Anda di halaman 1dari 16

HATI SEORANG IBU

Bagikan
Kemarin jam 16:07
HATI SEORANG IBU

Oleh: Fatma Elly

“HANYA DUA PILIHAN, Nak,“ katanya dengan suara tertahan, “tetap menjadi
istrinya kalau kau masih mencintai dan tahan menghadapinya, atau cerai kalau sudah
tidak kuat lagi. Sedang kami semua akan menerimamu walau bagaimanapun jua,“
suaranya tersekat di kerongkongan. Telepon digenggamnya erat. Telinganya merapat
di situ.

Dan sebelum putrinya bersuara lagi, ia telah pula meneruskan:

“Cerai adalah perbuatan halal walau dibenci Allah, Nak. Sesuatu yang diperbolehkan,
demi menjaga manusia dari bencana yang lebih buruk.“

TAPI SERENTAK ITU, dada yang bergemuruh, jantung yang berdebar, membuat
tubuhnya terasa lemas. Mata berkunang-kunang. Keringat dingin menyerbu. Pening
di kepala langsung menyerang. Gagang telepon semakin erat dicengkeramnya.

“Saya bingung Bu. Khawatir, takut dan cemas,“ suara di telepon terdengar cemas,
bingung, kacau dan serak.

“Tapi kau tetap harus memiliki pilihan, Nak,“ katanya.

Nada itu di tekannya kuat-kuat, sekuat tubuh yang di jaga dan ditahannya untuk tidak
jatuh. Biar bisa berdiri tegar menerima telepon, dan kabar dari putrinya yang datang
tiba-tiba, seperti halilintar menggelegar di terik siang hari.

“Kalau pilih pulang, bagaimana anak-anak, Bu?“ suara putrinya seperti tersedak di
tenggorokan. Serak dan parau.

“Pasrahkan kepada Allah, Nak. Tawakal. Allah sebaik-baik pemelihara.“

“Apakah saya mampu Bu, bisa?“

“Semua manusia diuji Nak. Bukan kau saja.“


Suara tangis tersedan putrinya, terdengar lewat telepon.
Hatinya tersayat.

Sejenak, sebagai ibu, jiwanya memberontak.

“Ya Tuhan, kenapa mesti anakku? Bagian hidup yang teramat kusayangi?“ ucapnya
lirih.

TANGIS TERSEDAN, kembali sesegukan. Kencang terdengar lewat telepon.


Hatinya tergores, lebih tajam dari sayatan pisau. Sakit dan pedih.

Genggaman di telepon semakin kuat dicengkeramnya. Keringat dingin yang


menyerbu, merambas ke alat penghubung komunikasi itu. Basah dan licin terasa di
telapak dan jari-jari tangannya.

TETAPI TIDAK, ia adalah seorang ibu. Harus kuat, tabah dan bijaksana menghadapi
permasalahan. Memberi kekuatan kesabaran dan ketabahan bagi seorang anak, dalam
cobaan dan ujian yang menimpanya.

Maka katanya:

“Goda, coba dan uji, adalah hakekat hidup Nak. Ambil hikmahnya. Karena ia tidak
selalu buruk buat kita, malah kadang baik. Kita tidak tahu, tapi Allah Maha
Mengetahui. Nah berhentilah menangis. Kembali melihat dalam sudut pandang yang
baik. Bersifat positiflah. Istighfar.“

Tangisan sedikit mereda. Sesegukan menghilang. Sedan masih tersisa.

“Jadi, apa yang mesti saya lakukan Bu?“ tanya suara dalam telepon lagi. Serak dan
parau.

“Semua kembali padamu, Nak. Kau harus bisa mengambil keputusan, tanpa harus
bergantung pada Ibu. Hati nuranimu sendiri yang merasa dan memutuskan.“

Putrinya terdiam. Tiada suara terdengar di telepon. Hanya sedan itu saja. Mungkin
bingung dan galau. Kacau.
Hingga akhirnya ibunya berkata lagi:

“Kau masih mencintainya, Nak?“


Tangis sedan tertahan pula.
“Iya, Bu,“ jawab putrinya lemah. Menganggukkan kepala.

Ibu itu menarik nafas. Dadanya terasa penuh. Hatinya berseru:


“Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tolonglah ia, putriku. Berilah
kekuatan ketabahan dan kesabaran padanya,” pintanya tulus. Setulus hati seorang ibu
dalam panjatan doa, yang hanya di sampaikan dan dipohonkan kepada Tuhannya
semata, bilamana anaknya mengalami kesulitan dan musibah.

Serentak itu mulutnya pun berkomat-kamit membaca puji-pujian kepada Allah.,


disertai shalawat pada RasulNya Saw..

Ingatannya kembali pada pengakuan putrinya.

“Ternyata putriku masih mencintainya. Mengkhawatirkan anak-anaknya. Maka tak


ada jalan lain, ia mesti bersabar,“ pikirnya dalam benak.

Maka katanya lagi:

“Tidakkah tadi sudah kukatakan Nak, kedudukan mulia hanyalah bersama Allah?
Karena itu bersabarlah. Orang-orang yang sabar, bersama Allah. Kau mau bukan,
mendapat kedudukan bersama Allah?”

“Tentu Bu. Aku mau. Aku mau.“

“Nah, hentikanlah tangis dan segukmu itu. Kau sudah akan mulai bersama Allah.
Tetaplah dalam sabar. Perkuatlah. Insya Allah akan dibantu. Berjuanglah. Karena
orang-orang yang sabar selalu berjuang menahan dan melawan hawa nafsunya. Juga
godaan dan bujuk rayu setan,“ ujarnya pula.

Tangis di telepon tak terdengar lagi. Sama sekali terhenti.

(Cuplikan Cerita Pendek: “Ibu”, dari kumpulan Cerita Pendek, Serial Gender,:
“Malam Ini Tak Ada Cinta”, Fatma Elly, Establitz, 2006)

____________________________________________________________________
___

TERLIHAT JELAS, gambaran hati seorang ibu, di dalam melihat permasalahan yang
menimpa. Antara hawa nafsu marah atas kejadian terhadap sang putri tersayang, dan
kebijaksanaan seorang ibu dalam menanggapi pengaduan anak.

Betapa perih, sedih, sakit, pilu, hati sang ibu mendengar ini, kabar putri yang
disayangi, berkelakuan baik dan mencintai suami, ternyata telah di poligami. Sang
menantu telah berbagi cinta dengan perempuan lain!
TETAPI, IA ADALAH SEORANG IBU. Hamba Allah yang harus berbakti kepada
TuhanNya. Percaya kepada takdir. Menerima, rida, ikhlas, terhadap segala ketentuan
dan aturan-Nya. Termasuk permasalahan telah menikahnya sang menantu untuk yang
kedua kali. Melakukan poligami, dan membuat putrinya menangis. Mengadukan
kesedihan dan penderitaannya.

SATU HAL yang sekarang ini masih ramai dibicarakan orang, diperdebatkan,
dipertentangkan, dan bersifat ‘controversial’, adalah masalah poligami.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS 4:3)

“Dan tidaklah kamu sanggup berlaku adil kepada istri-istrimu sekalipun kamu sangat
menghendakinya. Karena itu janganlah kamu miring-semiringnya kepada salah
seorang istrimu, sedangkan yang lain kau biarkan ibarat barang tergantung.“ (QS
4:129)

MELIHAT KENYATAAN di atas, ibu itu berfikir:

“Jika menantunya bisa berlaku adil dalam masalah poligami ini, mencontoh
RasulNya SAW., ia akan selamat. Namun kalau tidak, menuruti hawa nafsu dan
keinginan setan, maka ia akan datang di hari kiamat dengan tubuh yang miring. Dan
menanggung akibat dosa”.

Dan ia ingat suatu Hadist. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda:

“Barang siapa punya dua istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang
di hari kiamat nanti, dengan bahunya miring.“ (HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’iy dan
Ibnu Majah)

Oleh karena itu, pikir si ibu lagi:

“Jika seseorang lelaki atau menantunya itu, melakukan poligami, sementara


persyaratan keadilan tidak bisa dilakukan, dan contoh Rasul SAW. tidak diikuti, akan
membawa kesusahan bagi mereka yang melakukannya. Mendatangkan musibah pada
istri, anak-anak, keluarga, dan dirinya sendiri sebagai seorang lelaki atau suami.”

Apalagi jika tidak mengenal, tidak mengetahui, dan tidak memahami ajaran agama.
Karena nilai keikhlasan seperti pengertian dan kebijakan, tentunya tidak akan hadir di
antara mereka.
Dan kalau sudah demikian, bencana akan menganga, bagaikan ular membuka mulut,
menerkam dan memagut leher korbannya, dengan kuat dan ganas!

POLIGAMI sendiri, datang bukan tanpa sebab. Ada beberapa kriteria untuk itu.

Ia adalah pembatasan yang dilakukan terhadap kebiasaan dan kelakuan masa dulu.
Baik di Timur atapun di Barat. Di mana para lelaki banyak memiliki istri, hingga
ratusan, juga selir atau wanita piaraan. Istri tak sah. Bini tak resmi.

LALU ISLAM DATANG, membatasi. Diperbolehkan sampai empat saja. Itupun


kalau bisa berlaku adil. Jadi Islam tidak semena-mena memperkenankan poligami.

SEJARAH MENCATAT, banyak terjadi ’peperangan’ yang menyebabkan kaum


lelaki tewas terbunuh. Akibatnya banyak janda dan anak yatim. Kaum ibu atau
keluarga yang kehilangan tulang punggung perekonomian. Yang terlantar dan
menderita kemiskinan. Tidak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang, juga
pendidikan. Untuk itu, salah satu solusinya adalah menikahi. Agar masalah sosial,
ekonomi, pendidikan dan psikologis ini, sedikit banyak bisa teratasi.

KEBUTUHAN AKAN PERNIKAHAN juga merupakan kriteria lainnya. Secara


fitrah, manusia membutuhkan itu. Apalagi dalam peperangan banyak lelaki terbunuh,
dan perempuan tiada teman pendamping. Mereka membutuhkan suami. Kepala
keluarga, untuk memberikan ketenteraman, pengayoman, kasih sayang dan cinta.

SEPERTI SEKARANG INI, antara perempuan dan lelaki, kan tidak sebanding?
Perempuan lebih banyak, lelaki sedikit. Tentunya poligami ditolerir demi
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Baik dari sudut kesehatan badan, jiwa,
pikiran, keamanan, ketertiban dan penyelewengan-penyelewengan. Misalnya
dekadensi moral. Kejahatan, dan banyak lagi hal lainnya yang bersifat merusak dan
mebawa bencana.

TERMASUK PENYEBAB dibolehkannya poligami, juga adanya kebutuhan akan


seks dan keturunan. Misal istri sakit, mandul, menstruasi, habis melahirkan, keadaan
darurat atau terpaksa lainnya, sedang fitrah diri seorang lelaki menuntut itu.

KWALITAS orang beriman yang bisa menahan gejolak hawa nafsu, termasuk
seksual, dengan melakukan puasa, olah raga, kerja, pokoknya macam-macam
ibadahlah, patut dipuji. Tapi kondisi orang seperti itu, sedikit sekali. Tidak umum.
Dan bukan merupakan tolok ukur.
Sementara yang umum, fitrah seksual mereka tetap menuntut. Tak bisa hilang.

DALAM KONDISI DEMIKIAN, sangatlah sulit bagi individual tertentu, untuk dapat
menahannya. Karena tagihan ke arah itu tidak sama pada setiap orang. Maka apabila
hukum secara tegas melarang, tidak boleh poligami atau kawin lagi, tidak fleksibel,
luwes, alias harus beristri satu, maka dampaknya akan sangat berbahaya.

SEBAB, mereka akan tetap mencari dan mendapatkan. Apalagi bagi lelaki yang tidak
terikat iman dan agama, mereka tak lihat dan tak pandang, apakah itu pelacur,
perempuan sewaan, sama-sama lelaki, zinah tangan, masturbasi, onani, dan
sebagainya.

DAN TERJADILAH seperti apa yang sering kita lihat. Perzinahan, kumpul kebo,
prostitusi, free sex, pokoknya macam-macam. Yang akhirnya menimbulkan bencana
bagi manusia. Tidak hanya bersifat individual, tapi juga sosial. Baik dilihat dari sudut
kesehatan jiwa dan fisik. Jasmani rohani, maupun keamanan dan ketertiban.
Kedamaian dan ketenteraman.

Efek dan dampak ini akan berimbas ke mana-mana. Penyakit kelamin, gonorchoe,
HIV/AIDS, dekadensi moral, anak-anak haram yang terlantar, perempuan-perempuan
yang menderita, pembunuhan dan kekerasan, pokoknya berbagai kejahatan dan
kemungkaran, yang akhirnya membawa ketidakdamaian dan ketidaktenteraman
masyarakat.

SELAIN ITU, poligami juga diperlukan demi kepentingan umat. Umat yang banyak
dan sumber daya manusia yang berkualitas, tentu sangat dibutuhkan.

Berkata Rasulullah SAW.: “Kawinilah olehmu sekalian wanita-wanita yang banyak


melahirkan anak dan penuh kecintaan. Karena sesungguhnya aku ingin mempunyai
banyak umat dengan kamu sekalian. (HR. Abu Daud, An-Nasa’I dan Al-Hakim)

UMAT YANG BANYAK dan sumber daya manusia yang berkualitas, tentu sangat
dibutuhkan. Apalagi Barat dengan PBB, lewat konferensi-konferensi yang
diadakannya, melakukan rekayasa demografis melalui penggalakan keluarga
berencana di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim.

Dan menurut Anwar Al-Jundi, digencarkannya ketimpangan demografis sebagai


ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan dunia, sebuah rekayasa untuk
mengurangi pertambahan penduduk kaum muslimin.

DI SATU SISI umat Islam ditekan dan dikendalikan jumlah dan pertambahan
penduduknya, sementara di sisi lain mereka melakukan aksi penambahan
penduduknya sendiri lewat rangsangan, agar memperbanyak jumlah anak.

Suatu rekayasa yang dilakukan dalam strategi penguasaan terhadap negeri-negeri


muslim, yang kalau jumlah penduduknya besar, bakal jadi satu kekuatan yang akan
menyulitkan dan membahayakan mereka.
Keluarga dengan satu istri saja masih dibatasi dengan aktifitas politik keluarga
berencana, apalagi poligami!

Jadi begitulah, poligami adalah salah satu unsur untuk memperkuat umat Islam.

SELAIN ITU, ISTRI YANG SEJALAN, secita-cita dan sepemikiran, tentunya sangat
sekali dibutuhkan dan diutamakan bagi perkembangan dakwah. Di samping menjaga
dan melindungi mereka yang aktifitas dakwahnya sangat potensial, tapi kehilangan
suami karena meninggaldunia, misalnya. Atau lainnya. Sedang kelancaran dakwah
adalah suatu prioritas. Menjalin ukhuwwah, mempererat hubungan di atas strategi
dakwah, baik politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, adalah hal yang penting dan
utama.

Rasulullah SAW. saja misalnya memberikan contoh; ketika beliau menikahi Aisyah
ra. dan Hafsah ra., dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan ukhuwwah di antara
tokoh-tokoh Abu Bakar Siddiq. dan Umar bin Khathab., yang merupakan ayah dari
ummul mukminin tersebut.

Begitu pula ketika menikahi Ummu Salamah Al-Makhzumiyah, putri pemimpin Bani
Makhzum yang ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah dan suaminya syahid; apakah
setelah mempertaruhkan dirinya untuk Islam, lalu ia dibiarkan saja menjanda
sendirian? Tentunya tidak bukan? Ia butuh perlindungan dan pendamping.

Begitupun ketika beliau menikahi Ramlah. Selain untuk menjaga dan memelihara
keimanan dan diri Ramlah, karena suaminya murtad dan mati dalam keadaan kafir,
juga untuk memberi ‘kesan tersendiri dalam jiwa Abu Sufyan’, musuh besarnya yang
notabene adalah ayahnya Romlah.

Begitupula ketika mengawini Juwairiyah binti Al-Harits, putri pemimpin kaumnya


yang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan Arab, hal yang sama dilakukan Rasul.

Dan ketika mengawini Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, putri penguasa Yahudi yang
suaminya meninggal, selain untuk kepentingan politik, juga untuk contoh
memuliakan suatu kaum. Sekaligus kasih sayang, dan jangan sampai dendam oleh
kematian saudara dan ayahnya itu.

POKOKNYA, SETIAP PERKAWINAN yang dilakukan Rasulullah SAW.,


mengandung maslahat dan hikmah serta misi kemanusiaan yang tinggi.

JADI, bila hukum secara tegas melarang poligami, masyarakat akan rugi dan susah.
Termasuk terhadap perempuan juga. Apakah gadis, istri, ibu, saudara, yah semua
akan mendapat imbas dampaknya yang buruk dan merusak.

KADANGKALA PEREMPUAN suka iri dan menyanggah, dalam hal poligami ini
dan bertanya:

”Bagaimana jika perempuan, yang mempunyai keinginan dan selera yang sama dalam
masalah seksual, sebagaimana manusia lelaki pada laiknya, lalu diberi status hukum,
dengan legalisasi berpoliandri atau bersuami lebih dari satu, apakah kira-kira
kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya?

ZAMAN PURBAKALA, poliandri pernah terjadi. Perempuan bersuami lebih dari


satu. Ternyata masyarakat dan keadaan menjadi runyam dan kacau. Anak diragukan
bapaknya. Bingung menentukan hak waris. Keributan, perkelahian, bahkan
pembunuhan sering terjadi. Baik karena faktor kecemburuan, curiga, prasangka,
egois, keserakahan ataupun harga dan kehormatan diri.

”Kedua hal tersebut, poligami dan poliandri, mempunyai dampak dan imbas yang
sama. Seperti sekarang, apakah poligami menjamin ketenangan dan ketentraman?
Keadilan dan kebahagiaan?” Orang suka bertanya. Apalagi perempuan barangkali.

KALAU KITA HANYA bercermin pada kehidupan masa kini, di mana


penyimpangan dan penyelewengan terhadap nilai-nilai dan ajaran Islam, banyak
terjadi, orang tidak memperaktekkan ajaran agama secara baik dan benar, apa yang
digambarkan itu, memang suatu realitas yang tidak bisa dipungkiri.

NAMUN, satu hal yang harus diingat, bila ajaran, peraturan, atau perintah Allah itu
dilaksanakan dan dilakukan hamba-Nya, dengan ketaatan mencontoh Rasul-Nya
SAW., maka hal-hal seperti itu tak akan terjadi. Malah kedamaian dan
ketenteramanlah yang mengejawantah.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara


keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya
setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS 2:208)

DAN LAGI, satu hal yang harus kita cermati, berlaku adil sebagai persyaratan
poligami, bukanlah hal yang mudah.

Jika seseorang ingin berpoligami, tidak boleh seenaknya saja. Islam agama preventif.
Mencegah dan mengantisipasi suatu keadaan yang tidak diinginkan, yang mungkin
saja membahayakan. Poligami, salah satu cara untuk itu. Bentuk tindakan preventif
bilamana menemukan hal-hal yang seperti itu.

Sementara, kalau perempuan diberi legalisasi seperti lelaki, dengan melakukan


poliandri misalnya, tentu dampaknya lebih membahayakan dan mengacaukan.
Ketimbang ketenteraman yang dituju dan diinginkan untuk masyarakat umum.

Maka legalisasi semacam itu, tak ada di dalam Islam. Sedang hak-hak perempuan,
Islam mengaturnya dalam bentuk aturan-aturan. Kewajiban terhadap istri tetap harus
dilakukan. Tanggung jawab sebagai seorang suami dalam masalah nafkah lahir batin,
harus diperhatikan. Tidak gegabah begitu saja. Ada sanksinya. Dan kalau sekiranya
mereka masih melanggarnya, ada hak talak bagi perempuan.

Ia bisa bercerai untuk mendapatkan kebebasan dan kebahagiaannya. Walau cerai itu
perbuatan halal yang dibenci Allah. Makanya, segala fenomena atau gejala
permasalahan harus benar-benar diantisipasi sebelumnya. Harus ada pemahaman,
pengertian, kesadaran dan keikhlasan. Yang terpenting; bagaimana seseorang itu
harus memurnikan ketaatan kepada-Nya, di dalam mengikuti perintah Allah dan
beragama.

”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan agama dengan lurus), dan
supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; yang demikian itulah agama
yang lurus.” (QS 98:5)

CERITA PENDEK di atas, meski menggambarkan, betapa hati si ibu merasa sedih,
pedih dan pilu, melihat dan mengetahui putrinya yang baik itu di poligami, namun ia
sebagai ibu yang bijak, tetap menasihati. Supaya putrinya tetap bersabar. Bahkan
memperkuat kesabarannya sebagaimana yang telah Allah firmankan:

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersikap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu beruntung.” (QS 3:200)
Menganjurkannya untuk tetap melakukan kewajiban sebagai istri dan ibu dengan
baik. Penuh tanggung jawab serta ikhlas. Apalagi realita yang diketahuinya, putrinya
itu masih mencintai suaminya, dan mengkhawatirkan anak-anaknya, bilamana terjadi
perceraian!

PATUT DAN LAYAK serta pantaslah, kalau seorang sahabat bertanya:

“Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memproleh pelayanan dan persahabatanku?
Nabi SAW. menjawab: “Ibumu.. ibumu.. ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian
yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu.“ (HR Mutaffak ‘Alaih)

TERNYATA, ibu memang luar biasa! Ditinggikan martabatnya karena kemuliaan


kedudukannya. Hingga ia diberi kehormatan, tiga kali melebihi sang ayah!
Dan bersabdalah Rasul SAW.: ”Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.“ (HR.
Ahmad)

MEMANG, HATI SEORANG IBU, BAK MUTIARA yang tak pernah pudar dari
keaslian hakikat yang dimilikinya, yang akan selalu memancarkan perhatian dan
kasih sayang terhadap anak-anaknya, sepanjang masa!

WALLAHU A’LAM.

NIKAH BAHAGIA?

Oleh: Fatma Elly

DI HADAPANNYA terpampang sebuah cermin. Ia duduk di bangku meja hias


menghadap ke cermin itu. Hatinya risau. Betapa tidak? Pantulan cermin tidak
menyenangkan. Wajah yang dulu cantik menggairahkan, kini seakan pudar. Tidak
lagi berseri. Bahkan kerut-kerut ketuaan mulai menghias kulit. Mata tidak bercahaya.
Bibir tidak lagi memerah delima.

DAN KINI ia hanya bisa menatap wajah layu itu penuh dengan keresahan.
Kegundahan hati yang diselimuti suara.

“Beginikah akhirnya, Ima?“

Tiba tiba ia seperti mendengar suara itu. Mendenging ditelinga, membuatnya semakin
pilu.

“Kebahagiaankah ini?“

Diamati dan ditatapnya lagi cermin di hadapan dengan saksama. Rasanya ingin
dipecahkan saja cermin itu berkeping-keping, agar pantulan diri tak lagi membuatnya
resah.
Tapi tidak dilakukan. Ia hanya merasa segan dan malas, seperti tak mau melihat
kecermin itu lagi.
Maka kepala dan wajahnya lalu ditundukkannya perlahan.

Namun suara itu kembali mengganggu.

“Kenapa menunduk Ima ? Malukah kau, atau takutkah?“

Dan ia hanya diam saja.

Suara itu kembali menggoda.

“Ya, kau takut Ima. Takut pada kenyataan.“

“Dan alangkah tragisnya, kenyataan itu menyakitkan hatimu bukan?“ ejek suara itu
pula.

Ia semakin tersudutkan. Seperti disayat sembilu, ulu hatinya terasa perih. Air matanya
berlinang.

Namun tak urung, ia masih ingin menyanggah, mengatasi suara hatinya dengan
tanggapan yang berbeda.

“Tidak,“ katanya setengah berteriak, “aku tidak apa-apa. Aku bahagia. Aku sudah
berhasil.“

Maka serentak itu wajahnyapun berubah nanar. Kemerahan membauri, kemarahan


menyeliputi.
Diamatinya sekeliling, dilihatnya sekitar. Diingat dan dibayangkannya segala sesuatu.

Rumah besar dengan halaman berumput yang dihiasi kolam renang, taman
pepohonan indah, lengkap dengan kendaraan dan perabotan mutakhir yang di
genderungi manusia modern. Mobil mewah di garasi dengan peralatan elektronikanya
yang menyenangkan. Ac, tv, dvd, stereo tape. Sedang di dalam rumah ada home
teatre, cd, dvd, tv, taperecorder, dan segala macam hiasan interior. Satu stel kursi
sofa, lemari pajangan, lampu kristal, lukisan, sampai permadani Iran, dapur modern
dengan kompor gas dan alat penghisap udara tak sedap, kulkas, mesin cuci, pokoknya
keperluan dan alat rumah tangga yang menyenangkan perempuan.

“Ya,“ katanya pula menguatkan hati, “aku memang sudah berhasil. Bahagia.“

Sekilas wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan. Namun itupun tidak


lama. Suara lain kembali menghuni hatinya.
“Tetapi…………..“

Dan ia seperti merenung-renung. Memikir-mikir lagi.

“Bukankah rumah ini sepi?“ katanya, “tiada tawa dan canda anak? tiada belai kasih
seorang suami, seorang lelaki?“

Maka tanpa tangis dan air mata lagi, dengan kemarahan yang meletup-letup, ia
lempar cermin itu dengan vas bunga plastik yang ada di meja hiasnya. Keras, keras
sekali. Walau tetap dalam keterbatasan tenaganya yang tersisa. Tenaga seorang Ima
Femina yang sudah dilanda ketuaan dan kelemahan. Terganggu psikologisnya oleh
kenyataan yang dihadapi!

(Cuplikan: Cerpen: “Dialog”, dari Kumpulan Cerpen Serial Gender: “Malam Ini Tak
Ada Cinta”, Fatma Elly, Estblitz, 2006)
________________________________________________
IA SEORANG SARJANA. Berhasil dalam kehidupan material finasial. Memiliki
pekejaan dan karir. Fasilitas kehidupan serba mewah diraih dan dimiliki. Aktifis yang
berprinsip bahwa perempuan dan lelaki adalah sejajar. Serba sama. Serba bisa.
Seharkat dan sederajat. Tidak berbeda dan tidak harus dibeda-bedakan dengan lelaki,
yang dianggapnya lebih banyak menindas dan membuat kesengsaraan pada
perempuan ketimbang memberikan kebahagiaan dan kesenangan, dari zaman ke
zaman.

OMONG KOSONG dengan segala kodrat dan fitrah. Termasuk kodrat dirinya
sebagai perempuan, yang harus bertanggung jawab terhadap “tetekbengek” urusan
kerumahtanggaan dan kekeluargaan. Istri dan ibu. Sesuatu yang merenggut kebebasan
yang diperpeganginya selama ini. Apalagi meyangkut dan berkenaan dengan masalah
reproduksi. Yang membuatnya harus hamil, melahirkan, kehilangan sebahagian dari
keindahan dan kemolekan tubuh. Kecantikan diri, dan sebagainya itu. Beban di dalam
dirinya mengejar dan mendapatkan karir sebagai seorang Ima Femina!

MAKA BERKELANALAH ia dalam avonturismenya. Memuaskan dahaga hawa


nafsu. Tidak mau tahu kalau agama telah memperingatkan:

“………………………dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan


menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhya orang-orang yang sesat dari jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(QS 38:26)

Bahkan barangkali ia telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Dan tak
seorangpun dapat menjadi pemelihara atasnya.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS 25:43)

YANG IA INGINKAN adalah kebebasan. Sebagaimana WomenLliberations, atau


Family Structure’s mencontohkan dan mendapatkannya. Kebebasan terhadap apa
saja. Termasuk dalam selera orientasi seksualnya.

IA TAK MAU terganggu oleh adanya anggapan, ketenteraman dan ketenangan


diperoleh melalui pernikahan. Rumah tangga, dan institusi keluarga sebagai satu-
satunya wadah pengesahan terhadap hubungan antara seorang lelaki dan perempuan.
Sebagaimana yang sering didengungkan para pengikut agama. Dan juga seperti apa
yang dinyatakan Al Qur’an:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri


dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS 30:21)

A TIDAK MAU TAHU kalau Tuhan menciptakan manusia, dan segala sesuatu
berpasang-pasangan, agar ketenteraman, keharmonisasian, keserasian dan
kelestariannya bisa berjalan baik.

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang mereka
tidak ketahui.” (QS 36:36)

Ia juga tidak mau tahu, bagaimana Rasulnya SAW. telah menyatakan bahwa
pernikahan/menikah adalah bagian dari sunnahnya. Bahkan contoh teladan Rasul
SAW. dan Nabi lainnya. Tanda dari sebagian amal ibadahnya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan……………………” (QS 13:38)

“Barangsiapa menikah (beristri) maka ia telah melindungi (menguasai) separo


agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang
separonya lagi.” (HR. Al Hakim dan Aththahawi)

IA LEBIH MUAK lagi bilamana dikatakan bahwa pernikahan adalah salah satu
fitrah, di atas fitrah-fitrah kehidupan. Dan tak ada seorangpun yang bisa merubah
fitrah itu. Sebagaimana yang difirmankan Allah:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (QS 30:30)

Ketentuan agama yang lurus, dimana salah satu ajaran-nya mengenai masalah
perempuan, “dianggapnya” telah menyalahi keeksistensian dirinya sebagai manusia
berderajat! Merendahkan dan menghinanya dengan mendudukkannya sebagai
makhluk atau klas; ‘subordinat.

DAN FITRAH AGAMA ITU ditentang dan ditantangnya habis-habisan dengan


prinsip dan pendapat atau pahamnya sendiri, yang sebenarnya, kiblatnya hanyalah
dari paham-paham mereka yang diganderungi. Baik dalam referensi bacaan;
bagaimana di abad sekitar paruh akhir delapan atau sembilan belas, perempuan Barat
begitu gigih memperjuangkan hak-hak dan kebebasannya dari ketidakadilan yang
menimpa. Baik di Amerika, Perancis, Inggeris, Jerman, dan sebagainya itu.

Sehingga ia mencemoohkan dan memasabodohkan saja bilamana ada peringatan


semacam ini:

“Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya, maka hendaklah
kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang
lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS 43:67)

Dan ia tetap berkelana dalam keasyikan hawa nafsu, yang tidak akan pernah
menyampaikannya pada kebenaran, karena hanya berdasarkan asumsi. Praduga
belaka. Bahwa haknya sebagai perempuan, sebagai manusia, telah dinomorduakan.
Tidak disamakan sebagaimana lelaki telah mendapatkannya. Dengan
menempatkannya di dalam rumah pada tugas-tugas dan kewajiban rumah tangga dan
ibu serta istri yang sama sekali menjemukan. Membuatnya merasa tak berharga!
Terkalahkan di bawah duli kaki kaum lelaki!

“Dan kebanyakan mereka mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS 10: 36)

IA PUN SEMAKIN mengumbar hawa nafsu. Tidak mau menikah. Tidak mau
menjadi istri. Tidak mau menjadi ibu! Ia ingin bebas dalam statusnya sebagai seorang
perempuan karir dengan latar belakang pendidikan tinggi, tanpa gangguan suami,
anak atau tugas-tugas keperempuanan lainnya yang menjemukan dan melelahkan,
sambil tetap menyebarkan faham dan pemikirannya itu ke mana-mana.
Bahwa perempuan adalah manusia yang harus menghargai dan menghormati dirinya,
dan bukan sebaliknya, sebagai budak lelaki sebagaimana apa yang pernah dibacanya
dan dikatakan oleh August Bebel; perempuan adalah budak sebelum ada budak,
meski penyimbolan dan penggambaran ini, berada pada saat periode sejarah berada
dalam fase berburu. Atau akibat perendahan yang dilakukan masa kultur Hellenia-
Romawi, sehingga perkataan Romawi “famulus” (keluarga) adalah bermakna budak,
hamba, abdi.

Sedang Plato, mengucapkan terima kasih pada dewa-dewa untuk delapan macam
berkat, antara lain; bahwa ia dilahirkan di dunia sebagai orang merdeka dan tidak
sebagai budak belian. Dan kedua ia dilahirkan sebagai laki-laki, dan tidak sebagai
perempuan.
Dan di Hellenia (Yunani), perempuan disebut sebagai “oikurema” atau ‘benda
pengatur rumah tangga”.

Sementara, bilamana orang laki-laki yahudi bersembahyang di pagi hari, mereka


berucap: “Terpujilah Rabbul alamin, yang telah membuat aku tidak perempuan”. Dan
orang perempuannya berkata: “Terpujilah Tuhan Rabbul alamin, bahwa Ia membuat
aku menurut kehendak-Nya.” ("Sarinah", Ir. Sukarno, 1963)

Dan seterusnya, saat di hampir setiap Negara atau bangsa, perempuan terhinakan,
Islam di abad enam akhir, atau tujuh Masehi, telah memperlihatkan betapa
perempuan dihormati dan diberikan hak-haknya. Baik di bidang pendidikan, sosial,
politik, sastra budaya, dan sebagainya pula. (untuk bukti dalil ayat atau hadist, pernah
penulis terakan di dalam salah tulisan penulis di catatan fb ini).

WAKTU BERJALAN TERUS. Tanpa terasa oleh Ima Femina, tokoh cerpen di atas,
umurnya mencapai empat puluh. Merenggut kepongahan kebodohan dirinya atas apa
yang telah digapai, yang serba material financial itu, di atas realitas fitrah yang berdiri
di hadapannya, dan ia tidak bisa berlari dan menghindar daripadanya!

Ia diserang penyakit! Sementara ia hanya tinggal sendiri di rumah yang besar dan
megah itu, dengan fasilitas kemewahan yang dimiliki, tanpa seorang suami sebagai
pendamping, seorang anak sebagai pelipur, dan keluarga yang bersedia menemani!
Karena jauhnya jarak, dan juga sifat tabiat sombongnya yang kurang disenangi!

PADA TITIK INILAH ia mengalami ketegangan ketakutan. Apalagi bilamana


mengingat kematian itu bakal merenggut nyawanya! Dan bayang kuburan yang
lembab, sempit, kelam , suram, dengan tanah-tanah yang dipenuhi cacing, ular, dan
sebagainya lagi, akan menanti jasadnya untuk dibenamkan di situ!

Dan ia pun semakin dirasuk ketegangan dan ketakutan. Semakin disergap bisikan hati
dan ingatan. Dialog dan jeritan sanubari, suara- suara, oleh sepakterjang tingkah laku
yang telah diperbuatnya!
DAN HANYA CERMIN ITULAH kemudian, yang menjadi sasaran kemarahannya.
Karena pada cermin tersebut, terlihat pantulan dirinya yang sudah tidak lagi muda,
cantik dan menggairahkan seperti dulu, tapi semata-mata seorang perempuan, Ima
Femina, yang layu, lemah dan sakit-sakitan!

Anda mungkin juga menyukai