Chapter II 5
Chapter II 5
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
rongga
hidung
secara
embriologi
yang
mendasari
Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula
ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris.
Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan
sel
etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel
ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya
pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk
dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus
paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
perkembangannya
melalui tahapan
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. (Walsh
WE, 2002)
ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian
dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian
luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;
Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita
dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar
epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet
(Sobol SE, 2007).
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media (Nizar NW, 2000).
mudah
cidera
oleh
trauma,
sehingga
sering
menjadi
sumber
dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D
& Wardani RS,2007
kondisi
udara
(air
conditioning),
penyaring
udara,
humidifikasi,
2.2.
rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut
Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini
dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan
semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger
JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada
atau di
dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel
Merupakan sinus
sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)
sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4
mm, yang merupakan rongga sinus maksila.
Perluasan rongga
tersebut akan
hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium
maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar
daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan
dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi
di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau
limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga
sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan
komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata
sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya
yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan
sinusitis
frontal
dan
pembengkakan
di
infundibulum
dapat
berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada
usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta
bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum
tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus
akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah :
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi
yang masuk.
fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah :
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(kavum nasi).
Luas
permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi
oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu
mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan
(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka
superior
dan
dibawahnya
terletak
mukosa
respiratorius.
Lapisan
mukosa
respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran
basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori
yang
bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat
macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar
epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai
mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan
menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan
ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan
berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan
inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun
rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)
I.
II.
III.
IV.
Lapisan vaskular
V.
merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada
hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium,
gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa
juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ;
Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah
kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)
Struktur silia
terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh
bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam
pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel.
Pada gambar
2.3
tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ;
Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan
silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi
berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak
maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan
lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang
disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan
gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron.
anjing,
terhadap
pembersihan
mukosiliar
pada
sinus
yang
juga
Messerklinger
endoskopik
nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama dalam
mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi. (Ballenger
JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA, 2006)
Fungsi
Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari
udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan
udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara
inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah
uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat
kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan
hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada
kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara
10-20 kali permenit pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997;
Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan
mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara
pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang
disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active
stroke)
dengan
ujungnya
menyentuh
lapisan
mukoid
sehingga
menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya
kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan
tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan
seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
(Ballenger;1994)
keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan
kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol
yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994;
Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan
cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat
mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger ,
1994; Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet
dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan
penting
2.4
Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung
terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.
Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1
sampai 20 mm / menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ;
2006)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik
lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah
gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.
Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan
pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997).
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan
dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan
sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior
orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun
kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 )
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya
1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)
2.5
dilakukan dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun yang tidak larut
dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi ;
sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um allumunium
disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, Teflon, bismuth trioxide.
Waktu atau Kecepatan yang didapat pada pemeriksaan disebut sebagai waktu /
kecepatan TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Scott Brown,1997 ; Sun SS.
2002 ; Waguespack R,1995)
Uji Sakarin (atau lebih dikenal dengan Waktu transport Sakarin atau Waktu
TMS) dapat digunakan sebagai pengganti partikel yang telah digunakan secara luas
pada beragam penelitian sebagai indikator untuk menilai fungsi pembersihan pada
rongga hidung manusia.
penelitian untuk menilai efektivitas pada pemakaian cuci hidung, mengetahui tingkat
kecepatan, radiasi, dan ragam bahan yang dapat menimbulkan siliotoksik
pada
mukosa hidung. Banyak penelitian membuktikan bahwa waktu sakarin ini adalah
sebagai indikator langsung terhadap fungsi mukosiliar hidung dan pada penelitian
yang lain telah dilaporkan bahwa waktu sakarin ini dapat digunakan sebagai dasar
penelitian untuk memperlihatkan fisiologik hidung yang multifaktorial. (Havas T,
1999 ; Jorissen M, 1998 ; Talbot AR, 1998 Waguespack R,1995)
Secara klinis pengukuran waktu TMS dengan sakarin pertama kali
diperkenalkan
sekarang telah banyak digunakan pada pemeriksaan rutin, bahkan oleh banyak
para ahli di berbagai kota di dunia oleh karena biayanya relatif murah dan mudah
dalam penggunaannya. Uji sakarin juga cukup ideal untuk penggunaan di klinik.
(Ballenger JJ,1994; Jorissen M, 1998; Jorissen M , Boeck , 2000 ; Waguespack
R,1995)
2.6
yaitu silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang
normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus maka TMS dapat berfungsi
dengan baik, sebaliknya bila hanya satu saja yang terganggu maka disfungsi
mukosiliar dapat terjadi. Selain itu beliau juga melaporkan bahwa disfungsi
mukosiliar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa kelainan primer yaitu :
diskinesia silia primer, fibrosis kistik, sindroma kartagener dan sindroma silia yang
immotile; sedangkan kelainan sekunder antara lain adalah : common cold, sinusitis
kronik, rinitis atropi, rinitis vasomotor, septum deviasi nasal, sindroma Sjorgen, dan
penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)
Waquespack
adalah faktor fisologik atau fisik, merokok dan polusi udara, kelainan kongenital,
rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan
pengawet, dan tindakan operasi. (Waguespack R,1995)
kartagener
merupakan
penyakit
kogenital
dengan
kelainan
bronkiektasis , sinusitis, dan situs inversus, sering disebut dengan sindrom silia
immotil. Penyakit ini diturunkan secara genetik merupakan contoh diskenesia silia
primer, dimana terlihat kekurangan sebahagian atau seluruh lengan dynein luar atau
dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia
dan disorientasi arah dari pukulan/denyut dan merupakan identifikasi klasik dengan
abnormalitas kogenital dari silia. Rata-rata frekuensi denyut silia pada kelainan
lengan dynein adalah 6,1 Hz , pada defek jari-jari radial adalah 9,6 Hz dan pada
kelainan translokasi adalah10,2 Hz. Pemeriksaan waktu transportasi mukosiliar pada
pasien ini lebih dari 60 menit. Gangguan pada transpor mukosiliar dan frekuensi
denyut silia menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasis
dan sinusitis. (Ballenger,1994; Waguespack ,1995; Fauroux, 2008).
Fibrosis kistik dan sindrom young juga merupakan kelainan kongenital yang
dihubungkan dengan sinusitis kronis. Ultrastruktur silia pada kelainan ini terlihat
normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan dari palut lendir dan terdapat
perpanjangan waktu transport mukosiliar( Ballenger, 1994; Waguespack ,1995)
2.6.2 lingkungan
Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut
silia bekerja normal pada pH 7-9. Diluar pH tersebut akan terjadi penurunan
frekuensi. Kekeringan akan cepat merusak silia. Frekuensi denyut silia juga
dipengaruhi oleh dehidrasi, hipoksia, hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan
memperlambat gerakan silia dan oksigen yang banyak akan menaikkan frekuensi
denyut silia sampai dengan 30-50 %. Debu tidak berbahaya terhadap waktu
transport mukosiliar, kecuali zat yang berbahaya yang menempel pada permukaan
seperti pada industri kayu dan kulit . Sulfur, formaldehit terlihat memperlambat waktu
transport mukosiliar (Ballenger,1994; Waguespack,1995; Hilger, 1997, Weir ,1997;
Michael,1998)
2.6.3 Alergi
Pengaruh lingkungan alergik pada hidung masih diperdebatkan.
pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi juga
Adanya
diduga
dirongga
hidung.
Beberapa
penelliti
menemukan
pembengkakan
2.6.4 Obat-obatan
Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam
hipertonik (NaCI 3 % pH 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar
dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot, 1997).
Gosepath dkk melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal
antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H 2 0 2 ), dan anti jamur (amphotericin B,
itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi
ofloxacin sampai 50% terlihat sedikit mempengaruhi frekwensi denyut silia.
Peningkatan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan
aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik
dibanding H 2 O 2 . Terlihat penurunan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia
setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini
mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur
khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar (
Gosepath, 2002 ).
Beberapa obat oral juga dapat menurunkan waktu transport mukosiliar seperti
golongan antikolinergik, narkotik, dan etil alkohol. B adrenergik tidak begitu
mempengaruhi gerakan silia tetapi malah dapat merangsang pembentukan palut
lendir. Obat kolinergik dan methilxantine merangsang aktivitas silia dan produksi
palut lendir ( Gosepath,2002; Waguespack, 1994 )
2.7
Rinosinusitis
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih
mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007)
Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi
akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3
bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan
sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut
berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM
,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
Sakit kepala
2.8
Kekerapan
Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah
salah satu keluhan medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi,
dan diperkirakan 13 juta
Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika
setiap tahunnya. (Chen B, 2006)
Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari bulan
Januari 2006 Desember 2008 adalah 1967 orang.
2.9
Patofisiologi
Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus
agar tetap normal. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita.
Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang
menurunkan kandungan oksigen, peningkatan PCO 2 , menurunkan pH, mengurangi
aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan
menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar.
2.10
dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang
dijumpai, maka diperkirakan sebagai persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk
sebagai diagnosis banding. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
Gejala Mayor :
Obstruksi hidung
Sakit kepala
Gejala Minor :
2.11
Demam, halitosis
Sakit gigi
Cairan Salin
Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi
mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan
salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema
mukosa secara difusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya. Hal ini dapat
meningkatkan
daya
pembersihan
mukosiliar
dan
secara
sekunder
dapat
memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam peningkatan pembersihan
mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan
cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond
GS,2005, Shoseyov D, 2005)
Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK)
masih belum dimengerti. Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK
menunjukkan adanya disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan
jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang
pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis.
Hiperosmolaritas dari cairan terhadap jalan napas dapat meningkatkan jumlah
pengeluaran Ca2+ dari dalam sel (intraseluler) dan peningkatan Ca2+ ini mungkin
dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini kemungkinan
juga dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh
axon-axon silia. Efek antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat
memperbaiki luka dan mencuci luka yang terbuka. (Shoseyov D, 2005)
2.12
penatalaksanaan rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif
dengan morbiditas yang rendah apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang
lain, (Kennedy DW,2006).
Tehnik bedah
dan
untuk
memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal di daerah KOM ke
jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal dapat mengganggu
ventilasi sinus dan mucociliary clearance (Busquets JM,2006 ; Katsuhisa I.1996 ;
Kennedy DW,2006)
Setelah penelitian Messerklinger pada tahun 1950-1960 an telah banyak
peneliti lain yang mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori
beliau baik secara simptomatik, radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada
Menurut
beliau konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel
pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki
patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM, memperbaiki mukosa sinus yang
telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin dan bersamaan
itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
daya pembersihan mukosiliar meningkat. (Katsuhisa I. 1996 : Bassiouny. 2003 :
Wilma T.2007)