Anda di halaman 1dari 10

c c

   

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan suatu masyarakat
madani. Peradaban suatu bangsa akan tambah dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan
oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan. Hal
ini sesuai dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Naqib Al-attas
menurutnya pendidikan Islam itu lebih tepat diistilahkan dengan Ô  Ô (disbanding istilah
ÔÔ
Ô 
dan lainnya) sebab dengan konsep ³ta¶dib´ pendidikan memberikan
adab/kebudayaan. Dengan istilah ini juga dimaksudkan pendidikan berlangsung dengan terfokus
pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan potensi intelektual dan spiritual.

Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang semakin pesat, secara otomatis
menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian atau pembaharuan (inovasi) dalam bidang
pendidikan. Pendidikan tidak cukup lagi diselenggarakan secara tradisional, berjalan apa adanya
tanpa adanya target yang jelas dan tidak adanya prosedur pencapaian target yang terbukti efektif
dan efesien. Apabila kita tetap mempertahankan cara-cara tradisional tanpa mengadakan
perubahan sama sekali, maka jelaslah umat Islam dan pendidikan Islam akan semakin jauh
teringgal dalam segala aspek. Untuk itulah perlu adanya inovasi dalam pendidikan Islam
agarterlahir pendidikan Islam yang berkualitas.

Ô
Ô 
 
 
Ô
ÔÔ
Ô
 Ô

ÔÔ
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 59

c c


c  
   

Sebelum dijelaskan tentang pengertian inovasi pendidikan terlebih dulu akan dijelaskan
arti inovasi secara umum. Kata ³inovasi´ berasal dari Ô 
(Inggris) atau Ô
(Arab),
sering diterjemahkan sebagai suatu hal yang baru atau pembaharuan, namun ada pula yang
menggunakan kata tersebut untuk menyatakan penemuan ( ), karena hal yang baru itu
merupakan hasil penemuan. Ada juga yang mengkaitkan antara pengertian inovasi dengan
³modernisasi´, karena keduanya membicarakan usaha pembaharuan.
Berdasarkan beberapa pengertian dasar tersebut kata inovasi dapat diartikan sebagai:
Ô 

ÔÔ
ÔÔ
 
Ô
ÔÔÔ
Ô Ô
Ô Ô 
ÔÔ
Ô 

Ô
Ô

Ô
Ô
Ô Ô
  
Ô
 ÔÔÔÔ
Ô
 
Ô

Ô Ô
!"
Sedangkan istilah pendidikan Islam pada umumnya mengacu kepada term at-Tarbiyah,
al-Ta¶dib dan al-Ta¶lim, pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang,
memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.
Sedangkan secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan islam adalah
bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai ³pendidik´ seluruh ciptaan-Nya,
termasuk manusia.
Jadi yang dimaksud dengan inovasi pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
pembaharuan untuk memecahkan masalah di dalam pendidikan Islam. Atau dengan perkataan
lain, inovasi pendidikan Islam ialah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati
sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil
penemuan ( ), atau discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan
masalah pendidikan Islam.
Pembaharuan atau Ô dalam Islam atau pendidikan Islam adalah sesuatu yang fitrah
atau tabie sifatnya. Islam bukanlah suatu agama yang beku dalam pemikiran dan statik dalam
amalan. Dinamika Islam memberikan ruang kepada kreativiti wujud. Kreativiti dalam pemikiran
adalah dituntut tanpa menolak faktor syara¶. Berfikir reflektif adalah suatu keperluan kerena
perubahan hari ini dan hari depan berasaskan cerminan masa lalu supaya wujud kesinambungan
antara yang lepas dengan hari ini. Apa yang berlaku pada masa lalu memberikan kita landasan
tradisi yang baik. Keupayaan umat Islam mengimbangi faktor perubahan zaman ialah
kebijaksanaan menjembatani faktor tradisi yang baik dan cemerlang dengan faktor perubahan
kini yang tidak lari dari kerangka fitrah.
c    
Bertolak dari asumsi bahwa #

!Ô 
Ô
!Ô 

#
(lodge, 1947), dalam
arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan
maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang
diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.
Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bias dipahami dari makna hidup itu sendiri
yang dalam bahasa arab disebut dengan Ô ÔÔ"
Makna Ô ÔÔ (hidup) adalah Ô ÔÔÔ
(bergerak atau gerakan/kegiatan), dan Ô ÔÔÔ
adalah Ô ÔÔ
(bergerak atau beraktivitas
yang bias mendatangkan berkah), dan Ô ÔÔ
adalah Ô $ÔÔ (nilai tambah dalam hidup),
Ô  Ô
(kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan Ô ÔÔÔ
(kebahagiaan). Karena itu,
pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup seseorang
harus bias mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Namun demikian, timbul pula pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Dalam
konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda.
Perbedaan tersebut tidak bias dilepaskan dari sistem politik dan latar belakang sosio-kultural
yang mengitarinya. Secara historis-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul beberapa
paradigma perkembangan pendidikan Islam sebagai berikut.
¬ 
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan kata kuncinya
adalah dekotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti
laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, madrasah dah non madrasah,
pendidikan keagamaan dan nonkeagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum,
demikian seterusnya.
Padangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat
dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga
pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani
saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian.
Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan nonkeagamaan,
pendidikan keislaman dengan pendidikan nonkeislaman, pendidikan agama dengan pendidikan
umum, demikian seterusnya, sehingga pendidikan Islam (Ô ÔÔ
Ô  Ô Ô
berarti Ô 
ÔÔ
Ô Ô%Ô
ÔÔ ÔÔ
Ô 
Ô %ÔÔÔ
ÔÔ Ô
Ô  Ô 
Ô 
%ÔÔÔ
ÔÔ ÔÔ
atau Ô  Ô 
Ô  Ô %ÔÔÔ
 Ô Ô
dalam rangka
ÔÔ
Ô    
(mendidik orang-orang Islam).
Karena itu pengembangan pendidikan Islam hanya berkisar pada aspek keukhrowian saja
yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan
kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual,
sedangkan kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan
sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garapan pendidikan umum
(nonagama). Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system pendidikan.
Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya
muncul dari paradigma formisme tersebut.
Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama menjadi fuqaha, sebagai
orang-orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka sehingga tidak dimasukkan ke
dalam barisan intelektual, juga merupakan implikasi dari pandangan dikotomis tersebut. Menurut
Azyumardi Azra (1999, hlm. 159-160) , pemahaman semacam itu muncul ketika umat Islam
Indonesia mengalami masa penjajahan yang sangat penjang, di mana umat Islam mengalami
kelatarbelakangan dan disintergrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembenturan
umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Baratmemunculkan kaum intelektual baru
(cendikiawan sekuler), yang menurut Benda (dalam Sartono Kartodirjo, ed, 1981) sebagian besar
kaum intelektual tersebut adalah hasil pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat.
Dalam proses pendidikannya, mereka mengalami Ô &Ô (cuci otak) dari hal-hal yang
berbau Islam, sehingga mereka menjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam dan
muslim sendiri. Bahkan terjadi Ô
antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan intelektual
lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang hanya mengerti soal-soal
keagamaan dan buta masalah keduniaan.
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam
yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta
menekankan pada pendalaman Ô ' 
Ô Ô
(ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan
pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah
dari agama. Demikian pula dengan pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan
yang normative, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor)
yang loyal (setia), memiliki sikap !   (keperpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang
tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat
empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih
oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.
Di dalam Islam padahal tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu
umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun
demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (Ô 
' 
Ô Ô) sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Sehingga menyebabkan kemunduran
peradaban Islam serta keterbelakangan sains dan teknologi di dunia Islam. Hal ini terjadi bukan
saja karena faktor dari luar tapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari diri umat Islam
itu sendiri, yang kurang peduli terhadap kebebasan penalaran intelektual dan kurang menghargai
kajian-kajian rasional-empiris atau semangat pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata
lain, paradigma formisme dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan Islam.
9 


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), secara etimologis, !Ô

berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau saling bekerja seperti mesin, kalau yang
satu bergerak maka yang lain turut bergerak.

Paradigma !Ô
memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan
dipadang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-
masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan mesin yang terdiri beberapa
komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan
antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.

Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu,
nilai social, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestik, nilai beofisik, dan lain-lain.
Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari
aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai
lainnya dapat bersifat $ Ô  Ô Ô
( ), Ô Ô Ô
atau bahkan  !Ô


(Muhaimin, 1995).
Umat Islam di didik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah
satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai yang mempunyai fungsi
tersendiri, yaitu sebagai:
1. Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan
2. Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama.
3. Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan
pengamalan ajaran agama.
4. Pencegahan hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya asing yang berbhaya.
5. Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
6. Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan (Muhaimin, 1996).

Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif
daripada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk
pembinaan afektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.

Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum
yang bukan berciri khas agama Islam. Di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau
ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah
pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didudukkan
sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang relegius.

Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama


tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari pembinanya dan
sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam membangun hubungan
kerjasama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama
dengan beberapa mata pelajaran (mata kuliah) lainnya dapat bersifat $ Ô  Ô Ô


Ô Ô Ô
atau bahkan  !Ô
"

d  
Istilah ³organism´ dapat berarti: benda hidup ( Ô 
Ô Ô 
Ô
Ô! Ô
Ô

Ô
dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit (salim, P,
1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma Ô bertolak dari pandangan bahwa
Pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai sitem (yang terdiri atas komponen yang rumit)
yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (& Ô!Ô) Islam, yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup Islami.
Dalam konteks pandangan semacam itu, Ô  ÔÔ
Ô  Ô Ô
(pendidikan Islami)
berarti Ô  ÔÔ
#
Ô  Ô
(pendidikan dalam Islam) dan Ô  ÔÔ
'Ô
Ô    

(pendidikan dikalangan orang-orang Islam). Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya


kerangka pemikiran yang dibangun dari #Ô  Ô
! 
dan #Ô  Ô
Ô 
yang
tertuang dan terkandung dalam Al-Qur¶an dan As-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok,
kemudian mau menerima kontribusi dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya.
Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak,
sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai insane yang mempunyai
relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical-linier dengan
nilai ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat
mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu
melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
kematangan professional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
"  
 !  

Prof. Dr. Taha Jabir , seorang tokoh ilmuan Islam menyebutkan umat Islam berada di tiga
persimpangan. Pertama terus menggunakan ilmu-ilmu yang sifatnya traditional dengan
metodologinya sekali. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan authentic atau kekal seaslinya.
Kedua, umat Islam berhadapan dengan faktor perubahan zaman yang dikatakan moden yaitu
berlakunya dinamika ilmu dikembangkan dengan menggunakan kekuatan metodologi terkini.
Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan modernistik. Ketiga , umat Islam perlu menyaring
asas tradisi, memilih asas-asas prinsipnya dan mengolahnya semula menggunakan pendekatan
terkini supaya faktor perubahan berlaku tanpa menghilangkan maksud keaslian dan tradisinya.
Ini disebut sebagai pendekatan eklektik. Pendekatan eklektik belum begitu berkembang dan
sering menerima kritik. Pengkritik yang cenderung kepada asas epistemologi atau asas-usul ilmu
sering tidak setuju sementara yang lain merasakan suatu kewajaran kerena meskipun
metodologinya dinamik, prinsip dan ruh ilmu dan pendidikan tetap tidak berubah.
Hal ini senada dengan salah satu prinsip pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
Muhammad Munir Mursi dalam bukunya ‘ ÔÔ
Ô  Ô Ô
( Ô

Ô Ô&Ô

#
Ô ) Ô
Ô ‘ÔÔ
³Pendidikan Islam adalah pendidikan yang terbuka´. Hal ini dipahami
bahwa Islam merupakan agama Samawi, yang memiliki nilai-nilai absolute dan universal, namun
masih mengakui keberadaan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Islam berpandangan, tidak
semua nilai yang telah melembagakan dalam satu tata kehidupan masyarakat, diterima atau
ditolak. Sikap Islam dalam menghadapi tata nilai masyarakat, di dasarkan pada lima macam
klasifikasi yaitu:
1) Memilihara unsure-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif
2) Menghilangkan unsure-unsur nilai dan norma yang sudahmapan tetapi negatif.
3) Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang belum ada dan dianggap positif
4) Bersikap menerima (! ), memilih ( ! ), mencerna ( ), menggabung-
gabungkan dalam satu system (Ô  Ô ), dan menyampaikan pada orang lain
( Ô ) terhadap nilai pada umumnya.
Jadi pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokrasi dan universal. Tetapi
keterbukaan pendidikan Islam bukan berarti tidak disertai dengan fleksibelitas untuk mengadopsi
(menyerap) unsur-unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kepentingan masyarakatnya,
dengan tetap menjaga dasar-dasarnya yang orginal (shahih) yang bersumber dari Al-Qur¶an dan
Al-Hadits. Hal ini ditulis dalam sebuah postulat yang popular ΪϳΪΠϟΎΑ άΧϷ΍ϭ ˬ΢ϟΎμϟ΍ ϢϳΪϘϟ΍ ϰϠϋ ΔψϓΎΤϤϟ΍
΢ϠλϷ΍. ³Melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai yang baru yang
lebih positif´. Keterbukaan seperti inilah yang memungkinkan pembharuan (inovasi) dalam
pendidikan Islam, bukan saja karena tuntutan zaman, tetapi bersamaan dengan itu pembaharuan
diperlukan karena hajat untuk memperbaiki kemaslahatan kaum muslimin sendiri.
Berdesarkan fenomena di atas maka perlu adanya gagasan baru/pembaharuan (inovasi)
pendidikan Islam di Indonesia dalam masa yang akan datang antara lain: perlu mengubah dan
mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Jadi kita harus mau meninggalkan
yang sudah idak sesuai ( Ô) dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Perlu
mengembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan dan ciptakan
pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk itu perlu adanya tawaran gagasan-
gagasan untuk menata ulang pemikiran sistem pendidikan nasional. Meskipun pendidikan
mempunyai banyak nama dan wajah, seperti pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok
pesantren, program deploma, dan lainnya, namun pada hakekatnya pendidikan adalah
mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup
mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai
dengan tantangan atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain bahwa hakekat pendidikan adalah
mengembangkan  Ô
 
yaitu harkat dan martabat manusia atau  Ô$
 Ô

yaitu memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi.
Oleh kerena itu berikan ruang lebih banyak bagi sekolah (khususnya swasta) dan madrasah untuk
mengembangkan jati diri dan menempuh cita-citanya.

M. Sulthon Masyhud, et.al, ÔÔ 



Ô 
(Jakarta: Diva Pustaka,
2005), Cet. Ke-2, h. 64

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, * Ô#Ô


Ô
 Ô
(Jakarta: Ciputat Press, t.th),
hal.25

http://cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=490_0_3_0_M16

Muhaimin, et.al, ÔÔ Ô


Ô
 Ô
(ÔÔ
# #Ô
Ô

‘Ô Ô
 Ô

 Ô
(bandung: Rrmaja Rosdakarya, 2004), Cet-3, h. 39-46

Maksum Mukhtar, ÔÔÔ


ÔÔ
Ô
 ÔÔÔ
Cet III. (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. 33

Muhammad Tholchah Hasan,  Ô


Ô Ô
 #
Ô
)ÔÔ
(Jakarta: Galasa
Nusantara, 1987), h.19

Hasbullah, ÔÔ
Ô
 Ô

Ô
+ÔÔ Ô,
Rajawal Pers, 1996), h. 163

Departemen Agama RI, - 


ÔÔ
Ô
 Ô

Ô
(Jakarta,
2005), h. 101-102

c c

"

 

Islam bukan agama yang bek dalam pemikiran dan statistic dalam amalan. Pendidikan
agama Islam bukan sekedar pendidikan yang berkutat pada urusan Ukhrawi saja, tanpa
mengindahkan urusan-urusan dunia. Hal ini senada dengan apa yang disabdakan Rasulullah
SAW. Yang maksudnya ³)ÔÔÔÔ
Ô
Ô
ÔÔ
Ô Ô

 
Ô

ÔÔÔÔ
Ô
ÔÔ
ÔÔ
Ô Ô
Ô

 
Ô
ÔÔ
Ô

Ô
ÔÔ
Ô
Ô
ÔÔ
ÔÔ
Ô
 
Ô".
Dari sini jelaslah islam
tidak membedakan antara ilmu dunia dengan ilmu umum. Keduanya sama-sama penting bagi
manusia di dunia ini untuk menyempurnakannya sebagai Ô #Ô
#
Ôh.

Inovasi pendidikan Islam berarti mengadakan pembaharuan. Dengan pembaharuan bukan


berarti umat ini menghilangkan atau mengabaikan nas-nas atau aturan-atauran agama, tradisi
masyarakat yang sudah mapan dan positif. Tapi pembaharuan hanya dilakukan pada hal-hal yang
sudah tidak relevan lagi pada saat ini dengan tanpa melanggar rambu-rambu agama. Dalam arti
lain melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih positif.

Anda mungkin juga menyukai