Anda di halaman 1dari 75

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Odontogen


2.1.1 Definisi Infeksi Odontogen
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal
dari gigi yang berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang
bermanifestasi pada region orofacial adalah odontogenik. Infeksi
odontogenik merupakan penyakit yang paling umum sedunia dan
merupakan alasan mencari perawatan dental (Fragiskos,2007).
Infeksi ini disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal
dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, sulcus gingival, dan mukosa mulut
yang dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis yang mencapai
jaringan lebih dalam yaitu melalui nekrosis pulpa dan poket periodontal
dalam. odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit
periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi
odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti
streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke
sisi wajah lain (Gordon,1996).

2.1.2 Etiologi Infeksi Odontogen


Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam
mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut.
Yang terutama ditemukan bakteri kokus aerob, kokus anaerob gram positif

dan batang anaerob gram negatif. Organisme penyebab infeksi odontogen


yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic
Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bila infeksi odontogen
disebabkan bakteri aerob, biasanya organisme penyebabnya adalah species
Streptococcus. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies,
gingivitis, dan periodontitis.jika mencapai jaringan yang lebih dalam
melalui nekrosis pulpa dan poket periodontaldalam, maka akan terjadi
infeksi odontogen. Yang terpenting adalah infeksi ini disebabkan oleh
berbagai macam-macam bakteri, baik aerob maupun anaerob
(Roberto,2007).
Faktor yang berperan terjadinya infeksi
1. Virulensi dan quantity
Dirongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila
lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal maupun
bakteri asing maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat patogen.
Patogenitas bakteri biasannya berkaitan dengan 2 faktor yaitu virulensi dan
quantity. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi,
toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya. sedang quantity adalah jumlah
dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan dengan
jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.
2. Pertahanan tubuh lokal
Pertahan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier
anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, penahan masuknya bakteri
ke jaringan dibawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara

insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan
membuka jalan masuk bakteri ke jaringan dibawahnya. Gigi-gigi dan
mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi.
3. Pertahanan humoral
Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan
tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua
komponen

utamannya

adalah

imunoglobulin

dan

komplemen.

Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi


dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit. Imunoglobulin diproduksi
oleh plasma yang merupakan perkembangan dari limfosit B. Komplemen
adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya, merupakan
sekelompok serum yang diproduksi dihepar dan harus diaktifkan untuk
dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen adalah dalam proses pengenalan
bakteri, proses kemoktasis oleh polimorfonuklear leukosit yang dari aliran
darah ke daerah infeksi selain itu untuk proses opsonisasi untuk membantu
mematikan bakteri.
4. Pertahanan selular
Mekanisme pertahanan selular berupa sel fagosit dan limfosit. Sel
fagosit

yang

berperan

dalam

proses

infeksi

adalah

leukosit

polimorfonuklear. Limfosit akan membentuk antibodi yang spesifik seperti


ig G.

2.1.3 Patogenesis
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap
abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut
yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri

dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut.
Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan
gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di
daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis.
Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di
apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi
penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut
dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.
2.1.4 Klasifikasi Infeksi Odontogen
1. Pericoronitis
Definisi
Pericoronitis didefinisikan sebagai infeksi di sekitar bagian
mahkota gigi yang terjadi di dalam rongga mulut dan mengeluarkan
simtom. Secara klinis, perikorontis seperti abses periodontal namun
begitu, etiologik nya berbeda (Peterson et. al.,2003)
Gambaran Klinis dan Diagnosa.
Perikoronitis dapat memberi efek terhadap molar ketiga kerana
kasus impaksi banyak terjadi pada molar ketiga dan ia terletak pada
pinggir anterior mandibular. Oleh karena itu, kasus impaksi molar
ketiga banyak terjadi pada usia dewasa muda (Peterson et. al.,2003)
Perikoronitis akut mulanya terjadi sebagai kesakitan yang
terjadi secara local dan pembekakan gingiva. Kesakitan in dapat
dirasai pada bahagian muka, telinga atau sudut pada mandibular.
Apabila dilakukan diagnosa secara visual dan palpasi, terdapat

pembekakan, inflamasi, dan bahagian lunak pada jaringan lunak yang


terletak disekeliling koronal termasuk oklusal (Topazian et. al.,2002)
Inspeksi menunjukkan terdapat akumulasi plak dan debris
pada porsi yang terdedah pada gigi yang terinfeksi dan juga gigi
tetangga karena jaringan lunak yang mengalami infeksi tersebut
menghalang sikat gigi untuk mencapai daerah tersebut. Pus dapat
terlihat dibawah margin jaringan perikoronal atau dapat dikeluarkan
apabila dilakukan palpasi. (Topazian et. al.,2002),
Etilogi
Etiologi perikoronitis secara umum adalah infeksi. Namun
begitu, mikroorganisme spesifik yang menyebabkan perikoronitis ini
masih belum diketahui. Tetapi terdapat penelitian yang menemukan
S.viridans, campuran flora oral, spirochetes dan sobakteri terlibat
didalam kasus ini. Terdapat penelitian lain juga menemukan
prevotella intermedia, Peptostreptococcus micros, F. nucleatum, A.
actinomycetemcomitans dan Veillonella di dalam poket lesi akut
perikoronal. (Topazian et. al.,2002)
Disamping itu, etiologi perikoronitis adalah trauma dari gigi
tetangga dalam terjadinya ekserbasi dan pembekakan jaringan. Faktor
lainnya adalah stress emosi, rokok, chronic fatigue, dan infeksi pada
saluran respiratori di bahagian atas. (Topazian et. al.,2002)
iv) Klasifikasi

Perikoronitis kronis dapat hadir tanpa atau hanya gejala ringan


dan remisi panjang antara setiap peninggian fase untuk

perikoronitis akut.
Perikoronitis akut dikaitkan dengan berbagai gejala termasuk
sakit parah, pembengkakan dan demam. Kadang-kadang ada

abses perikoronal terkait (akumulasi nanah) . Infeksi ini dapat


menyebar ke bagian lain dari wajah atau leher, dan kadangkadang dapat menyebabkan jalan nafas (misal Ludwig angina)
yang membutuhkan perawatan rumah sakit darurat. (Malik,2011)
2. Abses
Menurut (Angel, dkk., 2002), abses dibagi menjadi:
1.Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi
di daerah periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi
keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan
jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi
infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam.
Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga
bisa berasal sistemik (bakteremia).

Gambar 2.1 : Abses periapikal

1.1 Abses Apikalis Akut


Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan
periapikal gigi, yang disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis
akut disebabkan masuknya bakteri, serta produknya dari saluran akar
gigi yang terinfeksi. Abses apikalis akut ditandai dengan nyeri yang
spontan, adanya pembentukan nanah, dan pembengkakan.
Pembengkakan biasanya terletak divestibulum bukal, lingual atau
palatal tergantung lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikialis akut

juga terkadang disertai dengan manifestasi sistemik seperti


meningkatnya suhu tubuh, dan malaise. Tes perkusi abses apikalis
akut akan mengahasilkan respon yang sangat sensitif, tes palpasi akan
merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas tidak memberikan respon.

Gambar 2.2. Gambaran radiografi dari abses periapikal akut


1.2 Abses Apikalis Kronis
Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat
lesi yang berjalan lama yang kemudian mengadakan drainase ke
permukaan. Abses apikalis kronis disebabkan oleh nekrosis pulpa
yang meluas ke jaringan periapikal, dapat juga disebabkan oleh abses
akut yang sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan pus yang
terbentuk dalam jaringan. Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel
jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab
infeksi atau benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme dan
sel darah. Abses apikalis kronis merupakan reaksi pertahanan yang
bertujuan untuk mencegah infeksi menyebar kebagian tubuh lainnya.
Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa gejala
yang subjektif, hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografis
atau dengan adanya fistula didaerah sekitar gigi yang terkena. Fistula
merupakan ciri khas dari abses apikalis kronis. Fistula merupakan
saluran abnormal yang terbentuk akibat drainasi abses. Abses apikalis
kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan respon
nonsensitif, Sedangakn tes vitalitas tidak memberikan respon.

10

Gambaran radiografis abses apikalis kronis terlihat putusnya lamina


dura hingga kerusakan jaringan periradikuler dan interradikuler.
2. Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis
jaringan lunak mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang
menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi
penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam
serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi
premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai
pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif
pada sentuhan atau tekanan.

Gambar 2.3 a. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan daearah


lingual b. Tampakan Klinis Abses Subperiosteal
3. Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan
kelanjutan abses subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan
sampai dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Rasa sakit
mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar.
Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral
kadangkadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada
palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi
insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar, terangatnya sayap

11

hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah.


Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.

Gambar 2.4 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi


didaerah bukal. b. Tampakan klinis Abses Submukosa
4. Abses fosa kanina
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari
gigi rahang atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta
memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis
ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus
nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak
tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit
yang tegang berwarna merah.

Gambar 2.5 : a. Ilustrasi gambar Abses Fosa Kanina. b. Tampakan klinis


Abses Submukosa
5. Abses spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus
interna dan m. Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas
ke dalam diantara otot pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan

12

spasium infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau
ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan
menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses
supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak
jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada
pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada
perabaan.

a penyebaran abses
Gambar 2.6 : a. Ilustrasi gambar memperlihatkan

lateral ke muskulus buccinators. b. Tampakan Klinis


6. Abses spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan
sering menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal
terletak di bawah dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian
lateral di batasi oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh
m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus.
Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula, milohioid,
lingual, businator, dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus
pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.

13

Gambar 2.7 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal.


b. Tampakan klinis
7. Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara
insersi otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium
ini berupa suatu celah sempit yang berjalan dari tepi depan ramus
antara origo m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas
dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian
dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis
lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar
tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas
spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus
mansibula bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai
trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior
ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.

14

Gambar 2.8 : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke


daerah submasseter. b. Tampakan klinis
8. Abses spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang
memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan
medial bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan
m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi
kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium
sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar
ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri
submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses
periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau
molar mandibula.

a
b
Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah
submandibular di bawah muskulus mylohyoid. b. Tampakan klinis
9. Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal ,
teletek diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh
m.genioglosus dan lateral oleh permukaan lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan
lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan

15

tampak menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya.


Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit.

a
b
Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual .b.
Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi lidah ke arah
berlawanan
10. Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di
depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental.
Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan
sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi
penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental.
Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif.
Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan.
Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan
sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah
spasium yang terdekat terutama kearah belakang.

a
b
Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental . b.
Tampakan klinis
11. Abses spasium parafaringeal

16

Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan


apeks bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh
muskulus pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus
kostriktor. sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus
prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari
prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri
karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal,
glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.
Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui
berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat
menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi
berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai
mediastinuim.
-

Granuloma
Periapikal granuloma merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan
perkembangan yang lambat yang berada dekat dengan apex dari akar
gigi, biasanya merupakan komplikasi dari pulpitis. Terdiri dari massa
jaringan inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul fibrous
yang merupakan ekstensi dari ligamen periodontal
Granuloma periapikal dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada
pulpa yang berlanjut hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang
mengenai jaringan periapikal. Iritan dapat disebabkan oleh organisme
seperti: bakteri dan virus; dan non-organisme seperti: iritan mekanis,
thermal, dan kimia. Penelitian yang dilakukan terhadap spesimen

17

periapikal granuloma, sebagian besar merupakan bakteri anaerob


fakultatif dan organisme yang tersering adalah Veillonella species
(15%), Streptococcus milleri (11%), Streptococcus sanguis(11%),
Actinomyces naeslundii (11%), Propionibacterium acnes (11%), dan
Bacteroides species (10%).3 Sedangkan faktor non-organisme adalah
karena iritan mekanis setelah root canal therapy, trauma langsung,
trauma oklusi, dan kelalaian prosedur endodontik; dan bahan kimia
seperti larutan irigasi.

- Kista
Suatu rongga patologis , berisi cairan kista, dibatasi dinding
epitel. Lesi radiolusen terbanyak kedua setelah granuloma
Gambaran radiografik:
Secara umum radiolusen berbatas jelas/radiopak (cortical layer).Bila
kista mengalami keradangan batasnya menjadi kabur. Macam kista:
Kista odontogen : 1. Kista radikuler
2. Kista dentigerous
3. Kista residual
4. Odontogenic keratocyst
5. Kista lateral periodontal
Kista non odontogen : 1. Kista kanalis nasopalatina
2. Kista nasoalveolar
1. KISTA RADIKULER
Kista odontogen yg paling banyak ditemukan
Inflamasi + invasi bakteri pada pulpa kematian pulpa degenerasi
pulpa

18

Sering sbg kelanjutan granuloma pada gigi non vital


Klinis:
Gigi non vital dg karies dalam/restorasi besar/tx endodontik/pasca
trauma
Asimtomatik, kecuali ada keradangan dan ekspansi
Perkusi negatif
RA > RB, terutama I dan C
Radiografik:
Radiolusen, unilokuler, batas jelas/radiopak
Bila batas tidak radiopak sulit dibedakan dg granuloma, kecuali
diameternya > 1cm
Kadang2 resorpsi akar internal dan atau eksternal

2. KISTA DENTIGEROUS
Mengelilingi mahkota gigi impaksi
Terbanyak setelah kista radikuler
5% kasus pd gigi kelebihan terutama mesiodens
Pada gigi pergantian tumbuh di sekitar mhk permanen pengganti yg
akan erupsi kista erupsi
Klinis:
Sering M3 RB, M3 RA, C RA
Tidak terlihat gigi, kdg ada pembengkakan, palpasi keras
Asimtomatik, kdg parestesi

19

Kista erupsi sakit menekan pulpa terbuka gigi sulung o.k


resorpsi akar fisiologis
Cenderung ekspansi asimetri wajah
Radiografik:
Radiolusen dg batas radiopak di atas mhk gigi impaksi, unilokuler,
diameter dpt > 3cm, selalu melekat pd cej
Dapat meresorpsi akar gigi sebelahnya, dislokasi gigi bersangkutan
Di RA dpt meluas ke antrum, di RB dpt menekan canalis mandibula ke
inferior

3. KISTA RESIDUAL
Dapat berkembang dari:
Sisa k. radikuler/ k. lateral periodontal/ k. dentigerous
Degenerasi kistik dr sisa granuloma setelah pencabutan
Sisa epitel dr ligamen periodontal setelah pencabutan
Klinis:
Lbh sering pria dewasa dg riwayat pencabutan
RB > RA
Asimtomatik, terdeteksi tidak sengaja dr pemeriksaan radiografik
kecuali beradang atau ekspansi
Radiografik:
Radiolusen dg batas radiopak, tepi halus, pada regio tidak bergigi o.k
pencabutan
Episenter pada daerah periapikal, RB di atas kanalis mandibula,
bila besar dpt mendesak kanalis ke inferior

4. ODONTOGENIC KERATOCYST

20

Kista odontogen yg non inflamasi


Dari dental lamina gangguan pertumbuhan degenerasi kistik
Tingkat kekambuhan tinggi (5 - 10 th stlh operasi)
Klinis:
Anak-anak usia lanjut, terbanyak 20 - 30 th
Pria > wanita ; RB > RA
Dapat pada regio tidak bergigi
Asimtomatik, pembengkakan sedikit karena tumbuh ke internal tulang
ekspansi sedikit, kec di ramus dan proc.coronoideous
Radiografik:
Sulit dibedakan dg kista odontogen lainnya
Radiolusen batas radiopak, unilokuler/kdg multilokuler, tepi
halus/ireguler
90% di posterior C RB, 50% di ramus mandibula
Diameter dapat > 5cm
Dislokasi, resorpsi gigi sekitarnya

5. KISTA LATERAL PERIODONTAL


Tumbuh pd periodontium, meluas ke tulang interproksimal antara
apeks dan puncak alveolar
tumbuh intraosseous = k.lateral periodontal
tumbuh ekstraosseous = k.gingiva
Klinis:
Klinis teridentifikasi sbg kista gingiva
Asimtomatik
RB > RA, I2 P2 RB dan antara I2& C RA
Px rata2 50 th
Radiografik:
Radiolusen oval/bulat, diameter < 1cm, batas jelas, diantara cervical
margin dan apeks gigi sebelahnya.
Kontak/ tidak kontak dg akar gigi
Unilokuler, kdg tdd beberapa kista kecil shg seperti multilokuler
3 Periodontitis apikalis

21

Periodontitis apikal dapat didefinisikan sebagai peradangan


semua struktur pendukung gigi di daerah sekitar apeks gigi. Inflamasi
periapikal biasanya disebabkan oleh infeksi gigi yang khas
menyebabkan sakit gigi dalam soketnya. Hal ini sering disertai dengan
kerusakan tulang dan kadang-kadang, apeks akar gigi. Namun
jaringan periapikal memiliki kemampuan untuk menyembuhkan jika
penyebab peradangan dihapus. Periodontitis periapikal dapat dibagi
menjadi periodontitis apikal akut dan kronis. Macam Periodontitis
Apikalis:
1. Periodontitis Apikalis Akut
Periodontitis apikalis akut adalah suatu keradangan akut dari
jaringan periodontal dan tulang di daerah apical gigi. Gejala subjektif
dari periodontitis apikalis akut berupa sakit yang sangat, terutama bila
gigi yang bersangkutan ini digunakan untuk menggigit, selain itu gigi
yang bersangkutan terasa lebih menonjol. Pada pemeriksaan klinis,
gigi yang mengalami periodontitis apikalis akut sudah non-vital, pada
pemeriksaan perkusi dan juga drug terasa sakit sekali. Sakit ini
disebabakan oleh adanya keradangan yang terdapat di jaringan
periapikal.
2. Periodontitis Apikalis Kronis
Periodontitis apikalis kronis adalah suatu keradangan kronis pada
jaringan periapikal gigi yang biasanya merupakan kenajutan dari
periodontitis apikalis akut. Namun periodontitis apikalis kronis ini
biasanya merupakan kelainan yang terjadi sejak awal tanpa

22

menunjukkan gejala akut terlebih dahulu. Hal ini bias diakibatkan oleh
karena infeksi periapikal yang ada sifatnya ringan, atau bias juga
karena resistensi jaringan cukup baik, atau gabungan keduanya. Rasa
sakit yang timbul biasanya berupa keluhan kemeng atau kadangkadang tidak ada keluhan sama sekali. Pada pemeriksaan klinis
didapatkan berupa gigi yang telah nonvital, pada pemeriksaan perkusi
dan drug bias didapatkan keluhan rasa sakit berupa kemeng atau sama
sekali tidak ada respon sakit.

2.1.5 Tahapan Infeksi Odontogen


Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka
menjalani resolusi (Li dkk., 2000):
1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan
adonannya konsisten.
2. Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak
kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin
dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.
3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah
pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang
terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan
jaringan dan jaringan bakteri.

2.1.6 Mekanisme Infeksi Odontogen


Sumber Infeksi Odontogen

23

1. Periodontium: Jaringan untuk mengikat gigi didalam tulang alveolus.


Jalur periodontal merupakan jalur dari hasil inokulasi bakteri pada
periodontal poket. Pada serabut periodonsium yang mengalami kerusakan,
gigi akan goyang, dan kuman-kuman akan lebih mudah mencapai daerah
ujung akar gigi dan masuk saluran darah. Pyorhea (gejala keluarnya nanah
dari

satu

gusi

yang

berasal

dari

peradangan

karena

rusaknya

periodonsium) (Ariji et al., 2002).


2. Periapikal : Ujung dari akar gigi.
Penyebab yang berasal dari periapikal adalah yang paling sering
karies gigi atau gigi berlubang yang tidak dirawat atau dibiarkan saja lama
kelamaan dapat menyebabkan infeksi periapikal. Infeksi periapikal yang
kronis dapat menyebabkan terbentuknya granuloma, kista, dan abses (Ariji
et al., 2002).
Pulpa gigi yang nekrosis akibat karies profunda member jalan bagi
bakteri untuk masuk kedalam jaringan periapikal. Infeksi akan menyebar
kedaerah yang minimal resistensi (Ariji et al., 2002).
3. Perikoronal
Jalur ini sebagai hasil dari terperangkapnya sisa-sisa makanan di bawah
operkulum yang terjadi pada gigi yang tidak/ belum tumbuh sempurna
(Ariji et al., 2002).
Penyebaran Infeksi Odontogen
1. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di
sekitarnya merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini
meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah
yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan
inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya

24

menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam


pembuluh darah (Robertson, dkk, 1996).
2. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut
kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat
dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah,
terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh
limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang
bawah (Robertson, dkk, 1996).
Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut
(Robertson, dkk, 1996):

Sumber Infeksi
Gingiva bawah
Jaringan subkutan bibir bawah

Kelenjar Getah Bening Regional


Submaksila
Submaksila, submental, servikal

Jaringan submukosa bibir atas dan

profunda
Submaksila

bawah
Gingiva dan palatum atas
Pipi bagian anterior
Pipi bagian posterior
(Robertson, dkk, 1996).

Servikal profunda
Parotis
Submaksila, fasial

3. Peluasan langsung infeksi dalam jaringan


Hippocrates pada tahun 460 sebelum Masehi menyatakan bahwa
supurasi yang berasal dari gigi ketiga lebih sering terjadi daripada gigi-gigi
lain dan cairan yang disekresikan dari hidung dan nyeri juga berkaitan
dengan hal tersebut, dengan kata lain infeksi antrum. Supurasi peritonsilar,
faringeal, adenitis servikal akut, selulitis, dan angina Ludwig dapat

25

disebabkan oleh penyakit periodontal da infeksi perikoronal sekitar molar


ketiga. Parotitis, keterlibatan sinus kavernosus, noma, dan gangren juga
dapat disebabkan oleh infeksi gigi. Osteitis dan osteomyelitis seringkali
merupakan perluasan infeksi dari abses alveolar dan pocket periodontal.
Keterlibatan bifurkasio apikal pada molar rahang bawah melalui infeksi
periodontal merupakan faktor yang penting yang menyebabkan
osteomyelitis dan harus menjadi bahan pertimbangan ketika mengekstraksi
gigi yang terinfeksi (Robertson, dkk, 1996).
Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran
material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjag bidang fasial
dan jaringan penyambung di daerah yang paling rentan. Tipe terakhir
tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus terakumulasi di jaringan
dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces),
menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier
anatomik. Ruang tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan
ruang potensial yang normalnya terisi oleh jaringan ikat longgar. Ketika
terjadi infeksi, jaringan areolar hancur, membentuk ruang sejati, dan
menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia
yang meliputi ruang tersebut relatif padat (Robertson, dkk, 1996).
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu (Robertson, dkk,
1996):

Perluasan di dalam tulang tanpa pointing


Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan
osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering

26

pada rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling berdekatan antara
sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan
mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.

Perluasan di dalam tulang dengan pointing


Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi
perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan
lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini
membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital. Selanjutnya, abses
infraorbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di
rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila
pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa
terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar atau
peritonsilar.

Perluasan sepanjang bidang fasial


Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena
fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan
saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat
longgar, sehingga infeksi dapat menurun.

Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan
klasifikasi dari Burman:
a)

Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda

b)

Regio submandibula

c)

Ruang (space) sublingual

27

d)

Ruang submaksila

e)

Ruang parafaringeal
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui
kontinuitas jarinan dan spasia jaringan. Disini, pertama nanah terbentuk di
tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi
jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal
tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan
jarak perjalanan pus (Robertson, dkk, 1996).
Patogenesis Infeksi Odontogen
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu
adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan
berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa
(nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal maupun
meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis pada
pulpa tidak dapat mendrainase pulpa yang terinfeksi yang selanjutnya
proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain
yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Li dkk., 2000).
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal, kemudian terjadi proses
inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu
periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding
untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap

28

iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar (Li dkk., 2000).

2.1.7 Tanda dan Gejala Infeksi Odontogen


1. Adanya respon Inflamasi
Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi.
Pada keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan serta
dilakukan perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan
dapat disimpulkan dalam beberapa tanda :
A. Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan
peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya
aliran darah pada vena.
B. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi
dan nutrisi dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.
C. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti
migrasi leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada
daerah luka.
D. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada
dinding lesi.
E. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya
F. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

2. Adanya gejala infeksi

29

Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan


terlihat pada daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat
vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah
infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah yang relatif
hangat dari jaringan yang lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran
darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa sakit, merupakan
akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh
pembengkakan atau perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau
faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada
akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau
kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan
kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah
inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari
pergerakan otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit.
3. Limphadenopati
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit
di sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak.
Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras
tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan
jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran
kelenjar limfe merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi
kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem
pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan

30

memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan


memerlukan insisi dan drainase.

2.1.8 Penatalaksanaan Infeksi Odontogen


Prinsip Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik
Insidiensi, kegawatan, setra kematian pada kasus infeksi
odontogenik menurun secara drastis 60 tahun belakangan semenjak
ditemukannya penicillin sebagai terapi pada infeksi odontogenik.
Kemudian, Dr. Guralnick mengaplikasikan prinsip-prinsip penting dari jalan
keluarnya infeksi yaitu melalui bedah agresif drainase yang disebabkan oleh
abses atau selulitis (Fragiskos, 2007).
Belakangan ini, Dr. Larry Peterson menjadikan prinsip
penatalaksanaan infeksi odontogenik menjadi 8 langkah yang apabila diikuti
dengan baik akan menjamin tingginya tingkat perawatan. 8 Prinsip tersebut
adalah (Fragiskos, 2007):
1) Tentukan Keparahan Infeksi
Dalam menentukan keparahan infeksi dari penderita, dokter wajib
memeriksa secara detail riwayat serta fisik pasien untuk mengetahui lokasi
anatomis, progress infeksi serta apakah infeksi ini membahayakan saluran
napas (Fragiskos, 2007).
a. Lokasi Anatomis
Lokasi spasia leher dan kepala dapat menentukan derajat
keparahan dari infeksi. Misalnya; spasia bukal, infra orbital dan

31

periosteal dikategorikan dengan tingkat keparahan yang rendah karena


infeksi di spasia ini tidak mengganggu saluran nafas (Fragiskos, 2007):
a) Skor 1 (resiko pernafasan rendah)
Vestibula, subperiosteal, rongga badan mandibula, infraorbital,
bukal.
b) Skor 2 (resiko pernafasan menengah)
Submandibula, submental, sublingual,

pterygomandibular,

submasseter, infratemporal.
c) Skor 3 (resiko pernafasan tinggi)
Pharyngeal lateral, retropharyngeal, prethacheal
d) Skor 4 (resiko pernafasan berat)
Mediastium, infeksi intrakranial
b. Progress Infeksi
Progres infeksi dapat kita dapatkan dari anamnesa onset
penyakit, serta tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada tabel
(Fragiskos, 2007):

c. Saluran Nafas
Kasus kematian karena infeksi odontogenik paling banyak
disebabkan oleh obstruksi saluran napas. Jadi, dokter harus
memperhatikan apabila infeksi odonogenik menyebabkan gangguan
saluran napas. Apabila terjadi obstruksi saluran napas komplit,
penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan intubasi endotrakeal,

32

trakeatomi. Sedangkan apabila terjadi obstruksi saluran nafas


inkomplit, yang harus dilakukan adalah dengan memosisikan pasien
dengan posisi sniffing yaitu ke atas dengan dagu diangkat (Peterson,
2004).
2) Evaluasi pertahanan host.
Dokter wajib mengetahui kondisi pasien apakah memiliki
penyakit/ kelainan sistemik atau tidak. Penyakit sistemik nantinya akan
mengganggu bahkan lebih membahayakan pasien, misalnya diabetes,
terapi kortikosteroid, translantasi organ, malnutrisi dan penderita AIDS
(Peterson, 2004).
3) Tentukan pengaturan perawatan.
Wajib diperhatikan perawatan pada pasien, apakah pasien tersebut
dapat dirawat jalan atau wajib dirawat di RS. Berikut ini adalah tanda dan
gejala yang mengindikasikan pasien dirawat di rumah sakit (Peterson,
2004):
0

a. Teperatur > 38,8 C


b.
c.
d.
e.
f.

Dehidrasi
Gangguan saluran pernafasan
Infeksi berat
Membutuhkan anestesi umum
Membutuhkan kontrol sistemik

4). Lakukan pembedahan.


Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase.
Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel).
Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk
mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan

33

hemostat. untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan


pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk
mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas (Peterson,
2004).
Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses
vestibular adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase
dipertahankan dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa),
pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik
sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya
mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka
dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab. Pencabutan gigi yang
terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah
pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam
keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena
manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga
mungkin terjadi osteomyelitis (Peterson, 2004).
Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu
mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi
rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya,
memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi
jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi
infeksi yang ada dan pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah
terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu,
drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi

34

jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Peterson,


2004).

Secara umum, pembedahan untuk inf odontogenik tidak sulit.


Pertama-tama dokter wajib mengetahui anatomi dari fasia-fasia yang
terdapat pada kepala dan leher. Jika sudah dapat dilakukan suatu insisi
kecil. Berikut ini lokasi insisi pada berbagai fasia (Peterson, 2004):

5) Dukungan Medis.
Perawatan medis suportif untuk pasien infeksi odontogenik adalah
dengan memperhatikan asupan nutrisi, memperhatikan hidrasi dan
mengontrol gejala demamnya (Peterson, 2004).
6) Pemberian anti biotik yang tepat.
Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan
dengan tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik
dilakukan berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Terdapat dua faktor
mikrobiologi yang harus ada di dalam benak dokter gigi pada saat
memilih

antibiotik.

Pertama,

antibiotik

harus

efektif

melawan

35

organisme Streptococcus selama bakteri ini paling banyak ditemukan.


Kedua, antibiotik harus efektif melawan bakteri anaerobik sprektrum luas
(Peterson, 2004).
Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap
organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun sayangnya
antibiotik jenis ini mengalami resistensi (Peterson, 2004). Penisilin dibagi
menjadi penisilin alam dan semisintetik. Penisilin alam memiliki beberapa
kelemahan antara lain tidak tahan asam lambung, inaktivasi oleh
penisilinase, spektrum sempit dan sering menimbulkan sensitivitasi pada
penderita yang tidak tahan terhadap penisilin. Untuk mengatasi hal
tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik antara lain amfisilin
(sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak oleh
penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak
dirusak oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase) (Peterson,
2004).

Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah ampisilin


dan amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup
memuaskan sehingga perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di
saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang
sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2

36

kali lebih tinggi daripada ampisilin, sedangkan masa paruh eleminasi


kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya
makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak (Peterson, 2004).
Namun, akhir-akhir ini penggunaan metronidazole sangat populer dalam
perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki aktivitas
dalam melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob
(Peterson, 2004).
Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi
yang muncul akibat keradangan salah satunya disebakan oleh adanya
infeksi dentoalveolar yaitu masuknya mikroorganisme patogen ke dalam
tubuh melalui jaringan dentoalveolar (Peterson, 2004). Untuk mengatasi
hal tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis dengan pemberian
obat analgesik untuk meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya kuat
dan cepat dengan dosis optimal. Pasien dengan nyeri akut memerlukan
obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat, efek samping dari
obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya (Peterson, 2004).
Obat anti inflamasi non steroid (non streroidal antiinflammatory
drugs/ NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer dan
memiliki

aktivitas

penghambat

radang

dengan

mekanisme

kerja

menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas


enzim siklooksigenase (Peterson, 2004). Efek analgesik yang ditimbulkan
ini menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menyebabkan
sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi.
Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia kemudian

37

mediator kimiawi seperti bradikini dan histamin merangsangnya dan


menimbulkan nyeri yang nyata (Peterson, 2004).
Efek analgesik NSAIDs telah kelihatan dalam waktu satu jam
setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi telah tampak
dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya
timbul bervariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar
puncaknya di dalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah
pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya
makanan (Peterson, 2004).
Asam mefenamat

digunakan

sebagai

analgesik;

sebagai

antiinflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan


aspirin. Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Oleh
karena itu, interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek
samping pada saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala
iritasi lain terhadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3
kali 250-500 mg sehari (Peterson, 2004).
7) Mengadministrasikan AB dengan benar.
Rute pemberian atau administrasi dari antibiotik haruslah tepat
guna mencapai target etiologi infeksi odontogenik tersebut. Misalnya
dengan pemberian oral atau intravena (Peterson, 2004).
8) Evaluasi Pasien secara Teratur.
Tindakan yang wajib dilakukan khususnya setelah tindakan bedah
insisi dan drainase adalah follow up pasien 2 hari setelah tindakan. Dilihat
apakah pembengkakan berkurang, gejala berkurang, dan sebagainya.
Apabila kondisi memburuk atau dapat dikatakan perawatan gagal,
kemungkinannya dikarenakan (Peterson, 2004):

38

a.
b.
c.
d.

Operasi tidak adekuat


Pertahanan tubuh yang lemah
Bagian tubuh yang asing
Masalah antibiotik

2.2 Ekstraksi Gigi


2.2.1 Pengertian Ekstraksi Gigi
Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari
tulang alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu
teknik sederhana dan teknik pembedahan. Teknik sederhana dilakukan
dengan melepaskan gigi dari perlekatan jaringan lunak menggunakan
elevator kemudian menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket
dari tulang alveolar menggunakan tang ekstraksi (Howe, 1990)
Sedangkan teknik pembedahan dilakukan dengan pembuatan flep,
pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan mengeluarkan
gigi di dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke
tempat semula dengan penjahitan. Teknik sederhana digunakan untuk
ekstraksi gigi erupsi yang merupakan indikasi, misalnya gigi berjejal.
Ekstraksi gigi dengan teknik pembedahan dilakukan apabila gigi tidak bisa
diekstraksi dengan menggunakan teknik sederhana, misalnya gigi ankilosis
(Howe, 1990)

2.2.2 Armamentarium Ekstraksi Gigi


Penggunaan peralatan yang efektif dimulai dengan pemahaman
tentang desainnya. Elevator dan tang gigi berfungsi sebagai pengungkit
yang menghantarkan gaya atau tekanan ke gigi yang akan dicabut.

39

Efektivitasnya ditingkatkan oleh desain bilah elevator yang memungkinkan


alat dipegang dengan kuat dan nyaman selama digunakan. Efisiensi makin
meningkat dengan adanya bilah elevator dengan paruh tang yang dapat
mencengkeram struktur akar dengan erat sehingga menghindari selip
(Pedersen, 1996).
1. Forcep ( tang pencabutan )
Tang merupakan alat yang dipergunakan untuk melepaskan gigi dari
jaringan tulang dan jaringan lunak disekitar gigi, untuk itu diperlukan tang
yang ideal untuk masing-masing gigi, agar dapat meneruskan kekuatan
tekanan operator ke gigi dengan baik.
Pencabutan dengan tang mempunyai satu tujuan yaitu
menghantarkan tekanan terkontrol pada gigi sehingga mengakibatkan
dilatasi alveolus dan luksasi, serta pencabutan. Evolusi dari tang
menghasilkan banyak sekali desain, masing-masing dengan ciri tersendiri
yang mampu menjalankan tugasnya dengan efisien, dengan tenaga
minimum, trauma dan komplikasi yang minimum. Melalui proses
pemakaian dan pengalaman yang lama, jumlahnya agak berkurang.
Meskipun demikian, desain yang umum dilengkapi dengan pegangan,
engsel dan paruh (Pedersen, 1996).
Pengguanaan tang gigi seperti juga penggunaan elevator, maka
dalam penggunaan tang ini pinch graps digunakan untuk rahang atas dan
sling graps untuk rahang bawah. Pada kebanyakan kasus, tang ini
diaplikasikan pada gigi dengan paruh paralel terhadap sumbu panjang
gigi. Adaptasi dicapai dengan menmpatkan paruh yang lingual dulu,

40

kemudian tang ditutup dan ditekan keapikal. Jika mahkota bukal


diaplikasikan pertama. Tekanan mencengkeram ke apikal dipertahankan
selama proses pencabutan, karena mempertahankan adaptasi adalah
sangat penting bagi keberhasilan aplikasi dari tekanan bukal, lingual dan
rotasional. Seringkali pada tahap akhir adaptasi, tang biasanya terletak
apikal dari lokasi aplikasi awal, yang merupakan kondisi yang
diharapkan karena dengan demikian terjadi dilatasi alveolus.
Penghantaran tekanan yang terkontrol tergantung pada posisi operator
penggunaan tangan dan lengan, graps dan posisi pasien yang benar.
Tekanan yang terkontrol dan besar akan dihantarkan dengan aman
apabila persyaratan tersebut dipenuhi. Tan dipegan dekat ujung pegangn
menjauhi paruh tang. Memegang jauh dari ujung pegangan akan
mengurangi keuntungan mekanis dan sebaiknya dihindarkan. Persepsi
taktil dari tekanan diaplikasikan dan hasil yang diperoleh dapat
berkurang karena cara memegang tang yang terlampau kuat, disebut
sindrom white knuckel (Pedersen, 1996).
a. Bagian-bagian dari tang ekatraksi adalah :
- Beak, merupakan ujung yang mencekeram gigi geligi
- Joint/sendi/poros, merupakan pertemuan antara beak dan handle
- Handle/pegangan, merupakan bagian untuk pegangan operator
(bentuk lurus, bentuk S, bentuk bayonet)
b. Tang rahang atas
c. Tang rahang bawah

41

Gambar: bagian-bagian tang

Gambar: jenis-jenis tang

2. Elevator/pengungkit

42

Apabila pencabutan harus dilakukan, elevator lurus hampir selalu


menjadi pasangan tang. Proses pencabutan biasanya diawali dengan
elevator. Alat ini digunakan untuk mengetes anestesi, untuk memisahkan
perlekatan epitel dan mengawali dilatasi atau ekspansi alveolus. Elevator
adalah suatu instrumen yang peka terhadap sentuhan. Bila digunakan
dengan hati-hati, ahli bedah mulut dapat mengetahui besar tekanan yang
diperlukan untuk menyelesaikan pencabutan. Oleh karena itu, elevator dan
tang merupakan alat yang saling melengkapi. Untuk pengungkit gigi/akar
dengan titik fulcrum, dimana letak fulcrum tergantung dari lokasi objek
yang diungkit (Pedersen, 1996).
a. Bagian-bagian alat pengungkit
-

blade, merupakan ujung yang tajam untuk mengungkit gigi


shank, merupakan bagian yang menghubungkan blade dan

handle
handle, merupakan bagian yang digunakan untuk pegangan

Menurut bentuknya elevator dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :


1. Straight ( lurus )
Alat ini mempunyai bentuk dimana handle, shank dan blade membentuk
suatu garis lurus.
2. Cross Bar
Alat ini mempunyai bentuk antara handle dan shank, membentuk sudut
90 . Alat ini berpasangan mesial/distal atau kiri/kanan.
3. Angular
Alat ini mempunyai bentuk dimana blade membentuk sudut terhadap
shank dan handle.

Menurut penggunaannya elevator diklasifikasikan atas :

43

1. elevator yang didesain untuk menyingkirkan segala gigi


2. elevator yang didesain untuk menyingkirkan akar yang fraktur setinggi
gingiva line
3. elevator yang didesain untuk akar yang fraktur panjang akar
4. elevator yang didedain untuk akar yang fraktur panjang akar
5. elevator yang didesain untuk menyingkirkan mukoperiosteal sebelum
penggunaan tang ekstraksi.
Beberapa tang khusus :

Tang trismus
Tang M3 Rahang Atas
Tang cow horn

Gambar : bagian dari elevator

2.3 Anestesi Lokal


2.3.1 Pengertian Anestesi Lokal
Anastesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa sakit untuk
sementara pada satu bagian tubuh dengan cara mengaplikasikan bahan
topikal atau suntikan tanpa menghilangkan kesadaran dan untuk mencegah
rasa nyeri dengan cara memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. (Nurvitasari dkk., 2011).
2.3.2 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Lokal
Indikasi:
1. Untuk menghilangkan rasa sakit pada gigi dan jaringan pendukung

44

2.
3.
4.
5.
6.

Hanya sedikit perubahan dari fisiologi normal pada pasien lemah


Setelah tindakan , pasien pulang tanpa pengantar
Tindakan yang tidak perlu tambahan tenaga terlatih
Teknik tidak sukar dilakukan
Tindakan dengan presentase kegagalan kecil dengan Insidensi

morbiditas rendah
7. Tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak
tertahankan oleh pasien, diantaranya
gingivektomi,

gingivoplasti,

bedah

ekstraksi gigi, apikoektomi,


periodontal,

pulpektomi,

pulpotomi, alveoplasti, implan gigi, perawatan fraktur

rahang,

reimplantasi gigi avulsi, perikoronitis, kista, bedah tumor, bedah


odontoma, penjahitan dan flapping pada jaringan mukoperiosteum
(Malamed dan Stanley 2004).
Kontra Indikasi Anastesi Lokal
Kontra indikasi anestesi lokal yaitu:
1. Pasien dibawah umur misalnya pasien masih terlalu kecil (anak-anak)
sehingga sulit kooperatif
2. Alergi atau hipersensitivitas terhadap obat anestesi lokal yang telah
diketahui. Kejadian ini mungkin disebabkan oleh kelebihan dosis atau
3.

suntikan intravaskular.
Kurangnya tenaga terampil yang mampu mengatasi atau mendukung

4.
5.
6.
7.

teknik tertentu.
Kurangnya prasarana resusitasi.
Tidak tersedianya alat injeksi yang steril.
Infeksi lokal atau iskemik pada tempat suntikan.
Bila ada infeksi pada daerah injeksi atau pada titik dimana anestetikum

akan di deponirkan.
8. Pembedahan luas yang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal.
9. Distorsi anotomik atau pembentukan sikatriks.
10. Pasien yang sedang menjalani terapi sistemik dengan antikoagulan
11. Bila terdapat infeksi Vincent atau infeksi mulut yang luas.
12. Kontraindikasi pada penderita penyakit sistemik seperti kardiovaskuler
dan diabetes

melitus.

45

13. Resiko hematoma pada tempat-tempat tertentu akibat pengobatan dengan


antokoagulan, cenderung perdarahan, atau hemofilia.
14. Jika dibutuhkan anestesi segeraatau tidak cukup waktu untuk anestesi
lokal untuk bekerja secara sempurna.
15. Kurangnya kerjasama atau tidak adanya persetujuan dari pihak penderita.
2.3.3 Syarat Obat Anestesi Lokal
1. Tidak iritasi dan merusak jaringan saraf secara permanen
2. Tidak boleh menimbulkan perubahan fungsi dari syaraf secara permanen.
3. Batas keamanan obat harus lebar
4. Reaksi terjadinya hilang rasa sakit setempat harus cepat.
5. Waktu kerja obat lama
(maksudnya mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk
jangka waktu yang yang cukup lama )
6. Larut dalam air
7. Stabil dalam larutan dan stabil terhadap pemanasan.
8. Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan
9. Tidak menimbulkan alergi.
10. Toksisitas harus sekecil mungkin (Raharjo, 2009).
2.3.4 Obat Anestesi Lokal
Golongan Obat Anastesi Lokal
Yang termasuk obat anestesi lokal ester berupa prokain, klorofokain,
benzokain, kokain dan tetrakain. Sedangkan yang berupa golongan anestesi
lokal golongan amid adalah lidokain, bupivakain, mepivakain, prilokain dan
dibukain (Raharjo, 2009).

46

Anestetik lokal menurut Ratno Samodro dibagi menjadi tiga


golongan:
1. Golongan ester (-COOC-)
Obat obat ini termetabolisme melalui hidrolisis. Yang termasuk
kedalam golongan ester, yakni : Kokain, Benzokain, Ametocaine d.
Prokain, Piperoain, Tetrakain, Kloroprokain (Samodro, 2011).
2. Golongan amida (-NHCO-)
Obat obat ini termetabolisme melalui oksidasi dealkilasi di dalam
hati. Yang termasuk kedalam golongan amida, yakni : Lidokain,
Mepivakain, Prilokain, Bupivacain, Etidokain, Dibukain, Ropivakain,
Levobupivacaine, Kecuali kokain, maka semua anestesi lokal bersifat
vasodilator (melebarkan pembuluh darah). Sifat ini membuat zat anestesi
lokal cepat diserap, sehingga toksisitasnya meningkat dan lama kerjanya
jadi singkat karena obat cepat masuk ke dalam sirkulasi. Untuk
memperpanjang kerja serta memperkecil toksisitas sering ditambahkan
vasokonstriktor (Samodro, 2011).
3. Golongan Lainnya
Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran. Anestesi
lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan
kecil dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan (Rahardjo,
2009).
2.3.5 Macam dan Teknik Anestesi Lokal
a. Anastesi Topikal

47

Anastesi topikal yaitu pengolesan analgetik lokal diatas selaput mukosa.


Anestesi topikal diperoleh melalui aplikasi agen anestesi tertentu pada daerah
kulit maupun membran mukosa yang dapat dipenetrasi untuk memblok ujungujung saraf superfisial. Semua agen anestesi topikal sama efektifnya sewaktu
digunakan pada mukosa dan menganestesi dengan kedalaman 2-3 mm dari
permukaan jaringan jika digunakan dengan tepat (Whitehead, 1990).
Anastesi topikal tersedia dalam bentuk :

1. Semprotan (spray form) yang mengandung agen anestesi lokal tertentu dapat
digunakan untuk tujuan ini karena aksinya berjalan cukup cepat. Bahan aktif
yang terkandung dalam larutan adalah lignokain hidroklorida 10% dalam basis
air yang dikeluarkan dalam jumlah kecil kontainer aerosol. Penambahan
berbagai rasa buah-buahan dimaksudkan untuk membuat preparat tersebut
lebih dapat ditolerir oleh anak, namun sebenarnya dapat menimbulkan masalah
karena merangsang terjadinya salivasi berlebihan. Bila anestesi dilakukan
dengan menggunakan semprotan, larutan umumnya dapat didistribusikan
dengan lebih mudah dan efeknya akan lebih luas daripada yang kita inginkan.
Waktu timbulnya anastesi adalah 1 menit dan durasinya adalah sekitar 10
menit (Whitehead, 1990).
2. Salep yang mengandung lignokain hidroklorida 5% juga dapat digunakan
untuk tujuan yang sama, namun diperlukan waktu 3-4 menit untuk memberikan
efek anastesi. Beberapa industri farmasi bahkan menyertakan enzim
hialuronidase dalam produknya dengan harapan dapat membantu penetrasi
agen anastesi lokal dalam jaringan. Amethocaine dan benzocaine umumnya

48

juga ditambahkan dalam

preparat ini. Salep sangat bermanfaat bila

diaplikasikan pada gingiva lunak sebelum pemberian tumpatan yang dalam


(Whitehead, 1990).
3. Emulsi yang mengandung lignokain hidroklorida 2% juga dapat digunakan.
Emulsi ini akan sangat bermanfaat bila kita ingin mencetak seluruh rongga
mulut dari pasien yang sangat mudah mual. Sesendok teh emulsi dapat
digunakan pasien untuk kumur-kumur disekitar rongga mulut dan orofaring
dan kemudian dibiarkan satu sampai dua menit, sisanya diludahkan tepat
sebelum pencetakan. Emulsi ini juga dapat bermanfaat untuk mengurangi rasa
nyeri pascaoperatif seperti setelah gingivektomidan tidak berbahaya bila
tertelan secara tidak disengaja (Whitehead, 1990).
4. Etil klorida, disemprotkan pada kulit atau mukosa akan menguap dengan cepat
sehingga dapat menimbulkan anastesi melalui efek pendinginan. Manfaat klinis
hanya bila semprotan diarahkan pada daerah terbatas dengan kapas atau cotton
bud sampai timbul uap es. Namun tindakan ini harus dilakukan dengan hatihati untuk menghindari terstimulasinya pulpa gigi-gigi tetangga dan inhalasi
uap oleh pasien. Manfaat teknik ini memang terbatas tetapi kadang-kadang
dapat digunakan untuk mendapat anastesi permukaan sebelum insisi dari abses
fluktuan (Whitehead, 1990).
Teknik anestesi
1. Membran mukosa dikeringkan untuk mencegah larutnya bahan anastesi
topikal (Whitehead, 1990).
2. Bahan anastesi topikal dioleskan melebihi area yang akan disuntik 15 detik
(tergantung petunjuk pabrik) kurang dari waktu tersebut, obat tidak efektif
(Whitehead, 1990).

49

Anastesi topikal harus dipertahankan pada membran mukosa minimal 2


menit, agar obat bekerja efektif. Salah satu kesalahan yang dibuat pada
pemakaian anastesi topikal adalah kegagalan operator untuk memberikan
waktu yang cukup bagi bahan anastesi topikal untuk menghasilkan efek yang
maksimum (Whitehead, 1990).

b. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik anestesi lokal paling sering digunakan
pada maxilaris. Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan pada
permukaan supraperiosteal yang berhubungan dengan periosteum bukal dan
labial. Larutan anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf dan
akan terinfiltrasi sepanjang jaringan untuk mencapai serabut saraf dan
menimbulkan efek anestesi dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf
tersebut. Teknik infiltrasi dapat dibagi menjadi (Lamlanto, 2009).
1. Suntikan submukosa
Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat dibalik membran mukosa.
Walaupun tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi, suntikan ini sering
digunakan baik untuk menganestesi saraf bukal panjang sebelum pencabutan
molar bawah atau operasi jaringan lunak (Lamlanto, 2009).
Gambar 1 Suntikan
submukosa,
suntikan
supraperiosteal,
suntikan
subperiosteal,
suntikan
Gambar 3.1 Suntikan submukosa, suntikan supraperiosteal, suntikan
interdental
subperiosteal, suntikan interdental papilla, dan suntikan peridental. papilla, dan
Sumber : www.studentals.net/stu/t8830.html Accessed at Des 10th 2009

2. Suntikan supraperiosteal

50

Pada beberapa daerah seperti maksila, bidang kortikal bagian luar dari tulang
alveolar biasanya tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vaskular yang kecil.
Pada daerah-daerah ini bila larutan anestesi didepositkan di luar periosteum,
larutan akan terinfiltrasi melalui periosteum, bidang kortikal, dan tulang
medularis ke serabut saraf. Dengan cara ini, anestesi pulpa gigi dapat
diperoleh

melalui

penyuntikan

di

sepanjang

apeks

gigi.

Suntikan

supraperiosteal merupakan teknik yang paling sering digunakan pada


kedokteran gigi dan sering disebut sebagai suntikan infiltrasi (Lamlanto,
2009).
3. Suntikan subperiosteal
Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan antara periosteum dan bidang
kortikal. Karena struktur ini terikat erat, suntikan tentu terasa sangat sakit.
Karena itu, suntikan hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain atau bila
anestesi superfisial dapat diperoleh dari suntikan supraperiosteal. Teknik ini
biasa digunakan pada palatum dan bermanfaat bila suntikan supraperiosteal
gagal untuk memberikan efek anestesi, walaupun biasanya pada situasi ini
lebih sering digunakan suntikan intraligament (Lamlanto, 2009).
4. Suntikan intraoseous
Seperti terlihat dari namanya, pada teknik ini larutan di depositkan pada tulang
medularis. Prosedur ini sangat efektif bila dilakukan dengan bantuan bur
tulang dan jarum yang di desain khusus untuk tujuan tersebut. Setelah
suntikan supraperiosteal diberikan dengan cara biasa, dibuat insisi kecil
melalui mukoperiosteum pada daerah suntikan yang sudah ditentukan untuk
mendapat jalan masuk bagi bur dan reamer kecil. Kemudian dapat dibuat
lubang melalui bidang kortikal bagian luar tulang dengan alat yang sudah

51

dipilih. Lubang harus terletak di dekat apeks gigi pada posisi sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin merusak akar gigi geligi (Lamlanto, 2009).

Gambar 2 a Menganestesi gingival attachment. 2b perforasi plat kortikal. 2c


menginsersi jarum suntik dan menginjeksi.

Jarum yang pendek dengan hub yang panjang diinsersikan melalui lubang dan
diteruskan ke tulang, larutan anestesi 0,25 ml didepositkan perlahan ke ruang
medularis dari tulang. Jumlah larutan tersebut biasanya cukup untuk sebagian
besar prosedur perawatan gigi. Teknik suntikan intraoseous akan memberikan
efek anestesi yang baik pada pulpa disertai dengan gangguan sensasi jaringan
lunak yang minimal. Walaupun demikian, biasanya tulang alveolar akan
terkena trauma dan cenderung terjadi rute infeksi. Prosedur asepsis yang tepat
pada tahap ini merupakan keharusan. Pada prakteknya, dewasa ini sudah
dipasarkan larutan anestesi yang efektif dan penggunaan suntikan
intraligamentum atau ligamentum periodontal sudah mengurangi perlunya
suntikan intraoseous dan karena itu, teknik suntikan intraoseous sudah makin
jarang digunakan (Lamlanto, 2009).

5. Suntikan intraseptal
Merupakan versi modifikasi dari teknik intraoseous yang kadang-kadang
digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila akan

52

dipasang geligi tiruan immediet serta bila teknik supraperiosteal tidak


mungkin digunakan. Jarum 27 gauge diinsersikan pada tulang lunak di crest
alveolar. Larutan didepositkan dengan tekanan dan berjalan melalui tulang
medularis serta jaringan periodontal untuk memberi efek anestesi. Teknik ini
hanya dapat digunakan setelah diperoleh anestesi superfisial (Lamlanto,
2009).

6. Suntikan intraligament
Teknik ini umumnya menggunakan syringe konvensional yang pendek dan
lebarnya 27 gauge atau syringe yang didesain khusus untuk tujuan tersebut.
Teknik ini mempunyai beberapa manfaat. Efeknya yang terbatas
dimungkinkan dilakukannya perawatan pada satu gigi dan membantu
perawatan pada kuadran mulut yang berbeda. Suntikan ini juga tidak terlalu
sakit bagi pasien yang umumnya tidak menyukai rasa bengkak yang sering
menyertai anestesi lokal. Suntikan ini juga dapat menghindari terjadinya baal
pada lidah, pipi dan jaringan lunak lainnya, jadi mengurangi resiko trauma
pada bibi dan lidah yang baal dan tidak menimbulkan rasa kurang enak bagi
pasien sehingga ia dapat makan, minum dan berbicara secara normal. Efeknya
yang terlokalisir membuat teknik ini dapat digunakan sebagai suntikan
diagnostik untuk mengidentifikasi sumber sakit (Lamlanto, 2009).

C. Anestesi Blok
Anestesi Blok pada Maxillaris
1. Anestesi Blok Nervus Infraorbital

53

Nervus infraorbital merupakan salah satu cabang terminal dari divisi


maxillaris nervus trigeminus. Nervus ini mempersarafi kulit pipi, kulit dan
mukosa dari bibir atas dan bagian hidung. Nervus alveolar superior
anterior (ASA) memisahkan nervus infraorbital dalam kanal infraorbital
sekitar 5 mm sebelum foramen infraorbital. Nervus ASA menyalurkan
sensasi ke gigi incisivus atas dan gigi caninus dan kadang-kadang ke
premolar dan jaringan periodontium bagian bukal, gingival dan mukosa
serta tulang yang berhubungan dengan gigi-gigi ini. Nervus MSA
mempersafari pulpa dan jaringan yang bersebelahan dari gigi premolar
maxillaris dengan akar mesiobukal dari molar pertama. Teknik infiltrasi
maupun blok dapat menganestesi cabang terminal dari nervus ASA dan
MSA. Teknik anestesi blok nervus infraorbital bergantung pada deposisi
anestesi lokal ke dalam foramen infraorbital yang memungkinkan larutan
anestesi berdifusi di sepanjang kanal infraorbitalis dan di sekitar tulang
untuk mencapai nervus ASA dan MSA (Lamlanto, 2009).
Injeksi infraorbital diindikasikan jika peradangan dan infeksi merupakan
kontraindikasi penggunaan anestesi infiltrasi di bagian anterior maxillaris,
jika akan dilakukan pembukaan pada sinus maxillaris (Lamlanto, 2009).
Untuk keperluan bedah mulut, injeksi ini dapat diberikan untuk
menghindari penyuntikan ke dalam jaringan inflamasi di daerah gigi
incisivus dan kaninus, tetapi dapat juga mencapai anestesi yang lebih
mendalam untuk lesi yang lebih besar seperti kista (Lamlanto, 2009).

54

Teknik (Lamlanto, 2009) :


Gambar 3. Lokasi
nervus
3.6.(35mm)
Jarum diarah
sejajar
dengandari 27
1. Sebaiknya
menggunakan
jarum Gambar
panjang
tidak
kurang
infraorbitalis

long axis gigi dan diinsersikan pada


puncak mucobukal fold di atas
premolar pertama.

gauge.
2. Mintalah pasien untuk membuka mulut sedikit.
3. Menarik bibir atas dengan ibu jari tangan kiri.
4. Gunakan jari telunjuk untuk meraba foramen infraorbital secara ektraoral.
Letakkan jari telunjuk di titik injeksi.
5. Mengarahkan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris di antara gigi
premolar.
6. Arahkan jarum sejajar akar gigi premolar menghadap foramen infraorbital
sampai berkontak dengan tulang, sekitar 15 sampai 20 mm.
7. Jarum ditarik sedikit, jika apsirasi negatif , suntikkan secara perlahanlahan 1,5 ml larutan anestesi.

2. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Superior Medial


Anestesi blok nervus alveolar superior medial digunakan pada prosedur
dimana gigi premolar maxillaris atau akar mesiobukal dari molar pertama
yang memerlukan anestesi. Meskipun tidak selalu digunakan, teknik ini
berguna apabila anestesi blok nervus alveolar superior posterior atau
anterior atau anestesi infiltrasi supraperiosteal mengalami kegagalan untuk
mencapai anestesi yang adekuat. Kontraindikasi anestesi ini yaitu inflamasi
akut dan infeksi di daerah suntikan atau prosedur yang hanya melibatkan
satu gigi dimana anestesi yang adekuat dapat diperoleh dengan anestesi
infiltrasi. Teknik ini menggunakan jarum 25 atau 27 gauge (Lamlanto,
2009).

55

Gambar 5. Lokasi nervus alveolar


superior medial

Gambar 6. Jarum diinsersi ke puncak


mucobukal fold di atas
premolar kedua maxillaris.

Teknik (Lamlanto, 2009) :


1. Identifikasi puncak mukobukal fold di atas gigi premolar kedua
maxillaris yang akan menjadi titik tusukan.
2. Operator berdiri di arah antara pukul Sembilan dan sepuluh sedangkan
operator yang kidal harus berdiri di arah antara pukul dua dan tiga.
3. Menarik pipi dengan alat retraksi dan menginsersi jarum sampai ujung
jarum berada di atas apeks dari gigi premolar kedua.
4. Lakukan aspirasi dan depositkan larutan anestesi dua pertiga cartridge
secara perlahan-lahan selama satu menit.
5. Pelaksanaan teknik mengalami kesuksesan apabila menganestesi
daerah pulpa gigi jaringan lunak dan tulang disekitar gigi premolar
pertama dan kedua dan akar mesiobukal gigi molar pertama.

3. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Superior Posterior


Nervus alveolar superior posterior merupakan percabangan dari divisi
maxillaris dari nervus trigeminus. Yang merupakan bagian utama fossa
pterygopalatinal, melewati inferior sepanjang dinding posterior maxillaris,

56

dan masuk ke tulang sekitar satu cm ke superior dan posterior gigi molar
ketiga. Nervus PSA mempersarafi gingival bagian bukal, jaringan
periodontium, dan alveolus yang berhubungan dengan gigi molar atas.
Nervus ini mempersarafi pulpa dari semua gigi molar atas dengan
kemungkinan pengecualian pulpa mesiobukal dari molar pertama, yang
dipersarafi oleh nervus alveolar superior medial (MSA) pada sebagian
besar individu (Lamlanto, 2009).
Anestesi blok ini dimaksudkan untuk menganestesi nervus alveolar
superior posterior menembus aspek posterolateral dari tuberositas
maxillaris sebelum mencapai tulang. Dengan demikian, ada hubungan
yang erat antara daerah suntikan dengan plexus venous pterygoid di bawah
dan di atas dan dapat dengan mudah dimasuki jarum (Lamlanto, 2009).
Injeksi blok nervus PSA dilakukan di daerah yang sangat vaskular,
sehingga pembentukan hematoma sering terjadi, terutama ketika jarum
masuk lebih dari 15 mm. Perdarahan segera dapat dikontrol oleh tekanan,
tetapi setelah injeksi, trismus dapat berlangsung selama bermingguminggu. Terapi antibiotik harus diresepkan jika hematoma membesar
(Lamlanto, 2009).

57

Gambar 7 Lokasi nervus alveolar


superior posterior
Sumber :

Gambar 8 Jarum diinsersikan di atas


mukobukal fold di atas molar kedua
maxillaris dengan sudut 45o ke arah
superior, medial dan posterior.

Teknik (Lamlanto, 2009) :


1. Gunakan jarum yang pendek atau panjang, tidak kurang dari 27 gauge.
2. Instruksikan pasien untuk sedikit membuka mulut, dan gerakkan
mandibula ke arah daerah injeksi.
3. Retraksi bibir dan pipi dengan ibu jari atau jari telunjuk dari tangan kiri.
4. Insersikan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris ke bagian distal dari
molar kedua.
5. Masukkan jarum ke posterior, superior, dan medial (dengan sudut 45 o dari
dataran oklusal) sampai kedalaman 15 mm.
6. Lakukan aspirasi.
7. Injeksikan 1.5 ml larutan anestesi secara perlahan-lahan.
4. Anestesi Blok Nervus Palatinal
Anestesi blok nervus palatinal berguna ketika perawatan diperlukan pada
aspek palatal dari gigi premolar dan molar maxillaris. Nervus palatinal
keluar dari kanal dan menuju ke depan antara tulang dan jaringan lunak
palatal. Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi akut dan infeksi di daerah
suntikan. Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 atau 27 gauge.8
Teknik (Lamlanto, 2009):
1. Pasien harus dalam posisi terlentang dengan dagu miring ke atas untuk
memperlihatkan daerah yang akan dianestesi.

58

2. Operator berdiri di arah jarum jam pukul delapan sedangkan operator


yang kidal berdiri di arah jarum jam pukul empat.
3. Gunakan kapas, cari foramen palatinal dengan menempatkan kapas pada
jaringan palatal sekitar 1 cm di medial diantara gigi molar kedua dan
ketiga.

Gambar 10. Lokasi nervus palatinal

Gambar 11. Daerah insersi untuk anestesi


blok nervus palatinal satu cm dari
median diantara molar kedua dan
ketiga maxillaris.

Daerah di sekitar satu atau dua millimeter di sebelah anterior foramen


merupakan titik tusukan. Gunakan kapas, berikan tekanan ke daerah
foramen sampai percabangan jaringan. Arah jarum suntik tegak lurus
terhadap daerah suntikan hingga satu sampai dua millimeter dari anterior
foramen. Sambil menjaga tekanan pada foramen, suntikkan larutan
anestesi volume kecil sehingga jarum masuk ke jaringan sampai berkontak

59

dengan tulang. Jaringan akan pucat di sekitar daerah suntikan (Lamlanto,


2009).
Kedalaman penetrasi biasanya lebih dari beberapa millimeter. Sekali
berkontak dengan tulang, lakukan aspirasi dan injeksikan larutan anestesi
sebanyak seperempat cartridge (0.45 cc). Resistensi deposisi larutan
anestesi secara normal dapat dirasakan operator. Teknik ini menganestesi
mukosa palatal dan palatum keras dari premolar pertama aspek anterior ke
posterior dari palatum keras ke garis tengah medial (Lamlanto, 2009).
5. Anestesi Blok Nervus Nasopalatinal
Anestesi blok nervus nasopalatinal, yang juga dikenal sebagai anestesi
blok incisivum dan anestesi blok sphenopalatinal, menganestesi nervus
nasopalatinal secara bilateral. Teknik ini mendepositkan larutan di area
foramen incisivum. Teknik diindikasikan ketika perawatan memerlukan
anestesi aspek lingual dari beberapa gigi anterior. Teknik ini menggunakan
jarum pendek 25 atau 27 gauge (Lamlanto, 2009).

Gambar 3.12. Lokasi nervus


nasopalatinal

Gambar 3.13. Insersi arah lateral ke


foramen incisivum untuk
memblok nervus nasopalatinal.

60

Teknik (Lamlanto, 2009) :


1. Pasien harus dalam posisi terlentang dengan dagu miring ke atas untuk
memperlihatkan daerah yang akan dianestesi.
2. Operator harus berdiri di arah jarum jam pukul Sembilan sedangkan
operator yang kidal harus berdiri di arah jarum jam pukul tiga.
Mengidentifikasi papilla incisivum.
3. Daerah lateral secara langsung ke papilla incisivum merupakan daerah
injeksi. Dengan kapas, tahan tekanan di atas papilla incisivum.
Menginsersi jarum arah lateral ke papilla dengan bevel berlawanan
jaringan.
4. Masukkan jarum secara perlahan-lahan ke foramen incisivum sambil
mendepositkan sedikit larutan anestesi dan mempertahankan tekanan
pada papilla. Setelah berkontak dengan tulang, retraksi jarum sekitar
satu millimeter, lakukan aspirasi, dan suntikkan seperempat cartridge
(0.45cc) dari larutan anestesi selama tiga puluh detik.
5. Keseimbangan jaringan sekitar dan pengendapan larutan anestesi
adalah normal. Anestesi akan diberikan ke jaringan lunak dan keras

61

dari aspek lingual gigi anterior dari distal dari gigi kaninus pada satu
sisi ke sisi distal dari gigi kaninus di sisi yang berlawanan.

6. Anestesi Blok Nervus Maxillaris


Ada Tiga teknik yang digunakan untuk memblokir nervus maxillaris, salah
satunya secara ekstraoral dan dua teknik secara intraoral. Teknik ekstraoral
jarang digunakan dalam praktik klinis kedokteran gigi. Secara intraoral, ada
dua teknik untuk memblok nervus maxillaris yaitu pada tuberositas (mirip
dengan anestesi blok nervus alveolar superior posterior) dan kanal palatinal.
Meskipun sulit diprediksi dan cenderung menimbulkan komplikasi,
prosedur pada tuberositas lebih mudah. Tujuan teknik ini secara langsung
untuk mengarahkan jarum ke superior, medial, dan posterior sepanjang
permukaan permukaan zygomatikum dan infratemporal dari maksilla masuk
ke fossa pterygopalatinal. Dengan kedalaman 24 sampai 44 mm (Lamlanto,
2009).
Injeksi intraoral maxillaris dilakukan dengan jarum terpasang dengan hub
melengkung karena suntikan ini dapat dilakukan dengan mudah dengan
jarum bersudut daripada dengan jarum lurus, khususnya jika ingin mencapai
fisur sphenomaxillaris. Setelah pipi diretraksi, jarum diinsersi tinggi di
mukobukal fold pada permukaan posterior yang cekung dari zigomatikum
yang berlawanan dengan molar ketiga. yang merupakan lanjutan yang
miring ke atas, ke dalam, dan sedikit ke belakang sampai 3 cm, yang
berkontak dengan tulang. Dua milliliter dari larutan diinjeksikan. Selama 12
menit, daerah infraorbital dari wajah, termasuk bagian hidung dan sebagian

62

bibir atas, menjadi mati rasa. Jika palatum mati rasa, ini merupakan tanda
larutan anestesi telah terpenetrasi ke ganglion sphenopalatinal. Dengan
demikian sebagian maxillaris dapat teranestesi, termasuk sinus maxilaris.
Jika palatum tidak mati rasa, dilakukan injeksi tambahan pada palatinal
anterior dan foramen incisivum jika anestesi pada seluruh bagian maxillaris
diinginkan (Lamlanto, 2009).
Injeksi maxillaris ekstraoral lebih baik daripada secara intraoral
karena secara intraoral, bibir dan pipi diretraksi, sehingga dapat saja
terpotong dan memar. Selain itu, jarum diinsersi ke dalam permukaan yang
steril. Anatomi landmark untuk insersi jarum ditemukan dengan meraba
pinggiran superior dari lengkung zigomatikum ke tempat dimana terbentuk
sudut siku-siku dengan tepi superior dari orbit. Sudut ini disebut sudut
zygomatikum. Dari titik ini garis vertikal ditarik ke bawah 0.5 cm di bawah
tepi inferior zygomatikum, yang merupakan tempat insersi jarum.
Tekhnik (Lamlanto, 2009):
1. Sterilkan kulit dengan menggunakan kapas beralkohol.
2. Setelah kulit steril dan siap, jarum diinsersi dengan gigi-geligi
beroklusi.
3. Beberapa tetes dari larutan anestesi dinjeksikan ke bawah kulit,
kemudian jarum melewati pipi secara vertikal menuju otot bucinator
dengan kedalaman 2 sampai 3 cm, selanjutnya berkontak dengan
tulang.
4. Sekarang jarum diarahkan sedikit lebih ke belakang melewati dinding
posterior dari maxillaris.

63

5. Setelah jarum dimasukkan 2 cm lagi, pengendapan tulang kembali


terasa, permukaan anterior menjadi lebih lebar dari sphenoid di bawah
foramen rotundum.
6. Jarum telah masuk sedalam 5 cm, ditandai dengan karet disk. Dua
millimeter larutan anestesi diinjeksikan, dan gejala anestesi akan
dirasakan seperti yang digambarkan dalam teknik intraoral.
Perlu dicatat bahwa dengan metode okular mengakibatkan gangguan
seperti diplopia, kelopak mata melemah, dan dilatasi dari pupil yang
terjadi dalam jangka waktu pendek dan beberapa pasien mengalami
gangguan anestesi pada palatum lunaknya.

Anestesi Blok pada Mandibularis


1. Anestesi Blok Nervus Alveolaris Inferior
Anestesi blok nervus alveolar inferior merupakan salah satu teknik yang
paling umum pada anestesi blok mandibula. Teknik ini sangat berguna
ketika beberapa gigi dalam satu kuadran memerlukan perawatan. Target
teknik ini adalah nervus mandibular yang berjalan ke medial ramus, yang
masuk ke foramen mandibular. Nervus lingual, mental, dan incisivum juga
teranestesi. Teknik ini menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto,
2009).

64

Gambar 15. Lokasi nervus


alveolar inferior

Gambar 16. Setelah berkontak dengan


tulang, jarum di arahkan ke posterior
dengan syringe sejajar dataran
oklusal, jarum kemudian masuk ke
kuarter ketiga.

Teknik direct. Ketika melakukan teknik anestesi blok nervus alveolar


mandibula pada orang dewasa, jarum panjang (35mm) tidak lebih kecil
dari 27 gauge yang mesti digunakan. Jarum panjang dianjurkan karena
penetrasinya sampai 25 mm mungkin diperlukan, jarum tidak diinsersi
sampai hub untuk menghindari patah jarum. Penting untuk mengoreksi
landmarking dan dan melakukan tekniknya secara berurutan (Lamlanto,
2009).
Injeksi ini akan menganestesi nervus alveolar inferior dan memblok
nervus lingual. Jika membutuhkan anestesi lingual, jarum ditarik setengah
dan aspirasi diulangi. Jika aspirasi negatif, larutan pada cartridge diinjeksi
pada titik ini, dan jarum kemudian ditarik (Lamlanto, 2009).
Teknik direct (Lamlanto, 2009) :
1. Letakkan ibu jari pada fossa retromolar, raba coronoid notch pada
batas anterior ramus.
2. Letakkan jari telunjuk pada batas posterior ramus di tempat yang sama
dengan ibu jari.
3. Beritahu pasien untuk membuka mulut dengan lebar.
4. Insersi jarum ke dalam mulut secara menyilang terhadap gigi premolar
mandibula dari sisi yang berlawanan sejajar dengan dataran oklusal.
5. Tempatkan titik penetrasi dengan visualisasi bentuk V dari batas
anterior

ramus

mandibula

pada

aspek

lateral

dan

raphe

pterygomandibular secara medial. Ramus diraba dan raphe muncul.

65

6. Penetrasi bentuk V dengan imajinasi pertengahan diantara setengah


ibu jari. Masukkan jarum sampai berkontak dengan tulang, biasanya
dengan kedalaman 20 sampai 30 mm.
7. Setelah mencapai tulang, tarik jarum sedikit (supraperiosteal) dan
8.

aspirasi.
Jika aspirasi negatif, injeksikan sekitar 1.5 ml larutan anestesi.
Teknik indirect. Teknik anestesi blok nervus alveolar inferior indirect

dapat digunakan pada awal atau dapat digunakan sebagai alternatif jika
teknik direct gagal. Teknik indirect mengatasi masalah kontak ridge
internal oblique mandibula, tetapi pergerakan jarum diperlukan dalam
posisi yang benar. Orientasi pasien, membuka mulut, posisi tangan kiri
operator dan peralatan sama saja dengan teknik direct. Titik penetrasi
mukosa juga sama, pertengahan antara ramus dan raphe
pterygomandibular pada titik tengah ibu jari dokter gigi. Syringe diarahkan
secara intraoral sepanjang dataran oklusal dari gigi premolar dan molar
pada daerah yang akan diinjeksi. Setelah penetrasi mukosa, jarum
disuntikkan 10 mm ke dalam jaringan. Syringe kemudian berayun di atas
gigi premolar yang berlawanan sisi, kemudian metode selanjutnya seperti
yang dijelaskan pada teknik direct.

2. Anestesi Blok Nervus Incisivum


Anestesi blok nervus incisivum jarang digunakan dalam praktik klinik
meskipun sangat berguna pada perawatan yang terbatas pada gigi anterior
mandibular dan tidak membutuhkan efek anestesi pada seluruh kuadran.
Teknik ini hampir mirip dengan anestesi blok nervus mentale dengan satu

66

langkah tambahan. Nervus mentale dan incisivum dianestesi dengan teknik


ini. Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi akut dan infeksi pada daerah
injeksi. Teknik ini menggunakan jarum pendek 25 atau 27 gauge
(Lamlanto, 2009).
Teknik (Lamlanto, 2009) :
1. Mintalah pasien membuka sebagian mulut, atau ditutup selama
injeksi.
2. Lebih baik menggunakan jarum pendek 27 atau 30 gauge.
3. Jarum langsung dari belakang apeks premolar kedua.
4. Jarum berkontak dengan tulang, lalu tarik jarum sedikit.
5. Setelah aspirasi, injeksikan 1.5 ml larutan anestesi secara perlahanlahan.
6. Jangan memasukan jarum ke foramen mentale, karena dapat melukai
nervus.
3. Anestesi Blok Nervus Mentale
Anestesi blok nervus mentale diindikasikan untuk prosedur yang
berhubungan dengan jaringan lunak bukal anterior ke foramen mentale.
Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada daerah
injeksi. Teknik ini menggunakan jarum pendek 25 atau 27 gauge (Lamlanto,
2009).
Injeksi ini jarang digunakan karena bagian yang teranestesi lebih efektif
dianestesi dengan injeksi pterygomandibular. Lokasi dan ukuran foramen
mentale bervariasi, kadang-kadang terdapat dua foramen mentale. Injeksi
ini secara intraoral diantara dan sedikit di bawah dua premolar (Lamlanto,
2009).

67

Gambar 18. Lokasi nervus


mentale dan incisivum.

Gambar 19. Insersi jarum pada mukobukal fold


di atas foramen mentale untuk blok
nervus mentale dan incisivum.

Teknik (Lamlanto, 2009) :


1. Pasien harus dalam posisi setengah terlentang. Operator harus berdiri
di arah jarum jam pukul delapan sedangkan operator yang kidal harus
berdiri di arah jarum jam pukul empat.
2. Daerah injeksi terletak di puncak mukobukal fold di atas foramen
mentale. Foramen dapat diraba secara manual dengan tekanan jari di
daerah mandibula bagian premolar.
3. Pasien akan merasa sedikit tidak nyaman akibat palpasi ke foramen.
Gunakan instrumen retraksi untuk meretraksi jaringan lunak.
4. Jarum diarahkan ke foramen mentale dengan bevel menghadap tulang.
Menembus jaringan lunak dengan kedalaman lima millimeter, aspirasi
dan injeksi sekitar 0.6cc larutan anestesi.
5. Pelaksanaan teknik ini dikatakan sukses apabila menghasilkan anestesi
jaringan lunak bukal anterior ke foramen, bibir bawah dan dagu pada
daerah injeksi.

4. Anestesi Blok Nervus Buccal

68

Anestesi blok nervus bukal, atau dikenal dengan anestesi blok bukal
panjang atau buccinators, merupakan tambahan yang berguna pada
anestesi blok nervus alveolar inferior ketika dilakukan manipulasi dari
jaringan lunak bukal di regio molar mandibula. Titik target teknik ini
adalah nervus bukal yang melalui ramus dibagian anterior. Kontraindikasi
prosedur ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada daerah injeksi. Teknik
ini menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto, 2009).
Nervus buccinators diblok pada titik tranversal batas anterior ramus. Yang
muncul dari dalam prosessus coronoid dari mandibula dan melintasi ramus
setinggi molar atas dalam posisi mulut terbuka. Daerah injeksi terbaik
pada tinggi ini dan masuk ke dalam jaringan yang menutupi tepi anterior
coronoid. Sekitar satu ml larutan anestesi diinjeksikan. Efek anestesi
dicapai setelah 5 menit (Lamlanto, 2009).

Gambar 20. Lokasi nervus bukal.

Gambar .21. Jaringan distal dan bukal dari gigi


molar terakhir merupakan targen daerah
injeksi.

Teknik (Lamlanto, 2009)


1. Pasien berada dalam posisi setengah terlentang. Operator harus berdiri
diarah jarum jam pukul delapan sedangkan operator kidal harus berdiri
di arah jarum jam pukul empat.

69

2.

Mencari sisi yang paling distal gigi molar pada sisi yang dirawat.
Jaringan di bagian distal dan bukal di gigi molar terakhir merupakan
daerah injeksi.

3. Menggunakan instrument retraksi untuk meretraksi pipi. Bevel jarum


menghadap tulang dan syringe di arahkan sejajar bidang oklusal pada
daerah injeksi. Jarum diinsersi ke dalam jaringan lunak dan beberapa
tetes larutan anestesi disuntikkan.
4. Jarum dimasukkan sekitar satu atau dua millimeter sampai berkontak
dengan tulang. Setelah berkontak dengan tulang dan aspirasi negatif,
0.2 cc larutan anestesi lokal didepositkan. Jarum ditarik dan ditutup
kembali. Pelaksanaan anestesi dikatakan sukses apabila menghasilkan
efek anestesi pada jaringan lunak bukal dari daerah molar mandibula.

5. Anestesi Blok Vazirani-Akinosi Closed-Mouth


Anestesi blok nervus mandibula Vazirani-Akinosi closed mouth merupakan
teknik yang berguna untuk pasien yang sulit membuka mulut seperti trismus
atau ankylosis temporomandibular joint. Kesulitan membuka mulut
merupakan kontraindikasi teknik anestesi blok nervus alveolar inferior dan
teknik Gow-Gates yang membutuhkan pasien membuka mulut secara
maksimal. Keuntungan lainnya dari teknik ini yaitu resiko trauma yang
minimal dari nervus alveolar inferior, arteri, vena dan otot pterygoid, tingkat
komplikasi yang rendah dan ketidaknyamanan yang minimal dari injeksi.
Kontraindikasi teknik ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada ruang
pterygomandibular, cacat atau tumor pada regio tuberositas maxillaris atau

70

ketidakmampuan untuk memvisualisasikan bagian medial ramus. Teknik ini


menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto, 2009).

Teknik (Lamlanto, 2009) :


1. Injeksi ini dilakukan pada mulut tertutup. Posisi pasien meiring 45 o
dengan gigi geligi beroklusi. Ibu jari yang bebas digunakan untuk
merefleksi pipi secara lateral dan mengidentifikasi presessus coronoid.
2. Syringe diletakkan sejajar bidang oklusal, dan diposisikan setinggi
mukogingiva yang dekat dengan gigi molar ketiga maxillaris.
3. Jarum diputar searahss mukogingiva dari molar ketiga atas, dan
menganestesi mucosa di medial mandibula.
4. Menjaga syringe tetap sejajar dengan dataral oklusal, diarahkan ke
posterior dan sedikit ke lateral sampai masuk sekitar 1.5 inci (38 mm).
Ujung jarum akan masuk ke pertengahan ruang pterygomandibular dan
dekat dengan percabangan utama nervus mandibular.
5. Larutan anestesi didepositkan setelah aspirasi dan jarum kemudian
ditarik. Tanda munculnya efek anestesi akan dimulai setelah 4 sampai 5
menit.
6. Jika jarum terlalu jauh masuk ke medial, nervus tidak akan teranestesi.
Perlu diketahui bahwa dengan teknik ini, struktur posterior akan
teranestesi sebelum struktur anterior. Tanda klasik kram dari bibir
bawah akan tertunda.

6. Anestesi Blok Gow-Gates


Teknik ini menggunakan landmark eksternal yang mengarahkan jarum ke
titik tusukan yang lebih tinggi, sehingga menjamin tinggi yang memadai

71

untuk deposit larutan di atas lingual. Berikut dua landmark ektraoral yang
digunakan
1. Pertama, dataran diidentifikasi untuk mengarahkan jarum suntik.
Dataran ini memanjang dari batas bawah ke notch telinga melalui
commisura bibir.
2. Kedua adalah sebuah titik, tragus telinga, yang mengidentifikasi
landmark yang mengarahkan jarum.

Gambar 22. Pasien membuka mulut secara


maksimal. Cusp mesiolingual dari
molar kedua maxillaris merupakan
titik acuan injeksi.

Gambar 23. Jarum kemudian diarahkan ke


distal sejajar dengan garis imajinasi
notch intertragic ke sudut mulut.

Teknik (Lamlanto, 2009) :


1. Mencari daerah anterior dengan mulut terbuka lebar.
2. Kedalaman blok pada orang dewasa sekitar 25 sampai 27 mm.
3. Landmarking gigi cenderung tidak penting; titik injeksi sekitar cusp
dari gigi molar kedua maxillaris.
4. Menggunakan garis dari tragal notch ke sudut mulut, membimbing
jarum ke leher condylus.
5. Dengan kepala pasien miring ke belakang dan mulut terbuka lebar,
meraba ridge internal oblique dengan jari telunjuk atau ibu jari.
6. Angulasi dari injeksi ini sejajar dengan pertemuan dua eksternal
landmark.

72

7. Titik tusukan berada diantara raphe pterygomandibula dan ridge


internal oblique, mendekati anterior leher condylar dari kontralateral
premolar.
8. Depositkan seluruh larutan cartridge. Mula kerjanya mungkin lebih
lambat tetapi efek anestesinya 2 sampai 3 jam.
2.3.6 Komplikasi Pasca Anestesi Lokal
Menurut Baart dan Brand (2008) bahwa terdapat beberapa komplikasi
anastesi lokal pada saat pencabutan, yaitu :
1. Kerusakan Jarum
Penyebab umum patahnya jarum adalah gerakan tiba-tiba yang
tidak terduga pada pasien saat jarum memasuki otot atau kontak
periosteum. Jika pasien berlawanan dengan arah jarum maka tekanan
yang adekuat ini akan menyebabkan patah jarum. Penyebab utamanya
adalah kelemahan jarum dengan membengkokkannya sebelum di insersi
ke dalam mulut pasien.
Perawatan jika terjadi jarum patah adalah pasien diharapkan tetap
tenang dan jangan panik, instruksikan pasien untuk tidak bergerak, jaga
mulut pasien agar tetap terbuka, gunakan bite block dalam mulut pasien.
Jika patahan masih terlihat, coba untuk mengambilnya.
2. Parestesi
Pasien merasa mati rasa selama beberapa jam atau bahkan
berhari-hari setelah anestesi lokal. Penyebabnya karena trauma pada
beberapa saraf, injeksi anestesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau

73

cairan sterilisasi yang menyebabkan iritasi sehingga dapat


mengakibatkan edema dan sampai menjadi parastesi.
Parastesi dapat sembuh sendiri dalam waktu 8 minggu dan jika
kerusakan pada saraf lebih berat maka parastesi dapat menjadi permanen,
namun jarang terjadi. Perawatan pada pasien yang mengalami parastesi
adalah yakinkan kembali pasien dengan berbicara secara personal,
jelaskan bahwa parastesi jarang terjadi hanya 22% telah dilaporkan yang
berkembang menjadi parastesi, periksa pasien untuk menentukan derajat
dan luas parastesi, jelaskan pada pasien bahwa parastesi akan sembuh
sendiri dalam waktu 2 bulan. Jadwal ulang pertemuan setiap 2 bulan
sampai adanya pengurangan reaksi sensori. Jika ada, maka konsultasi ke
bagian Bedah Mulut.
3. Trismus
Trismus adalah kejang tetanik yang berkepanjangan dari otot
rahang dengan pembukaan mulut menjadi terbatas (rahang terkunci).
Etiologinya karena trauma pada otot atau pembuluh darah pada fossa
infra temporal. Kontaminasi alkohol dan larutan sterlisasi dapat
menyebabkan iritasi jaringan kemudian menjadi trismus. Hemoragi juga
penyebab lain trismus.
4. Luka jaringan lunak
Trauma pada bibir dan lidah biasanya disebabkan karena pasien
tidak hati-hati menggigit bibir atau menghisap jaringan yang teranastesi.
Hal ini menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang siginifikan.
Kejadian ini sering terjadi pada anak-anak handicapped.

74

5. Hematoma
Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah
blok nervus alveolar superior posterior atau nervus inferior. Hematoma
yang terjadi setelah blok saraf alveolar inferior dapat dilihat secara
intraoral sedangkan hematoma akibat alveolar blok posterior superior
dapat dilihat secara extraoral. Komplikasi hematoma juga dapat
berakibat trismus dan nyeri.
Pembengkakan dan perubahan warna pada region yang terkena
dapat terjadi setelah 7 sampai 14 hari.

6. Nyeri
Penyebab nyeri dapat terjadi karena teknik injeksi yang kurang
hati-hati, jarum tumpul akibat pemakaian injeksi multiple, deposisi cepat
pada obat anestesi lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan, jarum
dengan mata kail (biasanya akibat tertusuk tulang). Nyeri yang terjadi
dapat menyebabkan peningkatan kecemasan pasien, menciptakan
gerakan tiba-tiba pada pasien dan menyebabkan jarum patah.
7. Rasa terbakar
Rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat pada
daerah palatal, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga
menyebabkan rasa terbakar. Jika disebabkan karena pH, maka akan
menghilang sejalan dengan reaksi anestesi. Namun jika disebabkan
karena injeksi terlalu cepat, kontaminasi dan obat anastesi yang terlalu

75

hangat dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat berkembang


menjadi trismus, edema, bahkan parastesi.
8. Infeksi
Penyebab utamanya adalah kontaminasi jarum sebelum
administrasi anastesi. Kontaminasi terjadi saat jarum bersentuhan dengan
membran mukosa. Ketidakahlian operator untuk teknik anastesi lokal dan
persiapan yang tidak tepat dapat menyebabkan infeksi.
9. Edema
Pembengkakan jaringan merupakan manifestasi klinis adanya
beberapa gangguan. Edema dapat terjadi karena trauma selama injeksi,
infeksi, alergi, hemoragi, jarum yang teriritasi, hereditary angioderma.
Edema dapat menyebabkan rasa nyeri dan disfungsi dari region yang
terkena. Angioneurotik edema yang dihasilkan akibat topikal anestesi
pada individu yang alergi dapat membahayakan jalan napas. Edema pada
lidah, faring, dan laring dapat berkembang pada situasi gawat darurat.
10. Pengelupasan jaringan
Iritasi yang berkepanjangan atau iskemia pada gusi akan
menyebabkan beberapa komplikasi seperti deskuamasi epitel dan abses
steril. Penyebab deskuamasi epitel, antara lain aplikasi topikal anestesi
pada gusi yang terlalu lama, sensitivitas yang sangat tinggi pada jaringan,
adanya reaksi pada area topikal anestesi. Penyebab abses steril, antara
lain iskemi sekunder akibat penggunaan lokal anestesi dengan
vasokonstriktor (norepineprin), biasanya berkembang pada palatum

76

keras. Nyeri dapat terjadi pada deskuamasi epitel atau abses steril
sehingga ada kemungkinan infeksi pada daerah yang terkena.
11. Lesi intraoral post anastesi
Pasien sering melaporkan setelah 2 hari dilakukan anastesi lokal
timbul ulserasi pada mulut mereka terutama di sekitar tempat injeksi.
Gejala awalnya adalah nyeri. RAS atau herpes simplex dapat terjadi
setelah anestesi lokal. Recurrent aphthous stomatitis merupakan penyakit
yang paling sering dari pada herpes simplex, terutama berkembang pada
gusi yang tidak cekat dengan tulang. Biasanya pasien mengeluh adanya
sensitivitas akut pada area ulse.
12. Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus
fasialis yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, selsel schwan dan selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan
saraf otak. Berbagai penyebab kelumpuhan wajah meliputi kelainan
genetik, komplikasi dari operasi, bells palsy, trauma, Infeksi herpes
simpleks atau herpes zoster, penyakit lyme, stroke dan gangguan
sistem saraf pusat, tumor, penyakit sistemik, infeksi, penyebab
miscellaneous (Facial Paralysis And Bells Palsy 2014).
Kelumpuhan nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian
supranuklear, nuklear, infranuklear (perifer) dari nervus tersebut.
Paralisis perifer (bells palsy) adalah jenis yang paling umum dari
hilangnya fungsi saraf fasialis (75%). Paralisis ini dapat terjadi pada

77

segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50 tahun (Duus 1994 cit.
Milala 2001).
Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara
tergantung kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis
nervus ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi.
Penyebab paralisis nervus fasialis belum diketahui secara pasti. Etiologi
dari paralisis nervus fasialis tergantung pada lokasi lesi dari nervus
fasialis (perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono cit. Milala 2001).
Paralisis nervus fasial dapat disebabkan karena kesalahan injeksi
anestesi lokal yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum
secara posterior menembus kedalam badan glandula parotid sehingga
hal ini menyebabkan paralisis (Baart dan Brand 2008).
Pasien yang mengalami paralisis unilateral mempunyai masalah
utama yaitu estetik. Wajah pasien terlihat berat sebelah. Tidak ada
treatment khusus kecuali menunggu sampai aksi dari obat menghilang.
Masalah lainnya adalah pasien tidak dapat menutup satu matanya secara
sadar, refleks menutup pada mata menjadi hilang dan berkedip menjadi
susah. Paralisis nervus fasialis adalah istilah umum yang diberikan
untuk pasien yang kehilangan kemampuan untuk memindahkan satu
sisi wajah mereka. Bells palsy adalah bagian spesifik dari pasien
yang memiliki kelumpuhan wajah tersebut (Malamed dan Stanley
2004).

Anda mungkin juga menyukai