Anda di halaman 1dari 17

LIKUIFAKSI BATUBARA

DENGAN SOLVENT REFINED COAL (SRC)

DISUSUN OLEH
Kelompok : 4
Ariyo Dwisaputra

061330401008

M. Bahrul Ulumuddin

061330401012

Rifqi Munip

061330401022
Kelas : 5 KD

Dosen Pembimbing : Ir. Fadarina, M.T.

JURUSAN TEKNIK KIMIA


POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
PALEMBANG
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan Makalah Pemanfaatan Batubara yang berjudul Likuifaksi
Batubara dengan Solvent Refined Coal (SRC)
Dalam makalah ini dibahas mengenai pengertian likuifaksi serta proses
SRC. Hal tersebut dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/i mengenai
likuifaksi terutama.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ir. Fadarina, M.T. selaku
dosen mata kuliah Pemanfaatan Batubara yang telah membantu dan memberikan
tugas mengenai makalah ini sehingga pengetahuan kami semakin bertambah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
dengan senang hati kami senantiasa menerima kritik maupun saran yang bersifat
membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Terima kasih.

Palembang, November 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Potensi industri pengolahan batubara cair dalah suatu kenyataan bahwa,


cadangan sumber daya energi di Indonesia saat ini sudah semakin terbatas.
Sebagai gambaran, Indonesia saat ini hanya memiliki 4.300 juta ton cadangan
minyak atau hanya sekitar 0,36% dari total cadangan minyak dunia tahun 2006
sebesar 1.208.200 juta ton. Dengan tingkat produksi sebesar 390 juta ton per
tahun, produksi minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya dapat bertahan
dalam 11 tahun ke depan.
Sementara itu, gas alam yang juga merupakan salah satu sumber energi
utama di Indonesia hanya memiliki cadangan yang ekuivalen dengan masa
produksi selama 35,54 tahun. Demikian pula batubara, Indonesia saat ini hanya
memiliki cadangan yang relatif terbatas, yaitu sebesar 4.968 juta ton atau 0,55%
dari total cadangan batubara dunia. Dengan tingkat produksi mencapai 120 juta
ton per tahun, diperkirakan batubara di Indonesia dapat diproduksi selama 41,43
tahun.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan
di bidang pengembangan sumber energi alternatif pada awal tahun 2006.
Kebijakan tersebut tertuang dalam 3 ketentuan, yaitu Perpres Nomor 5 Tahun
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Perpres No 1/2006 tentang Bahan Bakar
Nabati, dan Inpres No 2/2006 tentang batu bara yang dicairkan sebagai bahan
bakar lain. Dengan kebijakan tersebut, Pemerintah ingin mendorong peran dunia
usaha dalam pengembangan bahan bakar alternatif sebagai substitusi terhadap
bahan bakar minyak. Salah satu yang diinginkan oleh Pemerintah adalah
pengembangan batu bara cair.

Penelitian dan Pengembangan Batu Bara Cair


Sebagai alternatif untuk menggantikan energi minyak bumi, saat ini telah
dikembangkan teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir
setara dengan output minyak bumi. Pengembangan produksi bahan bakar sintetis
berbasis batu bara pertama kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan
menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang dikembangkan Franz Fisher
dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis
Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk memproduksi
bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif
pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974
sebagai pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Pada 1983, NEDO (The New Energy Development Organization),
organisasi yang memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk
menghasilkan energi baru juga berhasil mengembangkan suatu teknologi
pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses, yaitu solvolysis
system, solvent extraction system dan direct hydrogenation to liquefy bituminous
coal.
Selanjutnya ketiga proses tersebut terintegrasi dalam proses NEDOL
(NEDO Liquefaction), suatu proses pencairan batubara yang dikembangkan oleh
NEDO, dengan tujuan untuk mendapatkan hasil pencairan yang lebih tinggi.
Seiring dengan berjalannya waktu, Peneliti NEDO mengidentifikasi bahwa
cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan
setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous
coal dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh
kandungan air. Peneliti Jepang kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk
menjawab tantangan ini agar kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu
dengan mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna
secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah
lingkungan. Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan nama Brown
Coal Liquefaction Technology (BCL).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Klasifikasi Likuifaksi
Likuifaksi adalah proses pengubahan batubara padat menjadi bahan bakar
cair dengan bantuan panas dan penambahan zat kimia tertentu. Cairan yang
terbentuk tersebut selanjutnya difraksionasi/dikilang untuk menghasilkan berbagai
macam bahan bakar cair seperti bensin, solar, minyak tanah dan lain-lain.
Teknologi ini sudah lama di kuasai negara maju seperti Jerman, Inggris, Amerika
Serikat, Australia dan Jepang. Penguasaan negara Jerman yang baik terhadap
teknologi inilah yang merupakan salah satu faktor yang mendukung kemenangan
Jerman dalam Perang dunia I. Teknologi ini juga secara intensif sedang dikaji oleh
peneliti-peneliti BPPT dan PPTM untuk diterapkan secara komersial.
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect
Liquefaction Process dan Direct Liquefaction Process.
1. Indirect Liquefaction Process
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas
terlebih dahulu untuk kemudian membentuk Syngas (campuran gas CO dan H2).
Syngas kemudian dikondensasikan oleh katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk
menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas tinggi.

Gambar 1. Dua Konfigurasi Proses Dasar untuk Produksi Bahan Bakar Cair
dengan Indirect Liquefaction Process

2. Direct Liquefaction Process


Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara,
kemudian slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut.
Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-sama dengan
hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry kemudian diberi tekanan
100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai
400-480C.
Secara kimiawi proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari
kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Atau dengan kata lain,
batubara terkonversi menjadi liquid melalui pemutusan ikatan C-C dan
C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic
cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O.
Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara
dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah
dipotong, masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi
bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung
dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi) membentuk material
dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya pengikat atau stabilisator,
biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat melalui tiga cara yaitu:
transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh hidrogen, rearrangement
terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis yang
dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).
Proses Direct yang sering dilakukan secara komersil yaitu :
1. Solvent Extraction
Proses ini merupakan proses pencampuran batubara dengan solvent yang
mampu mentransfer hidrogen dari solvent batubara pada suhu di atas 500oC dan
tekanan di atas 5000 psi. Ada tiga konfigurasi yang dapat dilakukan pada proses
ini yaitu:
a.

ekstraksi tanpa adanya hidrogen dengan solvent hasil recycle yang telah
dihidrogenasi pada proses yang terpisah.

b.

ekstraksi dengan adanya hidrogen dengan solvent hasil recycle yang telah
dihidrogenasi.

c.

ekstraksi dengan adanya hidrogen dengan solvent hasil recycle tanpa


adanya hidrogenasi.

Contoh proses komersil dari ekstraksi solvent ini yaitu:


a. Consol Sycthetic Process (CSF) Process
Proses ini yaitu mengubah batubara yang mengandung sulfur tinggi
menjadi produk padat dan synthetic crude oil dengan mengekstraksi
batubara

menggunakan

coal

derived

process.

Pecahan

batubara

dikeringkan dan dipanaskan sampai suhu 230oC dan dicampur dengan


solvent. Reaktor berupa reaktor stirred tank dan di reaktor terjadi ekstraksi
pada suhu 405oC dan tekanan 105-400 psi. Produk ringan dan padatan
dipisahkan di hydrocyclone yang tersusun secara seri. Padatan dibuat
slurry kemudian dimasukkan ke reaktor karbonisasi yang berupa sistem
fluidized bed untuk diambil produk ringan. Solvent yang digunakan
diambil dari produk liquid.
b. SRC (Solvent Refined Coal) Process
Proses ini terbagi menjadi 2 yaitu SRC I dan SRC II. Pada SRC ini,
produksi batubara yang dihasilkan yaitu bahan bakar padat dengan
kandungan abu rendah. Sedangkan pada SRC II, dihasilkan produk cair
dengan menggunakan slurry hasil recycle. Pecahan batubara dicampur
dengan solvent kemudian dicampur dengan hidrogen dan dipanaskan pada
suhu 300-370oC dan dimasukkan ke reaktor dengan suhu operasi
450-465o C. Solvent akan terdekomposisi di reaktor menghasilkan metana.
Hot effluent di reaktor dipisahkan pada high pressure separator yang
disusun seri untuk memisahkan gas dan produk light hidrokarbon.
2.2 SRC (Solvent Refined Coal)
SRC (Solvent Refined Coal) merupakan contoh dari proses likuifaksi
batubara secara langsung menggunakan pelarut. Pencairan langsung ini merujuk
pada proses dimana batubara secara langsung dikonversi menjadi bahan bakar cair

pada temperatur dan tekanan tinggi di dalam media pelarut baik dengan katalitik
maupun tanpa katalitik. Proses ini melibatkan pemutusan ikatan-ikatan kimia
secara termal yang menghasilkan radikal-radikal batubara dan penstabilan radikal
tersebut melalui penangkapan hidrogen sehingga terbentuk molekul-molekul yang
lebih kecil dan stabil yang larut dalam fase cair. Katalis dan pelarut sangat
menentukan proses pencairan batubara, sehingga untuk pengembangan proses
pencairan yang efisien dapat ditempuh melalui penelitian dan pengembangan dari
kedua sisi tersebut. Kunci penting dalam pencairan yang efisien adalah harus
tercapai adanya transfer hidrogen yang baik ke dalam struktur molekul batubara.
SRC ini merupakan contoh dari proses nonkatalitik hidrogenasi.

Likuifaksi

dengan SRC ini terdiri atas 2 proses, yaitu SRC-I process dan SRC-II process.
a. SRC-I Process
Didaerah

persiapan

batubara,

bahan

baku

batubara

yang

telah

diterima,dihancurkan dan kemudian disimpan dalam Bin. Batubara yang


berukuran besar dilumatkan dan dicampur dengan pelarut hidrokarbon yang
mempunyai titik didih antara 550-800F (290-430C). Pada awalnya,campuran
petroleum yang berasal dari persediaan umpan karbon hitam dan distilat tar
batubara digunakan sebagai pelarut awal. Pada akhirnya , batubara yang dicairkan
menggantikan campuran awal

sebagai pelarut proses. Rasio pelarut batubara

bervariasi mulai dari yang terendah 2: 1 dan tertinggi 4:1.


Hasil pelarutan batubara yang berupa slurry dipompakan dari

area

persiapan batubara menuju Preheater. Hidrogen atau sintesis gas dan air
ditambahkan ke slurry sebagai umpan masuk preheater. Slurry dan hidrogen
dipompakan melalui natural gas preheater menuju reaktor. Sisanya bahan yang
tidak larut terdiri dari mineral inorganik dan batubara yang tidak larut. Preheater
di disain untuk beroperasi antara 775 dan 925F (413 dan 496C) pada tekanan
dari 500 sampai 2000 psi (3 Mpa). Sekarang suhu operasi sekitar 850F (454C).
Exess hidrokarbon dan gas hidrogen sulfida,karbon monosida,karbon
dioksida,methane dan gas hidrokarbon ringan,produk yang dihasilkan dari reaksi
di pisahkan dari slurry. Hidrogen sulfide dan carbon dioxide (asam stretford)
dihilangkan menggunakan sistem penyerap diethanolamine (DEA). Sebuah

stretford unit pemulihan belerang ini kemudian digunakan untuk mengubah


hidrogen sulfida menjadi unsur belerang. Aliran gas hidrokarbon dan hidrogen
bersih yang berasal dari DEA absorber,sebagian adalah gas buang dan sebagian
lagi digunakan kembali dalam proses. Hidrogen segar ditambahkan ke aliran
recycle untuk mempertahankan tekanan parsial hidrogen dalam sirkulasi gas.

Gambar 2. Flowshet SRC-I Process


Slurry dari separator gas-cair menuju pemisahan mineral dimana padatan
akan dipisahkan dari larutan batubara menggunakan penyaring putar bertekanan.
Saringan ini terdiri dari drum berputar didalam vesel bertekanan. Tanah diatom
digunakan sebagai bantuan penyaringan dengan pelarut proses sebagai precoat
slurry medium. Gas iner panas bersirkulai melalui penyaringan dan

filtrat

receivers berfungsi untuk mempertahankan tekanan penyaringan pada 150 psi (1


Mpa) dan suhu pada 350-650F (180-340C). Proses ini juga menggunakan
pelarut pemisah abu di tempat filtrasi.
Filter cake yang terdiri dari padatan yang tidak larut dan tanah diatom di
keringkan secara

tidak langsung, menggunakan gas alam,tanur putar. Poses

pengeringan ini menghilangkan pelarut pencuci,yang dipompakan ke area solvent


recovery untuk fraksinasi. Residu mineral yang kering dari pengeringan
didinginkan menggunakan air dan disimpan dalam silo.
Larutan batubara yang tersaring pergi menuju solvent recovery untuk
menghilangkan pelarut menggunakan distilasi vakum. Bagian atas vaccum flash
overhead adalah fraksi minyak ringan,fraksi pelarut pencuci dan pelarut prosess
untuk di recycle ke campuran slurry di sistem persiapan batubara.
Aliran bawah pada distilasi vakum adalah prinsip produk dari proses SRC1,aliran ini adalah Solvent-refined coal dan mungkin dipadatkan menggunakan
pendingin air,pendingin stainless steel atau prilling tower,produk padatan dkirim
ke penyimpanan produk.
Pada proses SRC-1 melibatkan reaksi yang kebanyakan dari batubara dalam donor
pelarut yang berasal dari proses, memisahkan padatan batubara tidak
larut,mendapatkan pelarut proses asli

dari distilasi dan merecovery padatan

batubara mudah larut sebagai batubara rendah abu,rendah sulfur,rapuh,bahan


kristalin hitam dengan mengilap permukaan retak, dikenal sebagai Solvent-refined
coal. Proses pelarut SRC-II dan Hydrocracks batubara ke dalam cairan dan gas
produk .Proses ini tidak memerlukan penyaringan atau pelarut de-ashing yang
digunakan dalam src-i untuk pemisahan padatan-cairan. Sebuah distilat (rendah
abu) bahan bakar minyak diproduksi secara subtansial mengandung sedikit
belerang dari padatan solvent refined coal. Saat ini proses SRC-II merupakan
modifikasi dari model SRC-I proses.
b. SRC-II Proces
SRC-II adalah proses pencairan batubara di mana batubara dicampur dengan
slurry yang direcycle dan hydrocracked untuk membentuk produk cair dan gas.
Produk utama dari proses SRC-II adalah bahan bakar distilat minyak .
Diagram aliran SRC-II proses desaignnya ditunjukkan dalam gambar 3. Di
daerah persiapan batubara, batubara dihaluskan, dikeringkan, dan dicampur
dengan recycle slurry solvemt panas, dari proses. Campuran recycle slurry

batubara dan hidrogen dipompa dengan cara ditembakkan dari preheater menuju
reaktor hydrocracking

Gambar 3 . Diagram Blok SRC-II Process


Suhu di outlet dari preheater adalah sekitar 700-750 F (370-400).
Sementara di preheater, batubara mulai larut dalam pelarut slurry recycle. Panas
yang dihasilkan oleh suhu reaktor berkisar 820-870 F (440-470 C). Hidrogen
dingin digunakan sebagai pendingin untuk mengontrol suhu dalam reaktor .
Bahan meninggalkan reaktor menuju pemisah panas, bertekanan tinggi.
Aliran panas overhead uap dari pemisah akan didinginkan untuk meghasilkan uap
air yang akan dipisahkan oleh condenser. Cairan kondensat dari pemisah ini
adalah fraksinya. Gas yang tidak terkondensasi, terdiri dari sedikit hidrogen,
metana dan hidrokarbon ringan dan gas asam, yang digunakan untuk menghapus
hidrogen sulfida dan karbon dioksida. Sebagian dari gas lolos dari nafta absorber
digunakan untuk menghilangkan sebagian besar methane dan hidrokarbon ringan
lainnya (154). Kelebihan gas dikirim ke sistem suar. Recover hidrogen digunakan
sebagai hidrogen tambahan untuk feed ( umpan ) pada proses.

Distilat baku dari sistem pemisahan uap-cair di pisahkan pada tekanan


atmosfer. Aliran nafta overhead dan aliran bottmos dipisahkan dalam fractionator
ini. Slurry yang lebih berat pada separator tekanan tinggi menuju ke tekanan yang
lebih rendah di mana ia terbagi menjadi dua aliran utama. Satu aliran terdiri
pelarut recycle untuk proses tersebut. Bahan bakar minyak dipisahkan dari aliran
lain dalam sebuah vakum flash tower. Produk BBM utama dari proses SRC-II
adalah campuran dari bottmons aliran atmosfer dan overhead lampu vacum flash
tower.
Dalam pilot plant, bagian dasar menara vakum biasanya dikemas dalam
drum dan juga disimpan di tempat atau dibuang offsite. Namun, di sebuah pabrik
komersial, bagian dasar menara vakum, yang terdiri dari semua residu mineral
yang tidak larut dan bagian residu vakum dari batubara terlarut, dapat digunakan
dalam gasifier oksigen-blown untuk membentuk gas sintesis. Gas sintesis dapat
dikonversi menjadi hidrogen dan karbon dioksida menggunakan shift converter.
Gas produk ini maka akan menjalani langkah removal gas asam untuk membuang
karbon dioksida dan hidrogen sulfida. Hidrogen dari langkah shift converter akan
terdiri dari sumber utama untuk kebutuhan hidrogen dari proses. Setiap sintesis
gas berlebih yang diproduksi di gasifier akan ditreatment di unit asam-gas
removal untuk membuang hidrogen sulfida dan karbon dioksida, dan dibakar
sebagai bahan bakar pembangkit. Sintesis gas berlebih dapat dipisahkan menjadi
hidrogen dan karbon monoksida, dan karbon monoksida dapat digunakan sebagai
bahan bakar pembangkit.

2.3 Jenis Pelarut


Pelarut yang digunakan dalam proses ini harus mempunyai kemampuan
memindahkan hidrogen. Produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat kelarutannya
di

dalam

pelarut

tetrahidrofuran

(THF),

toluene,

tetralin

(1,2,3,4-

tetrahydronaphtalene) dan n-heksana sebagai pelarut donor hidrogen. Produkproduk antara dikelompokkan ke dalam preasphaltene (PAS) dan asphaltene (AS).
Sedangkan produk akhir dikategorikan sebagai minyak (oil) dan sejumlah gas

(O&G). Sisa batubara yang tidak terkonversi dikelompokkan sebagai residu (THF
insoluble). Hasi SRC biasanya langsung digunakan untuk pembangkit listrik.
2.4 Produksi Batu Bara Cair di Indonesia
Di Indonesia sendiri, pengembangan batu bara cair mulai direspon setelah
pemerintah mengeluarkan Inpres No. 2/ 2006 tentang batubara yang dicairkan.
Salah satu investor yang tertarik adalah Sugiko MOK Energy yang bernisiatif
untuk membangun pabrik pemrosesan batubara cair di Sumatera Selatan. Sugico
MOK Energy merupakan perusahaan patungan antara PT Sugico Graha
(perusahaan tambang batubara di Indonesia yang memiliki areal penambangan
batubara di Sumatera Selatan) dan Mok Industries LLC asal Amerika (perusahaan
yang memiliki Teknologi Solar Energy yang paling murah dan efisien di dunia).
Proses produksi batu bara cair yang dilakukan oleh Sugico MOK adalah
menggunakan sistem hidrogenasi yang memanfaatkan energi matahari. Dengan
inovasi Photovoltaic, energi panas matahari yang ditangkap melalui solar cell
diubah menjadi energi listrik, yang menghasilkan daya pada setiap panelnya
sebesar satu megawatt dengan jangka waktu 1 jam dan biaya tidak lebih dari US$
5 per barel. Energi listrik yang dihasilkan ada dua macam, yaitu arus listrik yang
bersifat bolak- balik (AC) sehingga dapat dimanfaatkan untuk penerangan serta
keperluan lainnya, dan arus listrik yang searah (DC) atau yang digunakan untuk
air (H2O). Dalam proses ini air akan diubah menjadi oksigen dan hidrogen. Unsur
hidrogen tersebut akan dimanfaatkan dalam proses hidrogenasi, yang mengubah
batubara padat menjadi cair. Proses hidrogenasi ini dilakukan dalam reaktor
Bergius. Setiap satu ton batubara padat yang diolah dalam reaktor ini akan
menghasilkan 6,2 barel BBM sintesis berkualitas tinggi. Direncanakan pada tahun
2011 kapasitas produksi batubara cair yang dihasilkan pabrik Sugico MOK sekitar
20 ribu barel batu bara cair per hari.
Teknologi pencairan batubara kualitas rendah (lignit) dinilai sangat
potensial digunakan untuk memproduksi BBM sintetis, mengingat jumlah
cadangan batubara Indonesia yang cukup besar mencapai 58 milyar ton lebih.

Produk pencairan batubara dapat dipakai untuk substitusi BBM seperti


bensin, kerosin dan minyak diesel. Teknologi ini sudah dikaji sejak tahun 1995
bekerja sama dengan NEDO-Jepang dan berhasil mendapatkan paten dan
kepastian aplikasi teknologi untuk berbagai jenis batubara. Saat ini BPPT telah
selesai

melaksanakan

kegiatan

penelitian,

pengembangan

dan

rekayasa

(litbangyasa) untuk optimasi proses dan biaya meliputi substitusi pelarut awal dari
heavy vacuum residue kilang minyak, penghitungan porsi local content
pembangunan pabrik pencairan kapasitas 6000 t/d, sosialisasi dan pre-amdal
untuk lokasi Berau, serta analisis rugi/laba dan manfaat (cost and benefit
analysis).

2.5

Kelebihan dan Kekurangan Batubara Cair


Kelebihan Batubara Cair, yaitu :
1. Harga produksi lebih murah.
2. Jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori
rendah (low rank coal), yang selama ini kurang diminati pasaran.
3. Dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet
(jet fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar
minyak biasa.
4. Teknologi pengolahannya

lebih

ramah

lingkungan. Dari pasca

produksinya tidak ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2.

Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya),


masih dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal.
Bahkan sisa gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi
bahan bakar.
Kekurangan Batubara Cair, yaitu :
1. Keekonomian
Harga minyak bumi sangat fluktuatif, sehingga seringkali investor ragu
untuk membangun kilang pencairan batubara. Batubara cair akan
ekonomis jika harga minyak bumi di atas US $35/bbl.
2. Investasi Awal Tinggi
Biaya investasi kilang pencairan batubara komersial, cukup mahal.
3. Merupakan Investasi Jangka panjang
Break Even Point (BEP) baru dicapai setelah 7 tahun beroperasi,
sedangkan tahap pembangunan memakan waktu 3 tahun.

BAB III
PENUTUP

Likuifaksi adalah proses pengubahan batubara padat menjadi bahan bakar


cair dengan bantuan panas dan penambahan zat kimia tertentu.

Likuifaksi

diklasifikasikan menjadi 2, yaitu indirect coal process dan direct coal process.
SRC (solvent refined coal) termasuk contoh proses likuifaksi secara langsung
yang menggunkan pelarut. SRC process terdiri atas SRC-I process dan SRC-II
process.

Yang membedakan kedua proses tersebut adalah SRC-I dihasilkan

produk dengan kandungan abu rendah sedangkan SRC-II menggunakan slurry


hasil recycle.
Likuifaksi

batubara

ini

memiliki

kelebihan

dan

kekurangan.

Kekurangannya yaitu dari segi keekonomian, investasi awal tinggi dan merupakan
Investasi Jangka panjang. Sedangkan kelebihannya yaitu harga produksi lebih
murah, jenis batu bara yang dapat dipergunakan adalah batu bara yang berkalori
rendah (low rank coal), dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar
pesawat jet (jet fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar
minyak biasa dan teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
http://letshare17.blogspot.com/2010/12/likuifikasi-batu-bara.html
(online)
diakses 18 November 2015 pukul 11:00
http://rinririns.blogspot.com/2013/02/coal-to-liquid.html (online)
diakses 18 November 2015 pukul 20:00
http://sigitsulistiono.blogspot.com/2008_11_01_archive.html (online)
diakses 18 November 2015 pukul 20:48
http://erwantoindonesia.wordpress.com/2012/06/07/investigasi-aktifis/
(online) diakses 18 November 2015 pukul 21:00
http://dwitaariyanti.blogspot.com/2012_06_01_archive.html
(online) diakses 20 November 2015 pukul 14:00

Anda mungkin juga menyukai