Konflik Poso Artikel
Konflik Poso Artikel
Konflik antarkomunitas dalam masyarakat dapat kerap dilihat sebagai kondisi yang wajar,
tetapi menjadi tidak wajar mana kala sudah melibatkan tindak kekerasan. Konflik berwajah
agama, berlatar belakang etnik, suku, ras dan golongan, serta yang bernuansa politis muncul
silih berganti di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kebhinekaan Indonesia.
Sebab secara teoritik, semakin homogen suatu negara maka potensi konflik internalnya akan
semakin rendah.
Salah satu konflik yang sering terjadi di Tanah Air sejak 1998 adalah konflik Poso, Sulawesi
Tengah. Korban tewas, korban luka, dan kerugian materil yang tidak sedikit menjadi akibat
yang mengikuti peristiwa tersebut. Poso merupakan daerah yang heterogen. Namun dalam
rentang waktu yang lama masyarakat Poso yang berbeda etnis dan agama hidup dalam
keharmonisan. Akan tetapi mulai 1998 keharmonisan yang ada seolah lenyap dan berganti
dengan merebaknya konflik horizontal yang disertai dengan tindak kekerasan.
Konflik di Poso diangkat dalam pembahasan makalah ini lantaran hingga saat ini konflik dan
kekerasan masih berpotensi terjadi di daerah tersebut,
Keluar dari pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari
konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan
dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu
pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari
konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso
1 berawal dari :
Penyelesaian
Deklarasi Malino
Terwujudnya perjanjian damai secara permanen yang dikenal
dengan
Deklarasi Malino untuk Poso di Malino, Kecamatan
Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 18-20
Desember 2001 tidak terlepas dari adanya inisiatif lokal yang
tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Hal
ini terutama terlihat dari keinginan pemimpin suku Pamona yang
beragama Kristen yang terlebih dahulu mengambil inisiatif
melobi pemerintah pusat (Menko Polkam dan Menko Kesra) untuk
mengupayakan perdamaian di Poso. Hal in juga didasarkan pada
kenyataan di lapangan bahwa semakin terdesaknya posisi umat
Kristen terutama setelah kedatangan Laskar Jihad dari luar Poso.
Sesungguhnya kedua belah pihak menyadari bahwa tidak ada
pihak yang menang (sama-sama kalah) dalam konflik ini.
Keinginan tersebut direspon oleh pemerintah pusat melalui
Menko Polkam dan Menko Kesra. Posisi sosial dan politik dari
Menko Kesra Jusuf Kalla sebagai motor utama pemerintah pusat
dalam proses Malino. Patut diingat bahwa konflik Poso meledak
akibat ulah dari elit politik lokal, khususnya elit politik Golkar
setempat
dalam kasus pemilihan Bupati Poso yang baru. Dengan latar
belakang yang dimiliki oleh seorang Jusuf Kalla sebagai seorang
ketua DPP Golkar, politisi dan pebisnis yang berpengalaman asal