Anda di halaman 1dari 11

KETUA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA

HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF


DALAM MENDUKUNG KINERJA PEMERINTAHAN DAERAH

Ceramah Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintah Daerah


Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD kabupaten/Kota Angkatan III 2010
di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas-RI).
Jakarta, 24 Maret 2010

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Salam Sejahtera Untuk kita Semua,

Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita bisa
berkumpul dalam forum yang berbahagia ini. Yaitu, Forum Konsolidasi Pimpinan
Pemerintahan Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota
Angkatan III Tahun 2010, yang mengambil tema ”Kinerja Pimpinan Daerah
dalam Rangka Wawasan Nusantara”.

Adalah suatu kehormatan bagi saya diundang dalam forum yang


berbahagia ini untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran tentang ”Hubungan
Legislatif dan Eksekutif Dalam Mendukung Kinerja Pimpinan Daerah”.
Tema hubungan legislatif dan eksekutif adalah tema yang senantiasa penting
untuk dibicarakan, terutama pada era demokrasi saat ini, baik untuk level
nasional maupun tingkat lokal. Hubungan legislatif dan eksekutif juga menjadi
bahan penelitian dan perdebatan akademis yang tidak pernah selesai, terutama
dalam sistem pemerintahan yang kita anut, yaitu sistem pemerintahan
presidensial.
1
Sebelum melakukan pemaparan lebih lanjut, izinkanlah saya sedikit
mengoreksi tema yang diberikan. Saya ingin mengganti frase ”pimpinan daerah”
menjadi ”pemerintahan daerah”. Jadi lengkapnya, ”Hubungan Legislatif dan
Eksekutif dalam Mendukung Kinerja Pemerintahan Daerah”.

Dalam perspektif konstitusi, pemerintahan daerah itulah yang merupakan


pimpinan di daerah yang memiliki kewenangan untuk menjalankan otonomi
seluas-luasnya, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintahan
daerah terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah dipimpin
oleh seorang kepala daerah, sedangkan DPRD oleh pimpinan DPRD. Perbedaan
karakterisik kepala daerah dengan pimpinan DPRD terletak pada sifat
kelembagaan yang dipimpin. Kelembagaan pemerintah daerah bersifat tunggal,
sedangkan DPRD bersifat majemuk. Seorang kepala daerah setiap saat dapat
membuat keputusan eksekutif tanpa harus meminta persetujuan pejabat lain di
jajaran eksekutif. Sedangkan pimpinan DPRD tidak bisa demikian karena
keputusan tertinggi ada pada forum rapat paripurna di mana seluruh anggota
memiliki kedudukan yang sama.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Hubungan antara Pemerintah Dearah dan DPRD merupakan hubungan


mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara
pemerintahan daerah. Dengan demikian antara kedua lembaga tersebut harus
membangun hubungan yang saling mendukung.
Kedua lembaga harus memelihara dan membangun hubungan kerja yang
harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan
atau pesaing. Kedua lembaga perlu mengembangkan hubungan dan
mekanisme checks and balances, meningkatkan kualitas, produktifitas, dan
kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Masing-masing lembaga dalam pelaksanaan fungsinya bisa saling
memahami terhadap tugas yang melekat pada masing-masing lembaga tersebut
secara proporsional, dengan tanpa saling mencurigai, membawahi, lebih
menonjolkan atau mendominasi, meninggalkan yang lain, dan sebagainya.

2
Terwujudnya pemerintahan daerah yang baik tidak lepas dari optimalisasi
peran DPRD dalam menjalankan tugasnya. Akuntabilitas tugas yang merupakan
amanat rakyat sangat ditentukan oleh tingkat kapabilitas yang dimiliki oleh setiap
anggota DPRD. Bagaimana mungkin suatu kebijakan pemerintahan memiliki nilai
yang aspiratif bagi masyarakat, bila tidak ada keseimbangan
kemampuan/kapabilitas dalam perencanaan dan implementasi program antara
eksekutif dan legislatif.
Diakui atau tidak, dinamika yang berkembang saat ini bahwa inisiatif
dalam menelurkan berbagai program kebijakan masih didominasi oleh eksekutif.
Kini sudah saatnya ada kesetaraan dalam kesetimbangan inisiatif dalam
penyusunan kebijakan antara DPRD dan Pemerintah Daerah.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Izinkanlah saya memulai kupasan tentang hubungan legislatif dan


eksekutif ini dengan mengangkat fenomena politik yang baru saja terjadi, yaitu
kasus Bank Century. Apa yang Saudara-saudara saksikan di DPR baru-baru ini
mengenai hiruk-pikuk kasus Century juga menggambarkan suatu hubungan
legislatif dan eksekutif. Dari kasus tersebut dapat kita pelajari bahwa tidak
selamanya pandangan pemerintah sejalan dengan pendapat mayoritas DPR.
Dalam kasus Century, dengan suara mayoritas, DPR menyimpulkan bahwa bail
out Bank Century telah melanggar hukum. Sedangkan pemerintah sejak awal
menyatakan hal tersebut merupakan suatu kebijakan yang memang harus
diambil untuk menghindari krisis lebih lanjut, yang diperkirakan berdampak
sistemik. Bahkan, satu hari setelah diterimanya opsi C dalam Rapat Paripurna
DPR tanggal 3 Maret 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan
pidato yang intinya tetap pada keyakinan semula bahwa tidak ada pelanggaran
hukum dalam kebijakan bail out Bank Century.

Contoh kasus di atas mengindikasikan bahwa perbedaan pandangan


antara legislatif dan eksekutif adalah hal yang lumrah dalam demokrasi, dan
tidak bisa disimpulkan sebagai suatu perpecahan dalam jalannya pemerintahan.
Perlu dipahami, lembaga legislatif semacam DPR, termasuk DPRD di tingkat
lokal, memang diadakan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Legislatif

3
harus memastikan bahwa eksekutif bekerja dalam koridor peraturan-peraturan
yang telah disepakati dalam rangka mengemban tugas konstitusional, yaitu
mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh
karena itu, perbedaan di antara legislatif dan eksekutif tidak semata-mata
demi perbedaan itu sendiri, tetapi (seharusnya) didedikasikan bagi tujuan
mulia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Izinkanlah saya mengupas mengenai hubungan legislatif dan eksekutif di


level lokal, sebagaimana yang menjadi tema ceramah ini. Seperti yang sudah
saya katakan sebelumnya, hubungan legislatif-eksekutif menjadi penting dibahas
terutama ketika Indonesia keluar dari kungkungan rezim otoriter dan masuk
dalam fase demokratis sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tanggal 21
Mei 1998.

Di era Orde Baru, hubungan legislatif-eksekutif tidak terlalu bermasalah


karena sesungguhnya politik dikendalikan oleh satu arus. Di tingkat pusat, DPR
hanyalah menjadi ”stempel eksekutif” (rubber stamp). Sementara di tingkat
lokal, baik legislatif maupun eksekutif hanyalah kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat. Politik saat itu sangat tersentralisasi sehingga bisa dipastikan
bahwa daerah hanyalah menjalankan kebijakan yang telah didesain dari atas.
Bila tampak tidak banyak permasalahan dalam hubungan legislatif dan eksekutif,
hal itu lebih pada munculnya kekuatan otoriter yang menekan perbedaan
sehingga tidak dapat muncul ke permukaan.

Segera setelah berakhirnya era Orde Baru, telah disahkan UU Nomor 22


Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 7 Mei 1999 sebagai
basis otonomi daerah di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan UU Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang lahir pada
awal era Orde Baru. Di bawah rezim UU Nomor 22/1999, DPRD dan kepala
daerah dipisahkan secara tegas. DPRD menjadi Badan Legislatif Daerah dan

4
Pemerintah Daerah menjadi Badan Eksekutif Daerah.1 Sebagai Badan Legislatif
Daerah, DPRD diberikan kewenangan untuk memilih kepala daerah2 dan berhak
meminta pertanggungjawaban kepala daerah.3 Ditegaskan pula bahwa DPRD
sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari
Pemerintah Daerah.4

Kendati hal ini lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, yaitu prinsip checks
and balances, prinsip saling kontrol dan saling mengimbangi, di lapangan hal
tersebut tidak berjalan mulus sesuai dengan koridor perundang-undangan yang
ada. Hal tersebut disebabkan masih rendahnya peradaban politik di Indonesia.

Ajang pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa saja terdapat permainan
politik uang, yang biasa disebut “money politics”. Selain money politics di dalam
pemilihan kepala daerah, ada pula money politics lima tahunan. Yaitu, laporan
pertanggungjawaban (LPJ) yang harus disampaikan oleh kepala daerah di
akhir periode masa jabatannya.

Tak ada kepala daerah yang mau LPJ-nya ditolak, terutama yang ingin
mencalonkan diri kembali untuk periode kedua. Penolakan LPJ berarti sinyal
buruk bagi pencalonan kembali. Sementara bagi yang tidak ingin ikut pemilihan
lagi, entah karena sudah menjabat dua periode atau memang tidak mau
mencalonkan lagi, penolakan berarti prestasi buruk selama menjabat. Artinya,
sang kepala daerah telah gagal mengemban amanat yang dipercayakan
kepadanya sebagai kepala pemerintahan di daerah. Keadaan ini menyebabkan
kepala daerah akan dengan mudah mengikuti kemauan para wakil-wakil rakyat
di daerah untuk melakukan transaksi politik. Penolakan LPJ berarti ancaman
pemakzulan terhadap kepala daerah yang bersangkutan.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Kondisi yang tidak sehat itulah yang mendorong para legislator di Senayan
melahirkan undang-undang baru, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah untuk menggantikan UU 22/1999. Perubahan yang

1
Lihat Pasal 14 ayat (1) UU 22/1999.
2
Pasal 18 ayat (1) huruf a UU 22/1999.
3
Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 31 ayat (3) jo Pasal 32 ayat (3) huruf a UU 22/1999.
4
Lihat Pasal 16 ayat (2) UU 22/1999.

5
mencolok dari undang-undang ini adalah respons terhadap maraknya praktik
money politics baik dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun saat
penyampaian LPJ.

Dua instrumen tersebut ditiadakan dalam undang-undang yang baru.


Untuk pemilihan kepala daerah, ketentuan pemilihan oleh DPRD diganti menjadi
pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung).5 Selain dinilai lebih
demokratis dalam era keterbukaan saat ini, pilkada langsung juga secara
otomatis akan menghilangkan praktik money politics kepada anggota DPRD yang
sangat melukai hati nurani masyarakat.

Instrumen LPJ juga ditiadakan dan sebagai gantinya diintroduksilah


Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ).6 Tidak seperti LPJ, LKPJ
tidak untuk dinilai: diterima atau ditolak oleh DPRD. LKPJ hanyalah informasi
yang disampaikan kepada DPRD.

Di bawah pengaturan yang baru ini bukan tidak ada masalah. Yang sering
mengemuka adalah mahalnya ongkos pilkada langsung, baik dari sisi
penyelenggara maupun peserta. Dari sisi penyelenggara jelas pilkada langsung
tidak bisa dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Selain mahalnya biaya,
ongkos lain yang harus ditanggung adalah instabilitas politik di daerah. Sering
pilkada langsung menyebabkan perpecahan di masyarakat, bahkan antara
keluarga sendiri, karena kandidat yang didukung berbeda, terjadilah konflik
horizontal yang sangat tidak kita kehendaki.

Dari sisi kandidat, praktik money politics yang coba dikikis tidak juga
berkurang. Pertama-tama, kandidat harus mendapatkan parpol yang akan
menjagokannya. UU 32/2004 menentukan bahwa kandidat harus didukung oleh
15% kursi atau 15% suara.7 Pengamat sering menyebutnya dengan istilah “sewa
perahu”. Seperti ungkapan bahasa Inggris, no free lunch (tidak ada makan siang
yang gratis), begitulah setiap partai berlomba-lomba untuk menyewakan perahu
kepada kandidat yang mampu membayar. Biaya kandidat semakin bertambah
besar karena umumnya merekalah yang membiayai kampanye.

5
Lihat Bagian Kedelapan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 s.d. Pasal 119
UU 32/2004, berikut Perubahan Pertama (UU Nomor 3 Tahun 2005) dan Perubahan Kedua (UU Nomor
13 Tahun 2008).
6
PAsal 42 ayat (1) huruf h UU 32/2004.
7
Pasal 59 ayat (2) UU 32/2004.

6
Fenomena ”sewa-menyewa perahu” tersebut memunculkan reaksi dari
masyarakat. Salah satunya adalah pengajuan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK) agar calon independen (perseorangan) diperbolehkan ikut dalam
kontes pilkada. Adalah Lalu Ranggalawe, salah seorang anggota DPRD Lombok
Tengah dari Partai Bintang Reformasi (PBR), yang mengajukan perkara tersebut
ke MK. Pada putusan tanggal 23 Juli 2007, MK mengabulkan permohonan
tersebut.8 Melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada
tanggal 28 April 2008, calon perseorangan pun resmi berkompetisi dalam
pilkada.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Pilkada langsung juga tidak jarang memunculkan persoalan dalam


kaitannya dengan hubungan legislatif-eksekutif. Kepala daerah terpilih yang
berasal dari minoritas di DPRD sering mengalami kesulitan karena pemboikotan
oleh DPRD. Fenomena ini misalnya terjadi di Kabupaten Banyuwangi karena
bupati terpilih didukung oleh parpol-parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Semula, UU 32/2004 menentukan bahwa hanya parpol yang memiliki kursi


di DPRD yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Namun, karena putusan
MK tanggal 22 Maret 2005 terhadap judicial review yang diajukan oleh Ferry
Tinggogoy, salah seorang kandidat dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara
tahun 2005, parpol-parol yang tidak memiliki kursi di DPRD pun dapat
mengajukan calon kepala daerah.9 Bahkan, seperti yang sudah disinggung
terdahulu, MK juga telah membuka pintu bagi calon yang tidak diajukan oleh
parpol melalui jalur perseorangan.

Tidak harmonisnya hubungan antara legislatif dan eksekutif sudah tentu


memiliki pengaruh negatif terhadap upaya pembangunan di daerah. Beberapa
daerah yang mengalami ketegangan antara legislatif dan eksekutifnya
mengalami keterlambatan bahkan kesulitan dalam penetapan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD). Padahal, tanpa penetapan APBD,
program-program pembangunan di daerah tidak dapat dilaksanakan.
8
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007.
9
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 tanggal 22 Maret 2005.

7
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Mahalnya ongkos pilkada langsung dan ekses yang ditimbulkannya


memunculkan ide agar pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi ke DPRD
meskipun baru terbatas pada pemilihan gubernur. Sepanjang yang bisa saya
catat, usul ini misalnya pernah disampaikan Lemhanas beberapa waktu lalu.
Beberapa bulan terakhir, Departemen Dalam Negeri melalui Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi juga sempat melontarkan ide ini, bahkan telah dimuat
pula dalam draf RUU Pilkada yang disiapkan Depdagri.

Usul gubernur dipilih DPRD memunculkan pro dan kontra di masyarakat.


Yang pro umumnya mencemaskan besarnya biaya pilkada gubernur yang harus
dikeluarkan baik oleh penyelenggara maupun kandidat, yang pada gilirannya
akan menggerus keuangan daerah. Bagi kepala daerah yang terpilih, biaya yang
telah dikeluarkan harus bisa kembali. Kondisi ini menyebabkan satu-dua kepala
daerah terjerembab pada praktik korupsi. Satu-dua kepala daerah sudah menjadi
tersangka, terdakwa, bahkan terpidana korupsi. Hal ini sudah tentu
memunculkan keprihatinan yang mendalam.

Namun, bagi mereka yang kontra, pemilihan gubernur oleh DPRD


merupakan suatu kemunduran demokrasi di tingkat lokal. Bagi mereka,
demokrasi memang membutuhkan biaya. Ekses negatif dari pilkada langsung
harus sedapat mungkin diatasi, tetapi tidak dengan menghilangkan instrumen
pilkada langsung tersebut.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Secara teoritis, sebagai konsekuensi diakomodasinya pemilihan kepala


daerah (Pilkada) langsung, maka masyarakat diharapkan dapat melakukan
kontrol atas kinerja kepala daerah. Namun, dalam prakteknya hal ini tidak terjadi
di Indonesia, karena masyarakat kita tidak memiliki kesadaran, pengetahuan,
kompetensi, dan jaringan yang kuat untuk melakukan kontrol atas pekerjaan
serta kinerja kepala daerah. Di tengah masyarakat yang seperti ini, maka DPRD-
lah yang bertindak mewakili rakyat melakukan kontrol terhadap kepala daerah.

8
Bagaimanapun, hal-hal tersebut diatas merupakan bagian dari ekses
pemberlakuan UU terkait pemerintahan daerah yang merupakan produk bersama
Pemerintah dan DPR yang harus kita terima. Dengan harapan revisi UU No. 32
Tahun 2004 yang dalam Prolegnas menjadi prioritas tahun 2010 ini bisa
membuat rumusan pengaturan yang lebih baik sehingga relasi lembaga
eksekutif-legislatif di daerah menjadi lebih baik pula.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa revisi terhadap setiap UU
pemerintahan daerah harus merupakan upaya untuk melakukan koreksi kembali
atas implementasi UU tersebut. Pada prinsipnya nilai dasar yang dijadikan
sebagai landasan untuk melakukan setiap koreksi atas dampak sebuah
implementasi UU harus dijiwai oleh semangat untuk memberikan ruang gerak
yang lebih besar bagi seluruh pemangku kepentingan di daerah dalam kerangka
otonomi daerah. Pada saat yang bersamaan juga harus memungkinkan
tercapainya tujuan-tujuan nasional seperti stabilitas ekonomi, politik, dan
pertahanan keamanan.
Dengan demikian, nilai dasar ini terikat oleh dua kontinum, yaitu
penguatan demokrasi lokal pada satu sisi, dan efisiensi serta efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional pada sisi yang lain.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Dari uraian-uraian sebagaimana tersebut di atas, maka saya menganggap


penting, kinerja pimpinan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah harus berbasis kepada prinsip-prinsip keteladanan. Keteladanan para
pimpinan daerah sanantiasa dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Pola kepemimpinan para pimpinan daerah tidak bermakna, apabila
faktor keteladanan diabaikan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah “memandu
jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama” atau mengajak orang
lain agar secara bersama-sama dapat berbuat sesuai yang dikehendaki oleh
pemimpin.

Di zaman yang makin mengglobal ini, kepemimpinan daerah merupakan


bagian dari elemen bangsa yang bernilai strategis. Oleh karena itu, perlu
didukung dengan sikap kenegarawanan dan profesionalisme yang tinggi, bebas

9
dari bias-bias diskriminasi dan dikotomi parsial demi terwujudnya cita-cita dan
tujuan nasional.

Bagi seorang pemimpin, modal kecerdasan, pengendalian emosional,


sampai spiritual, dan modal secara finansial saja tidaklah cukup. Pemimpin
memerlukan modal sosial antara lain kepercayaan masyarakat kepada
pemimpinnya, dan kejujuran pemimpin kepada masyarakatnya.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Sebagai penutup, dari uraian-uraian sebagaimana saya kemukakan, dapat


saya katakan bahwa pilihan apa pun yang kita ambil selalu saja ada risikonya,
ada ekses negatifnya. Namun, tidak berarti hal tersebut menyurutkan langkah
kita untuk terus membangun demokrasi kita karena demokrasi adalah sistem
yang telah kita sepakati. Dan terlepas dari segala hiruk-pikuk yang kita alami
saat ini, Indonesia dapat dengan bangga menyatakan bahwa kita adalah negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia (the third largest democratic country in the
world) setelah India dan Amerika Serikat. Bahkan, dilihat dari sudut agama
mayoritas kita, yaitu agama Islam, kita adalah negara Islam terbesar yang
menerapkan demokrasi.

Oleh karena itu, agar demokrasi yang kita pilih mampu membawa kita
pada tujuan untuk mensejahterakan rakyat, sudah sepatutnya kita berusaha
keras untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari pilihan atas demokrasi.
Demokrasi yang kita kembangkan haruslah demokrasi yang sehat, yaitu
demokrasi yang dilandasi pada kebenaran dan keadilan, tidak sekadar
kepentingan semata, apalagi kepentingan yang sangat personal sifatnya. Dengan
demokrasi yang sehat itu pula kita dapat menata hubungan kelembagaan yang
sehat di negara ini, terutama hubungan antara legislatif dan eksekutif, baik di
pusat maupun di daerah.

Kita yang berada di lembaga legislatif dan eksekutif harus menyadari


bahwa kita ada karena rakyat yang memilih kita. Oleh karena itu, sepak terjang
kita harus didasarkan pada niat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang
memilih kita, bukan semata-mata memperjuangkan kepentingan pribadi kita.
Perbedaan pandangan di antara legislatif dan eksekutif harus dipahami sebagai

10
cara untuk mencari jalan terbaik bagi mewujudkan tujuan bernegara. Jadi,
perbedaan tidak untuk perbedaan itu sendiri, tetapi perbedaan untuk mencari
kebenaran. Setelah kebenaran didapat, semua pihak harus berkomitmen untuk
melaksanakannya.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Demikianlah beberapa hal yang saya sampaikan dalam forum ini. Semoga
apa yang saya sampaikan dapat dicerna dengan baik dan dapat bermanfaat
dalam perjalanan kita membangun masyarakat, bangsa, dan negara yang
bermartabat.

Wallahul Muwafiq Illa Aqwamiththariq,


Wassalamu’alaikmum Warohmatullahi Wabarokatuh

Jakarta, 24 Maret 2010

KETUA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

H. MARZUKI ALIE

11

Anda mungkin juga menyukai