Anda di halaman 1dari 12

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999

Tentang Jasa Konstruksi


Paling tidak, dunia jasa konstruksi nasional kini mendapat angin segar dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi yang
berhasil digodok oleh DPR serta sejumlah asosiasi terkait seperti Ikatan
Nasional Konsultan Seluruh Indonesia (Inkindo), Gabungan Pelaksana
Konstruksi Nasional Seluruh Indonesia (Gapensi) dan Asosiasi Kontraktor
Indonesia (AKI). Bagaimana tidak UU Jasa Konstruksi (UUJK) tersebut sudah
cukup lama didambakan dan jadi tumpuan harapan para kontraktor dalam
menggantungkan nasibnya. Berdasarkan pengalaman selama ini, usaha jasa
konstruksi nasional hanya diatur berdasarkan Keppres, Peraturan Pemerintah
(PP) atau Peraturan Menteri yang selalu berubah-ubah. Sehingga kondisi
kontraktor nasional selalu menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Padahal
dunia usaha harus berjalan dengan suatu hal yang pasti, perlindungan hukum
yang pasti. Apa yang diharapkan para pelaku usaha sektor jasa konstruksi dari
UU Jasa Konstruksi tersebut? Pertama; kebijakan yang transparan dalam
memberikan kesempatan berusaha secara sehat, terbuka dan sama antara satu
pengusaha yang satu dengan pengusaha lainnya tanpa membedakan
pengusaha tersebut apakah dia anak pejabat, presiden dan sebagainya.
Kedua; adanya penyeimbangan atau keselarasan hak dan kewajiban antara
penyedia jasa dan pengguna jasa. Kalau kita kembali melihat AV-41 atau
suatu kebijakan dalam zaman Belanda yang mengatur mengenai proyek-proyek
pemerintah di zaman Belanda, dalam kebijakannya bila suatu proyek yang
selesai dikerjakan tidak dibayar, maka pelaksana atau pembangun suatu
proyek menurut saja. Bahkan, para kontraktor selalu dalam posisi yang kalah
atau tidak seimbang dalam pengertian penyedia jasa selalu kalah

dibandingkan pengguna jasa. Padahal pada hakekatnya antara pengguna jasa


dan penyedia jasa harus mempunyai kepentingan yang sama. Ketiga; dalam
UU Konstruksi tersebut diharapkan adanya pengaturan mengenai pengawasan
dari masyarakat, mengingat dana terbesar yang digunakan adalah uang
masyarakat luas, terutama pengawasan yang terkait kepada masalah
keselamatan. Keempat; menyangkut kapasitas dari peraturan. Pelaksanaan
proyek sekarang ini sangat diatur oleh pemerintah seperti untuk prakualifikasi.
Padahal, seharusnya hal itu diserahkan kepada suatu lembaga yang dibentuk
untuk menangani administrasi dan registrasi perusahaan maupun perorangan.
Misalnya, Daftar Rekanan Mampu (DRM) yang selama ini diterbitkan
pemerintah. Sedangkan kelimat; menyangkut sanksi, baik berupa denda yang
harus imbal-balik antara pengguna dan penyedia jasa. Artinya, pengguna jasa
dan penyedia jasa terkena sanksi yang sama sehingga bila suatu gedung
roboh, bisa segera diketahui siapa yang harus bertanggung jawab atas
robohnya gedung atau bangunan tersebut, apakah kontraktornya, pengawas
atau pemilik bangunan. Atau bila suatu bangunan yang telah direncanakan
oleh tenaga ahli, kemudian atas permintaan pemilik proyek tiba-tiba diubah
karena biaya konstruksinya terlalu mahal sehingga minta diganti dengan
bahan bangunan lain yang lebih murah, maka bila gedung atau bangunan itu
roboh yang harus dikenakan sanksi adalah pemilik proyek. Masalah ini diatur
secara gamblang dalam UU Jasa Konstruksi tersebut. UU ini menitikberatkan
adanya transparansi kesempatan kerja baik untuk proyek pemerintah maupun
swasta. UU Jasa Konstruksi bukan saja berlaku pada pemerintah dan swasta,
tetapi juga berlaku untuk semua departemen terkait. Dimasa lalu, departemendepartemen dalam merealisasikan anggaran yang disediakannya melakukan
peraturan-peraturan secara sendiri-sendiri dan itu sudah tidak boleh lagi.
Kontraktor dalam negeri menolak adanya anggapan bahwa kemampuan

kontraktor nasional untuk membangun suatu proyek berteknologi tinggi masih


diragukan. Kemampuan para kontraktor kontruksi nasional kita sudah cukup
tinggi. Bahkan dari pengalaman selama ini, usaha jasa konstruksi nasional
tidak pernah menghadapi kesulitan teknologi dalam membangun suatu proyek.
Kalaupun terjadi kesalahan, maka kesalahan itu relatif kecil sekali. Tidak ada
gedung-gedung atau jalan-jalan bebas hambatan (tol) kita yang roboh
dibangun oleh kontraktor nasional. Sebaliknya proyek-proyek yang roboh itu
adalah yang digarap kontraktor asing, contoh kasus robohnya pembangunan
jalan tol Grogol di Jakarta beberapa waktu lalu yang dibangun oleh
kontraktor asal Korea Selatan. Mengenai eskalasi harga dalam proyek yang
selesai dibangun, dalam UU Konstruksi itu juga adanya ketentuan bahwa halhal yang tidak terkait pada kontraktor, misalnya karena adanya perubahan
moneter yang besar, harus diberikan eskalasi harga. Sehingga nanti pada
peraturan pelaksanaannya maupun pada perjanjian kontrak kerja antara
penyedia dan pengguna jasa konstruksi, tercantum secara jelas adanya
eskalasi harga tersebut. Sekarang ini, kalaupun eskalasi tersebut diberikan,
hanyalah dalam bentuk belas kasihan dari pemerintah atau instansi lainnya
karena peraturan mengenai eskalasi itu sendiri tidak ada. Atau, meski eskalasi
harga itu diberikan, tetapi tidak sebesar beban yang harus dipikul. Misalnya,
eskalasi dengan memberikan penggantian hanya sebesar lima persen, padahal
eskalasi itu bisa mencapai 70 persen. Pemerintah akan mengeluarkan
sembilan Peraturan Pemerintah (PP) guna mendukung pelaksanan UUJK,
antara lain PP tentang pembentukan lembaga pengawasan konstruksi dan PP
tentang penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Departemen PU bersama
semua masyarakat konstruksi akan merampungkan PP tersebut selama satu
tahun setelah UUJK disahkan.

STATUS RUU JASA KONSTRUKSI: Sejak diterbitkannya UU No. 18 Tahun 1999


tentang Jasa Konstruksi (UUJK), masyarakat jasa konstruksi di Indonesia telah
memiliki payung hukum dalam pengaturan jasa konstruksi. Tujuannya untuk
memberi arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk menwujudkan
struktur usaha yang kokoh, andal berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas. Disamping itu, untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meingkatkan kepatuhan pada
ketentuan-ketentuanb peraturan perundang-undangan yang berlaku. Juga pengaturan
ini bertujuan untuk mewijudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa
konstruksi. Dalam perjalanannya, UU No. 18 Tahun 1999 produk era reformasi ini
dinilai sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan instrument pengaturan jasa
konstruksi. Terdapat beragam permasalahan yang memerlukan perubahan atas UU
tersebut. DPR-RI mengambil inisiatif dan mencanangkan revisi UU No. 18 Tahun
1999 dan mendaftarkan ke dalam Prolegnas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Prioritas Tahun 2012 dengan judul RUU tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pada perjalanannya, DPR menilai,
dari sisi perancangan peraturan perudnang-udnangan, perubahan UU ini cenderung
kea rah penggantian. Hal ini dengan mempertimbangkan besarnya substansi
perubahan terjadi serta sudah tdiak sesuainya UU Jasa Konstruksi yang lama dengan
tata cara perancangan peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur dalam UU
No. 12 Tahu 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan. DPR
kemudian mengajukan RUU tentang Jasa Konstruksi berdasarkan naskah akademik.
Di dalamnya, terdapat berbagai penilaian atas UU No. 18 Tahun 1999. Salah satunya,
UU No. 18 Tahun 1999 belum menyentuh kenyataan bahwa jenis pekerjaan atau
suaha jasa konstruksi bukan hanya perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan,
tetapi sudah berkembang berdasarkan product life cycle. Hal ini bukan hanya
sekedar konsep tetapi sudah menjadi realitas dari pasar konstruksi. Di samping itu,
terdapat penilaian bahwa prosedur registrasi, sertifikasi ataupun lisensi yang mulai

banyak dipertanyakan fungsinya perlu ditata kembali. Lemahnya daya saing jasa
konstruksi Indoensia. ASMET tidak compatible dengan standar intrnasional.
Sertifiaksi belum menjadi quality assurance baik tenaga ahli maupun badan usaha.
Intinya, ada penilaian bahwa masih terdapat permasalahan baik disisi pembangunan,
kelembagaan,

pengaturan

maupun

pengawasan

dan

penegakan

hukum.

PEMBAHASAN PRAKARSA DPR: Pada 19 Januari 2012, Komisi V DPR RI


mengundang Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Badan
Arbitration Nasional Indonesia (BANI), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk rapat dengar pendapat
(RDP) di gedung DPR. Pimpinan RDP adalah Wakil Ketua Komisi V DPR RI
Mulyadi. Di samping Mulyadi (Wakil Ketua), para anggota Komisi V memiliki telah
memberikan perhatian dan opini di media massa tentang Revisi UU Jasa Konstruksi
ini adalah Rendy Lamajido (Anggota), Ali Wongso (Anggota) dan Muhidin M Said
(Wakil Ketua). Pada 10 April 2012 di Jakarta Dewan Pimpinan Nasional Ikatan
Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (DPN INTAKINDO) telah mengadakan
diskusi di Jakarta Design Centre (JDC), Jakarta, dengan thema: pengurus/pimpinan
Hadir pada diskusi di samping pengurus INTAKINDO, juga pengurus asosiasiasosiasi profesi terkait dengan jasa konstruksi. Bertindak sebagai narasumber diskusi
yang dimoderatori M. Singgih (INTAKINDO) adalah Nursiwan (Anggota Komisi V
DP) dan DR. Ismet Abidin (Akademisi Fakultas Teknik Universitas Indonesia). Ada
10 perwakilan asosiasi profesi jasa kostruksi yang hadir dalam diskusi Adapun
Peserta Diskusi terlampir. Para peserta disksusi juga tidak difasilitasi instrumen
diskusi berupa Paper Akademik dan Konsep RUU Jasa Konstruksi, kecuali copy UU
No, 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan paper pengantar diskusi mengandung
issue-issue aktual terkait prakarsa revisi RUU jasa Konstruksi. Diskusi INTAKINDO
ini didasari kerangka berpikir bahwa asosiasi-asosisai profesi jasa konstruksi
bagaimana pun memiliki kepentingan atas prakarsa revisi UU Jasa Konstruksi ini,
terutama bidang penerbitan sertifikasi kompetensi profesi jasa konstruksi. Agar
kepentingan asosiasi profesi jasa konstruksi dapat dimuat atau ditampung di dalam

penyusunan RUU Jasa Konstruksi, maka perlu dilaksanakan kegiatan diskusi


pertama-tama bertujuan memperluas pengetahuan dan wawasan pengurus dan
anggota asosiasi profesi tentang masalah-masalah jasa konstruksi dalam era
globalisasi dan pasar bebas. Selanjutnya, kerangaka berpikir diskusi menganggap,
pengurus asosiasi profesi perlu menyamakan persepsi tentang perlunya revisi UU
Jasa Konstruksi dilaksanakan, yang memihak terhadap kepentingan assosiasi profesi
sebagai komponen masyarakat madani yang berposisi otonom dan mandiri khususnya
dalam penerbitan sertifikasi kompetensi profesi, dan berdasarkan penegakan prinsipprinsip Good Corporate Governance (GCD) dalam suatu tatanan demokrasi. Setelah
memiliki persepsi yang sama, diharapkan dapat tercipta sinerjitas di kalangan
assosiasi profesi sebagai stakeholder dalam memberi masukan kepada DPR dalam
penyusunan UU Jasa Konstruksi, sesuai kepentingan asosiasi profesi dalam
peningkatan kompetensi bidang konstruksi. Pada awal 2013 dalam rangka menerima
masukan terkait RUU Perubahan atas UU tersebut, sejumlah anggota Komisi V DPR
RI melakukan kunjungan spesifik ke beberapa Provinsi, antara lain: Kalimantan
Timur (25-26 Februari 2013) Bali dan Sumatera Barat (21 Februari 2012). Sementara
itu, INTAKINDO kembali membuat acara diskusi dalam bentuk Diskusi Panel
Menguak Rancangan Undang-undang Jasa Konstruksi 2013 Di Hotel Atlet Century,
Jakarta, 18 April 2013. Salah seorang Panelis adalah Ir. Mulyadi, Wakil Ketua Komisi
V DPR-RI dan Ketua Panja RUU Jasa Konstruksi 2013. Diskusi ini dihadiri oleh
kalangan stakeholder konstruksi baik pemerintahan maupun non pemerintahan,
termasuk kalangan akademisi. Dihadiri sekitar 200 peserta. Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonsia (DPD-RI) juga membahas Prakarsa DPR ini. Berbagai
nara sumber dari stakeholder jasa konstruksi diminta untuk menyampaikan
pandangan dan pendapat terhadap RUU Jasa Konstruksi dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU) Komite II DPD-RI. RDPU ini dalam rangka pembahasan
pandangan dan pendapat DPD-RI terhadap RUU Jasa Konstruksi yang akan
disampaikan kepada DPR-RI. INTAKINDO termasuk stakeholder jasa konstruksi
yang diminta untuk memberi pendapat dan pandangan dimaksud. Berdasarkan

pembahasan prakarsa DPR tentang RUU Jasa Konstruksi ini, dapat diidentifikasi
sejumlah issue utama atau permasalahan yang muncul. Berikut ini akan diuraikan
beberapa diantaranya. ISSUE UTAMA/PERMASALAHAN: 1.Arah pertumbuhan
dan perkembangan jasa konstruksi belum jelas dan belum dilengkapi dengan
perangkat evaluasi yang terstruktur. Tujuan pengaturan penyelenggaraan konstruksi
agar pelaku konstruksi memiliki kapasitas kompetensi dan daya saing, proses
konstruksi efisien, produktif, kreatif inovatif dan berkeadilan serta hasil konstruksi
berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan. 2.Pasal 36 dan 37 masalah penyelesaian
sengketa jasa konstruksi. Pemerintah harus lebih serius memasukkan masalah
sengketa jasa konstruksi ini mengingat semakin banyaknya kasus yang berkembang
di bidang jasa konstruksi. 3.Masalah sertifikasi profesi adalah adanya kesenjangan
antara kualitas yang dimiliki tenaga kerja/SDM dengan yang dibutuhkan oleh dunia
usaha/industri. Kasus kegagalan konstruksi hendaknya menjadi pelajaran berharga
dan agar dapat dimasukkan dalam RUU ini. 4.Sertifikasi menjadi issu utama,
prosesnya masih beragam, dan belum menjadi quality assurance dalam perwujudan
struktur usaha yang diharapkan. Jenis pekerjaan (Arsitektur, Sipil, Mekanikal,
Elektikal, dan Tata Lingkungan/ASMET) tidak kompatibel dengan lapangan usaha
nasional maupun internasional. 5.Belum ada standar kontrak yang menjamin
kesetaraan pengguna jasa dan penyedia jasa. 6.Dana pembinaan dan pengembangan
jasa konstruksi masih menjadi kendala. 7.Peran pemerintah dalam tata kelola jasa
konstruksi masih menghadapi hambatan, misalnya mengawasi proyek-proyek non
APBN/APBD. 8.Ketatalembagaan LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi)
juga belum mencerminkan tugas pengembangan jasa konstruksi. Forum masyarakat
jasa konstruksi belum efektif. Pengembangan jasa konstruksi masih memerlukan
kepemimpinan pemerintah. Serta, norma pengadaan jasa konstruksi kaku dan sempit,
sehingga tidak realistis bagi penyelenggara konstruksi swasta. 9.Adanya perubahan
kebijakan nasional (regulasi) yang terkait jasa konstruksi (UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas) serta
implentasi liberalisasi perdagangan jasa konstruksi (impor maupun ekspor).

10.Kualitas pengaturan dan UU Jasa Konstruksi yang kurang memadai, serta


pengaturan dalam UU tersebut tidak mampu lagi merespon perkembangan yang
terjadi. Oleh karena itu, ada perlu ada sejumlah substansi usulan, di antaranya
mengenai rekonstruksi paradigma, restrukturisasi lingkup pengaturan, redefinisi jasa
konstruksi, fleksibilitas pengaturan transaksi jasa konstruksi, hingga persoalan
penegasan pembiayaan pengembangan jasa konstruksi. 11.Pengaturan sertifikasi yang
selama ini melalui asosiasi akan diatur dengan menggunakan badan sertifikasi
independen yang berakreditas. 12.Adanya dua Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nasional yakni yang dikukuhkan oleh Menteri PU dan lembaga hasil
Musyawarah Nasional. Kedua lembaga tersebut sama-sama merasa telah sejalan
dengan UU Jasa Konstruksi. 13.Persoalan sertifikasi yang selama ini diserahkan
melalui asosiasi ke depan menggunakan badan sertifikasi independen yang
berakreditas. Para ahli harus dilibatkan dalam masalah sertifikasi ini sehingga
sertifikat tidak sekadar keluar tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan.
14.Rencana revisi UUJK telah menghancurkan produk perundang-undangan hasil
dari reformasi. Pasalnya, ada beberapa agenda tersembunyi untuk merubah dan
menghambat kebebasan berusaha bagi di bidang jasa konstruksi, yang telah berjalan
cukup baik saat ini. ada agenda tersembunyi dalam melakukan revisi UUJK,
diantaranya ada ketidak puasan dari beberapa pihak regulator dari hasil penilaian
sertifikasi jasa kontruksi yang telah dilakukan oleh pihak masyrakat konsytruksi
sendiri di luar pemerintah. 15.Ruang lingkup pengaturan jasa konstruksi di dalam
revisi UU Jasa tidak hanya terkait proyek pemerintah tetapi juga BUMN dan swasta.
Pengaturan tersebut, nantinya akan terkait standarisasi mulai dari proses perencanaan
hingga

pelaksanaan

asosiasi/organisasi

dan

profesi

pemeliharaan.
jasa

konstruksi

16.Apa
sebagai

yang

bisa

kelompok

dilakukan
kepentingan

(stakeholders) agar dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan RUU Jasa


Konstruksi prakarsa DPR ini? Dengan perkataan lain, pemikiran dan konsepsi
filosofis, sosiologi dan teknis legal apa yang bisa diberikan asosiasi profesi jasa
konstruksi agar nantinya UU Jasa Konstruksi benar-benar melindungi kepentingan

profesi jasa konstruksi, termasuk bidang sertifikasi kompetensi? 17.Penguatan fungsi


dan peran Lembaga Pembinaan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) lebih penting
dibandingkan dengan membentuk badan baru untuk akreditasi. 18.Antara pemakai
dan penyedia jasa konstruksi sering timbul konflik. Kalau terjadi kesalahan, yang
bertanggung jawab tidak ada. UU yang lama (UU No 18/1999) itu tidak sampai
mengatur ke situ. Ketidakjelasan pengaturan dan pertanggungjawaban konstruksi
ini, sering menjadi konflik hingga ke ranah hukum. 19.Materi tata lingkungan dalam
draf RUU Jasa Konstruksi itu perlu penegasan. Pasalnya, sebut cukup banyak para
developer dan pemerintah daerah menge-luarkan izin prinsip untuk pembangunan
di daerah rawan bencana, seperti di tepi aliran sungai, daerah rawan banjir dan
rawan longsor. Banyak warga mengeluh rumahnya banjir, padahal yang bangun
develover. Sebenarnya itu tanggung jawab siapa? 20.Penolakan pembentukan Badan
Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi, satu lembaga baru yang diatur dalam
produk legislasi. Masyarakat konstruksi akan menolak badan baru ini karena banyak
sekali kepentingan oknum dalam proses sertifikasi terutama masalah dana. Masalah
kewenangan sertifikasi yaitu tetap diberikan kepada lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi Nasional (LPJKN). Pembentukan badan baru tidak sesuai dengan
semangat revisi UU no.18/1999 yang ingin membenahi LPJK sehingga dapat
bersaing di pentas global. LPJK telah tumbuh menjadi lembaga yang mandiri karena
kewenangan mengeluarkan sertifikasi. Apabila itu dicabut bagaimana 4 tugas lain
yaitu pendidikan, pelatihan, pengembangan dan penelitian dapat dilaksanakan karena
sejauh ini tidak ada dukungan anggaran dari pemerintah. 21.Masalah lain yang belum
diatur dalam UU yang lama diantaranya lemahnya daya saing pelaku usaha
konstruksi nasional sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan jasa konstruksi dan
bidang usaha berbasis ASMET (Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal dan Tata
Lingkungan. 22.Perlu menambahkan pasal tentang pengaturan tenaga ahli dan tenaga
terampil, karena hingga saat ini upah tenaga ahli dan tenaga terampil untuk jasa
konsultan belum memiliki batasan. 23.Hasil penelusuran pada kasus runtuhnya
jembatan Kartanegara dan rapat-rapat di tingkat komisi, ditemukan bias dalam UU

Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi UU Jasa Konstruksi yang sekarang
belum tegas menjelaskan bagaimana tanggung jawab tenaga ahli kalau kesalahannya
sudah dimulai sejak perencaan. Kemudian bagaimana pula tanggung jawab
perusahaan, apakah semua dilimpahkan kepada tenaga ahli dan begitu pula
pemerintah sebagai pembina. hal ini harus diatur secara jelas dan tegas, agar saat
terjadi suatu peristiwa kegagalan konstuksi atau bangunan semua yang terkait tidak
lempar `handuk` atau lari dari tanggung jawab. 24.Sebenarnya UU No.18 Tahun 1999
sudah mengakomodir secara universal kepentingan jasa konstruksi nasional yang
sudah mensetarakan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa, hanya diperlukan
peraturan pemerintah yang mengatur aspek-aspek khusus. RUU tentang Jasa
Kosntruksi yang diinisiatif oleh DPR RI ini bukan revisi dari UU Nomor 18 tahun
1999 tapi merupakan produk undang-undang baru yang judulnya jasa konstruksi
sedangkan terminologi/ruang lingkup jasa konstruksi berubah dan paling dominan
adalah hilangnya peran masyarakat didalam rancangan undang-undang yang baru
tersebut yang isinya bukan jasa konstruksi tetapi sektor konstruksi. 25.Sesungguhnya
bidang jasa konstruksi sudah ada UU yang mengaturnya yakni UU No. 18 Tahun
1999. Yang belum ada pengaturan adalah bidang konstruksi. Prakarsa DPR ini mau
mengatur jasa konstruksi atau konstruksi? Apakah UU yang ada sudah dilaksanakan
dengan baik denhingga perlu diubah? Jangan hanya karena permasalahan sertifikasi
UU Jasa Konstruksi diubah, Perlu dievaluasi motivasi Prakarsa DPR ini. 26.Pasal 58
Ayat (1) RUU Jasa Konstruksi berbunyi, Pelaksanaan peran masyarakat jasa
konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga
pengembangan yang independen. Lembaga ini apakah diperlukan? Apa pengertian
independen, patuh pada peraturan perundang-undangan atau tidak ada intervensi atau
keterlibatan negara? 27.Pasal 61, Ayat (1) RUU Jasa Konstruksi berbunyi,
Penyelenggaran sertifiaksi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang
jasa konstrjksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi
Nasional yang dibentuk oleh pemerintah. Selanjutnya, Pasal 64 Ayat (1) butir a
berbunyi, Tugas wewenang Bdan Akrediatsi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional

meliputi: (a) melakukan akreditasi asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi. Suatu
pertanyaan pokok dalam hal ini adalah: apakah asosiasi setelah mendapat akreditasi
dari Badan tersebut memiliki wewenang untuk melaksanakan sertifikasi sendiri
terhadap anggota-anggotanya? (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

LPJK
Dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahunnya yang ke-10, Lembaga Pengembangan
Jasa Konstruksi mengadakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menggalang
kebersamaan seluruh unsur masyarakat jasa konstruksi.
Dengan mengangkat tema Selamatkan Jasa Konstruksi Indonesia; Di Era
Liberalisasi Jasa Dengan Keberpihakan Seluruh Komponen Bangsa Kepada Penyedia
Jasa Konstruksi Nasional, peringatan HUT LPJK Ke-10 ini dimaksudkan untuk
merefleksikan perjalanan LPJK selama rentang waktu 10 tahun berdirinya, yakni
sejak tahun 1999 hingga 2009.
Dalam kaitannya dengan itu, diselenggarakan 4 buah seminar yang diharapkan dapat
menjadi ajang yang sarat dengan makna dan manfaat bagi dunia jasa konstruksi
nasional. Seminar pertama dan kedua, membahas tentang perjalanan dan evaluasi
sepuluh tahun UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi yang menjadi dasar atas
segala upaya pengembangan sektor jasa konstruksi di Indonesia, serta yang
mengamanatkan berdirinya LPJK sebagai lembaga yang mengemban tugas untuk
mengembangkan jasa konstruksi di tanah air. Sementara seminar ketiga dan keempat,
adalah tentang upaya memetakan pasar jasa konstruksi nasional, serta pembahasan
tentang pengembangan teknologi konstruksi terbaru saat ini.
Kegiatan lainnya, adalah pemberian LPJK Award bagi LPJK Daerah, Asosiasi
Perusahaan Jasa Konstruksi, Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi serta Lembaga

Pendidikan dan Pelatihan Jasa Konstruksi. Pemberian Award ini, dilakukan setelah
seluruh LPJKD, Asosiasi maupun Lembaga Diklat dinilai berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu yang ditetapkan oleh panitia. Ajang LPJK Award ini, digulirkan untuk
memperebutkan Piala Bergilir dari Menteri Pekerjaan Umum dan Piala Ketua Umum
LPJK Nasional.
Demikian halnya pemberian penghargaan bagi tokoh-tokoh yang dianggap paling
berjasa dalam proses lahirnya UU No 18/1999 serta pembentukan Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sepuluh tahun silam, tepatnya pada tanggal 9
Agustus 1999. Untuk menggalang kebersamaan, juga diadakan kegiatan gerak jalan
dan sepeda sehat, yang dipusatkan di Monumen Nasional, Jakarta Pusat, yang diikuti
oleh seluruh stake holder LPJK, termasuk pihak pemerintah, asosiasi, badan
pelaksana LPJK, lembaga diklat dan sebagainya. Tak lupa, digelar pula pertandingan
3 cabang olah raga, yakni Badminton, Tenis Meja dan Futsal.
Dan kegiatan yang paling berdimensi sosial adalah gerakan Penanaman Sejuta Pohon
yang berlokasi di 33 Provinsi di Indonesia. Kegiatan penanaman sejuta pohon ini
dilaksanakan oleh LPJK Nasional dan seluruh LPJK Daerah yang tersebar di seluruh
tanah air.

Anda mungkin juga menyukai