Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang ,


akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir- akhir ini banyak
disoroti . peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di
kota- kota besar , menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti
penyakit jantung coroner(PJK), Hipertensi, hyperlipidemia, diabetes dan lan- lain.
Di Indonesia penyandang diabetes mellitus(DM) tipe 1 sangat jarang.
Demikian pula di negara tropis lain. Hal ini mungkin karena Indonesia terletak di
katulistiwa atau barangkali faktor genetiknya memang tidak menyokong, tetapi
mungkin juga karena diagnosis DM tipe 1 yang telambat hingga pasien sudah
meninggal akibat komplikasi sebelum diagnosa Lain halnya dengan DM tipe 2 yang
meliputi 90% dari semua populasi diabetes, faktor lingkungan sangat berperan.
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini telah dilaksanakan di
Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,5 s/d 2,3%, kecualidi Manado yang
agak tinggi sebesar 6%. Dalam Diabetes Atlas 2000( International Diabetes
Federation) tercantum perkiraan penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta
dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%, diperkirakan pada tahun 2000
berjumlah 5,6 juta. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini,
diperkirakan pada tahun 2020 nanti aka nada sejumlah 178 juta penduduk berusia
diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6 % akan didapatkan 8,2
juta pasien diabetes.(suyono, 2007)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELITUS

1. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 (PERKENI,
2011), Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya.
Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) 2014, Diabetes Melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik
yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya.Diabetes mellitus adalah penyakit kompleks, kronis dan membutuhkan
perawatan yang kontinyu untuk dapat mengendalikan gula darah. Dan diperlukan
manajemen aktif dari pasien untuk mencegah komplikasi akut.
2. KLASIFIKASI

3. FAKTOR RISIKO DIABETES MELITUS

Usia > 45tahun

Kegemukan ( BB > 120% BB idaman atau IMT > 25 kg/m2)

Hipertensi ( TD> 140/90 mmHg)

Riwayat keluarga DM

Riwayat melahirkan bayi dengan BB > 4000gram

Riwayat DM pada kehamilan ( DM gestasional )

Riwayat TGT atau GDPT

Penderita PJK, TBC, hipotiroidisme

Kadar lipid ( kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau TG >200 mg/dl)

4. PENGELOLAAN DIABETES MELITUS

5. DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaanglukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah

utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.
1. Diagnosis Diabetes Melitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat
pada bagan1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada
tabel-2. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

a. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan


glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

2. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan sepertikebiasaan seharihari (dengan karbohidrat yang cukup) dantetap melakukan kegiatan jasmani

seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelumpemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.


Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminumdalam waktu 5 menit.


Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untukpemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai.


Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah bebanglukosa.

Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak


merokok.

3. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua
keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.

6. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Adapun tujuan khusus dari penatalaksanaan pada DM adalah:
a. Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.


c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Langkah-langkah penatalaksanaan penyandang diabetes


Evaluasi medis meliputi:
7

a. Riwayat Penyakit
Gejala yang timbul
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C,

dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM


Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi

kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,

perencanaan makan dan program latihan jasmani


Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik,

hiperglikemia, dan hipoglikemia)


Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus

urogenitalis serta kaki


Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada

ginjal, mata, saluran pencernaan, dll.)


Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,

hiperosmolar

obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan

endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta ankle brachial index (ABI),untuk mencari kemungkinan penyakit

pembuluh darah arteri tepi


Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung

Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop


Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan

insulin) dan pemeriksaan neurologis


Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain.

c. Evaluasi Laboratoris/penunjang lain


Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan

trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Keton, sedimen, dan protein dalam urin
Elektrokardiogram
Foto sinar-x dada

7. PILAR PENATALAKSANAAN DM
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukanIntervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuaiindikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien,keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.

Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala


hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
a. Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien
dan keluarganya).
b. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
c. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


a. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat

tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama dengan makanan keluarga yang lain.


Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake).


Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat
dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan

buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak

10

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.


Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh

tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu

penuh (whole milk).


Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
c. Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll),
daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,

kacang-kacangan, tahu, dan tempe.


Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%

hendaknya bernilai biologik tinggi.


d. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan
anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau

sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.


Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan
bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

11

3. Kegiatan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang
relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1) Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilureadan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dantiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.

12

e. DPP-IV inhibitor
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahan sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal


Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.

13

2) Suntikan

14

1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyangtidak

terkendali dengan perencanaan makan


Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empatjenis, yakni:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek
samping
utama
-

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)


Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed

terapi

insulin

adalah

terjadinyahipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin

yang dapat menimbulkan alergi insulinatau resistensi insulin.


Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi
-

insulin yang fisiologis.


Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.

15

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan

koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.


Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan
glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal

adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).


Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran

terapi belum tercapai.


Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan
pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial
adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek
(short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial
dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1
kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali
prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal

bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau

penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).


Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

16

PENCEGAHAN

KOMPLIKASI

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Konsesus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 diindonesia
cetakan keempat, tahun 2011. PERKENI.
2. Standart medical care in diabetes. 2013. American Diabetes Assosiation
3. Standart medical care in diabetes. 2014. American Diabetes Assosiation

BAB III
KESIMPULAN

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 , Diabetes


Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya.
Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan etiologinya menjadi: DM tipe

1, tipe 2, tipe lain dan Diabetes Melitus Gestasional.


Pilar Penatalaksanaan DM adalah edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani,
intervensi farmakologi.

18

Daftar Pustaka

Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 diIndonesia cetakan


keempat, tahun 2011. PERKENI.
Suyono, S dkk.2007. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: FK UI

19

Anda mungkin juga menyukai