Anda di halaman 1dari 24

Tsunami di Aceh , 26 Desember 2004

Bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh merupakan salah satu bencana alamdahsyat di
Indonesia bahkan di dunia untuk kurun waktu 40 tahun terahir. Menurut PBB,sebanyak 229.826
korban gempa dan tsunami hilang dan 186.983 lainnya tewas. TsunamiSamudra Hindia menjadi
gempa dan Tsunami terburuk 10 tahun terakhir. Gempa berkekuatan9.3 SR (menurut Pacific
Tsunami Warning Center) ini telah meluluh lantahkan aceh bagianutara, Sumatera Utara, Pantai
Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, SriLanka, bahkan sampai Pantai
Timur Afrika. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Lanka,
India, dan Thailand merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar.Di Indonesia sebanyak
126 ribu jiwa melayang akibat bencana tersebut, dan lebih dari30 ribu lainya dinyatakan hilang.
Wilayah yang paling parah terkena dampak bencana gempa bumi dan tsunami adalah meulaboh
dan Banda aceh. Hampir 50 % bangunan di wilayahtersebut hancur tekena dampak gempa bumi
yang diikuti oleh gelombang tsunami yangketinggiannya mencapai 9 meter.

Erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta

Gunung merapi merupakan salah satu gunung teraktif di dunia yang memiliki siklus puncak
erupsi setiap dua hinga lima tahun . Dalam kurun waktu 10 tahun terahir, tercatat 2letusan besar
yang terjadi. Letusan besar pertama terjadi pada tahun 2006, tepatnya pada Juni2006 dan yang
kedua yaitu erupsi yang terjadi pada 5 November 2010.Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada
Jumat dini hari 5 November 2010merupakan erupsi terbesar sejak tahun 1872. Luncuran awan
panas mencapai yang 15 kmmerupakan luncuran awan panas terpanjang sejak 1872 silam yang
mencapai 11- 12 km.Letusan pada 5 November menewaskan lebih dari 200 korban. Wilayah
yang terkenadampak dari letusan gunung merapi merupakan wilayah yang berjarak sekitar 16
sampai 18kilometer dari puncak Merapi. Letusan itu bahkan menghempaskan kubah Merapi
yang baruterbentuk.Jika dibandingkan dengan letusan yang terjadi pada tahun 2006, letusan
gunungMerapi pada november 2010 ini mengeluarkan energi yang jauh lebih besar. Jika
sebelumnyaguguran lava hanya menjangkau 3- 4 km dari puncak, pada tahun 2010 jarak guguran

lavamencapai lebih dari 10 km. Tanda tanda terjadinya erupsi pun juga terdapat perbedaan, jika
pada tahun 2006 terdapat kubah lava yang terbentuk terlebih dahulu sehingga ketika kubahlava
tersebut tidak stabil dan kemudian gugur, saat itulah terjadi awan panas. Akan tetapi pada erupsi
tahun 2010 hal tersebut tidak terjadi, justru yang terjadi adalah erupsi yang berupa
letusan( eksplosif) sehingga resikonya lebih besar. Selain hal- hal yang telahdisebutkan
sebelumnya, jika ditilik dari jumlah korban erupsi merapi pada tahun 2010 jauh lebuh banyak
yaitu mencapai 275 korban ( menurut BNPB) yang mencakup warga DIY dan jawa Tengah.
Sedangkan erupsi pada tahun 2006 menelan 2 korban jiwa.

Gempa bumi Sumatera Barat , 30 september 2009.

Gempa bumi terjadi dengan kekuatan 7,6Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat pada
pukul 17:16:10WIBtanggal30 September 2009.[3]
Gempaini terjadi di lepas pantaiSumatera,sekitar 50 km barat lautKota Padang. [3]
Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten
Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi,
Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok,dan Kabupaten Pasaman Barat. Menurut
data Satkorlak PB, setidaknya 6.234 orangtewasakibat gempa ini yang tersebar di 3 kota & 4
kabupaten di Sumatera Barat ,korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688
orang,korban hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumahrusak sedang,
& 78.604 rumah rusak ringan. Menurut catatan ahli gempa wilayahSumatera Barat memiliki
siklus 200 tahunan gempa besar yang pada awal abadke-21 telah memasuki masa berulangnya
siklus.Akibat yang di timbulkan oleh gempa bumi ini adalah putusnya jaringantelekomunikasi,
serta terjadinya kebakaran di sejumlah titik disamping korban jiwa dan kerusakan bangunan.

Banjir Wasior . 4 Oktober 2010

Banjir bandang yang terjadi tepatnya di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat inidisebabkan
karena kerusakan yang terjadi di hutan wasior sehingga ketika hujan secara terusmenerus
mengguyur kota tersebut mengakibatkan terjadinya luapan pada sungai batang Salai.Walhi
memperkirakan sekitar 30 40% hutan di kawasan tersebut mengalami alih fungsisehingga
memicu terjadinya luapan pada sungai- sungai akibat tidak terserapnya dengan baik air hujan ke
dalam tanah. Aktivitas penebangan pohon sejak tahun 1990- an dinilai menjadi penyebab utama
kerusakan hutan yang berakibat pada terjadinya banjir bandang.Banjir yang terjadi menyebabkan
banyak infrastruktur di Wasior hancur termasuk lapangan udara di Wasior, sementara kerusakan
juga menimpa rumah warga, rumah sakit, jembatan dan juga beberapa gereja.Kerusakan yang
terjadi disebabkan banjir yang terjadimembawa serta batu-batuan besar, batang-batang pohon,
lumpur.

Bencana banjir bandangyang terjadi juga mengganggu hubungan komunikasi, jaringan listrik
terputus dan aktifitasmasyarakat lumpuh.Banjir bandang juga menyebabkan 158 orang tewas dan
145 orang masih dinyatakanhilang Sementara sebagian besar korban luka-luka dibawa
keManokwaridan Nabire. Sementara sebagian korban luka lainnya dan warga yang selamat
ditampung di tempat-tempat pengungsian. Akibat banjir yang terjadi yang merusak rumah warga
dan infrastruktur banyak warga yang selamat memutuskan mengungsi ke Manokwari dengan
menggunakankapal laut.

Badai

Badai adalah cuaca yang ekstrem, mulai dari hujan es dan badai salju sampai badai pasir dan
debu.[1] Badai disebut juga siklon tropis oleh meteorolog, berasal dari samudera yang hangat.[2]
Badai bergerak di atas laut mengikuti arah angin dengan kecepatan sekitar 20 km/jam.[2] Badai
bukan angin ribut biasa.[3] Kekuatan anginnya dapat mencabut pohon besar dari akarnya,
meruntuhkan jembatan, dan menerbangkan atap bangunan dengan mudah.[3] Tiga hal yang
paling berbahaya dari badai adalah sambaran petir, banjir bandang, dan angin kencang.[4]
Terdapat berbagai macam badai, seperti badai hujan, badai guntur, dan badai salju.[5] Badai
paling merusak adalah badai topan (hurricane), yang dikenal sebagai angin siklon (cyclone) di
Samudera Hindia atau topan (typhoon) di Samudera Pasifik.[1]
Penyebab Terjadinya Badai

Penyebab badai adalah tingginya suhu permukaan laut.[6] Perubahan di dalam energi atmosfer
mengakibatkan petir dan badai.[7] Badai tropis ini berpusar dan bergerak dengan cepat
mengelilingi suatu pusat, yang sumbernya berada di daerah tropis.[6] Pada saat terjadi angin
ribut ini, tekanan udara sangat rendah disertai angin kencang dengan kecepatan bisa mencapai
250 km/jam.[6] Hal ini bisa terjadi di Indonesia maupun negara-negara lain.[6] Di dunia, ada tiga
tempat pusat badai, yaitu di Samudera Atlantik, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik.[6]

Tanah longsor

Longsor atau sering disebut gerakan tanah adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena
pergerakan masa batuan atau tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau
gumpalan besar tanah. Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor
pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi
material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan bergeraknya material
tersebut. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang memengaruhi suatu lereng
yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh:

erosi yang disebabkan aliran air permukaan atau air hujan, sungai-sungai atau gelombang laut
yang menggerus kaki lereng-lereng bertambah curam
lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat
gempa bumi menyebabkan getaran, tekanan pada partikel-partikel mineral dan bidang lemah
pada massa batuan dan tanah yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng tersebut
gunung berapi menciptakan simpanan debu yang lengang, hujan lebat dan aliran debu-debu
getaran dari mesin, lalu lintas, penggunaan bahan-bahan peledak, dan bahkan petir
berat yang terlalu berlebihan, misalnya dari berkumpulnya hujan atau salju

Tornado

Tornado adalah kolom udara yang berputar kencang yang membentuk hubungan antara awan
cumulonimbus atau dalam kejadian langka dari dasar awan cumulus dengan permukaan tanah.
Tornado muncul dalam banyak ukuran namun umumnya berbentuk corong kondensasi yang

terlihat jelas yang ujungnya yang menyentuh bumi menyempit dan sering dikelilingi oleh awan
yang membawa puing-puing.
Umumnya tornado memiliki kecepatan angin 177 km/jam atau lebih dengan rata-rata jangkauan
75 m dan menempuh beberapa kilometer sebelum menghilang. Beberapa tornado yang mencapai
kecepatan angin lebih dari 300-480 km/jam memiliki lebar lebih dari satu mil (1.6 km) dan dapat
bertahan di permukaan dengan lebih dari 100 km.[1][2][3]
Meskipun tornado telah diamati di tiap benua kecuali Antartika, tornado lebih sering terjadi di
Amerika Serikat.[4] Tornado juga umumnya terjadi di Kanada bagian selatan, selatan-tengah dan
timur Asia, timur-tengah Amerika Latin, Afrika Selatan, barat laut dan tengah Eropa, Italia, barat
dan selatan Australia, dan Selandia Baru.[5]
Tornado multi-pusaran
Tornado multi-pusaran adalah suatu jenis tornado dimana dua atau lebih kolom udara yang
menggumpal berputar mengelilingi pusat. Struktur multi-pusaran dapat terjadi di hampir setiap
sirkulasi, namum sangat sering teramati dalam tornado dahsyat.
Satelit tornado
Satelit tornado adalah suatu istilah untuk tornado lemah yang terbentuk dekat tornado besar kuat
yang terjadi dalam mesosiklon yang sama. Satelit tornado muncul dari "orbit" tornado besar
(sebagai namanya), yang memperlihatkan wujud pusaran yang multi-pusaran. Namun, satelit
tornado merupakan corong yang berbeda, dan lebih kecil dibandingkan corong utama.[3]

Puting Beliung
Puting Beliung secara resmi digambarkan secara singkat oleh National Weather Service Amerika
Serikat seperti tornado yang melintasi perairan. Namun, para peneliti umumnya mencirikan
puting beliung "cuaca sedang" berasal dari puting beliung tornado.

Puting beliung cuaca sedang sedikit perusak namun sangat jauh dari umumnya dan
memiliki dinamik yang sama dengan setan debu dan landspout.[18] Mereka terbentuk saat
barisan awan cumulus congestus menjulang di perairan tropis dan semitropis.[18] Angin ini
memiliki angin yang secara relatif lemah, dinding berlapis lancar, dan umumnya melaju sangat
pelan.[18] Angin ini sangat sering terjadi di Florida Keys.[19]

Puting Beliung Tornado merupakan secara harafiah sebutan untuk "tornado yang melintasi
perairan". Angin ini dapat terbentuk melintasi perairan seperti tornado mesosiklon, atau menjadi
tornado darat yang melintas keluar perairan. Sejak angin ini terbentuk dari badai petir perusak
dan dapat menjadi jauh lebih dahsyat, kencang, dan bertahan lebih lama daripada puting beliung
cuaca sedang, angin ini dianggap jauh lebih membahayakan.

Kebakaran liar

Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang
terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian
disekitarnya. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan pembakaran.
Musim kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama kebakaran hutan
besar.
Kebakaran hutan dalam bahasa Inggris berarti "api liar" yang berasal dari sebuah sinonim dari
Api Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang digunakan di Eropa Pertengahan sebagai senjata
maritim
Penyebab
Penyebab Kebakaran hutan, antara lain:
Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan
api di perkemahan.
Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi.
Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan
pertanian baru dan tindakan vandalisme.
Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut
kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
Dampak
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran liar antara lain:
Menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer. Kebakaran hutan pada 1997 menimbulkan
emisi / penyebaran sebanyak 2,6 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer (sumber majala Nature
2002). Sebagai perbandingan total emisi karbon dioksida di seluruh dunia pada tahun tersebut
adalah 6 miliar ton.
Terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap atau
rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di suatu
daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.
Menyebabkan banjir selama beberapa minggu di saat musim hujan dan kekeringan di saat musim
kemarau.
Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terhambatnya jalur pengangkutan lewat
sungai dan menyebabkan kelaparan di daerah-daerah terpencil.

Kekeringan juga akan mengurangi volume air waduk pada saat musim kemarau yang
mengakibatkan terhentinya pembangkit listrik (PLTA) pada musim kemarau.
Musnahnya bahan baku industri perkayuan, mebel/furniture. Lebih jauh lagi hal ini dapat
mengakibatkan perusahaan perkayuan terpaksa ditutup karena kurangnya bahan baku dan
puluhan ribu pekerja menjadi penganggur/kehilangan pekerjaan.
Meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kanker
paru-paru. Hal ini bisa menyebabkan kematian bagi penderita berusia lanjut dan anak-anak.
Polusi asap ini juga bisa menambah parah penyakit para penderita TBC/asma.
Asap yang ditimbulkan menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat antara
lain pendidikan, agama dan ekonomi. Banyak sekolah yang terpaksa diliburkan pada saat kabut
asap berada di tingkat yang berbahaya. Penduduk dihimbau tidak bepergian jika tidak ada
keperluan mendesak. Hal ini mengganggu kegiatan keagamaan dan mengurangi kegiatan
perdagangan/ekonomi. Gangguan asap juga terjadi pada sarana perhubungan/transportasi yaitu
berkurangnya batas pandang. Banyak pelabuhan udara yang ditutup pada saat pagi hari di musim
kemarau karena jarak pandang yang terbatas bisa berbahaya bagi penerbangan. Sering terjadi
kecelakaan tabrakan antar perahu di sungai-sungai, karena terbatasnya jarak pandang.
Musnahnya bangunan, mobil, sarana umum dan harta benda lainnya.

Kekeringan

Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang
berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila
suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau
yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat
penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan
sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya.
Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan
dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun demikian, suatu kekeringan yang singkat tetapi
intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan.[1][2]
PBB memperhitungkan bahwa setiap tahun wilayah lahan subur seluas Ukraina hilang akibat
kekeringan, pembabatan hutan, dan ketidakteraturan iklim.[3]
Akibat yang dapat ditimbulkan oleh kekeringan dalam demografi adalah migrasi massal,
sebagaimana yang terjadi di wilayah Tanduk Afrika dan Sahel.

Akhir-akhir ini peristiwa bencana sering menimpa negeri ini, semua pihak merasa terkejut
dengan rentetan kejadian bencana, diawali dengan Gempa Bumi yang diiringi gelombang

tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara yang terjadi tanggal 26
Oktober 2004, merenggut nyawa berkisar 240.000 orang meninggal dan hilang, dari laporan
Overseas Development Institute (ODI) tahun 2005, total kerugian finansial dan ekonomi dari
bencana tsunami mencapai US$ 4,45 miliar atau sekitar Rp. 40 triliun atau sekitar 1,2 persen dari
total PDB tahun 2006 , tanggal 6 Januari 2006 terjadi banjir Bandang dan tanah Longsor di
Jember Jawa Timur dan Banjarnegara Jawa Tengah, tanggal 27 Mei 2006 Gempa Bumi yang
terjadi di Daerah Istimewa Jogyakarta dan Jawa Tengah yang mengakibatkan ribuan orang
meninggal dunia, dari catatan Bappenas tahun 2006, kerugian finansial dan ekonomi akibat
gempa bumi di Yogjakarta sebesar Rp 29,1 triliun, angka tersebut meliputi total kerusakan aset
pemerintah, dunia usaha dan warga. Tanggal 2 Februari 2007 air menggenangi Ibukota Jakarta
dan wilayah Jabodetabek setinggi 1 sampai 5 Meter, yang mengakibatkan ribuan rumah warga
ibukota Jakarta dan wilayah Bekasi dan Tangerang terendam, dengan total kerugian finansial dan
ekonomi akibat banjir berdasarkan perhitungan Bappenas mencapai Rp 8,8 triliun, tanggal 6
Maret 2007 terjadi Gempa Bumi di Sumatera Barat yang meluluhlantakkan pemukiman
penduduk yang berakibat ratusan jiwa meninggal dan ribuan rumah rusak serta tanggal 10
September 2007 Gempa Bumi menghantam Provinsi Bengkulu dengan kekuatan 7,9 skala
richter. Dari rangkaian kejadian tersebut membuktikan bahwa wilayah kepulauan Indonesia
rentan terhadap kejadian peristiwa alam yang dinamakan bencana alam.

Melihat kondisi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki geografis, geologis,
hidrologis dan demografis Indonesia yang memungkinkan terjadinya bencana,baik yang
disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.Selain itu
secara kultural, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan golongan, maka
Indonesia sangat potensial terjadinya bencana yang disebabkan oleh karena ulah manusia
termasuk kerusuhan sosial.Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara
dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi. Potensi bencana yang ada di
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu potensi utama (main
hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency), potensi utama dapat dilihat dari
peta rawan bencana yakni kita memiliki zona-zona rawan gempa, banjir dan terjadinya banjir
bandang maupun tanah longsor, sedangkan potensi bahaya ikutan antara lain kepadatan
pemukiman penduduk, prosentase bangunan yang terbuat dari kayu sangat tinggi utama
diperkotaan atau yang dikenal dengan daerah kumuh diperkotaan.

TIPICAL KORBAN BENCANA

Melihat beberapa peristiwa bencana yang menimpa beberapa daerah yang terkena musibah,
banyak hal yang dapat penulis dapatkan dari pengalaman melaksanakan misi kemanusiaan untuk
membantu korban bencana, baik dari segi karakteristik masyarakat maupun ketahanan mental

masyarakat menghadapi musibah, sebagai ilustrasi saat terjadi bencana dan pasca bencana
hampir seluruh masyarakat Aceh termenung seakan tak percaya dengan kejadian yang hanya 15
menit dapat menghancurkan sebagian wilayah Meulaboh, Kota Banda Aceh, Syah Kuala,
Loknga dan kawasan pesisir Aceh, tatapan hampa terlihat dari raut wajah para pengungsi, tetapi
dengan ketegaran jiwa dan dukungan serta simpati masyarakat dari belahan dunia ini rakyat
Aceh bangkit menatap masa depan yang lebih cerah .

Penduduk Jogjakarta dan Jawa Tengah terlihat sabar dan nerimo terhadap peristiwa alam yang
menimpa dirinya melalui ungkapan ya, mau gimana lagi mas, wong kita hidup ini ada yang maha
mengatur, masyarakat Sumatera Barat sangat tegar menghadapi ujian dari Allah, ini terlihat dari
kegigihan dan tidak larut dalam kedukaan, kito dirantaupun sudah biaso menghadapi rintangan
seperti ini, warga Bengkulu khususnya di daerah Kecamatan Batiknau Bengkulu Utara begitu
panik dan kalut, sehingga secara spontan ratusan warga dengan membawa senjata tajam, kayu
dan bambu menunjukkan reaksi negative dengan cara menghadang kendaraan bantuan serta
kendaraan pejabat pemerintah yang nomor polisi berwarna merah, bahkan membuat rintangan
dijalan berupa pemasangan kayu balok, seng, kursi demi mengharapkan bantuan dari para
dermawan, sehingga kendaraan yang lewat harus terlebih dahulu bernegosiasi sembari berujar
kami ini korban gempa juga, jangan kendaraan lewat saja dan kami tidak dibantu, apa bedanya
kami dengan masyarakat di Kabupaten Muko-muko.

Dari Sidoarjo akibat semburan lumpur panas yang tak kunjung henti, terbetik jeritan pilu dari
warga seperti terlontar dari seorang ibu Sowi warga desa Siring yang menangis tersedu-sedu
sambil berujar Saya telah kehilangan rumah, perabotan, kulkas, mesin cuci, saya telah
kehilangan semua yang saya miliki selama ini, yang diikuti warga lainnya. Harta yang kami
kumpulkan bertahun-tahun musnah oleh semburan dan genangan lumpur, kami tidak butuh janjijanji, kami butuh kepastian, kami kedinginan, tidur seadanya, demikian juga Pak Solihin seorang
purnawirawan tak kuasa membendung duka yang dialaminya sambil mengusap air mata yang
membasahi pipinya dan mata yang berkaca-kaca. Beban psikologis tampak terasa amat berat
dirasakan oleh para korban dan anak-anak yang sedang ditenda pengungsian sebagai tempat
penampungan sementara sembari menunggu kepastian yang tak kunjung tiba. Tampak dari
beberapa titik bahwa terlihat jelas beberapa pabrik tempat mereka mencari nafkahpun ikut
terendam oleh lumpur panas. Kami tidak tahu sampai kapan harus bertahan disini.

Berpijak dari rangkaian kejadian tersebut, secara antisipatif mari kita selalu siap, siaga dan sigap
untuk menghadapi kejadian bencana, yang notabene sudah menjadi bagian dari siklus kehidupan
masyarat Indonesia, hal ini beranjak dari berbagai pengalaman yang pernah kita lihat, kita
rasakan dan kita saksikan selama ini. Sikap mental yang tangguh sangat menentukan percepatan
pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena musibah, sikap tawakal dan
menganggap peristiwa alam adalah konsekuensi dari hidup saling membutuhkan antara manusia ,
alam dan seisinya. Perilaku yang bijak serta bertawakal kepada Allah mutlak harus tertanam

didalam hati sanubari setiap insan dalam menyikapi peristiwa alam yang terjadi. Manusia
terkadang lupa, apa yang diperbuat dimuka bumi ini merupakan investasi sosial yang
diimplementasikan dalam bentuk akumulasi tindakan dan perbuatan yang akan berimbas pada
hasil yang akan diterimanya selama hidup bersinergi dengan alam.

Untuk memperkuat kesiapsiagaan itulah perlu adanya semacam personel penanggulangan


bencana yang berbasis masyarakat, seperti halnya TAGANA.
Diposkan oleh ARTIKEL BENCANA ALAM di 01.13 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Bencana Ekologi Sebagai Dampak Perubahan Iklim Global dan Upaya Peredaman Risiko
Bencana
DREaM - 05.06.2009,
BENCANA EKOLOGIS SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN UPAYA
PEREDAMAN RISIKO BENCANA

Oleh Petrasa Wacana


Abstrak

Pemanasan global menjadi isu utama di dunia, merupakan tantangan yang harus
dihadapi oleh di dunia di abad 21, hal ini berdampak pada terjadinya kenaikan suhu di bumi,
yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan dalam siklus bumi, kenaikan suhu permukaan dan
perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Perubahan iklim berdampak pada terjadinya
bencana alam dimana-mana mulai dari badai topan, badai siklon tropis, banjir, endemic,
kekeringan, El Nino, kelaparan, tsunami dan berbagai bencana lainnya yang mengakibatkan
hilangnya fungsi ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Bencana terjadi
akibat adanya faktor-faktor ancaman (hazard) berupa fenomena alam akibat pemanasan global
dan adanya kerentanan (vulnerability) di dalam suatu masyarakat dalam menerima risiko
bencana, untuk itulah perlu dilakukan upaya-upaya peredaman risiko bencana (disaster risk
reduction) yang merupakan suatu kegiatan manajemen bencana untuk mengurangi risiko bencana
dari dampak perubahan iklim global mulai dari sebelum bencana terjadi (mitigasi dan
kesiaapsiagaan), saat terjadi bencana (emergency response) dan setelah terjadi bencana (recovery
and rencana strategis).
Kata kunci : Pemanasan global, perubahan iklim, risiko bencana, ancaman, kerentanan, disaster
management.

I. PENDAHULUAN
Pemanasan global telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal revolosi industri di
negara-negara eropa, pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global
sebagai akibat dari efek rumah kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat
mengakibatkan perubahan kondisi suhu golobal dan mempengaruhi kondisi siklus metereologi
dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana kondisi terjadinya bencana memiliki
hubungan dengan pemanasan global dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan
masa air laut akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya El Nino,
banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana
longsor, badai tropis, dan badai siklon. Risiko bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya
keberfungsiaan masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan
lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di dunia yang sangat
pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas
dan efek rumah kaca di bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya, kondisi
ini akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi dunia sebagai
dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akan terjadi apabila keseimbangan antara makluk
hidup dan tempat tinggalnya tidak terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang
dapat mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di dalam suatu
lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman. Selain itu juga pemanasan global terjadi
akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi
bagian dari siklus keseimbangan alam.

Dalam konferensi internasional tentang pemanasan global di Jepang tahun2005 telah


menghasilkan Kyoto Protokol yang menjadi landasan dan kerangka kerja bagi seluruh negaranegara di dunia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Akhir-akhir ini
bencana sering terjadi dimana-mana mulai dari tsunami, gempa, badai, banjir, longsor, erupsi
gunungapi, kekeringan dan lainnya, hal ini harus menjadi suatu pemikiran bersama dalam
mengatasinya dan menyelesaikan permasalahan ini. Bencana yang selalu terjadi silih berganti
tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus
iklim yang tedak sesuai mengakibatkan bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya
keseimbangan lingkungan akibat kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus
diatasi oleh semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana sehingga
pentingnya tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan
risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi pengurangan
risiko bencana antara lain (1) mitigasi; (2) manajemen kesiapsiagaan dan manajemen krisis; (3)
kedaruratan (emergency response); dan (4) pemulihan dan rencana aksi.

II. PEMBAHASAN
1. Perubahan Iklim dan Bencana Ekologis
Perubahan iklim global diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas CO2 di
atmosfer bumi sebagai efek rumah kaca (greenhouse), kegiatan industri, pemanfaatan
sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas
CO2 terbesar di dunia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan dan tataguna lahan
(landuse), karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang
dilepaskan ke udara dan terjadi perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi
siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperature yang sangat
signifikan di atmosfer. Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi
tidak stabil, apabila pemananasan global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan
dampak yang sangat besar terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, air
pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, tsunami, kekeringan dan El Nino yang dapat
menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis.

Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan
tatanan ekologi yang mengalami ganguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara
manusia, makluk hidup dan kondisi alam. Alam sebagai tempat tinggal dan segala sesuatu yang
memberikan keseimbangan lingkungan, bencana ekologi sering terjadi akibat akumulasi krisis
ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan
kolapsnya tata kehidupan manusia, kondisi ini juga dipercepat dengan dampak yang dilakukan
oleh kegiatan manusia dalam mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global
di bumi yang berujung pada terjadinya bencana-bencana dimana-mana, pengaruhuh utama dari
pemanasan global terhadap terjadinya bencana adalah perubahan suhu udara yang semakin
meningkat sehingga mengakibatkan perubahan musim yang tidak seimbang dan memicu
percepatan siklus geologi dan metereologi.

Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata pertahun mencapai 1,4 5,8
derajat celcius hingga tahun 2100 yang dapat mempengaruhi kenaikan muka air laut mencapai
88 meter, pemanasan suhu global di udara memberi dampak terhadap keseimbangan energi
dalam suatu wilayah hingga mengaklibatkan kekeringan berkapanjangan, menurunnya
produktifitas pertanian, rusaknya suatu ekosistem dan tatanan kehidupan manusia dalam jangka
panjang. Badai siklon tropis merupakan fenomena badai yang terjadi akibat system tekanan
udara rendah pada daerah tropis yang menjadi sebuah ancaman (hazard) yang dapat
menimbulkan bencana, badai siklon tropis dapat menghancurkan wilayah yang dilewatinya
memiliki diameter antara 20 150 kilometer, dan dapat mengakibatkan banjir akibat naiknya
masa air dilaut dan di daratan yang terbawa oleh angin dengan kekuatan yang tinggi. Beberapa
tahun terakhir banjir merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara ada yang
diakibatkan oleh rusaknya fungsi hutan sebagai pengatur siklus air, tata kelola lahan yang tidak
baik, kondisi morfologi dan adanya air pasang laut, yang tidak mengenal batas wilayah dan

waktu, hal ini dipengaruhi juga dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dimana musim hujan
tidak lagi pada siklusnya, siklus hidrologi menjadi tidak seimbang antara evaporasi, prefipitasi,
infiltrasi dan daya dukung lahan terhadap air permukaan, kondisi musim yang tidak stabil
diakibatkan oleh adanya perubahan iklim global di bumi sehingga sulit untuk di prediksi secara
pasti. Jumlah populasi yang sangat tinggi menjadi faktor-faktor penentu terjadinya bencana,
perlu di ingat bahwa sustu ancaman (hazard) akan menjadi bencana apabila menimbulkan
dampak yang sangat besar dan luas, yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan
masyarakat serta aset-aset kehidupan yang ada meliputi manusia, fisik (infrastruktur), ekonomi,
sosial budaya dan sumberdaya alam.

Dampak yang terbesar akibat dari perubahan iklim di dunia adanya bencana El Nino,
merupakan bencana kekeringan yang terjadi yang terjadi akibat meningkatnya suhu dari rata-rata
suhu normalnya sehingga terjadi perubahan musim yang sangat signifikan, hal ini berdampak
pada kondisi lahan dan mempengaruhi produktifitas pertanian untuk menghasilkan dapat
berdampak pada rusaknya satu ekosistem, tatanank kehidupan manusia, dan kerusakan ekologi.
Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air baik yang ada di permukaan
maupun yang ada di bawah permukaan, menjadi fenomena sosial ketika banyak terjadi
kekeringan, berkurangnya daya tahan pangan dan hilangnya keberfungsiaan lahan. Bencana
ekologi terjadi akibat adanya akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh
pemanasan global di dunia.

2. Upaya Peredaman Risiko Bencana


Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi akibat kolektifitas atas komponen
ancaman (hazard) yaitu berbagai isu-isu pemanasan global yang mempengaruhi kondisi alam dan
lingkungan, serta bagaimana tingkat kerentanan (vulnerability) suatu komunitas memiliki nilai
yang sangat tinggi sehingga ada hubungan antara tiga faktor diatas untuk menjadi suatu bencana
(Paripurno, 2000). Dalam konfrensi dunia tentang pengurangan risiko bencana di jepang (World
Confrence on Disaster Reduction, Kobe, Japan 2005), dengan mengacu pada United Framework
Convention on Climate Changes (UNFCCC) bencana dan perubahan iklim menjadi isu utama
karena memliki hubungan atas terjadinya berbagai bencana di dunia dan menghasilkan rencana
aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005 - 20015), dari hasil konfrensi ini, pengurangan
risiko bencana diimplementasikan sampai ke tingkat komunitas dimana setiap negara didorong
untuk memiliki rencana aksi sebagai upaya peredaman risiko bencana. Selain itu upaya-upaya
peredaman risiko bencana telah dilakukan dengan adanya Kyoto Protokol tahun 2005, sebagai
kerangka kerja untuk setiap Negara-negara di dunian melakukan rencana aksi pengurangan
perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dunia dari pemanasan global
yang dapat mengakibatkan bencana ekologis.

Bencana ekologis menjadi ancaman bagi setiap negara sehingga perlu adanya tindakan
preventif dalam mereduksi risiko bencana yang akan ditimbulkan, perubahan iklim dalam waktu
yang sangat lama tidak terbatas pada aspek-aspek iklim dan lingkungan, pengurangan emisi gas
CO2 di udara menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pengurangan dampak pemanasan
global di dunia. Pencegahan dan pengelolaan lingkungan harus dimulai secara dini untuk menilai
risiko dan kondisi alam yang tidak stabil terhadap ancaman bencana ekologis.

Pengurangan risiko bencana meliputi tahapan sebelum bencana, saat bencana dan
setelah bencana, pada tahapan sebelum bencana manajemen risiko dapat dilakukan dengan
melakukan upaya-upaya pencegahan atau mitigasi, merupakan upaya terpadu yang dilakukan
untuk meminimalkan risiko bencana, mitigasi dapat dilakukan denganpenilaian risiko bencana
berdasarkan atas analisa ancaman (hazard) yang diakibatkan perubahan iklim global, mengenal
ancaman untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana, khususnya
bencana ekologis, dari faktor-faktor di atas kemudian dilakukan penilaian terhadap kerentanan
(vulnerability) dalam suatu komunitas untuk menerima dampak ancaman sehingga dapat
mengetahui tingkat risiko bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan melakukan du pendekatan
antara lain pendekatan structural yang mengacu pada infrastruktur yang mendukung
pengurangan pengaruh pemanasan global dan risiko bencana, serta pendekatan non structural
dengan pendekatan masyarakat sebagai perancang dan perencana suatu tindakan mitigasi
bencana. Ancaman adalah sesuatu yang dapat mengkibatkan terjadinya bencana baik secara
alamiah (natural disaster) maupun akibat ulah manusia itu sendiri (man-made disaster). Atas
penilaian risiko bencana dapat dijadikan tolak ukur suatu rencana strategis dalam membangun
suatu kesiapsiagaan dalam satu komunitas untuk menghadapi risiko bencana, sistem peringatan
dini harus dimiliki sebagai tanda yang dapat memberikan informasi adanya ancaman risiko
bencana. Risiko bencana merupakan hubungan antara komponen-komponen ancaman (hazard),
kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam mengelola ancaman. Jika dilihat
hubungannya risiko bencana dapat dirumuskan

RI = Hazard x Vulnerability/Capacity
Dimana : RI = Risiko Bencana
H = Hazard
V = Vulnerability
C = Capacity
Semakin tinggi nilai ancaman dan nilai kerentanan maka risiko bencana semakin tinggi, untuk
mengurangi risiko bencana perlu melakukan peningkatan nilai kerentanan (vulnerability)
menjadi kapasitas (capacity) dengan melakukan penguatan kapasitas di dalam masyarakat dalam
mengelola lingkungan, mengenal ancaman, mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan oleh
faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana dalam lingkungan (disaster ecology).

Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi yang
diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana.
Rencana aksi harus meliputi upaya-upaya yang dilakukan untuk pengurangan laju perubahan
iklim di setiap negara, meliputi 3 isu yang harus di perhatikan : (1) pengurangan risiko bencana;
(2) perubahan iklim global dan (3) pembangunan berkelanjutan, yang menjadi satu kesatuan
yang saling berhubungan dalam mengelola ancaman bencana alam (natural disaster). Saat
terjadinya bencana di suatu wilayah perlu dilakukan penanganan cepat (emergency response)
untuk memberi jaminan keselamatan, kesehatan dan hak-hak dasar kepada seluruh komponen
yang terlanda tanpa terkecuali, dalam masa krisis pemulihan cepat terhadap kehidupan dan
penghidupan masyarakat harus dilakukan secara terencana dan terpadu sehingga dapat ditangani
dengan cepat. Proses pemulihan (recovery) menjadi bagian dari upaya peredaman risiko bencana
dimana dalam perencanaan suatu program pemulihan harus memiliki unsur-unsur terhadap
pengurangan risiko bencana, berguna bagi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan aman
dari risiko bencana.

III. KESIMPULAN
Perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global di dunia memberikan dampak
terhadap terjadinya bencana-bencana alam yang merupakan bencana ekologis, dimana terjadi
hilangnya keseimbangan ekologi seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan
temperature ekstrim, endemic, tsunami, kekeringan dan El Nino. Hal ini berdampak pada kondisi
lingkungan disekitarnya. Bencana merupakan akumulasi dari faktor-faktor alam yang telah
mengalami ganguan keseimbangan dimana ada suatu kerentanan (vulnerability) pada suatu
wilayah yang terkena dampak sehingga menurunnya daya tangkal masyarakat dalam menerima
risiko bencana, seringkali bencana yang terjadi silih berganti dalam satu waktu yang sama
(bencana kembar). Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan
tahapan manajemen bencana yang meliputi pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaan; manajemen
emergensi, pemulihan dan rencana aksi yang dapat berimplikasi terhadap pengurangan risiko
bencana.

Upaya peredaman risiko bencana merupakan upaya terpadu dan terencana yang
dilakukan dalam manajemen bencana sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengeloalaan
lingkungan yang berbasis pengurangan risiko bencana, dengan mengurangi efek pemanasan
global yang saling berhubungan antara pengurangan risiko bencana, pengurangan global
warming dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

Gunung Sindoro

Temanggung - Aktifitas Gunung Sindoro yang berada di perbatasan Wonosobo dan Temanggung,
Jawa Tengah sampai saat ini masih fluktuatif. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) bersama Balai Pennyelidikan dan Pengembangan Kegunangapian (BPPTK)
Yogyakarta Minggu(11/12/2011) memasang sebanyak enam jenis alat pemantauan gunung
berapi.

Keenam jenis alat itu adalah seismograf short periode(3 buah), seismograft broadband(2 buah),
tiltmeter(satu buah), electronic distance measurement(EDM) dengan dua reflektor, kamera
inframerah (satu buah) dan mini differential optical absorption spectrometer (DOAS) satu buah.

Mengenai pemasangan enam jenis alat pemantau itu disampaikan oleh Petugas Pos Pengamatan
Gunung Sindoro dan Sumbing (PGSS) di Desa Gentingsari, Kecamatan Bansari, Temanggung,
Jateng Sumaryanto kepada detikcom Minggu (11/12/2011).

Sindoro masih cenderung fluktuatif (naik turun) aktifitasnya). Makanya sekarang dipasang
sebanyak enam alat untuk memantau secara dekat dan ketat, jelas Sumaryanto.

Sumaryanto mengungkapkan berdasarkan data terakhir, pada 10 Desember 2011 aktifitas


Sindoro masih tetap berstatus waspada level II. Suhu udara 24-28 derajat celcius, kelembaban
udara 78-81 persen. Data seismik tercatat muncul sebanyak sembilan kali gempa vulkanik dalam
(VA), 22 kali gempa vulkanik dangkal (VB) dan 27 kali gempa hembusan.

Sebelumnya pada 8 Desember 2011 suhu ucara 23-28 derajat celcius kelembaban udara antara
80-82 persen. Data seismik tercatat satu keali gempa tektonik jauh, satu kali gempa tektonik
lokal dan 11 kali gempa hembusan.

Kemudian pada 9 Desember 2011, suhu udara antara 24-26 derajat celcius, kelembaban udara
antara 79-83 persen. Data seismik tercatat satu kali gempa tektonik jauh, satu kali gempa
tektonik lokal, lima kali gempa hembusan dan satu kali gempa tremor.

Kasub Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi Wilayah Barat PVMBG Bandung
Hendra Gunawan menjelaskan keenam alat itu dipasang di kawasan puncak dan lereng Sindoro
serta di Pos Pemantauan Gunung Sindoro.

Seismograft short period dan seismograf broadband untuk memantau aktifitas kegempaan,
tiltmeter dan EDM untuk mengukur tekanan uap panas dan animali panas dikawasan puncak
gunung.

Alat ini untuk memudahkan pengambilan keputusan, ungkap Hendra Gunawan.

Hendra Gunawan menungkapkan sebetulnya keenam alat itu sudah harus dipasang Sabtu
(10/12/2011) kemarin. Namun, karena petugas dari BPPTK Yogyakarta baru datang hari ini
maka begitu datang petugasnya langsung dipasang.

Begitu dipasang maka langsung akan dioperasikan untuk memulai pemantauan gunung Sindoro
secara detail, turu Hendro Gunawan.

Hendro menambahkan alat pemauntauan ini nantinya juga akan disambungkan ke pemauntauan
gunung Merapi di Desa Babadan, Kecamatan Dukun, Magelang, Jateng. Dari sana bisa dipantau
mengenaik aktifitas kegempaan yang terjadi di Sindoro.

Hanya aktifitas kegempaanya yang bisa dipantau di pos pemantauan Gunung Merapi di Pos
Babadan, Magelang, ungkap Hendro.
Diposkan oleh ARTIKEL BENCANA ALAM di 21.26 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Senin, 05 Desember 2011


Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah melakukan diskusi
terarah dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara dalam rangka
memetakan dan mencari informasi daerah-daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor.
Secara fisik alam, kondisi Kab Banjarnegara memang cukup berpotensi untuk terjadinya bencana
tanah longsor. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kondisi alamnya mayoritas adalah perbukitan
(70%) dan 30% lainnya adalah dataran.
Menurut BPBD Banjarnegara, 85 % Kecamatan di Kabupaten Banjarnergara rawan terjadi tanah
longsor (17 Kecamatan dari 20 Kecamatan di Banjarnegara). Oleh sebab itu pemerintah Kab
Banjarngara meminta seluruh masyarakat agar waspada dan memperhatikan ancaman yang
terdapat disekitar tempat tinggalnya.
Selengkapnya...

Bencana EL NINO

!mgl5.jpg
Sabtu, 08 Agustus 2009 12:55 Artikel - Siaga Bencana
Surel Cetak PDF
MENURUT Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG, 2009), musim kemarau
tahun ini berpotensi bakal sangat panjang, hingga April 2010. Bahkan, akan disertai tiga
fenomena alam global seperti El Nino dan La Lina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscilation
(MJO), serta tiga fenomena alam regional seperti sirkulasi Muson Asia-Australia, daerah
pertemuan angin antartropis, dan naiknya suhu muka laut.
Terjadinya El Nino di Indonesia berasosiasi dengan berkurangnya curah hujan hingga berada
jauh di bawah normal akibat naiknya suhu permukaan laut di kawasan pasifik hingga di atas
normal, yakni mencapai di atas satu derajat celsius. Keadaan itu mengakibatkan perairan di
Indonesia dingin atau di bawah normal.
Negara kita sebenarnya telah berulang-ulang mengalami fenomena alam El Nino. Namun,
kemampuan untuk mendeteksi secara dini fenomena tersebut masih sangat lemah. Akurasi
ramalan baru dapat diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan
seperti ini menjadikan langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh fenomena
alam tersebut sering terlambat. Saat El- Nino melanda pada 1997/1998, antisipasi dari
pemerintah terlambat karena bersamaan dengan itu kondisi suhu sosial politik dalam negeri
mencapai titik kulminasi (Toto Subandriyo, 2009).
Ancaman bahaya bencana El Nino yang berkepanjangan sudah semakin jelas dan
mengkhawatirkan. Jika bencana ini sampai benar-benar terjadi, tentu akan menjadi ancaman
serius bagi kehidupan di muka bumi ini. Suhu udara akan panas. Krisis air bersih dan kekeringan
bakal menjadi bencana.
Kekeringan sudah mulai dirasakan dan telah mengancam sejumlah daerah di Indonesia, termasuk
Jawa Tengah (Jateng). Sejumlah waduk mulai kering atau menyusut debit airnya. Lebih dari
800.000 hektar sawah di Pantura Jawa bahkan sudah puso dan ribuan hektar lain terancam
mengalami penurunan panen akibat kekurangan air. Daerah yang kekeringan, antara lain,
Kabupaten Kebumen, Tegal, Karanganyar, Brebes, Sragen, Semarang, Purworejo, Cilacap,
Rembang, Grobogan, Blora, Wonogiri, Demak, Purwodadi, Rembang, Pati, Gunung Kidul, dan
DIY.
Ancaman gangguan iklim berupa kekeringan tidak bisa dipandang sebelah mata, karena
dampaknya berantai pada aspek lain. Para petani adalah kelompok yang paling merasakan akibat
kekeringan. Tanpa kecukupan air, sawah akan mengering, panen gagal. Kerugian ekonomi pasti
menimpa karena sawah menjadi puso. Kekeringan yang dipicu El Nino akan mengganggu

ketersediaan pangan nasional dan mengakibatkan ketidaktahanan pangan nasional (Ali Khomsan,
Kompas, 4/8/2009).
Meski dampaknya amat luar biasa, hingga kini belum ada upaya signifikan untuk menyelesaikan
soal kekeringan. Selama ini, penyelesaian masalah kekeringan dilakukan dengan reaktif,
temporer, ad hoc, parsial, orientasi penciptaan proyek. Misalnya, pemberian air bersih, bantuan
pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, serta rehabilitasi sarana irigasi, membuat hujan buatan
yang biayanya mahal dan hasilnya kerap kurang optimal. Ibarat sakit yang diobati hanya
gejalagejala yang timbul, bukan mencari sumber penyebab penyakitnya sehingga akhirnya
menjadi penyakit kambuhan.
Untuk perlu upaya secara komprehensif dan berkelanjutan mengatasi bencana kekeringan.
Pertama, pemerintah provinsi (pemprov) beserta wali kota/bupati sebagai pemegang kebijakan
memanfaatkan dan mendayagunakan sumber-sumber air dan kearifan lokal mengatasi bahaya
kekeringan. Termasuk yang masih terabaikan adalah pembenahan manajemen sumber daya air
dan sistem irigasi. Setiap daerah pasti memiliki sungai atau sumber air. Ada pula yang
mempunyai bendungan baik kategori besar, sedang, maupun kecil. Sumber daya air itulah yang
mestinya bisa dioptimalkan kemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan air bersih serta irigasi
atau pengairan lahan pertanian.
Kedua, mengoptimalkan sumbersumber air untuk berbagai kebutuhan. Cara sederhana yang bisa
dipraktikkan adalah membuat embung (bak-bak penampung air hujan) dan sumur-sumur resapan,
atau resapan dengan teknologi biopori. Jadi, ketika air berlimpah pada musim hujan disimpan di
bak-bak atau tandon yang dibuat dengan standar tertentu agar memenuhi syarat kesehatan. Selain
itu, menjaga daerah tangkapan air dan mempertahankan kelestarian hutan tak kalah penting
karena menjadi penentu kuantitas dan kualitas sumber air.
Ketiga, El Nino merupakan fenomena iklim, di mana angin yang bertiup sangat kering dan
miskin uap air yang pada akhirnya menyebabkan kekeringan. Kebalikannya La Nina, membawa
curah hujan yang berlebih yang memicu banjir besar. El Nino dan La Lina akan makin sering
terjadi di Indonesia seiring dengan makin kuatnya dampak perubahan iklim. Pemda perlu
mengetahui berapa luas potensi lahan pertanian dan mempertahankan luasannya dari berbagai
usaha alih fungsi lahan. Jangan sampai lahan pertanian yang potensial terairi sepanjang tahun
berubah fungsi untuk keperluan lain.
Keempat, mengimbau petani tidak memaksakan diri untuk menanam padi apabila kondisi air
makin sedikit. Lebih aman mengatur pola tanam dengan menanam palawija pada daerah yang
sudah terbukti sulit air. Saat inilah perlunya penyuluhan kepada kelompok tani di daerah yang
sering mengalami kekeringan. Tujuannya tak lain menentukan alternatif pola tanam yang tepat
agar petani tidak terpuruk akibat gagal panen karena kekeringan seperti pengalaman tahun
sebelumnya.
Kelima, BMKG perlu menyampaikan keadaan aktual, kecenderungan, serta teknologi adaptasi
dan mitigasinya. Penyusunan sistem informasi kekeringan untuk alokasi, optimasi, dan
pendayagunaan sumber daya antarsektor mendesak dilakukan. Pemerintah Provinsi Jateng harus
memanfaatkan sistem informasi itu. Dengan memanfaatkan data citra satelit Landsat TM, luas

lahan sawah, luas tanam, luas panen, indeks kebasahan, serta kemampuan produksi pangan,
dapat diestimasi tiga bulan sebelumnya.
Integrasi data spasial, temporal, tabular, dan vektoral perubahan kekeringan memungkinkan
pengambil kebijakan mengembangkan sistem informasi untuk berbagai keperluan, seperti tata
ruang, manajemen alih fungsi lahan, produksi air, reboisasi, dan penghijauan, bahkan dalam
peningkatan produksi pertanian.

Minggu, 04 Desember 2011


LIMA TAHUN TRAGEDI LUMPUR LAPINDO: PERSPEKTIF GEOLOGI
Dr Andang Bachtiar
(Arema, Geologist merdeka, Ketua Dewan Penasehat IAGI, Chairman Exploration Think Tank
Indonesia)
KILAS BALIK

Gunung lumpur (mud-volcano) adalah ekspresi permukaan tanah (dan bawah laut) dari
munculnya endapan lumpur tekanan tinggi yg berasal dari bawah permukaan bumi. Seringkali
gunung lumpur dikaitkan dengan penyebab alamiah geologis, karena sebelum kejadian semburan
Lusi 29 Mei 2006, khasanah literatur geologi dunia jarang mendokumentasikan kasus munculnya
gunung lumpur yang dipicu oleh kegiatan manusia. Karena kejadian munculnya gunung lumpur
di Sidoarjo ini pertama kali di sekitar lokasi pemboran sumur Banjar Panji-1 yang pada waktu itu
sedang mengalami masalah loss: dan kick disusul underground blow-out (semburan liar
bawah permukaan), maka mengkaitkannya sebagai pemicu munculnya gunung lumpur tersebut
adalah sangat logis.
Waktu pertama kali diwawancara oleh koran daerah Surabaya tentang hal ini, 2 Juni 2006,
sayapun sudah mengatakan bahwa fenomena awal dari semburan lumpur tersebut adalah
dikarenakan adanya semburan liar bawah permukaan karena waktu itu saya sempat meninjau
lokasi dari pinggir jalan tol saat mudik ke Malang, kota kelahiran saya. Fenomena permukaannya
hampir serupa dengan kejadian semburan liar pemboran yang saya alami sendiri waktu bekerja
di Kalimantan Timur sebagai wellsite geologist Huffco 1985. Demikian juga pendapat awal dari
ahli2 geologi dari Lapindo sendiri yang waktu itu sempat kontak2an dengan saya, dan juga
keterangan di website EMP (yang sekarang sudah dihapus) yang menyebutkan bahwa terjadi
komunikasi dari lubang bor ke pusat semburan yang berjarak beberapa ratus meter dari BJP-1
waktu dilakukan penanggulangan tekanan dari sumur. Pendapat tersebut kemudian diformalkan
pertama kali dalam bentuk publikasi oleh Richard Davies dkk (2007) dalam jurnal GSA Today
17 (2): 4.
Seiring dengan waktu, geologist2 di Lapindo-pun mulai mengubah pandangannya. Bersama
dengan geologist terkemuka dari BPMigas, dari Oslo dan Jepang yang difasilitasi untuk
melakukan peninjauan riset di daerah semburan dan sekitarnya, keluarlah publikasi-publikasi

tandingan yang menyebutkan bahwa gempa, kematangan tektonik, dan secara spesifik- gerak
patahan mendatar yang menekan di daerah Porong lah yang menyebabkan munculnya gunung
lumpur tersebut.
Seiring dengan waktu juga, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa proses pemboran di
BJP-1 merupakan pemicu dari munculnya gunung lumpur Lusi, sejalan dengan argumen2 yang
dipaparkan Davies dkk, dan juga pengamatan yang saya lakukan pada real time drilling charts
yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ke saya 2007-2008.
MEMATIKAN SEMBURAN?

Usaha teknis untuk mematikan semburan LuSi TIDAK BISA dipisahkan dari penanganan
masalah sosialnya. HARUS MENJADI SATU PAKET. Kalau tidak, maka jangan pernah berpikir
untuk mematikannya. Kalau masalah sosial seperti pembayaran ganti rugi yg terkatung2 karena
pemerintah sangat toleran terhadap performance janji Lapindo tidak diberesi maka dijamin
segala usaha keteknikan yg akan dilakukan akan mengalami hambatan di lapangan. Itulah yang
terjadi sekarang ini. Biarpun konon kabarnya SBY mendapat bisikan banyak pihak dr luar
maupun dalam yg terinspirasi oleh keberhasilan penanganan blow out di Montara (NWShelf) dan
Horizon (Gulf of Mexico) untuk mulai berpikir lagi soal mematikan sumber semburan LuSi,
tetap saja dia sbg presiden tidak bisa lari dr kenyataan bahwa penanganan masalah sosial di LuSI
sampai skrg masih amburadul. Makanya dr awal2 seperti ini sebelum sang presiden dipengaruhi
oleh banyak pihak untuk grusa-grusu mengadopsi keberhasilan kill well di NWShelf maupun
GOM untuk LuSI, saya teriakkan ke mana-mana: beresi juga ganti rugi dan masalah2 sosial
lainnya (pemindahan penduduk, pendidikan, jalan raya macet dsb). Jangan cuma fokus ngomong
tinggi2 soal teknisnya. Biarlah masalah teknis dibicarakan dan direncanakan ahlinya, tapi
masalah sosial harus dikawal dan dipaksakan sesegera mungkin untuk diberesi, supaya nantinya
usaha teknis ini diridhloi dan tdk mendapat gangguan masyarakat
Berdasarkan kesepakatan teknis saintifik yg sdh bebrapa kali dibahas di level asosiasi profesi
maupun dikalangan ahli lembaga2 pemerintah, disebutkan bahwa usaha teknis pertama yg hrs
dilakukan dlm rangka menuju ke perencanaan killing source (bukan well, krn wellnya sudah
tidak kliatan lagi?) dr LuSi ini adalah akusisi data seismik 3D dengan disain khusus spt yg sdh
didisain oleh kawan2 BPPT dan Elnusa dan sdh diendorse oleh forum2 IAGI maupun HAGI dlm
berbagai kesempatan dlm 2 tahun terakhir ini. Akusisi data baru ini menjadi sangat crucial krn
akan memberikan gambaran baru tentang kondisi bawah permukaan dalam di bawah LuSi yg
selama ini cuma bisa dikira2 saja oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para drilling engineer
yg mencoba merencanakan drilling program mematikan sumur BJP-1 (mrk menggunakan data2
engineering dr pemboran BJP-1, tp masih perlu dikuatkan oleh data terbaru 3D seismik untuk
konfirmasi).
Integrasi data dan interpretasi 3D seismik baru tsb mutlak harus dilakukan dg data engineering
dar BJP-1 maupun Relief well sesudahnya dan juga dr data geologi geofisik permukaan dangkal
yg diakuisisi dalam 4 tahun erakhir ini.

Khusus untuk asosiasi profesi seperti IAGI, HAGI, dan IATMI, dimohon untuk tidak berat
sebelah dalam mengungkapkan berbagai data teknis dan interpretasinya, jangan mengulang
kesalahan2 sebelumnya yang hanya memihak pada satu sisi pendapat para ahli tertentu saja,
padahal secara nyata berkembang argumen2 counter dr pendapat2 tersebut. Biarkanlah keduadua pendapat tersebut berkembang karena line of reasoning dr masing2 bisa jadi akan
bermanfaat bagi rencana penanggulangan mematikan semburan ini nanti. Biarlah nanti di level
pengambilan keputusan melakukan excercise yg disebut sbg: probability atau uncertainity
management, yaitu mengambil keputusan berdasarkan ketidakpastian dr berbagai teori
penyebab maupun kondisi situasi bawah permukaan-permukaan LuSi. Tentunya dalam sekuen
pengambilan keputusannya terkandung azas manfaat lebih banyak drpd mudharat.
SAAT INI

Saat ini upaya untuk melihat sejauh mana kerusakan subsurface dg survei seismik 3dimensi sdg
dlm tahap perencanaan, disain, sosialisasi, dan tender. Survei seismik 3D ini dibawah koordinasi
dan bujet Badan Geologi ESDM, dibantu sukarela oleh IAGI/HAGI; harapannya:akhir 2011
image subusrface baru sdh ada, sehingga:
1) Pihak2 yg merasa bhw semburan bisa dimatikan dg pemboran atau teknis lainnya bisa
mengkongkritkan usulan dengan data bawah permukaan yg lebih jelas, bukan hanya asumsi2
saja (yg seringkali satu dg lainnya juga berbeda2), atau malah bisa juga membatalkannya krn
melihat damage-nya sdh multi bidang, bkn hanya bidang tunggal; jadi cost benefitnya tidak
matched
2) Dapat dibuat analisis prediksi modeling subsidence/penurunan tanah, sampai di surface area
mana kemungkinan terjadi kerusakan & seberapa tingkat bahayanya sehingga bisa dibuat peta
resiko zonasi yg baru yg lebih update berdasar data subsurface, yg tdk hrs tiap thn diganti dg
perpres spt selama ini terjadi.
3) Ganti-rugi dan atau pemindahan penduduk untuk rencana pengelolaan jangka panjang area tsb
menjadi once for all solution kalau menggunakan hasil no.2 di atas
Usulan saya: sudah saja semua penduduk yg terdampak di sekitar daerah tersebut ditambah
dengan yang dr survei tim independen Provinsi Jatim tahun lalu dan dari hasil evaluasi hazard
3D nanti, semua diganti-rugi sampai selesai dg menggunakan duit yg ada (pinjaman dr
pemerintah (?) yg nanti dibebankan pd Lapindo dan atau pengelola berikutnya)
Kemudian, daerah yang ditinggalkan dikelola oleh badan khusus (otorita?) untuk riset, wisata,
maupun kegiatan eksplorasi lainnya bila memungkinkan
Sangat mungkin nantinya bisa dilakukan lagi eksplorasi dan eksploitasi potensi cadangan migas
di bawah daerah semburan lumpur tersebut. Karena probabilitas kehadiran cadangan migas
(terutama gas) sangat besar disini. Lapindo atau siapapun yang berminat membantu pemerintah
membereskan urusan ganti rugi dan evakuasi massal ini mungkin bisa berharap menghitunghitung return dari investasi sosialnya saat ini.

Jakarta, 23 Mei 2011


ADB

Anda mungkin juga menyukai