Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Meningitis adalah inflamasi pada membran yang menutupi organ sistem saraf pusat,
yang biasanya dikenal dengan meningens (radang pada arachnoid dan piamater). Meningitis
biasanya disebabkan oleh infeksi tetapi bahan kimiawi yang mengiritasi apabila disuntik atau
dimauskan ke dalam ruang subaraknoid juga bisa menimbulkan peradangan pada lapisan
pembungkus otak meninges. Meningitis yang disebabkan oleh infeksi ini diklasifikasikan
kepada akut piogenik (biasanya disebabkan oleh bakteri), aseptik meningitis (biasanya karena
viral) dan meningitis kronik (tuberculous, spirochetal, atau cryptococcal).
Meningitis dapat berkembang sebagai respon dari berbagai kasus, seperti agen infeksi,
trauma, kanker, atau penyalahgunaan obat. Agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia,
protozoa, dan jamur.
Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang,
sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran bahkan kematian. Perjalanan
penyakit meningitis dapat terjadi secara akut dan kronis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa saja klasifikasi kejang ?


Bagaimana patofisiologi kejang ?
Bagaimana hubungan deman dengan kejang?
Mengapa anak A sering mengantuk ?
Mengapa panas anak A tidak turun meskipun telah diberi paracetamol ?
Apa saja diagnosa banding dari skenario ?

1.3 Tujuan Penulisan


a.
b.
c.
d.
e.
f.

Untuk mengetahui klasifikasi kejang.


Untuk mengetahui patofisiologi kejang.
Untuk mengetahui hubungan kejang dengan demam.
Untuk mengetahui mengapa anak A sering mengantuk.
Untuk mengetahui mengapa panas anak A tidak turun meskipun telah diberi paracetamol.
Untuk mengetahui diagnosa banding dari skenario.

BAB II
PEMBAHASAN

1 | Page

2.1 Skenario
ANAKKU SERING MENGANTUK
Anak A,laki-aki usia 7 tahun dibawa ibunya ke IGD RSUD karena tidak sadar setelah
dirumah mengalami kejang tonik klonik selama 30 menit. Dua hari sebelumnya anak A
mengalami panas tinggi yang tidak turun-turun walaupun sudah diminumkan paracetamol.
Seminggu yang lalu anak A memang dibawa ke dokter Puskesmas berobat karena sakit
radang tenggorokan. Anak A juga sering merasa ngantuk dan tidur lebih lama dari biasanya.
Anak A juga sering mengeluh pada ibunya jika ia merasa pusing,kadang sampai mual dan
muntah,iritabilitas juga dialami dalam 2 hari ini. Orang tuanya mengira anaknya kelelahan
karena anak A sering main bola sampai tidak kenal waktu.
2.2 Terminologi

Kejang Tonik Klonik

: jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh. Didahului oleh

peningkatan tonus otot (fase tonik) diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas

(fase klonik).(4)
Radang tenggorokan

(Faring) dan menjadi radang.


Iritabilitas
: salah satu ciri makhluk hidup berupa kepekaan terhadap

: penyakit yang disebabkan oleh infeksi dibagian tenggorokan

rangsang.
2.3 Pembahasan Permasalahan
2.3.1 Klasifikasi kejang
a.
Parsial
a. Parsial Sederhana
Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan,
membaui,mengdengar sesuatu yang abnormal), autonomic (takikardi, bradikardi,
takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfalgia, gangguan
daya ingat). Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.

b. Parsial Kompleks
Dimulai dengan kejang parsial sedehana; berkembang menjadi perubahan
kesadaran yang disertai:

Gejala motoric, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir,


mengunyah, menarik-narik baju).
2 | Page

b.

Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang

generalisata.
Biasanya berlangsung 1-3 menit.(4)

Generalisata
Hilangnya kesadaran dan tidak ada awitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak
ada aura
a. Tonik-klonik
- Spasme tonik-klonik otot; inkontenensia urin dan alvi; menggigit lidah;
-

fase pasca iktus.


Absence sering salah diagnosis sebagai melamun.
Menatap kosong , kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau
berkedip secara cepat; tonus postural tidka hilang.

- Berlangsung beberapa detik.


b.

Miklonik
- Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau
tungkai; cenderung singkat.

c. Atonik
- Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh.
d. Klonik
-

Gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple


di lengan, tungkai dan torso.

e. Tonik
-

2.3.2

Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan

tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai.


- Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi.
- Dapat menyebabkan henti nafas.(4)
Patofisiologi kejang
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus

kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas
kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak
tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan
lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut:

Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan
3 | Page

Neuron-neuron hipersensistif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan

apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.


Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-

aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron.

Gangguan

keseimbangan

ini

menyebabkan

peningkatan

berlebihan

neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.


Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.
Selama keajang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospianlis
(CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama
aktivitas kejang.(4)
2.3.3

Hubungan demam dengan kejang


Setiap kenaikan 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% - 15% dan

kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat
meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang di
sebut neurotransmiter.(4)

4 | Page

2.3.4

Penyebab sering mengantuk


Hipertensi tekanan intrakranial biasana terjadi akibat peningkatan volume dalam

kandungan rongga kranium, hal ini bisa juga disebabkan karena adanya peradangan akibat
bakteri dan virus. Karena kubah kranium secara relatif merupakan penutup yang keras,
bahkan pengembangan isinyapun tidak dapat ditoleransi tanpa peningkatan tekanan.
Peningkatan tekanan ini, seterusnya menurunkan tekanan perfusi efektif otak yang karena
tekanan intrakranial meningkat di atas tekanan vena serebralis, perbedaan ini dibatasi oleh
perbedaan antara tekanan rata-rata tekanan arteri dan rata-rata tekanan intrakranial. Bahkan
jika pembuluh darah otak secara relatif konstan di atas kisaran tekanan perfusi otak
(autoregulasi), peningkatan tekanan intrakranial yang besar selalu mengakibatkan penurunan
pada perfusi jaringan otak dengan akibat gangguan pada fungsi otak dan kerusakan saraf.
Peningkatan volume setiap isi rongga kranium-- jaringan (tumor, edema otak), darah
(hiperemia, pendarahan), atau cairan serebrospinal (hidrosefalus) dapat menyebabkan
hipertensi intrakranial. Keparahan pada peningkatan tekanan intrakranial ini tergantung pada
besarnya peningkatan volume dan kemampuan rongga kranium menampung penambahan
volume. Jika rongga kranium tidak mampu menoleransi maka akan terjadi gangguan perfusi
darah pada otak yang akan mengakibatkan mengantuk (somnolen) yang di akibatkan
kurangnya asuapan O2 dan C6H12O6 atau glukosa.(1)

2.3.5

Penyebab demam tidak turun meskipun di berikan paracetamol

5 | Page

Karena paracetamol sebagai antipiretik yang hanya menyembuhkan gejala panasnya


saja, untuk menyembuhkan panas si anak diperlukan pengobatan untuk penyebab penyakit
yang mendasarinya.

2.3.6 Diagnosa banding


a)
Ensefalitis
a. Definisi
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif
epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada
evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi meningeal, seperti
photophobia, sakit kepala, atau leher kaku.
Cerebritis menunjukkan tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri yang sangat
merusak jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut umumnya infeksi virus dengan
kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai dengan sangat berat.
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder.
Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang
belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di
tubuh dan kemudian ke otak.
Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau
memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental. Disebut ensefalitis
lethargica,

yang

membentuk

berbagai

gejala

penyakit

Parkinson

seperti

parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus ensefalitis menyebabkan


kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk menghindari
dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada penyebab peradangan,
mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-obatan anti-inflamasi. Jika hasil
kerusakan otak dari ensefalitis, terapi (seperti terapi fisik atau terapi restorasi kognitif)
dapat membantu pasien setelah kehilangan fungsi.(2)
b. Etiologi
Penyebab ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non- infektif
seperti pada proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis bisa
disebabkan oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Agen virus, seperti virus
HSV tipe 1 dan 2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE
dan SSPE), virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-keorang. Virus herpes manusia

juga dapat menjadi agen penyebab. CDC telah

mengkonfirmasi bahwa virus West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi organ
6 | Page

dan melalui transfusi darah. Vektor hewan penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus),
dan mamalia seperti rabies.(2)
c. Patofisiologi
Patogenesis dari encephalitis mirip dengan pathogenesis dari viral meningitis,
yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui
saraf (neuronal spread). Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak
secara langsung melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen tak langsung dapat
juga dijumpai, misalnya arteri meningeal yang terkena radang dahulu. Dari arteri
tersebut itu kuman dapat tiba di likuor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui
penerobosan dari pia mater.
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui
neuron, misalnya pada encephalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua
penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port
dentry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari
ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi
kuman untuk tiba di susunan saraf pusat.
Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel tuan rumah, kapsel virus
dihancurkan. Dalam hal tersebut virus merangsang sitoplasma tuan rumah untuk
membuat protein yang menghancurkan kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus
berkontak langsung dengan sitoplasma sel tuan rumah. Karena kontak ini sitoplasma
dan nukleus sel tuan rumah membuat nucleic acid yang sejenis dengan nucleic acid
virus. Proses ini dinamakan replikasi
Karena proses replikasi berjalan terus, maka sel tuan rumah dapat dihancurkan.
Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi,
replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia
yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri
dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang manifestasi
lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan sensorik dan
motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara,gannguan pendengaran dan
kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang
mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.(2)
d. Diagnosa
Anamnesa

7 | Page

Penegakan diagnosa ensefalitis dimulai dengan proses anamnesa secara lengkap


mengenai adanya riwayat terpapar dengan sumber infeksi, status immunisasi gejala
klinis yang diderita, riwayat menderita gejala yang sama sebelumnya serta ada tidak
nya faktor resiko yang menyertai.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilihat tanda-tanda penyakit sistemik seperti dijumpai
adanya rash, limfeadenopati, meningismus, penurunan kesadaran, peningkatan tekanan
intracranial yang ditandai dengan adanya papil edema, tanda- tanda neurologis fokal
seperti kelemahan, gangguan berbicara, peningkatan tonus otot, dan hiperrefleks
ekstensor plantaris.
Pemeriksaan penunjang
Lumbal pungsi
Lumbal pungsi adalah prosedur sering dilakukan di departemen
gawat darurat untuk mendapatkan informasi tentang cairan cerebrospinal
(CSF). Meskipun biasanya digunakan untuk tujuan diagnostik untuk
menyingkirkan potensi kondisi yang mengancam jiwa seperti meningitis
bakteri atau perdarahan subarachnoid, pungsi lumbal juga kadangkadang

dilakukan

untuk

alasan

terapeutik,

seperti

pengobatan

pseudotumor cerebri. Analisis cairan CSF juga dapat membantu dalam


diagnosis berbagai kondisi lain, seperti penyakit demielinasi dan
meningitis carcinomatous. Pungsi lumbal harus dilakukan hanya setelah
pemeriksaan neurologis namun tidak pernah menunda intervensi
berpotensi menyelamatkan nyawa seperti antibiotik dan steroid untuk
pasien dengan dicurigai meningitis bakteri.

Elektroensefalografi
Prosedur pemeriksaan ini merupakan suatu cara untuk mengukur
aktivitas gelombang listrik dari otak. Pemeriksaan ini biasanya
digunakan untuk mendiagnosa adanya gangguan kejang. Gambaran EEG
memperlihatkan proses inflamasi difus (aktivitas lambat bilateral). Bila
terdapat tanda klinis fokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau
CT scan, dapat dilakukan biopsi otak di daerah yang bersangkutan. Bila

8 | Page

tidak ada tanda klinis fokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus

temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simplex.


Pemeriksaan imaging otak.
Diantaranya CT Scan dan MRI yang dapat mendeteksi adanya
pembengkakan otak. Jika pemeriksaan imaging memiliki tanda-tanda
dan gejala yang menjurus ke ensefalitis maka lumbal fungsi harus
dilakukan

untuk

melihat

apakah

terdapat

peningkatan

tekanan

intrakranial.
Biopsi otak
Biopsi otak jarang dilakukan, kecuali untuk mendiagnosa adanya
herpes simpleks ensefalitis yang jika tidak mungkin dilakukan metode

DNA atau CT Scan dan MRI.


Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan ini merupakan metode yang digunakan untuk
mendeteksi adanya infeksi HSV 1, enterovirus 2, pada susunan saraf
pusat.

e. Penatalaksanaan
Dengan pengecualian dari ensefalitis herpes simplex dan varicella-zoster, bentuk
ensefalitis virus tidak dapat diobati. Tujuan utama adalah untuk mendiagnosa pasien
secepat mungkin sehingga mereka menerima obat yang tepat untuk mengobati gejala.
Hal ini sangat penting untuk menurunkan demam dan meringankan tekanan yang
disebabkan oleh pembengkakan otak.
Pasien dengan ensefalitis yang sangat parah beresiko bagi komplikasi sistemik
termasuk shock, oksigen rendah, tekanan darah rendah, dan kadar natrium rendah.
Setiap komplikasi yang mengancam nyawa harus diatasi segera dengan perawatan yang
tepat.
Penderita dengan
menghilangnya

kemungkinan ensefalitis

gejala-gejala

neurologik.

harus

Tujuan

dirawat inap

sampai

penatalaksanaan

adalah

mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka,


pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana yang dikerjakan sebagai
berikut :
I.

Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya
berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi,

9 | Page

perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3
menit.
II.

Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S


(tergantung umur) dan pemberian oksigen.

III.

Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh


anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3
dosis.

IV.

Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan


intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat
diulang setiap 8-12 jam.

V.

Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis
bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. Pengobatan
untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir
intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi
toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika
terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes
simpleks, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris
yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem
organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan
belum pernah dinilai secara objektif.

VI.
VII.

Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh.


Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.

f. Komplikasi
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf
pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan
pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat
secara menetap. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
g. Prognosis

10 | P a g e

Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu


perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul
selama perawatan. Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung
pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala
sisa yang berat. Ensefalitis yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih
buruk daripada prognosis virus entero.
Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari penderita
yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Penderita yang sembuh
tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih
menderita retardasi mental, epilepsi dan masalah tingkah laku.
b)
Meningitis
a. Definisi
Meningitis adalah inflamasi pada membran yang menutupi organ sistem saraf
pusat, yang biasanya dikenal dengan meningens (radang pada arachnoid dan piamater).
Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi tetapi bahan kimiawi yang mengiritasi
apabila disuntik atau dimauskan ke dalam ruang subaraknoid juga bisa menimbulkan
peradangan pada lapisan pembungkus otak meninges. Meningitis yang disebabkan oleh
infeksi ini diklasifikasikan kepada akut piogenik (biasanya disebabkan oleh bakteri),
aseptik meningitis (biasanya karena viral) dan meningitis kronik (tuberculous,
spirochetal, atau cryptococcal). Klasifikasi ini dibuat berdasarkan karakteristik dari
eksudat pada pemeriksaan LCS dan evolusi klinis daripada penyakit tersebut.
Meningitis dapat berkembang sebagai respon dari berbagai kasus, seperti agen
infeksi, trauma, kanker, atau penyalahgunaan obat. Agen infeksi dapat berupa bakteri,
virus, ricketsia, protozoa, dan jamur.
Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang
belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran bahkan
kematian. Perjalanan penyakit meningitis dapat terjadi secara akut dan kronis.
b. Etiologi
Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus,
bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.Penyebab infeksi
ini dapat diklasifikasikan atas :
1. Meningitis bakteri:
a. Pneumococcus
b. Meningococcus
11 | P a g e

c.
d.
e.
f.
g.

Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis

Age Group

Causes

Neonatus

Group B Streptococci, Escherichia coli, Listeria monocytogenes

Bayi

Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus


pneumoniae

Anak anak

N. meningitidis, S. pneumoniae

Dewasa

S. pneumoniae, N. meningitidis, Mycobacteria

2. Virus :
1.
2.
3.
4.
5.

Enterovirus
Mumps
Herpes virus
Arbovirus
Kasus yang sangat jarang: LMCV (lymphocytic choriomeningitis virus)

3. Jamur :
1. Cryptococcus neoformans
2. Coccidioides immitris
3. Candida (jarang)
4. Histoplasma (terutama pada kasus immunocompromise)
Meningitis juga bisa berlaku pada kasus non infeksi terutama pada kasus seperti
AIDS, kanker, diabetes, trauma fisik atau oleh kerna obat obatan yang bisa menurunkan
sistem imunitas tubuh.
c. Patofisiologi
Mikroorganisma menginvasi ke jaringan selaput otak hanya apabila telah
memasuki ruang subaraknoid. Biasanya, bakteri atau agen yang menginvasi ini
tersebar ke bagian otak melewati pembuluh darah setelah berlakunya proses kolonisasi
akibat infeksi di traktus respiratorius bagian atas.Selain dari adanya invasi bakteri,
virus, jamur maupun protozoa, point dentry masuknya kuman juga bisa melalui trauma
tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah, penyebab lainnya adalah adanya
rhinorhea, otorhea pada fraktur basis cranii yang memungkinkan kontaknya cairan
cerebrospinal dengan lingkungan luar.

12 | P a g e

Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarachnoid

Respon inflamasi di piamater, arachnoid, cairan cerebrospinal, dan


ventrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf cranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologist

d. Diagnosa
Diagnosis kerja ke arah meningitis dapat dipikirkan apabila menemukan gejala
dan tanda-tanda klinis meningitis. Gejala dan tanda dari infeksi akut, peningkatan
tekanan

intrakranial

dan

rangsang

meningeal

perlu

diperhatikan.

Untuk

mengkonfirmasi diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium berupa tes darah dan
cairan sumsum tulang belakang.(3)
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
danrotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan.
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak
dapatdisentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan
rotasikepala.
13 | P a g e

b. Pemeriksaan Tanda Kernig


Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendipanggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa
rasanyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut
135(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikutirasa nyeri.
c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinyadibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksikepala dengan
cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bilapada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada leher.
d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendipanggul
(seperti

pada

pemeriksaan

Kernig).

Tanda

Brudzinski

II

positif

(+)

bila

padapemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

Pemeriksaan Penunjang Meningitis


a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, seldarah
putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlahsel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapajenis
bakteri.
b. Pemeriksaan darah

14 | P a g e

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah


(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,pada
Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
c. Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan
CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal,
gigi geligi) dan foto dada.

e. Penatalaksanaan
Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka
pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk
menjamin kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi.
Antibiotik yang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang
ditemukan.(3)
Farmakologis
a. Obat anti inflamasi :
1) Meningitis tuberkulosa :
a) Isoniazid 10 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500 gr selama 1
tahun.
b) Rifamfisin 10 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1 tahun.
c) Streptomisin sulfat 20 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 2 kali sehari,
selama 3 bulan.
2) Meningitis bacterial, umur < 2 bulan :
a) Sefalosporin generasi ke 3.
15 | P a g e

b) ampisilina 150 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 6 kali sehari.


c) Koloramfenikol 50 mg/kg/24 jam IV 4 kali sehari.
3) Meningitis bacterial, umur > 2 bulan :
a) Ampisilina 150-200 mg (400 mg)/kg/24 jam IV 4-6 kali sehari.
b) Sefalosforin generasi ke 3.
b. Pengobatan simtomatis :
1) Diazepam IV : 0.2 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 0.6/mg/kg/dosis kemudian
klien dilanjutkan dengan.
2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
3) Turunkan panas :
a) Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.
b) Kompres air PAM atau es.
c. Pengobatan suportif :
1) Cairan intravena.
2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 50%.

Perawatan
a. Pada waktu kejang
Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka.
Hisap lender.
Hindari dari mencoba untuk mameasuki sesuatu ke dalam mulut penderita.
Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi.
Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh).
b. Bila penderita tidak sadar lama.

Beri makanan melalui sonde.


Cegah dekubitus dan pnemunia ortostatik dengan merubah posisi penderita

sesering mungkin.
Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau salep antibiotika.

16 | P a g e

c. Pada inkontinensia urine lakukan katerisasi dan pada inkontinensia alvi lakukan
lavement.
d. Pemantauan ketat:
Tekanan darah
Respirasi
Nadi
Produksi air kemih
f. Komplikasi
a. Cairan subdural.
b. Hidrosefalus.
c. Sembab otak
d. Abses otak
e. Renjatan septic.
f. Pneumonia (karena aspirasi)
g. Koagulasi intravaskuler menyeluruh.
g. Prognosis
Penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau
mental atau meninggal tergantung :
a. Umur penderita.
b. Jenis kuman penyebab.
c. Berat ringan infeksi.
d. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan.
e. Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
f. Adanya dan penanganan penyakit.(5)

17 | P a g e

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan tanda dan gejala diskenario jadi penyakit yang dialami anak A adalah
Meningitis. Meningitis adalah inflamasi pada membran yang menutupi organ sistem saraf
pusat, yang biasanya dikenal dengan meningens (radang pada arachnoid dan piamater).
Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi.

18 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson WE, ed. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab. Jakarta: EGC,
2000 : (1): 561-3.
2. Harsono. 2003. Kapita Selekta Neurologi Ed.2. Gangguan Peredaran Darah Otak.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
3. Sidharta P, Mardjono M. 2004. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf. Neurologi
Klinis Dasar. Surabaya : Dian Rakyat.
4. Prince, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC
5. Corwin, Elizabeth J. 2009.Buku Saku Patofisiologi . Jakarta : EGC

19 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai