Anda di halaman 1dari 5

Memahami Konsep Uang dalam Islam (1)

Kategori : Ekonomi Islam


Monday, 23 June 2003
Tulisan Oleh : Ikhwan Abidin Basri (Pembantu Ketua STEI Tazkia)
Sejak dulu manusia telah mempergunakan berbagai cara untuk melangsungkan
pertukaran barang, guna memenuhi kebutuhan mereka. Pada peradaban yang masih
sangat sederhana, manusia melakukan tukar menukar kebutuhan dengan cara barter.
Namun barter ini mensyaratkan adanya double coincidence of wants dari pihak-pihak
yang melakukan pertukaran ini. Semakin banyak dan kompleks kebutuhan manusia,
semakin sulit melakukan barter sehingga mempersulit muamalah antarmanusia. Itulah
sebabnya manusia dari dulu sudah memikirkan perlunya suatu alat tukar yang dapat
diterima oleh semua pihak. Alat tukar demikian disebut uang.
Dalam perkembangan sejarahnya, uang telah mengalami evolusi sebelum akhirnya
menjadi alat tukar modern seperti saat ini. Sebelum manusia menemukan logam yang
dapat dijadikan sebagai alat tukar, mereka telah menggunakan barang dan bahkan hewan
ternak sebagai sebagai alat tukar yang berfungsi sebagai uang dan disebut sebagai uang
komoditas. Namun ketika logam dan batu mulia ditemukan, mereka mulai melakukan
pertukaran dengan menggunakan logam mulia, terutama emas dan perak. Logam mulia
dicetak oleh pihak otoritas menjadi pecahan-pecahan dengan bobot tertentu, sebagai alat
tukar yang sah.
Dalam Alquran dan hadis, emas dan perak telah disebutkan baik dalam fungsinya sebagai
mata uang atau sebagai harta dan lambang kekayaan yang disimpan. Ini dapat kita lihat
dalam QS. at-Taubah: 34 yang menjelaskan orang-orang yang menimbun emas dan perak,
baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk kekayaan biasa dan mereka tidak
mau mengeluarkan zakatnya akan diancam dengan azab yang pedih. Ayat ini juga
menegaskan tentang kewajiban zakat bagi logam mulia secara khusus. Dalam QS alKahf: 19 Allah menceritakan kisah Ash-Habul Kahf (penghuni gua) yang menyuruh salah
seorang dari teman mereka untuk membelanjakan uang peraknya (wariq) guna membeli
makanan sesudah mereka tertidur selam 309 tahun di gua. Alquran menggunakan kata
wariq yang artinya uang logam dari perak atau dirham.
Di samping itu Alquran juga menceritakan kisah Nabi Yusuf yang dibuang ke dalam
sumur oleh saudara- saudaranya lalu ditemukan para pedagang musafir. Oleh mereka,
Yusuf kemudian dijual dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham saja. Dengan
jelas ayat ini menggunakan kata-kata dirham yang berarti mata uang logam dari perak.
Dari cerita yang dituturkan oleh Alquran, jelaslah bahwa penggunaan dua logam mulia
(bimetalisme) sebagai mata uang telah dilakukan oleh manusia ribuan tahun sebelum
kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Di samping itu banyak sekali hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebut dinar dan
dirham atau menggunakan kata wariq. Rasulullah SAW bersabda, Dinar dengan dinar,
tidak ada kelebihan antara keduanya (jika dipertukarkan); dan dirham dengan dirham dan

tidak ada kelebihan di antara keduanya (jika dipertukarkan ). (H. R. Muslim). Dalam
hadis yang lain Rasulullah SAW menggunakan kata wariq seperti dalam hadis berikut ini:
Uang logam perak yang jumlahnya di bawah lima auqiyah tidak ada kewajiban zakat
atasnya. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Fungsi Uang dalam Ekonomi Islam
Dalam setiap sistem perekonomian, fungsi utama uang selalu sebagai alat tukar (medium
of exchange). Dari fungsi utama ini diturunkan fungsi-fungsi lain seperti uang sebagai
standard of value, store of value, unit of account dan standard of deferred payment. Mata
uang manapun niscaya akan berfungsi seperti ini.
Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang dipandang tidak saja sebagai alat tukar yang
sah (legal tender) melainkan juga dipandang sebagai komoditas. Dengan demikian,
menurut sistem ini, uang dapat diperjual belikan dengan kelebihan baik on the spot
maupun secara tangguh. Dalam perspektif ini uang juga dapat disewakan (leasing).
Dalam Islam, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai
medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa dijualbelikan dengan kelebihan
baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang
adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya
sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan
manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan
perak hanyalah logam yang di dalam substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada
manfaatnya atau tujuan-tujuaannya. Menurut beliau dalam kitabnya Ihya Ulumiddin
Kedua-duanya tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti segala-galanya.
Keduanya ibarat cermin, ia tidak memiliki warna namun ia bisa mencerminkan semua
warna.
Sekalipun pada masa awal Islam masyarakat sudah terbisa bermuamalah dengan dinar
dan dirham, kemungkinan untuk menjadikan barang lain sebagai mata uang yang
berfungsi sebagai medium of exchange telah muncul dalam pikiran sahabat. Misalnya
Umar bin Khattab pernah mengatakan, Aku ingin (suatu saat) menjadikan kulit unta
sebagai alat tukar. Pernyataan ini keluar dari bibir seorang yang amat paham tentang
hakikat uang dan fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar, sesungguhnya uang sebagai
alat tukar tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja seperti emas dan perak. Kedua
logam mulia ini akan mengalami ketidakstabilan manakala terjadi ketidakstabilan pada
sisi permintaan maupun penawarannya. Karena itu, apapun, sesungguhnya dapat
berfungsi menjadi uang termasuk kulit unta. Dalam pandangannya, ketika suatu barang
berubah fungsinya menjadi alat tukar (uang) maka fungsi moneternya akan meniadakan
fungsinya atau paling tidak akan mendominasi fungsinya sebagai komoditas biasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa uang sebagai alat tukar
bahannya bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku ( urf) dan
istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya,
istilah dinar dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syari. Dinar dan

dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah (medium of
exchange) Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan tujuan apapun,
tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya juga tidak berhubungan dengan
gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan dari keperluan manusia dapat
dipenuhi (Lihat, Majmuatul Fatawa).
Pada umumnya para ulama dan ilmuwan sosial Islam menyepakati fungsi uang sebagai
alat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti Imam Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnul
Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib al- Ashbahani, Ibnu Khaldun, al-Al-Maqrizi dan Ibnu
Abidin dengan jelas menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Karena itu mata
uang haruslah bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun.
Konsep Uang dan Modal dalam Islam (2)
Kategori : Ekonomi Islam
Friday, 27 June 2003
Tulisan Oleh : Ikhwan Abidin Basri (Pembantu Ketua STEI Tazkia)
Uang kertas yang lazim digunakan di zaman sekarang disebut fiat money. Dinamakan
demikian karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan memiliki daya
beli tidak disebabkan karena uang tersebut dilatarbelakangi oleh emas.
Dulu uang memang mengikuti standar emas (gold standard). Namun rezim ini telah lama
ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada pertengahan dasa warsa 1930-an (Inggris
meninggalkannya pada tahun 1931 dan seluruh dunia telah meninggalkannya pada tahun
1976). Kini uang kertas menjadi alat tukar karena pemerintah menetapkannya sebagai
alat tukar. Sekiranya pemerintah mencabut keputusannya dan menggunakan uang dari
jenis lain, niscaya uang kertas tidak akan memiliki nilai sama sekali.
Banyak kalangan yang ragu-ragu atau bahkan tidak tahu hukum uang kertas ditinjau dari
sisi syariah. Ada yang berpendapat bahwa uang kertas tidak berlaku riba, sehingga kalau
orang berutang Rp. 100.000,00 kemudian mengembalikan kepada pengutang sebanyak
Rp. 120.000,00 dalam tempo tiga bulan, maka tidak termasuk riba. Mereka beranggapan
bahwa yang berlaku pada zaman Nabi SAW adalah uang emas dan perak dan yang
diharamkan tukar-menukar dengan kelebihan adalah emas dan perak, karena itu uang
kertas tidak berlaku hukum riba padanya. Jawabannya dapat kita cari dari penjelasan
yang lalu bahwa mata uang bisa dibuat dari benda apa saja, termasuk kulit unta, kata
Umar bin Khattab. Ketika benda itu ditetapkan sebagai mata uang sah, maka barang itu
berubah fungsinya dari barang biasa menjadi alat tukar dengan segala fungsi turunannya.
Jumhur ulama sepakat bahwa illat dalam emas dan perak yang diharamkan pertukarannya
kecuali serupa dengan serupa, sama dengan sama, oleh Rasulullah SAW adalah karena
tsumuniyyah , yaitu barang-barang tersebut menjadi alat tukar, penyimpan nilai di
mana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya.
Karena uang kertas secara de facto dan de jure telah menjadi alat pembayaran sah,
sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum sama
dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Alquran diturunkan merupakan alat

pembayaran yang sah. Karena itu riba belaku pada uang kertas. Uang kertas juga diakui
sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat dari padanya. Zakatpun sah
dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu pula ia dapat dipergunakan sebagai alat
untuk membayar mahar.
Modal dalam Perspektif Islam
Modal yang dalam bahasa Inggrisnya disebut capital mengandung arti barang yang
dihasilkan oleh alam atau buatan manusia, yang diperlukan bukan untuk memenuhi
secara langsung keinginan manusia tetapi untuk membantu memproduksi barang lain
yang nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan
menghasilkan keuntungan (Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Lihat, William
N. Loucks and J. Weldon Hoot, Comparative Economic Systems, hal. 19 Comparative
Economic Systems Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Comparative
Economic Systems, hal. 19, hal. 19). Secara fisik terdapat dua jenis modal yaitu fixed
capital dan circulating capital. Fixed capital seperti gedung-gedung, mesin-mesin atau
pabrik-pabrik,; yaitu benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati tidak berkurang
eksistensi substansinya. Adapun circulating capital seperti: bahan baku dan uang ketika
manfaatnya dinikmati, substansinya juga hilang. Perbedaan keduanya dalam syariah
dapat kita lihat sebagai berikut. Modal tetap pada umumnya dapat disewakan, tetapi tidak
dapat dipinjamkan (qardh). Sedangkan modal sirkulasi yang bersifat konsumtif bisa
dipinjamkan (qardh) tetapi tidak dapat disewakan. Hal itu karena ijarah dalam Islam
hanya dapat dilakukan pada benda-benda yang memiliki karakteristik, substansinya dapat
dinikmati secara terpisah atau sekaligus. Ketika sebuah barang disewakan, maka manfaat
barang tersebut dipisahkan dari yang empunya. Ia kini dinikmati oleh penyewa, namun
status kepemilikannya tetap pada si empunya. Ketika masa sewa berakhir, barang itu
dikembalikan kepada si empunya dalam keadaan seperti sediakala.
Uang tidak memiliki sifat seperti ini. Ketika seseorang menggunakan uang, maka uang
itu habis. Kalau ia menggunakan uang itu dari pinjaman, maka ia menanggung utang
sebesar jumlah yang digunakan dan harus mengembalikan dalam jumlah yang sama
(mitsl) bukan substansinya (ain).
Return on Capital
Dari uraian di atas nyatalah bahwa barang modal yang masuk dalam kategori tetap seperti
kendaraan, mobil, bangunan, atau kapal akan mendapatkan return on capital dalam
bentuk upah sewa jika transaksi yang dipergunakan adalah ijarah. Di samping itu barangbarang modal ini dapat juga mendapatkan return on capital dalam bentuk bagian dari laba
(profit) jika transaksi yang dipergunakan adalah musyarakah atas dasar kaidah Suatu
barang yang dapat disewakan, maka barang tersebut dapat dilakukan musyarakah
atasnya. Ini telah dilakukan oleh kaum muslimin dari zaman dulu misalnya dalam
transaksi muzaraah. Dalam akad ini si empunya tanah menyediakan tanah untuk digarap
oleh penggarap. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini dibagi dua sesuai dengan
kesepakatan, misalnya 50:50.

Berbeda dengan fixed capital, circulating capital (dalam hal ini uang) tidak akan
mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa seperti dalam ijarah. Karena uang
dalam Islam bukan komoditas yang bisa disewakan atau dijualbelikan dengan kelebihan.
Ia dibutuhkan sebagai alat tukar saja. Tetapi ia memiliki return on capital bila
dikembangkan dalam bentuk akad mudharabah. Ia juga dapat dipinjamkan (qardh) tetapi
tidak diperbolehkan pengembaliannya melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk
dalam kategori riba. Wallahu alam bis-Shawab.

Anda mungkin juga menyukai