Anda di halaman 1dari 13

SUSUNAN ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

Kulit merupakan jaringan pelindung yang lentur dan elastis, menutupi seluruh permukaan
tubuh dan terdiri dari 50 % berat tubuh. Kulit juga berperanan dalam pengaturan suhu tubuh,
mendeteksi adanya rangsangan dari luar serta untuk mengeluarkan (ekskresi) kotoran atau
sisa-sisa metabolisme.
Susunan kulit manusia sangat komplek, dan untuk lebih mudah memahami efek proses
absorbsi pada kulit maka, dibatasi hanya menguraikan bahagian kulit yangberperanan dalam
hal tersebut Kulit secara umum tersusun atas 3(tiga) lapisan yangberbeda dan secara berturutan
dari luar kedalam adalah lapisan epidermis, lapisandermis yang tersusun atas pembuluh
darah dan pembuluh getah bening, ujung-ujungsyaraf dan lapisan jaringan di bawah kulit yang
berlemak atau yang disebut hipodermis.
Kulit mempunyai bahagian lain yaitu, kelenjar keringat dan kelenjar sebum (glandula
sebaceous) yang berasal dari lapisan hypodermis atau dermis dan bermuara pad a permukaan
dan membentuk daerah yang tidak berkesinambungan pada epidermis
(Gambar 1).

epidermis

dermis

selubung luar
berepitel

selubung dalam
berepitel

rambut

akar rambut dan


aneksanya

1.1

EPIDERMIS
Adalah permukaan paling luar dari kulit, yang, merupakan tempat sediaan obat digunakan.
Menurut Montagna, Lobitz dan Jarret, epidermis merupakan lapisan epiteldengan tebal ratarata 200 m, mempunyai sel-scl yang berdiferensiasi terhadap keratinisasi bertahap dari
bagian yang lebih dalam menuju ke bahagian sebelah luar (perrnukaan). Epidermis dibedakan
atas 2 (dua) bagian :
1. Lapisan malfigi berupa sel yang hidup, dan menempel pada dermis
2. Lapisan tanduk yang tersusun atas sekumpulan set-sel mati yang mengalami
keratinisasi (Gambar 2).

Gambar 2 : Gambar skematik terhadap perubahan sel epidermis


Secara umum epidrmis terdiri dari atas 5 (lima) lapisan
1. Stratum corneum (lapisan tanduk)
2. Stratum lucidum (zone barrier)
3. Stratum granulosum (lapisan glanular)
4 Stratum malpighi (lapisan sel priekle)
5. Stratum germinativum (Lapisan sel basah)

Seluruh lapisan ini dibentuk sel yang tersusun dari lapisan basah dan berkembang
(proliferate) atau bergerak dari bawah keatas. Pada bahagian lebih bawah dari epidermis, sel
lebih padat tersusun daripada dalam stratum corneum.
1.2

BAGIAN KULIT
Bagian kulit (Gambar 4) menurut Montagna W,. dkk, 1958, terdiri dari
sistempilosebasea dan kelenjar sudoripori. Setiap rambut membentuk saluran epidermis
yangmasuk ke dalam dermis dan selanjutnya membentuk selubung luar dari rambut tersebut.
Bagian yang paling dalam, tertanam pada akar oleh sebuah papilla dari jaringan penyangga
dermik yang mempunyai banyak pembuluh darah. Selubung epitel bagian dalam
mengelilingi rambut mulai dari bahagian akar sampai di tempat yang berhubungan
dengan kelenjar sebasea.

Gambar 4 : aneksa kulit


Pada umimnya kelenjar sebasea menempel pada folikel rambut, kecuali
untuk beberapa daerah yang mempunyai rambut cukup jarang dan terletak pada jarak
sekitar 500 m dari permukaan kulit, seperti kelenjar eksokrin, holokrin dan getah
sebum. QaLian yang mengeluarkan getah dibentuk dari suatu membran basal yang ditutup
oleh lapis-an scl gerininatif yang bcrkernbang ke arah pusat kelenjar discrtai perubahan lipida
dan pc:niadaan innnya Serpihan dari isi sel yang mail selanjutnya dikeluarkan lewat sc:buah
saluran pembuanban yang sangat pendek.

2.

BERBAGAI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES LDA OBAT


PADA PEMBERIAN SECARA PERKITAN
2.1 PENYERAPAN (ABSORPSI)
Sampai saat ini secara keseluruhan dan proses penyerapan secara perkutan
obat, belum diketahui. Kajian yang telah dilakukan hanya terbatas pada faktor-faktor
yang dapat mengubah ketersediaanhayati zat aktif yang terdapat dalam
sediaan yang dioleskan pada kulit, seperti :
2.1.1 Lokalisasi Sawar (Barrier)
Kulit
mengandung
sejumlah
tumpukan lapisan
spesifik
yang dapatmencegah masuknya bahan-bahan kimia dan hal ini terutama
disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida pada permukaan, lapisan tanduk dan
lapisan epidermis malfigi. Pada daerah ini, ditemukan juga suatu celah yang berhubungan
langsung dengan kulit bagian dalam yang dibentuk oleh kelenjar sebasea yang
membatasi bagian luar dan cairan ekstraselular, yang juga merapakan sawaT tapi
kurang efek-tif, yang terdiri dari sebum dan deretan sel-sel germinatif.
Peranan lapisan l ipida yang tipis dan tidak beraturan pada permukaan kulit
(0,4 - 4 m) terhadap proses penyerapan (absorpsi) dapat diabaikan. Peniadaan
dari lapisan tersebut oleh eter, alkohol atau sabun-sabun tertentu tidak akan mengubah
secara nyata permeabilitas kulit (Tregear, R, T. thn 1966), keadaan yang sama juga
terjadi setelah pengolesan pada permukaan kulit yang mempunyai sebum setebal
30 m (EIiman. A. M. thn 1963). Lapisan lipida dapat ditembus senyawa-

senvawa lipofilik dengan cara difusi dan adanva kolesterol menyebabkan senyawa
yang larut dalam air dapat teremulsi.
Peniadaan secara bertahap lapisan seluler pada lapisan tanduk (stratum
corneum) dengan bantuah suatu plester akan menghilangkan lapisan malfigi dan
meyebabkan peningkatan permeabilitas kulit secara nyata terhadap air (Monash. S
dkk. thn l963). etanol (Wepiere, dkk., thn 1965) dan kortikosteroid (Malkinson F.D.
thn 1958). Peningkatan permeabilitas tersebut tidak terjadi untuk semua jenis
senyawa. misalnya: perhidroskualen tidak dapat menembus kulit tikus yang lapisan
tanduknya telah dihilangkan (Wepiere, thn 1967).
S ehingga l ap is an m alf igi dap at m en ghal an gi p en em b us an s en yawa terten t u
tetap i tid ak sp es if ik l ap is an in i m en un juk k an s elek tiv itas terten tu terhad ap
s enyaw a yang lipofil, misalnya perhidroskualen (Wepierre, thn 1967), atau
hidrofil. Natrium dodesil sulfat yang tidak atau sangat sedikit diserap (Emberry G,. dkk, thn
1969).
Sawar (barrie) kulit terutama
disusun
oleh
lapisan
tanduk (stratum
corneum),namun
demikian
pada
cuplikan
lapisan
tanduk (stratum
corneum) terpisah, jugamempunyai permeabilitas yang sangat rendah dan kepekaan yang sama
seperti kulit utuh (Sprott W, E,, thn 1965 dan Scheuplein R, J,. dkk, thn 1669). Lapisan
tanduk berperan melindungi kulit ( Fregear R, T, thn 1966; Blank 1. H, dkk, thn1969).
Deretan sel-sel pada lapisan tanduk saling berikatan dengan kohesi yang sangat kuat dan
merupakan pelindung kulit yang paling efisien. Sesudah penghilangan lapisan tanduk (stratum
corneum), impermeabilitas kulit dipengaruhi oleh regenerasi sel; dalam 2 (dua) atau 3(tiga)
hari meskipun ketcbalan lapisan tanduk (stratum corneum) yang terbentukmasih sangat
tipis, namun lapisan tersebut telah mempunyai kapasitas perlindungan yang mendekati
sempurna (Matoltsy A, G, dkk, thn 1962; Monash S, dkk, thn 1963).
Dengan demikian epidermis mempun, al 2 (dua) jenis pelindung, yang pertama
adalah pelindung sawar spesifik yang terletak pada lapisan tanduk (stratum corneum)yang
salzh satu elemennya berasal dari Wit dan bersifat impermeabel, dan pelindung yang
kedua terletak di .cub junction dan kurang efektif, dibentuk oleh epidermis hidup yang
penneabilitasnya dapat disamakan dengan membran biologis lainnya. Pada sebacian
besar kasus, proscs pergantian Wit diatur oleh lapisan tanduk (stratum corneum j yang
impermeabel Jan akan membentul: suatu pelindung terbatas.
2.1.2 Jalur Penembusan (Absorbsi)
Penembusan = penetrasi = absorbsi perkutan, terdiri dari pemindahan obat
daripermukaan kulit ke stratum corneum, dibawah pengaruh gradien konsentrasi,
danberikutnva difusi obat melalui stratum corneum yang terletak dibawah epidermis,melewati
dermis dan masuk kedalam mikrosirkulasi.

Kulit berfungsi sebagai sawar pasif untuk difusi molekul. Telah terbukti
bahwaimpermiabilitas kulit akan berlangsung lama setelah kulit dipisahkan. Jumlah total
daya difusi (Rkulit) untuk penembusan melalui kulit dijelaskan oleh Chen sbb:
R = R sc + R c + R pd.
Dimana :
R : Daya difusi
Sc : Stratum corneum
c : epidermis
pd : lapisan papilla dari dermis
Kulit, karena sifat impermeabilitasnya maka hanya dapat dilalui oleh sejumlah
senyawa kimia dalam jumlah yang sedikit. Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam
kulit secara nyata dapat terjadi, baik secara difusi melalui lapisan tanduk (stratum
corneum) maupun secara difusi melalui kelenjar sudoripori atau organpilosebasea.
Bagian lain yang terdapat pada kulit, sesungguhnya mempunyai struktur yang kurang
efektif bila dibandingkan dengan lapisan tanduk (stratum corneum).Seperti, folikel
rambut tidak mempunyai epitel dengan lapisan tanduk luar kecuali pada bagian atas,
mulai dari muara kelenjar sebasea hingga bagian dasar folikel. Padapertumbuhannya,
rambut halus dikelilingi oleh sarung epitel dalam, yang dibentuk dari sel hidup yang
terletak pada bagian tengah. Kelenjar sebasea berisi sebum, mengandung banyak lipida
yang teremulsi, dihasilkan oleh sel-sel yang dibentuk oleh lapisan germinatif kelenjar
(Montagna W, thn, 1953). Kelenjar sudoripori merupakan suatu saluran pengeluaran
sederhana, yang dibentuk oleh sel hidup mulai dari bagian dalam dermis
sampai stratum corneum dan berakhir sebagai suatu saluran (kanal ) yang menyelinap di
antara deretan sel-sel tanduk (Montagna W, thn 1962).
Kelenjar sudoripori secara nyata tidak berperanan dalam proses penembusan. Kulit telapak
tangan atau telapak kaki metnpunyai kelenjar sudoripori yang, berkumpuldalam jumlah
yang sangat banyak, 500 - 800 setiap cm2, namun tidak lebih permeabeldibandingkan
dengan bagian tubuh lainnya yang jumlahnya lebih sedikit, 200-250 setiap cm 2 (Tas J,
dkk, thn 1958; Marzulli E, N, thn 1962).
Penembusan senyawa kimia melalui pilosebasea lebih tergantung pada permukaannya
dibandingkan dengan penembusan melalui epidermis. Pada manusia, kulit diselubungi oleh
40-70 folikel rambut setiap cm2 yang merupakan bagian dari permukaan epidermis dan
berperanan dalam proses penyerapan. Pada hewan terjadi keadaan sebaliknya, rambut-rambut
tersebut lebih berperan dalam penyerapan dan pada unggas jumlahnya dapat mencapai 4000
helai/cm2. Jadi penyerapan oleh folikel rambut rnenjadi bermakna karena kulit hewan lebih
permiabel dibandingkan kulit manusia (Tregear R, T, thn 1961).
Penelitian Blank, thn 1966 dan Scheuplein, thn 1965, telah membuktikanbahwa
lintasan transepidermis atau jalur transfolikuler merupakan fungsi dari sifat dasar molekul yang

dioleskan pada kulit. Senyawa yang mempunyai bobot molekul kecil dan bersifat lipofil,
dapat berdifusi dan tersebar dengan cepat dalam lapisan tanduk dan dalam lipida yang
terdapat pada kelenjar sebasea. Penyerapan yang terjadi pada kedua tahap tersebut
mempunyai intensitas yang tergantung pada permukaan relatif dari kedua struktur tersebut.
Senyawa yang hanya sedikit terdifusi, akan melintasi lapisan sebum lebih cepat
dibandingkan dengan yang melalui lapisan tanduk. Pada tahap awal, proses penyerapan lebih
ditentukan oleh lintasan transfolikuler, selanjutnya pada tahap kedua, karena perbedaan
difusi yang terjadi dalam lapisan tanduk, maka lintasan transepidermis yang lebih
menentukan.
2.1.3 Penahanan Dalam Struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan
Telah lama diketahui, adanya penumpukan senyawa yang digunakan setempat
pada
bahagian
tertertentu
kulit,
terutama
pada
lapisan
tanduk (stratum
corneum).Malkinson dan Fergusson membuktikan bahwa pada pemakaian setempat dari
sediaan hidrokortison berlabel, maka pengeluaran senyawa radioaktif
tersebut
akandiperpanjang beberapa hari (Malkinson F, D, dkk, thn 1955).
Hasil
percobaan
ini
menyimpulkan
bahwa
dalam
struktur
kulit
terdapat suatudaerah depo dan dari tempat tersebut zat aktif akan dilepaskan secara
perlahan. Akan tetapi bila selama percobaan, sediaan yang dipakai dibiarkan di tempat
pengolesan tanpa pembersihan dari sisa sediaan, maka akan terjadi hambatan
penyerapan, hal ini disebabkan oleh terjadinya penyerapan yang perlahan-perlahan.
Penelitian pendahuluan tentang adanya penumpukan obat didalam kulit
sesudah pemakaian setempat telah disampaikan oleh Vickers, thn 1963, yang
melakukan penelitian terhadap penembusan perkutan dari senyawa fluosinolon asetonida.
Peneliti ini telah membuktikan bahwa aksi penyempitan pembuluh darah yang disebabkan
oleh pembalut dapat diamati selama 3 minggu pada kondisi tanpa pemolesan ulang obat tersebut
dan sesudah peniadaan kelebihan sediaan pada permukaan kulit.Vickers, juga telah
membuktikan adanya " efek depo " pada bahagian tertentu kulit dan pada beberapa penelitian
lanjutan menunjukkan bahwa penimbunan kortikosteroid akan terjadi pada lapitian
Ianduk ( stratm corneum).
Apabila lapisan tanduk (stratum corneum) ditiadakan dengan cara menghilangkan secara
bertahap lapisan selular dengan perantaraan plester, maka efek depo dari pemakaian flusionolon
asetonida tidak dapat diamati dan setelah daerah uji dibersihkan tidak terjadi efek penyempitan
pembuluh darah.
Selanjutnya, Washitake M, dkk, thn, 1973, telah membuktikan bahwa pada peniadaaanlapisan
tanduk (stratum corneum) marmut secara "stipping" akan mengakibatka.nterjadi
peningkatan penyerapan perkutan asam salisilat dan karbinosamina, serta meniadakan
penumpukan kedua zat aktif tersebut. Sebaliknya bila kulit tidak dilukai, obat tersebut akan
tetap berada di dalam lapisan tanduk selama 13 hari setelah pengolesan sediaan.

Adanya daerah penyimpanan di stratum corneum telah dibuktikan dengan percobaan


oleh Vickers, dengan cara penyuntikan intradermis dari triamsinolon asetonida. Pada cara
ini, sesudah penutupan daerah injeksi, tidak digunakan suatu bahanpenyempit pembuluh
darah, dan hormon tidak dapat ditahan dalam lapisan kulit yang lebih dalam. Adanya
penahanan kortikoid oleh lapisan tanduk dapat diperlihatkandengan autokardiografi.
Sejumlah bahan obat, telah diteliti mudah tertahan dalam sel-sel tanduk,
seperti;hidrokortison (Feldmann R, J, dkk, thn 1965), heksaklorofen (Stoughton R, B, thn.
1965;Taber D, dkk:, thn 1971), griseofulvin (Munro D, D, thn 1969), asam fusidat
dannatrium fusidat (Vicker C, F, H, thn 1969) serta betametason (Woodford R, dkk,
thn1974). Hal ini penting dalarn pengobatan dermatologik, karena efek obat
dapatdiperpanjang hanya dengan satu kali pengolesan obat. Lama penahanan zat aktif
dalamlapisan tanduk sangat bervariasi. Dari keseluruhan molekul yang diteliti,
ternyatasteroida berflour paling lama bertahan pada permukaan kulit. Penahanan flusinolon
asetonida dapat diperpanjang sampai 41 hari, kadang-kadang waktunva lebih lama dariwaktu
rata-rata peremajaan sel epidermis. Perpanjangan waktu keberadaan zat aktif didalam sel-sel
tanduk telah diuraikan oleh Munro D, D, thn 1973, yang membuktikanbahwa adanya
kortikoid tersebut menyebabkan hambatan aktivitas mitosis sel epidermis basal.
Hasil ini diperkuat oleh penelitian Vickers, thn 1973, yang membuktikan bahwa bila aktifitas
raitosis sel epidermis ditingkatkan dengan suatu perlakuan pendahuluan pada daerah pengolesan
menggunakan natrium lauril sulfat rnaka terjadi pengurangan waktupenahanan steroida berfluor
dari 28 menjadi 18 hari. Efek depo ditemukan juga dalam sediaan kosmetika yang menginginkan
kerja yang diperpanjang pada kulit. Bila diperlukan, penahanan sediaan pada lapisan
tanduk (stratum corneum), baik setelah pencucian, maka sifat bertahan ini disebut
"substantivitas". Hal tersebut secara nyata ditemukan dalam sediaan tabir surya (Yankeli S, L.,
thn 1972; Poret J, dkk, thn 1975), sediaan pelembab (Jungerman E, dkk, thn 1972; Middleton J,
D, thn 1974) dan sediaan minyak mandi (Ogura R, dkk, thn 1969).
Surfaktan anonik dan kationik juga tertahan di lapisan tanduk atau rambut (Scott G. V,
dkk, thn 1669), adanya muatan ion merupakan penyebab terjadinya pembentukan ikatan ionik
dengan protein dari keratin (Idson B, J, thn 1967). Intensitas penahanan akan berbanding lurus
dengan ukuran dan muatan kation atau anion. Akibat pengikatan ini maka umumnya surfaktan
dengan konsentrasi tinggi akan merusak struktur lapisan tanduk (Scheuplein R, J, dkk, thn
1970), menyebabkan peningkatan kehilangan air dan terjadi suatu iritasi yang bermakna. Pada
konsentrasi surfaktan yang rendah terjadi keadaan sebaliknya, ikatan sediaan kosmetika
tertentu dengan lipida akan mernpermudah penyerapan sediaan ini pada lapisan tanduk dan
dengan demikian meningkatkan kerja pelelembutan kulit (Idson B, J, thn 1967).
Sejumlah bahan toksik, pestisida fosfat-organik dan klor-organik akan ditahan pada
lapisan tanduk dalam waktu yang cukup lama, seperti yang diperlihatkan olehKanzen C, dkk,
thn 1974, bahwa sampai 112 hari untuk Dactal (dimetil 2,3 5,6tetruklorotereftalat), 60 hari
untuk parathion dan 9 hari untuk malation. Seperti yang terlihat bahwva Dactal tertahan

sangat lama, lebih kurang tertahan 4 (empat) kali lebih lama dari waktu rata-rata peremajaan
lapisan tanduk yaitu 28 hari (Halprin K, M, thn 1972) dan hal tersebut dapat dijelaskan seperti
pada kasus flusinolon asetonida; yaitu bekerja dengan menghambat mitosis sel. Sifat larutlemak dari bahan fosfat-organik dan klor-orgarik dapat menjelaskan proses penahanan
tersebut. Paration yang bersifat lipofilik, akan tertimbun terutama pada bagian lipida yang
terdapat dalarn saluran folikel rambut dan dalam kelenjar sebasea (Fredricksson T, dkk, thn
1961), pada tempat tersebut parafion terikat, dan akan menyebar secara perlahan ke dalam
lapisan malfigi dan derrnik, dan selanjutnya memasuki peredaran darah (Fredricksson T, dkk,
thn 1961). Penahanan senyawa pada lapisan tanduk akan mengurangi resiko keracunan karena
akan mencegah terjadinya penyerapan sistemik.
Lapisan tanduk (stratum corneum) bukan merupakan satu satunya penyebab terjadinya
fenomena penahanan senyawa pada kulit; dalam hal tertentu dermis berperanan sebagai depo,
seperti yang telah dibuktikan dengan percobaan oleh Wepiere. J., dkk, th 1965, bahwa peymen
tertimbun pada lernak hypodermis dan testosterone dan bensil alkohol tertahan dalam dermis
(Menczel E., thn 1970; Menczel E., dkk, thn 1972). Penimbunan senyawa dalam jaringan kulit
yang lebih dalam, terjadi pada oestradic1, tiroksin dan trijodotironin (James M, dkk, thn 1974),
dan aesin (Lang W, thn 1974). Penahanan senyawa, baik pada lapisan tanduk maupun sel-sel
yang hidup tidak rnengikuti mekanisme yang sama dan tidak pula mengakibatkan efek yang
sama. Dalam hal penahanan setempat pada struktur lapisan tanduk, pengikatan senyawa,
sebagian besar tergantung pada koefisien partisi lipida yang bersangkutan dan senyawa lain
pada lapisan tanduk (strattum corneum).
Dalam hal penahanan senyawa lebih jauh kedalam jaringan subkutan, disini tidak terjadi
penyerapan atau paling tidak, laju penyerapan oleh cairan yang beredar dalam tubuh tidak
cukup untuk menyebabkan pengosongan senyawa yang setara dengan, jumlahnya dalam dermis
yang kaya akan pembuluh darah. Fenomena tersebut menyebabkan terjadinya kerja terapetik
setempat tanpa diikuti difusi sistemik yang berarti. Akan tetapi keadaan tersebut bertentangan
dengan teori umum yang telah diakui (Tregear R, T, thn 1966), yang menyatakan bahwa
pengaliran darah ke kulit hampir selalu cukup. Ternyata penahanan senyawa dalam jaringan
dibawah kulit hanya terjadi pada bahan-bahan yang diserap secara berkesinambungan,
terutama untuk bahan-bahan yang mempunyai efek depo.
Cara ketiga penumpukan zat aktif dapat pula terjadi karena senyawa terikat dalam bentuk
metabolit sesudah penyerapan sistemik; (seperti griseofulvin(Scott A, thn 1974) dan asam
amino yang mengandung belerang (Wepierre J, dkk, thn1964)], dan tergabung dalam struktur
kulit yang hidup dan yang terkeratinisasi.
2.2
FAKTOR FISIOLOGIK YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN
PERKUTAN
2.2.1 Keadaan dan Umur Kulit
Kulit utuh merupakan suatu sawar (barrier) difusi yang efektif dan efektivitasnya berkurang
bila terjadi perubahan dan kerusakan pada sel-sel lapisan tanduk. Pada keadaan patologis yang

ditunjukkan oleh perubahan sifat lapisan tanduk ((strattum corneum): dermatosis dengan
eksim, psoriasis dermatosis seborheik, maka permiabilitas kulit akan meningkat (Blank I, II, thn
1964. Scott A. Thn 1959)Scott, thn 1959, terah membuktikan bahwa kadar hridrokortison yang
melintasi kulit akan berkurang bila lapisan tanduk berjamur dan akan meningkat, pada kulit
dengan eritematosis. Hal yang sama juga telah dibuktikan bila kulit terbakar atau luka.
Bila stratum corneum rusak sebagai akibat pengikisan oleh plester , maka kecepatan
difusi air (Monash S, dkk, thn 1963), hidrokortison (Malkinson F, D, dkk, thn 1958, dan
sejumlah senyawa lain (Malkinson F, D, thn 1958) akan meningkat secara nyata. Perlakuan dari
pelarut organik terhadap permukaan kulit, juga akan rnenyebabkan perubahan tahanan kulit
terhadap difusi surfaktan (Blank I. H, dkk, thn 1970, Stoughton R, B, dkk, thn 1964: Blank I, H,
dkk, thn 1970). Efek ini merupakan fungsi pelarut dengan akibat yang bermacam-macam,
misalnya, eter tidak mengubah keadaan penyerapan salisilat atau surfaktan ( Blank I, H, dkk,
thn 1970), aseton, alcohol dan heksana akan meningkatkan difusi air kedalam kulit ( Onken H,
D, dkk, thn 1963). Permukaan kulit yang mengalami perlakuan seperti diatas, maka lipidanya
akan hilang, delipidasi stratum corneum menyebabkan pembentukan " shunts" buatan dalam
membran, sehingga mengurangi tahanannya terhadap difusi.
Difusi juga tergantung pada umur subyek, kulit anak anak lebih permeabel
dibandingkan kulit orang dewasa ( Feldmann R. T, dkk, thn 1970; Feiwel M, thn 1969).
2.2.2 Aliran Darah
Perubahan debit darah kedalam kulit secara nyata akan mengubah kecepatan
perembesan molekul. Pada sebahagian besar obat obatan, lapisan tanduk merupakan faktor
penentu pada proses penyerapan dan debit darah selalu cukup untuk menyebabkan senyawa
menyetarakan diri dalam pejalanannya ( Rothmann S, thn 1954). Namun, bila kulit luka atau
bila dipakai cara iontoforesis untuk zat aktif (Wahlberg J, E, thn 1965), maka jumlah zat aktip
yang menembus akan lebih banyak dan peranan debit darah merupakan faktor yang
menentukan. Demikian pula bila kapasitas penyerapan oleh darah sedikit atau hiperemi yang
disebabkan pemakaian senyawa ester nikotinat, maka akan terjadi peningkatan penembusan
(Ainswor'th M, J, thn 1960). Akhimya, penyempitan pembuluh darah sebagai akibat pemakaian
setempat dari kortikosteroida akan mengurangi kapasitas alir dari darah, rnenyebabkan
pembentukan suatu timbunan (efek depo) pada lapisan kulit (Malkinson E, D, dkk, thn 1963),
dan akan mengganggu penyerapan senyawa yang bersangkutan. Dengan demikian, penyerapan
perkutan testosteron akan berkurang secara nyata, bila digunakan setelah pengolesan 6-metil
prednisolon (Malkinson F, D, thn 1958).
2.2.3 Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama, akan berbeda dan tergantung pad
susunan anatomi dari tempat pengolesan: kulit dada, punggung, tangan atau lengan (Cronin E,
dkk, thn 1962; Wahlberg J. E, thn 1965). Perbedaan ketebalan terutama disebabkan oleh
ketebalan lapisan tanduk (stratum corneum) yang berbeda pada setiap bagian tubuh, tebalnya

bervariasi antara 9 m untuk kulit kantung;,,zakar sampai 600 m untuk kulit telapak tangan
dan telapak kaki. Marzulli E, N, thn 1962, telah membuktikan hahwa secara in vitro laju
penyerapan alkoil fosfat berbanding terbalik dengan tebal kulit setelah pengolesan pada kulit
telapak tangan dan tclapak kaki, di atas kulit lengan, kulit perut dan akhirnya kulit rambut atau
kulit kantung zakar. Pengamatan yang sama juga dilakukan oleh Maibach H. I, dkk, thn 1971,
yang berkaitan dengan penyerapan perkutan beberapa senyawa organofosfat (malation dan
paration). Sesuai dengan hukum Ficks (persamaan 3), maka ketebalan membran yang
bermacam-macam, akan menyebabkan peningkatan waktu laten yang diperlukan untuk
mencapai keseimbangan konsentrasi pada lapisan tanduk dan di sisi lain akan menyebabkan
pengurangan aliran darah.
dQ = Km D.S(C1 C2)
(persamaan 3)
dt
e
Km = koe(isien partisi senyawa terhadap kulit dan pembawa
2.2.4 Kelembaban dan Temperatur
Pada keadaan normal, kandungan air dalam lapisan tanduk rendah, yaitu 5-15%, namun
dapat ditingkatkan sampai 50 % dengan cara pengolesan pada permukaan kulit suatu bahan
pembawa yang dapat menyumbat vaselin, minyak atau suatu pembalut impermeabel. Peranan
kelembaban terhadap penyerapan perkutan telah dibuktikan oleh Scheuplein R, J, dkk; thn
1971; stratum corenum yang lembab mempunyai afinitas vang sama terhadap senyawa-senyawa
yang larut dalam air atau dalam lipida. Sifat ini disebabkan oleh struktur histologi sel tanduk
dan oleh benang-benang keratin yang dapat mengembang dalam air dan pada media lipida
amorf yang meresap di sekitarnya (Tregear R, T, thn 1966).
Kelembaban dapat mengembangkan lapisan tanduk dengan cara pengurangan bobot jenisnya
atau tahanan difusi. Air mula-mula meresap di antara jaringan-jaringan kemudian menembus
ke dalam benang keratin, memhentuk suatu anyaman rangkap yang stabil pada daerah polar
yang kaya air dan daerah non polar yang kaya lipida (Blank I, H, dkk, thn 1969).
Harris D, R, dkk, thn 1974, berpendapat bahwa penutupan daerah pemakaian
dengan menggunakan pembalut impermeabel rnenyebabkan terjadi peningkatan luas
perrmukaan kulit sebesar 17%, peningkatan suhu setempat dan kelembaban relatif (Vickers, C,
F, H, thn 1963). Faktor-faktor tersebut dapat juga meningkatkan retensi kulit (Vickers, C, F, H,
thn 1963). dan penyerapan perkutan terhadap sejumlah obat (Mc Kensie A, W, dkk, thn 1962;
Sulzberger M, B, dkk, thn 1961; Wiutten V, H, dkk, thn 1963).
Secara in vivo, suhu kulit yang diukur pada keadaan normal, relatif tetap dan tidak
berpengaruh pada peristiwa penyerapan. Sebaliknya secara in vitro, pengaruh suhu dengan
mudah dapat diatur; Blank dan Scheuplein, thn 1967 telah membuktikan bahwa alkohol
alifatik, pada suhu antara 0C dan 50C, peningkatan laju penyerapannya merupakan fungsi
dari suhu. Dan rnenunjukkan juga bahwa impermeabilitas kulit hanya sedikit dipengaruhi oleh
pemanasan pada 60C selama beberapa jam (Blank I, H, dkk, thn 1967). Namun, sesudah
pemanasan pada suhu di atas 65C, atau sesudah inkubasi dengan larutan berair pada pH di

bawah 3 atau di atas 9, maka stratum corneum akan mengalami perubahan struktur yang
irreversibel (Allenby A, C, dkk, thn 1969).
3. OPTIMASI KETERSEDIAANHAIYATI DARI SEDIAAN PERKUTAN
Kemampuan penembusan dan penyerapan obat dengan pemberian secara perkutan
terutama tergantung pada sifat-sifat fisiko-kimianya. Peranan bahan pembawa pada peristiwa
ini sangat kompleks; pada keadaan dimana senyawa tidak menggangu fungsi fisiologik kulit,
maka dapat dipastikan kulit tidak dapat melewatkan senyawa-senyawa yang tidak.dapat diserap
(Wepierre J. thn 1971).

Anda mungkin juga menyukai