahaan, hlm. 147-148

55
Dadang Rusbiantoro, Global Warming for Beginner, (Yogyakarta: Penerbit Panembahan, 2008)
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, (Jakarta: Penerbit PT Kompas Media Nusantara,
2010)
Fachruddin M. Mangunjaya, Bertahan di Bumi-Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim, (Jakarta:
Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2008)
Frans Magnis Suseno, ETIKA SOSIAL Buku Panduan Mahasiswa PB I PB VI, (Jakarta: Penerbit
PT Gramedia, 1989)
Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995)
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004)
Dr. Santoso Soeroso, SpA (K), MARS, Mengurustamakan Pembangunan Berwawasan
Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002)
Weinata Sairin (editor), Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta:
Penerbit PT BPK Gunung Mulia, 2002)

handout Etika Lingkungan Universitas Kristen Maranatha

Anda mungkin juga menyukai