Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita bisa
berkumpul dalam forum yang berbahagia ini. Yaitu, Forum Konsolidasi Pimpinan
Pemerintahan Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota
Angkatan III Tahun 2010, yang mengambil tema ”Kinerja Pimpinan Daerah
dalam Rangka Wawasan Nusantara”.
2
Terwujudnya pemerintahan daerah yang baik tidak lepas dari optimalisasi
peran DPRD dalam menjalankan tugasnya. Akuntabilitas tugas yang merupakan
amanat rakyat sangat ditentukan oleh tingkat kapabilitas yang dimiliki oleh setiap
anggota DPRD. Bagaimana mungkin suatu kebijakan pemerintahan memiliki nilai
yang aspiratif bagi masyarakat, bila tidak ada keseimbangan
kemampuan/kapabilitas dalam perencanaan dan implementasi program antara
eksekutif dan legislatif.
Diakui atau tidak, dinamika yang berkembang saat ini bahwa inisiatif
dalam menelurkan berbagai program kebijakan masih didominasi oleh eksekutif.
Kini sudah saatnya ada kesetaraan dalam kesetimbangan inisiatif dalam
penyusunan kebijakan antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
3
harus memastikan bahwa eksekutif bekerja dalam koridor peraturan-peraturan
yang telah disepakati dalam rangka mengemban tugas konstitusional, yaitu
mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh
karena itu, perbedaan di antara legislatif dan eksekutif tidak semata-mata
demi perbedaan itu sendiri, tetapi (seharusnya) didedikasikan bagi tujuan
mulia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia.
4
Pemerintah Daerah menjadi Badan Eksekutif Daerah.1 Sebagai Badan Legislatif
Daerah, DPRD diberikan kewenangan untuk memilih kepala daerah2 dan berhak
meminta pertanggungjawaban kepala daerah.3 Ditegaskan pula bahwa DPRD
sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari
Pemerintah Daerah.4
Kendati hal ini lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, yaitu prinsip checks
and balances, prinsip saling kontrol dan saling mengimbangi, di lapangan hal
tersebut tidak berjalan mulus sesuai dengan koridor perundang-undangan yang
ada. Hal tersebut disebabkan masih rendahnya peradaban politik di Indonesia.
Ajang pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa saja terdapat permainan
politik uang, yang biasa disebut “money politics”. Selain money politics di dalam
pemilihan kepala daerah, ada pula money politics lima tahunan. Yaitu, laporan
pertanggungjawaban (LPJ) yang harus disampaikan oleh kepala daerah di
akhir periode masa jabatannya.
Tak ada kepala daerah yang mau LPJ-nya ditolak, terutama yang ingin
mencalonkan diri kembali untuk periode kedua. Penolakan LPJ berarti sinyal
buruk bagi pencalonan kembali. Sementara bagi yang tidak ingin ikut pemilihan
lagi, entah karena sudah menjabat dua periode atau memang tidak mau
mencalonkan lagi, penolakan berarti prestasi buruk selama menjabat. Artinya,
sang kepala daerah telah gagal mengemban amanat yang dipercayakan
kepadanya sebagai kepala pemerintahan di daerah. Keadaan ini menyebabkan
kepala daerah akan dengan mudah mengikuti kemauan para wakil-wakil rakyat
di daerah untuk melakukan transaksi politik. Penolakan LPJ berarti ancaman
pemakzulan terhadap kepala daerah yang bersangkutan.
Kondisi yang tidak sehat itulah yang mendorong para legislator di Senayan
melahirkan undang-undang baru, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah untuk menggantikan UU 22/1999. Perubahan yang
1
Lihat Pasal 14 ayat (1) UU 22/1999.
2
Pasal 18 ayat (1) huruf a UU 22/1999.
3
Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 31 ayat (3) jo Pasal 32 ayat (3) huruf a UU 22/1999.
4
Lihat Pasal 16 ayat (2) UU 22/1999.
5
mencolok dari undang-undang ini adalah respons terhadap maraknya praktik
money politics baik dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun saat
penyampaian LPJ.
Di bawah pengaturan yang baru ini bukan tidak ada masalah. Yang sering
mengemuka adalah mahalnya ongkos pilkada langsung, baik dari sisi
penyelenggara maupun peserta. Dari sisi penyelenggara jelas pilkada langsung
tidak bisa dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Selain mahalnya biaya,
ongkos lain yang harus ditanggung adalah instabilitas politik di daerah. Sering
pilkada langsung menyebabkan perpecahan di masyarakat, bahkan antara
keluarga sendiri, karena kandidat yang didukung berbeda, terjadilah konflik
horizontal yang sangat tidak kita kehendaki.
Dari sisi kandidat, praktik money politics yang coba dikikis tidak juga
berkurang. Pertama-tama, kandidat harus mendapatkan parpol yang akan
menjagokannya. UU 32/2004 menentukan bahwa kandidat harus didukung oleh
15% kursi atau 15% suara.7 Pengamat sering menyebutnya dengan istilah “sewa
perahu”. Seperti ungkapan bahasa Inggris, no free lunch (tidak ada makan siang
yang gratis), begitulah setiap partai berlomba-lomba untuk menyewakan perahu
kepada kandidat yang mampu membayar. Biaya kandidat semakin bertambah
besar karena umumnya merekalah yang membiayai kampanye.
5
Lihat Bagian Kedelapan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 s.d. Pasal 119
UU 32/2004, berikut Perubahan Pertama (UU Nomor 3 Tahun 2005) dan Perubahan Kedua (UU Nomor
13 Tahun 2008).
6
PAsal 42 ayat (1) huruf h UU 32/2004.
7
Pasal 59 ayat (2) UU 32/2004.
6
Fenomena ”sewa-menyewa perahu” tersebut memunculkan reaksi dari
masyarakat. Salah satunya adalah pengajuan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK) agar calon independen (perseorangan) diperbolehkan ikut dalam
kontes pilkada. Adalah Lalu Ranggalawe, salah seorang anggota DPRD Lombok
Tengah dari Partai Bintang Reformasi (PBR), yang mengajukan perkara tersebut
ke MK. Pada putusan tanggal 23 Juli 2007, MK mengabulkan permohonan
tersebut.8 Melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada
tanggal 28 April 2008, calon perseorangan pun resmi berkompetisi dalam
pilkada.
7
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,
8
Bagaimanapun, hal-hal tersebut diatas merupakan bagian dari ekses
pemberlakuan UU terkait pemerintahan daerah yang merupakan produk bersama
Pemerintah dan DPR yang harus kita terima. Dengan harapan revisi UU No. 32
Tahun 2004 yang dalam Prolegnas menjadi prioritas tahun 2010 ini bisa
membuat rumusan pengaturan yang lebih baik sehingga relasi lembaga
eksekutif-legislatif di daerah menjadi lebih baik pula.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa revisi terhadap setiap UU
pemerintahan daerah harus merupakan upaya untuk melakukan koreksi kembali
atas implementasi UU tersebut. Pada prinsipnya nilai dasar yang dijadikan
sebagai landasan untuk melakukan setiap koreksi atas dampak sebuah
implementasi UU harus dijiwai oleh semangat untuk memberikan ruang gerak
yang lebih besar bagi seluruh pemangku kepentingan di daerah dalam kerangka
otonomi daerah. Pada saat yang bersamaan juga harus memungkinkan
tercapainya tujuan-tujuan nasional seperti stabilitas ekonomi, politik, dan
pertahanan keamanan.
Dengan demikian, nilai dasar ini terikat oleh dua kontinum, yaitu
penguatan demokrasi lokal pada satu sisi, dan efisiensi serta efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional pada sisi yang lain.
9
dari bias-bias diskriminasi dan dikotomi parsial demi terwujudnya cita-cita dan
tujuan nasional.
Oleh karena itu, agar demokrasi yang kita pilih mampu membawa kita
pada tujuan untuk mensejahterakan rakyat, sudah sepatutnya kita berusaha
keras untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari pilihan atas demokrasi.
Demokrasi yang kita kembangkan haruslah demokrasi yang sehat, yaitu
demokrasi yang dilandasi pada kebenaran dan keadilan, tidak sekadar
kepentingan semata, apalagi kepentingan yang sangat personal sifatnya. Dengan
demokrasi yang sehat itu pula kita dapat menata hubungan kelembagaan yang
sehat di negara ini, terutama hubungan antara legislatif dan eksekutif, baik di
pusat maupun di daerah.
10
cara untuk mencari jalan terbaik bagi mewujudkan tujuan bernegara. Jadi,
perbedaan tidak untuk perbedaan itu sendiri, tetapi perbedaan untuk mencari
kebenaran. Setelah kebenaran didapat, semua pihak harus berkomitmen untuk
melaksanakannya.
Demikianlah beberapa hal yang saya sampaikan dalam forum ini. Semoga
apa yang saya sampaikan dapat dicerna dengan baik dan dapat bermanfaat
dalam perjalanan kita membangun masyarakat, bangsa, dan negara yang
bermartabat.
KETUA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
H. MARZUKI ALIE
11