Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Meningitis adalah inflamasi pada membran yang menutupi organ sistem saraf pusat,
yang biasanya dikenal dengan meningens (radang pada arachnoid dan piamater). Meningitis
biasanya disebabkan oleh infeksi tetapi bahan kimiawi yang mengiritasi apabila disuntik atau
dimauskan ke dalam ruang subaraknoid juga bisa menimbulkan peradangan pada lapisan
pembungkus otak meninges. Meningitis yang disebabkan oleh infeksi ini diklasifikasikan
kepada akut piogenik (biasanya disebabkan oleh bakteri), aseptik meningitis (biasanya karena
viral) dan meningitis kronik (tuberculous, spirochetal, atau cryptococcal).
Meningitis dapat berkembang sebagai respon dari berbagai kasus, seperti agen infeksi,
trauma, kanker, atau penyalahgunaan obat. Agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia,
protozoa, dan jamur.
Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang,
sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran bahkan kematian. Perjalanan
penyakit meningitis dapat terjadi secara akut dan kronis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
BAB II
PEMBAHASAN
1 | Page
2.1 Skenario
ANAKKU SERING MENGANTUK
Anak A,laki-aki usia 7 tahun dibawa ibunya ke IGD RSUD karena tidak sadar setelah
dirumah mengalami kejang tonik klonik selama 30 menit. Dua hari sebelumnya anak A
mengalami panas tinggi yang tidak turun-turun walaupun sudah diminumkan paracetamol.
Seminggu yang lalu anak A memang dibawa ke dokter Puskesmas berobat karena sakit
radang tenggorokan. Anak A juga sering merasa ngantuk dan tidur lebih lama dari biasanya.
Anak A juga sering mengeluh pada ibunya jika ia merasa pusing,kadang sampai mual dan
muntah,iritabilitas juga dialami dalam 2 hari ini. Orang tuanya mengira anaknya kelelahan
karena anak A sering main bola sampai tidak kenal waktu.
2.2 Terminologi
peningkatan tonus otot (fase tonik) diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas
(fase klonik).(4)
Radang tenggorokan
rangsang.
2.3 Pembahasan Permasalahan
2.3.1 Klasifikasi kejang
a.
Parsial
a. Parsial Sederhana
Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan,
membaui,mengdengar sesuatu yang abnormal), autonomic (takikardi, bradikardi,
takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfalgia, gangguan
daya ingat). Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
b. Parsial Kompleks
Dimulai dengan kejang parsial sedehana; berkembang menjadi perubahan
kesadaran yang disertai:
b.
generalisata.
Biasanya berlangsung 1-3 menit.(4)
Generalisata
Hilangnya kesadaran dan tidak ada awitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak
ada aura
a. Tonik-klonik
- Spasme tonik-klonik otot; inkontenensia urin dan alvi; menggigit lidah;
-
Miklonik
- Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau
tungkai; cenderung singkat.
c. Atonik
- Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh.
d. Klonik
-
e. Tonik
-
2.3.2
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan
lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
3 | Page
aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron.
Gangguan
keseimbangan
ini
menyebabkan
peningkatan
berlebihan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang di
sebut neurotransmiter.(4)
4 | Page
2.3.4
kandungan rongga kranium, hal ini bisa juga disebabkan karena adanya peradangan akibat
bakteri dan virus. Karena kubah kranium secara relatif merupakan penutup yang keras,
bahkan pengembangan isinyapun tidak dapat ditoleransi tanpa peningkatan tekanan.
Peningkatan tekanan ini, seterusnya menurunkan tekanan perfusi efektif otak yang karena
tekanan intrakranial meningkat di atas tekanan vena serebralis, perbedaan ini dibatasi oleh
perbedaan antara tekanan rata-rata tekanan arteri dan rata-rata tekanan intrakranial. Bahkan
jika pembuluh darah otak secara relatif konstan di atas kisaran tekanan perfusi otak
(autoregulasi), peningkatan tekanan intrakranial yang besar selalu mengakibatkan penurunan
pada perfusi jaringan otak dengan akibat gangguan pada fungsi otak dan kerusakan saraf.
Peningkatan volume setiap isi rongga kranium-- jaringan (tumor, edema otak), darah
(hiperemia, pendarahan), atau cairan serebrospinal (hidrosefalus) dapat menyebabkan
hipertensi intrakranial. Keparahan pada peningkatan tekanan intrakranial ini tergantung pada
besarnya peningkatan volume dan kemampuan rongga kranium menampung penambahan
volume. Jika rongga kranium tidak mampu menoleransi maka akan terjadi gangguan perfusi
darah pada otak yang akan mengakibatkan mengantuk (somnolen) yang di akibatkan
kurangnya asuapan O2 dan C6H12O6 atau glukosa.(1)
2.3.5
5 | Page
yang
membentuk
berbagai
gejala
penyakit
Parkinson
seperti
mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi organ
6 | Page
dan melalui transfusi darah. Vektor hewan penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus),
dan mamalia seperti rabies.(2)
c. Patofisiologi
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis,
yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui
saraf (neuronal spread). Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak
secara langsung melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat
juga dijumpai, misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri
tersebut itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui
penerobosan dari pia mater.
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui
neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua
penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port
dentry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari
ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi
kuman untuk tiba di susunan saraf pusat.
Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus
dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk
membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus
berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini sitoplasma
dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid
virus. Proses ini dinamakan replikasi
Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan.
Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi,
replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia
yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri
dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi
lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan
motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan
kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang
mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.(2)
d. Diagnosa
Anamnesa
7 | Page
dilakukan
untuk
alasan
terapeutik,
seperti
pengobatan
Elektroensefalografi
Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur
aktivitas gelombang listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya
digunakan untuk mendiagnosa adanya gangguan kejang. Gambaran EEG
memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas lambat bilateral). Bila
terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau
CT scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila
8 | Page
tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus
untuk
melihat
apakah
terdapat
peningkatan
tekanan
intrakranial.
Biopsi otak
Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya
herpes simpleks ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode
e. Penatalaksanaan
Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-zoster, bentuk
ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk mendiagnosa pasien
secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang tepat untuk mengobati gejala.
Hal ini sangat penting untuk menurunkan demam dan meringankan tekanan yang
disebabkan oleh pembengkakan otak.
Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi sistemik
termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar natrium rendah.
Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi segera dengan perawatan yang
tepat.
Penderita dengan
menghilangnya
kemungkinan ensefalitis
gejala-gejala
neurologik.
harus
Tujuan
dirawat inap
sampai
penatalaksanaan
adalah
Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya
berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi,
9 | Page
perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3
menit.
II.
III.
IV.
V.
Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis
bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan
untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir
intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi
toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika
terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes
simpleks, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris
yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem
organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan
belum pernah dinilai secara objektif.
VI.
VII.
f. Komplikasi
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf
pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan
pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat
secara menetap. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
g. Prognosis
10 | P a g e
c.
d.
e.
f.
g.
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
Age Group
Causes
Neonatus
Bayi
Anak anak
N. meningitidis, S. pneumoniae
Dewasa
2. Virus :
1.
2.
3.
4.
5.
Enterovirus
Mumps
Herpes virus
Arbovirus
Kasus yang sangat jarang: LMCV (lymphocytic choriomeningitis virus)
3. Jamur :
1. Cryptococcus neoformans
2. Coccidioides immitris
3. Candida (jarang)
4. Histoplasma (terutama pada kasus immunocompromise)
Meningitis juga bisa berlaku pada kasus non infeksi terutama pada kasus seperti
AIDS, kanker, diabetes, trauma fisik atau oleh kerna obat obatan yang bisa menurunkan
sistem imunitas tubuh.
c. Patofisiologi
Mikroorganisma menginvasi ke jaringan selaput otak hanya apabila telah
memasuki ruang subaraknoid. Biasanya, bakteri atau agen yang menginvasi ini
tersebar ke bagian otak melewati pembuluh darah setelah berlakunya proses kolonisasi
akibat infeksi di traktus respiratorius bagian atas.Selain dari adanya invasi bakteri,
virus, jamur maupun protozoa, point dentry masuknya kuman juga bisa melalui trauma
tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah, penyebab lainnya adalah adanya
rhinorhea, otorhea pada fraktur basis cranii yang memungkinkan kontaknya cairan
cerebrospinal dengan lingkungan luar.
12 | P a g e
Agen penyebab
Kerusakan neurologist
d. Diagnosa
Diagnosis kerja ke arah meningitis dapat dipikirkan apabila menemukan gejala
dan tanda-tanda klinis meningitis. Gejala dan tanda dari infeksi akut, peningkatan
tekanan
intrakranial
dan
rangsang
meningeal
perlu
diperhatikan.
Untuk
mengkonfirmasi diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium berupa tes darah dan
cairan sumsum tulang belakang.(3)
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
danrotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan.
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak
dapatdisentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan
rotasikepala.
13 | P a g e
pada
pemeriksaan
Kernig).
Tanda
Brudzinski
II
positif
(+)
bila
padapemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
14 | P a g e
e. Penatalaksanaan
Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka
pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk
menjamin kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi.
Antibiotik yang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang
ditemukan.(3)
Farmakologis
a. Obat anti inflamasi :
1) Meningitis tuberkulosa :
a) Isoniazid 10 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500 gr selama 1
tahun.
b) Rifamfisin 10 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1 tahun.
c) Streptomisin sulfat 20 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 2 kali sehari,
selama 3 bulan.
2) Meningitis bacterial, umur < 2 bulan :
a) Sefalosporin generasi ke 3.
15 | P a g e
Perawatan
a. Pada waktu kejang
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka.
Hisap lender.
Hindari dari mencoba untuk mameasuki sesuatu ke dalam mulut penderita.
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi.
Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh).
b. Bila penderita tidak sadar lama.
sesering mungkin.
Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau salep antibiotika.
16 | P a g e
c. Pada inkontinensia urine lakukan katerisasi dan pada inkontinensia alvi lakukan
lavement.
d. Pemantauan ketat:
Tekanan darah
Respirasi
Nadi
Produksi air kemih
f. Komplikasi
a. Cairan subdural.
b. Hidrosefalus.
c. Sembab otak
d. Abses otak
e. Renjatan septic.
f. Pneumonia (karena aspirasi)
g. Koagulasi intravaskuler menyeluruh.
g. Prognosis
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau
mental atau meninggal tergantung :
a. Umur penderita.
b. Jenis kuman penyebab.
c. Berat ringan infeksi.
d. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan.
e. Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
f. Adanya dan penanganan penyakit.(5)
17 | P a g e
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan tanda dan gejala diskenario jadi penyakit yang dialami anak A adalah
Meningitis. Meningitis adalah inflamasi pada membran yang menutupi organ sistem saraf
pusat, yang biasanya dikenal dengan meningens (radang pada arachnoid dan piamater).
Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi.
18 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson WE, ed. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab. Jakarta: EGC,
2000 : (1): 561-3.
2. Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi Ed.2. Gangguan Peredaran Darah Otak.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3. Sidharta P, Mardjono M. 2004. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf. Neurologi
Klinis Dasar. Surabaya : Dian Rakyat.
4. Prince, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC
5. Corwin, Elizabeth J. 2009.Buku Saku Patofisiologi . Jakarta : EGC
19 | P a g e