Anda di halaman 1dari 43

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.

Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal

2.1.1 Anatomi hidung


Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali
tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat
kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut
menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.1 Embriologi hidung


Perkembangan

rongga

hidung

secara

embriologi

yang

mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,


embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang
berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi
menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk
ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan
embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak
bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral
akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah
mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002)

Universitas Sumatera Utara

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai


terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,
mulailah

terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media.

Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula
ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris.
Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan

sel

etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel
ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya
pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk
dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus
paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
perkembangannya

melalui tahapan

yang spesifik. Yang pertama berkembang

adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. (Walsh
WE, 2002)

2.1.1.2 Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)

Universitas Sumatera Utara

ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam


Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam

2.1.1.3.1 Septum nasi


Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

2.1.1.3.2 Kavum nasi


Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)

Universitas Sumatera Utara

Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)

2.1.1.3.3 Meatus superior


Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa

Universitas Sumatera Utara

ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. (Ballenger JJ,1994)

2.1.1.3.4 Meatus media


Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

2.1.1.3.5 Meatus Inferior


Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

Universitas Sumatera Utara

2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian
dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian
luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;
Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita
dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar
epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet
(Sobol SE, 2007).

2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

Universitas Sumatera Utara

papirasea. Struktur anatomi penting

yang membentuk KOM adalah prosesus

unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media (Nizar NW, 2000).

Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Nizar NW, 2000)

2.1.1.5 Perdarahan hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis

Universitas Sumatera Utara

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.


maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan

mudah

cidera

oleh

trauma,

sehingga

sering

menjadi

sumber

epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani


RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.6 Persarafan hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris

Universitas Sumatera Utara

dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D
& Wardani RS,2007

2.1.2 Fisiologi hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur

kondisi

udara

(air

conditioning),

penyaring

udara,

humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi


penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007)

2.2.

Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit

dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus


paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk

Universitas Sumatera Utara

rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut
Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini
dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan
semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger
JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada
atau di

dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel

anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas


konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua
kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal
adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke
mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)

2.2.1 Embriologi sinus paranasal


Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin
berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium
sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat
anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar
agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun

Universitas Sumatera Utara

perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus


frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Gambar 2.3. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal

2.2.2 Sinus maksila


Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar.

Merupakan sinus

pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan

sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)

Universitas Sumatera Utara

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak

sebagai cekungan

ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4
mm, yang merupakan rongga sinus maksila.

Perluasan rongga

tersebut akan

berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm


anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga
hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan
setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan
perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen.
Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger
JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke
fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum
dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus
maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 46 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai

Universitas Sumatera Utara

hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium
maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar
daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan
dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi
di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau
limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga
sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan
komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.3 Sinus frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum

Universitas Sumatera Utara

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk

sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak

simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata
sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya
yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.4 Sinus etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus
superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang
sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang

Universitas Sumatera Utara

dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan

sinusitis

frontal

dan

pembengkakan

di

infundibulum

dapat

menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)


Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.5 Sinus sfenoid


Sinus sfenoid

terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan

evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya


berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak

Universitas Sumatera Utara

berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada
usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta
bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum
tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus
akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya adalah :

sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.6 Fisiologi sinus paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak
memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh
Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak
memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari

Universitas Sumatera Utara

sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi
yang masuk.

Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai

fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah :
(1)

Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo
E., Soetjipto D. 2007)

(2)

Sebagai penahan suhu (thermal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan
organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)\

Universitas Sumatera Utara

(3)

Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(4)

Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(5)

Sebagai peredam perubahan tekanan udara


Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E.,
Soetjipto D. 2007)

(6)

Membantu produksi mukus.


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Universitas Sumatera Utara

2.3 Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 2.4. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance

2.3.1 Mukosa hidung


Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung

(kavum nasi).

Luas

permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi
oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu
mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan
(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka
superior

dan

dibawahnya

terletak

mukosa

respiratorius.

Lapisan

mukosa

respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)

Universitas Sumatera Utara

Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak
mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran
basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997).
Mukosa respiratori

terdapat pada sebagian besar rongga hidung

yang

bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat
macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar
epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai
mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan
menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan
ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan
berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan
inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun
rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet , 2002)

Universitas Sumatera Utara

I.

Lapisan Mukosa Hidung


Ia. Sel bersilia
Ib. Goblet sel
Ic. Sel tidak bersilia
Id. Sel basalis

II.

Lapisan sel radang


(Sel plasma,limfosit dan eosinofil)

III.

Lapisan Kelenjar superfisial

IV.

Lapisan vaskular

V.

Lapisan kelenjar dalam

Gambar 2.5. Histologi Mukosa Hidung (Sumber Watelet)


Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya 1/3 silia
dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan
fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan
diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994;
Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau selsel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah

Universitas Sumatera Utara

merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Mukosa pada

sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung,

hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium,
gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa
juga banyak ditemukan didekat ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ;
Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah
kontrol saraf parasimpatis. (Ballenger;1994)

2.3.2 Sel goblet (kelenjar mukus)


Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan
endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein
polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet
tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm2) dan terendah di septum nasi (5700
sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel
goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah
nasofaring (Ballenger;1994 ; Waguespack,1995; Levine,2002 )

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Silia hidung


Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)
memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya
yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan
struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam
membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh
membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap
selnya. Panjang silia antara 5-7 m dengan diameter 0,3 m. Denyut silia kira-kira 915 Hz pada manusia, dengan beragam variasi pada mamalia.

Struktur silia

terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh
bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam
pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel.

Pada gambar

2.3

tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ;
Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan
silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi
berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak
maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan
lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang
disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan
gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron.

Universitas Sumatera Utara

Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey,


pada tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar
secara aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal.
Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada
hewan

anjing,

terhadap

pembersihan

mukosiliar

pada

sinus

yang

juga

memperlihatkan perbaikan mukosa hidung . Kemudian Sewall dan Boyden


melanjutkan untuk mempelajari pentingnya lapisan mukosa terhadap tulang hidung.
Dan berikutnya ,

Messerklinger

memperkenalkan alat diagnostik,

endoskopik

nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama dalam
mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus yang mengalami inflamasi. (Ballenger
JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ; Cohen NA, 2006)
Fungsi

utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring.

Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari
udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan
udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara
inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah
uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat
kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan
hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada
kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara
10-20 kali permenit pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997;
Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke

Universitas Sumatera Utara

arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan


dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. (Ballenger JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani
RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2.
Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan
sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double microtubulus).
Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril
B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B
tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui
radial spokes (Lang,1989; Waguespack, 1995; McCaffrey,1997)

Gambar 2.6 Anatomi Molekuler Silia (Sumber Cohen)

Universitas Sumatera Utara

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan
mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara
pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang
disebut neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active

stroke)

dengan

ujungnya

menyentuh

lapisan

mukoid

sehingga

menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya
kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan
tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan
seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
(Ballenger;1994)

Gambar 2.7 Diagram gerak silia(Sumber Ballenger

Universitas Sumatera Utara

2.3.4 Palut lendir


Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini
diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada
mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang
komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga
mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus,
telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini,
bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara
berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan atau
dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang
sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah
lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir
yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.
Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan
yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan
perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan
palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack
R,1995)
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein
sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh
elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi
digerakkan oleh klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan oleh

Universitas Sumatera Utara

keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini menentukan
kekentalan palut lendir (Ballenger,1994; Weir,1994; Hilger 1997)
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol
yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap (Ballenger, 1994;
Weir,1994; Waguespack,1995)
Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan
cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat
mengganggu transport mukosiliar (Hilger, 1994; Weir,1995)
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama(Ballenger ,
1994; Sakakura ;1994)
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet
dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan
penting

dalam sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. (Ballenger

JJ,1994 ; Sakakura, 1997)

Universitas Sumatera Utara

2.4

Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung

untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang


terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ; Waguespack
R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000)
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan
mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang
terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti
pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang
kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami.
Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan
suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa
mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri .
Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) , dengan ditambah
beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan
Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi
virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan
mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang
terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kea
rah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk
kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang

Universitas Sumatera Utara

terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.
Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1
sampai 20 mm / menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ;
2006)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik
lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah
gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.
Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan
pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997).
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan
dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan
sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior
orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun
kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 )
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya
1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)

2.5

Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar


Beragam cara yang digunakan untuk menilai TMS. Pemeriksaan dapat

dilakukan dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun yang tidak larut

Universitas Sumatera Utara

dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi ;
sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um allumunium
disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, Teflon, bismuth trioxide.
Waktu atau Kecepatan yang didapat pada pemeriksaan disebut sebagai waktu /
kecepatan TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Scott Brown,1997 ; Sun SS.
2002 ; Waguespack R,1995)
Uji Sakarin (atau lebih dikenal dengan Waktu transport Sakarin atau Waktu
TMS) dapat digunakan sebagai pengganti partikel yang telah digunakan secara luas
pada beragam penelitian sebagai indikator untuk menilai fungsi pembersihan pada
rongga hidung manusia.

Uji sakarin ini juga telah digunakan pada beberapa

penelitian untuk menilai efektivitas pada pemakaian cuci hidung, mengetahui tingkat
kecepatan, radiasi, dan ragam bahan yang dapat menimbulkan siliotoksik

pada

mukosa hidung. Banyak penelitian membuktikan bahwa waktu sakarin ini adalah
sebagai indikator langsung terhadap fungsi mukosiliar hidung dan pada penelitian
yang lain telah dilaporkan bahwa waktu sakarin ini dapat digunakan sebagai dasar
penelitian untuk memperlihatkan fisiologik hidung yang multifaktorial. (Havas T,
1999 ; Jorissen M, 1998 ; Talbot AR, 1998 Waguespack R,1995)
Secara klinis pengukuran waktu TMS dengan sakarin pertama kali
diperkenalkan

oleh Anderson dan kawan-kawan pada tahun 1974 dan sampai

sekarang telah banyak digunakan pada pemeriksaan rutin, bahkan oleh banyak
para ahli di berbagai kota di dunia oleh karena biayanya relatif murah dan mudah
dalam penggunaannya. Uji sakarin juga cukup ideal untuk penggunaan di klinik.
(Ballenger JJ,1994; Jorissen M, 1998; Jorissen M , Boeck , 2000 ; Waguespack
R,1995)

Universitas Sumatera Utara

Pemeriksaan pasien diawali dengan penderita dalam kondisi sadar dan


diharapkan untuk tidak menghirup, makan dan minum. Penderita duduk dengan
kepala posisi fleksi 10 derajat. Bubuk sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas
anterior konka inferior. Kemudian subjek diminta untuk menelan secara periodik
tertentu kira-kira 1/ 2 - 1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu pada saat
sakarin mulai diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis di
lakukan pencatatan dan ini disebut sebagai TMS atau waktu sakarin. Rata-rata nilai
normal adalah 12-15 menit (Jorissen M, 1998 ; Jorissen M, Willems T, Boeck KD,
2000)

2.6

Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar


Menurut Sakakura bahwa yang dapat mempengaruhi TMS ada tiga faktor

yaitu silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang
normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus maka TMS dapat berfungsi
dengan baik, sebaliknya bila hanya satu saja yang terganggu maka disfungsi
mukosiliar dapat terjadi. Selain itu beliau juga melaporkan bahwa disfungsi
mukosiliar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa kelainan primer yaitu :
diskinesia silia primer, fibrosis kistik, sindroma kartagener dan sindroma silia yang
immotile; sedangkan kelainan sekunder antara lain adalah : common cold, sinusitis
kronik, rinitis atropi, rinitis vasomotor, septum deviasi nasal, sindroma Sjorgen, dan
penyakit adenoid. (Sakakura, 1997)
Waquespack

mengemukakan bahwa keadaan yang mempengaruhi TMS

adalah faktor fisologik atau fisik, merokok dan polusi udara, kelainan kongenital,
rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan
pengawet, dan tindakan operasi. (Waguespack R,1995)

Universitas Sumatera Utara

Proctor, Anderson dan kawan-kawan menyatakan bahwa faktor lingkungan


tidak begitu memperhatikan fungsi mukosiliar. Pada percobaan, perubahan yang
mendadak pada suhu lingkungan di atas dan di bawah 250 C mungkin akan
mengakibatkan sedikit perlambatan TMS. Kelembaban yang tinggi mungkin akan
menimbulkan rasa yang kurang nyaman tetapi tidak mengubah dan mempengaruhi
TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Scott Brown, 1997 ; Wageuspack, 1995)

2.6.1 Kelainan kongenital


Diskinesia silia primer adalah kekurangan atau ketiadaan lengan dynein ,
ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia yang
abnormal, sel-sel basal abnormal dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu
1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Tes Sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60
menit .
Sindrom

kartagener

merupakan

penyakit

kogenital

dengan

kelainan

bronkiektasis , sinusitis, dan situs inversus, sering disebut dengan sindrom silia
immotil. Penyakit ini diturunkan secara genetik merupakan contoh diskenesia silia
primer, dimana terlihat kekurangan sebahagian atau seluruh lengan dynein luar atau
dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia
dan disorientasi arah dari pukulan/denyut dan merupakan identifikasi klasik dengan
abnormalitas kogenital dari silia. Rata-rata frekuensi denyut silia pada kelainan
lengan dynein adalah 6,1 Hz , pada defek jari-jari radial adalah 9,6 Hz dan pada
kelainan translokasi adalah10,2 Hz. Pemeriksaan waktu transportasi mukosiliar pada
pasien ini lebih dari 60 menit. Gangguan pada transpor mukosiliar dan frekuensi
denyut silia menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasis
dan sinusitis. (Ballenger,1994; Waguespack ,1995; Fauroux, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Fibrosis kistik dan sindrom young juga merupakan kelainan kongenital yang
dihubungkan dengan sinusitis kronis. Ultrastruktur silia pada kelainan ini terlihat
normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan dari palut lendir dan terdapat
perpanjangan waktu transport mukosiliar( Ballenger, 1994; Waguespack ,1995)

2.6.2 lingkungan
Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut
silia bekerja normal pada pH 7-9. Diluar pH tersebut akan terjadi penurunan
frekuensi. Kekeringan akan cepat merusak silia. Frekuensi denyut silia juga
dipengaruhi oleh dehidrasi, hipoksia, hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan
memperlambat gerakan silia dan oksigen yang banyak akan menaikkan frekuensi
denyut silia sampai dengan 30-50 %. Debu tidak berbahaya terhadap waktu
transport mukosiliar, kecuali zat yang berbahaya yang menempel pada permukaan
seperti pada industri kayu dan kulit . Sulfur, formaldehit terlihat memperlambat waktu
transport mukosiliar (Ballenger,1994; Waguespack,1995; Hilger, 1997, Weir ,1997;
Michael,1998)

2.6.3 Alergi
Pengaruh lingkungan alergik pada hidung masih diperdebatkan.
pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi juga

Adanya
diduga

dapat menyebabkan gangguan pada transport mukosiliar. (Ballenger,1994 ;


Waguespack, 1995)
Chevance pada tahun 1957 melaporkan bahwa pada hewan sensitisasi pada
hidung akan menyebabkan kerusakan silia bila dilakukan dengan menaruh alergen
spesifik

dirongga

hidung.

Beberapa

penelliti

menemukan

pembengkakan

Universitas Sumatera Utara

mikroskopis pada sitoplasma hidung manusia dalam keadaan alergi yang


dikatakannya sebagai akibat pengaruh iritasi dan ditemukan adanya penurunan
transport mukosiliar hidung pada bronkus dengan pasien penderita atopi bila
dirangsang dengan alergen spesifik. (Ballenger, 1994)

2.6.4 Obat-obatan
Talbot dkk pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam
hipertonik (NaCI 3 % pH 7,6) lebih dapat memperbaiki transportasi mukosiliar
dibanding penggunaan larutan garam fisiologis (Talbot, 1997).
Gosepath dkk melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal
antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H 2 0 2 ), dan anti jamur (amphotericin B,
itraconazole,clotrimazole) terhadap frekwensi denyut silia. Peningkatan konsentrasi
ofloxacin sampai 50% terlihat sedikit mempengaruhi frekwensi denyut silia.
Peningkatan konsentrasi itraconazole dari 0,25% menjadi 1% dapat menurunkan
aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik
dibanding H 2 O 2 . Terlihat penurunan aktivitas silia dan frekwensi denyut silia
setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini
mengindikasikan bahwa pemakaian obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur
khususnya pada konsentrasi tinggi dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar (
Gosepath, 2002 ).
Beberapa obat oral juga dapat menurunkan waktu transport mukosiliar seperti
golongan antikolinergik, narkotik, dan etil alkohol. B adrenergik tidak begitu
mempengaruhi gerakan silia tetapi malah dapat merangsang pembentukan palut
lendir. Obat kolinergik dan methilxantine merangsang aktivitas silia dan produksi
palut lendir ( Gosepath,2002; Waguespack, 1994 )

Universitas Sumatera Utara

Kai-Li Liang dkk, dalam jurnal penelitian mereka, berusaha membuktikan


bahwa tindakan mengirigasi atau mencuci hidung adalah terapi yang paling popular
digunakan sebagai terapi adjuvan dan seringkali diresepkan untuk digunakan
setelah bedah sinus endoskopik ( Liang KL; 2008 )

2.7

Rinosinusitis
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih

mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007)
Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi
akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3
bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan
sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut
berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM
,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
Sakit kepala

Universitas Sumatera Utara

Nyeri / rasa tekan pada wajah


Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
Gejala Minor :
Demam, halitosis
Pada anak ; batuk, iritabilitas
Sakit gigi
Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European


Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka
panduan untuk penatalaksanaan rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi
para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut :
Gejala dan tanda
Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.
Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung
tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang
menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) :
a) disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah
b) berkurang / hilangnya penciuman
Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang
cair, hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi
tersebut maka dilakukan tes alergi. (Fokkens W.2007)

Universitas Sumatera Utara

2.8

Kekerapan
Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah

dapat diperkirakan meningkat hingga mencapai 31 juta orang setiap tahunnya


dengan perkiraan rata-rata 4 hari tidak bekerja setiap tahunnya akibat menderita
penyakit tersebut. Sebagian besar pasien dengan rinosinusitis mencari pengobatan
langsung dengan dokternya, dengan lebih dari 18 juta yang berkunjung ke praktik
dokter setiap tahunnya yang terdiagnosis penyakit rinosinusitis. (Kaszuba, 2006)
Pada tahun 1996, di Amerika Serikat , seluruh pelayanan kesehatan mencatat
bahwa pelayanan yang dikeluarkan hingga berakhir dengan tegaknya diagnosis
sinusitis diperkirakan lebih dari 5,8 miliar dolar Amerika dan termasuk dalam 10
besar diagnosis penyakit pada seluruh kunjungan praktik dokter di Amerika Serikat.
(Kaszuba, 2006)
Sedangkan Chen Bei, 2006, memperkirakan

bahwa rinosinusitis adalah

salah satu keluhan medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi,
dan diperkirakan 13 juta

setiap tahunnya yang berkunjung ke praktik dokter di

Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika
setiap tahunnya. (Chen B, 2006)
Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari bulan
Januari 2006 Desember 2008 adalah 1967 orang.

2.9

Patofisiologi
Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus

agar tetap normal. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita.
Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang
menurunkan kandungan oksigen, peningkatan PCO 2 , menurunkan pH, mengurangi

Universitas Sumatera Utara

aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan
menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar.

(Ballenger JJ, 1994 ; Busquets JM,

2006 ; Wilma T, 2007)


Sakakura, 1997, menerangkan bahwa patofisiologi dari rinosinusitis kronik
berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya
mediator diantaranya vasoaktif amin, proteases, arachidonic acid metabolit, imun
kompleks, lipopolisakarida dan lain-lain. Hal- hal tersebut menyebabkan terjadinya
kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar.
Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukus. Akibatnya
bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali
terjadi. (Katsuhisa K, 2001 ; Sakakura, 1997)

2.10

Gejala Klinis Dan Diagnosa


Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor

dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang
dijumpai, maka diperkirakan sebagai persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk
sebagai diagnosis banding. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
Gejala Mayor :

Obstruksi hidung

Sekret pada hidung / sekret belakang hidung

Sakit kepala

Nyeri / rasa tekan pada wajah

Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

Universitas Sumatera Utara

Gejala Minor :

2.11

Demam, halitosis

Pada anak ; batuk, iritabilitas

Sakit gigi

Sakit telinga/ nyeri tekan pada telinga/rasa penuh pada telinga

Cairan Salin
Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi

krusta pada rongga hidung, khususnya di KOM.

Hal ini difasilitasi oleh gerak

mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan
salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema
mukosa secara difusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya. Hal ini dapat
meningkatkan

daya

pembersihan

mukosiliar

dan

secara

sekunder

dapat

memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam peningkatan pembersihan
mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan
cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond
GS,2005, Shoseyov D, 2005)
Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK)
masih belum dimengerti. Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK
menunjukkan adanya disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan
jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang
pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis.
Hiperosmolaritas dari cairan terhadap jalan napas dapat meningkatkan jumlah
pengeluaran Ca2+ dari dalam sel (intraseluler) dan peningkatan Ca2+ ini mungkin

Universitas Sumatera Utara

dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini kemungkinan
juga dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh
axon-axon silia. Efek antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat
memperbaiki luka dan mencuci luka yang terbuka. (Shoseyov D, 2005)

2.12

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)


Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan tehnik terbaik untuk

penatalaksanaan rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif
dengan morbiditas yang rendah apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang
lain, (Kennedy DW,2006).
Tehnik bedah

ini pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger dan

dipopulerkan oleh Stamberger di Eropa dan Kennedy di Amerika dengan sebutan


functional endoscopik sinus surgery (FESS). Tehnik operasi ini dilakukan secara
bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai etmoidektomi
total (Ahmed, 2003; Kennedy DW, 2006).
Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel
pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi
penyakit sinusitis kronis di daerah komplek osteomeatal / KOM

dan

untuk

memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal di daerah KOM ke
jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal dapat mengganggu
ventilasi sinus dan mucociliary clearance (Busquets JM,2006 ; Katsuhisa I.1996 ;
Kennedy DW,2006)
Setelah penelitian Messerklinger pada tahun 1950-1960 an telah banyak
peneliti lain yang mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori
beliau baik secara simptomatik, radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada

Universitas Sumatera Utara

sebelum dan sesudah operasi dan salah satunya adalah Katsuhisa.

Menurut

beliau konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel
pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki
patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM, memperbaiki mukosa sinus yang
telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin dan bersamaan
itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
daya pembersihan mukosiliar meningkat. (Katsuhisa I. 1996 : Bassiouny. 2003 :
Wilma T.2007)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai