Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan
membuka jalan masuk bakteri ke jaringan dibawahnya. Gigi-gigi dan
mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi.
3. Pertahanan humoral
Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan
tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua
komponen
utamannya
adalah
imunoglobulin
dan
komplemen.
yang
berperan
dalam
proses
infeksi
adalah
leukosit
2.1.3 Patogenesis
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap
abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut
yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri
dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut.
Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan
gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di
daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis.
Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di
apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi
penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut
dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.
2.1.4 Klasifikasi Infeksi Odontogen
1. Pericoronitis
Definisi
Pericoronitis didefinisikan sebagai infeksi di sekitar bagian
mahkota gigi yang terjadi di dalam rongga mulut dan mengeluarkan
simtom. Secara klinis, perikorontis seperti abses periodontal namun
begitu, etiologik nya berbeda (Peterson et. al.,2003)
Gambaran Klinis dan Diagnosa.
Perikoronitis dapat memberi efek terhadap molar ketiga kerana
kasus impaksi banyak terjadi pada molar ketiga dan ia terletak pada
pinggir anterior mandibular. Oleh karena itu, kasus impaksi molar
ketiga banyak terjadi pada usia dewasa muda (Peterson et. al.,2003)
Perikoronitis akut mulanya terjadi sebagai kesakitan yang
terjadi secara local dan pembekakan gingiva. Kesakitan in dapat
dirasai pada bahagian muka, telinga atau sudut pada mandibular.
Apabila dilakukan diagnosa secara visual dan palpasi, terdapat
perikoronitis akut.
Perikoronitis akut dikaitkan dengan berbagai gejala termasuk
sakit parah, pembengkakan dan demam. Kadang-kadang ada
10
11
12
spasium infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau
ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan
menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses
supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak
jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada
pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada
perabaan.
a penyebaran abses
Gambar 2.6 : a. Ilustrasi gambar memperlihatkan
13
14
a
b
Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah
submandibular di bawah muskulus mylohyoid. b. Tampakan klinis
9. Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal ,
teletek diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh
m.genioglosus dan lateral oleh permukaan lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan
lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan
15
a
b
Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual .b.
Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi lidah ke arah
berlawanan
10. Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di
depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental.
Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan
sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi
penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental.
Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif.
Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan.
Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan
sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah
spasium yang terdekat terutama kearah belakang.
a
b
Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental . b.
Tampakan klinis
11. Abses spasium parafaringeal
16
Granuloma
Periapikal granuloma merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan
perkembangan yang lambat yang berada dekat dengan apex dari akar
gigi, biasanya merupakan komplikasi dari pulpitis. Terdiri dari massa
jaringan inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul fibrous
yang merupakan ekstensi dari ligamen periodontal
Granuloma periapikal dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada
pulpa yang berlanjut hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang
mengenai jaringan periapikal. Iritan dapat disebabkan oleh organisme
seperti: bakteri dan virus; dan non-organisme seperti: iritan mekanis,
thermal, dan kimia. Penelitian yang dilakukan terhadap spesimen
17
- Kista
Suatu rongga patologis , berisi cairan kista, dibatasi dinding
epitel. Lesi radiolusen terbanyak kedua setelah granuloma
Gambaran radiografik:
Secara umum radiolusen berbatas jelas/radiopak (cortical layer).Bila
kista mengalami keradangan batasnya menjadi kabur. Macam kista:
Kista odontogen : 1. Kista radikuler
2. Kista dentigerous
3. Kista residual
4. Odontogenic keratocyst
5. Kista lateral periodontal
Kista non odontogen : 1. Kista kanalis nasopalatina
2. Kista nasoalveolar
1. KISTA RADIKULER
Kista odontogen yg paling banyak ditemukan
Inflamasi + invasi bakteri pada pulpa kematian pulpa degenerasi
pulpa
18
2. KISTA DENTIGEROUS
Mengelilingi mahkota gigi impaksi
Terbanyak setelah kista radikuler
5% kasus pd gigi kelebihan terutama mesiodens
Pada gigi pergantian tumbuh di sekitar mhk permanen pengganti yg
akan erupsi kista erupsi
Klinis:
Sering M3 RB, M3 RA, C RA
Tidak terlihat gigi, kdg ada pembengkakan, palpasi keras
Asimtomatik, kdg parestesi
19
3. KISTA RESIDUAL
Dapat berkembang dari:
Sisa k. radikuler/ k. lateral periodontal/ k. dentigerous
Degenerasi kistik dr sisa granuloma setelah pencabutan
Sisa epitel dr ligamen periodontal setelah pencabutan
Klinis:
Lbh sering pria dewasa dg riwayat pencabutan
RB > RA
Asimtomatik, terdeteksi tidak sengaja dr pemeriksaan radiografik
kecuali beradang atau ekspansi
Radiografik:
Radiolusen dg batas radiopak, tepi halus, pada regio tidak bergigi o.k
pencabutan
Episenter pada daerah periapikal, RB di atas kanalis mandibula,
bila besar dpt mendesak kanalis ke inferior
4. ODONTOGENIC KERATOCYST
20
21
22
menunjukkan gejala akut terlebih dahulu. Hal ini bias diakibatkan oleh
karena infeksi periapikal yang ada sifatnya ringan, atau bias juga
karena resistensi jaringan cukup baik, atau gabungan keduanya. Rasa
sakit yang timbul biasanya berupa keluhan kemeng atau kadangkadang tidak ada keluhan sama sekali. Pada pemeriksaan klinis
didapatkan berupa gigi yang telah nonvital, pada pemeriksaan perkusi
dan drug bias didapatkan keluhan rasa sakit berupa kemeng atau sama
sekali tidak ada respon sakit.
23
satu
gusi
yang
berasal
dari
peradangan
karena
rusaknya
24
Sumber Infeksi
Gingiva bawah
Jaringan subkutan bibir bawah
profunda
Submaksila
bawah
Gingiva dan palatum atas
Pipi bagian anterior
Pipi bagian posterior
(Robertson, dkk, 1996).
Servikal profunda
Parotis
Submaksila, fasial
25
26
pada rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling berdekatan antara
sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan
mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.
Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan
klasifikasi dari Burman:
a)
b)
Regio submandibula
c)
27
d)
Ruang submaksila
e)
Ruang parafaringeal
Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui
kontinuitas jarinan dan spasia jaringan. Disini, pertama nanah terbentuk di
tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi
jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal
tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan
jarak perjalanan pus (Robertson, dkk, 1996).
Patogenesis Infeksi Odontogen
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu
adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan
berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa
(nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal maupun
meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis pada
pulpa tidak dapat mendrainase pulpa yang terinfeksi yang selanjutnya
proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain
yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Li dkk., 2000).
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal, kemudian terjadi proses
inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu
periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding
untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap
28
iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar (Li dkk., 2000).
29
30
31
pterygomandibular,
submasseter, infratemporal.
c) Skor 3 (resiko pernafasan tinggi)
Pharyngeal lateral, retropharyngeal, prethacheal
d) Skor 4 (resiko pernafasan berat)
Mediastium, infeksi intrakranial
b. Progress Infeksi
Progres infeksi dapat kita dapatkan dari anamnesa onset
penyakit, serta tanda dan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada tabel
(Fragiskos, 2007):
c. Saluran Nafas
Kasus kematian karena infeksi odontogenik paling banyak
disebabkan oleh obstruksi saluran napas. Jadi, dokter harus
memperhatikan apabila infeksi odonogenik menyebabkan gangguan
saluran napas. Apabila terjadi obstruksi saluran napas komplit,
penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan intubasi endotrakeal,
32
Dehidrasi
Gangguan saluran pernafasan
Infeksi berat
Membutuhkan anestesi umum
Membutuhkan kontrol sistemik
33
34
5) Dukungan Medis.
Perawatan medis suportif untuk pasien infeksi odontogenik adalah
dengan memperhatikan asupan nutrisi, memperhatikan hidrasi dan
mengontrol gejala demamnya (Peterson, 2004).
6) Pemberian anti biotik yang tepat.
Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan
dengan tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik
dilakukan berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Terdapat dua faktor
mikrobiologi yang harus ada di dalam benak dokter gigi pada saat
memilih
antibiotik.
Pertama,
antibiotik
harus
efektif
melawan
35
36
aktivitas
penghambat
radang
dengan
mekanisme
kerja
37
digunakan
sebagai
analgesik;
sebagai
38
a.
b.
c.
d.
39
40
41
2. Elevator/pengungkit
42
handle
handle, merupakan bagian yang digunakan untuk pegangan
43
Tang trismus
Tang M3 Rahang Atas
Tang cow horn
44
2.
3.
4.
5.
6.
morbiditas rendah
7. Tindakan bedah yang dapat menimbulkan rasa sakit yang tidak
tertahankan oleh pasien, diantaranya
gingivektomi,
gingivoplasti,
bedah
pulpektomi,
rahang,
suntikan intravaskular.
Kurangnya tenaga terampil yang mampu mengatasi atau mendukung
4.
5.
6.
7.
teknik tertentu.
Kurangnya prasarana resusitasi.
Tidak tersedianya alat injeksi yang steril.
Infeksi lokal atau iskemik pada tempat suntikan.
Bila ada infeksi pada daerah injeksi atau pada titik dimana anestetikum
akan di deponirkan.
8. Pembedahan luas yang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal.
9. Distorsi anotomik atau pembentukan sikatriks.
10. Pasien yang sedang menjalani terapi sistemik dengan antikoagulan
11. Bila terdapat infeksi Vincent atau infeksi mulut yang luas.
12. Kontraindikasi pada penderita penyakit sistemik seperti kardiovaskuler
dan diabetes
melitus.
45
46
47
1. Semprotan (spray form) yang mengandung agen anestesi lokal tertentu dapat
digunakan untuk tujuan ini karena aksinya berjalan cukup cepat. Bahan aktif
yang terkandung dalam larutan adalah lignokain hidroklorida 10% dalam basis
air yang dikeluarkan dalam jumlah kecil kontainer aerosol. Penambahan
berbagai rasa buah-buahan dimaksudkan untuk membuat preparat tersebut
lebih dapat ditolerir oleh anak, namun sebenarnya dapat menimbulkan masalah
karena merangsang terjadinya salivasi berlebihan. Bila anestesi dilakukan
dengan menggunakan semprotan, larutan umumnya dapat didistribusikan
dengan lebih mudah dan efeknya akan lebih luas daripada yang kita inginkan.
Waktu timbulnya anastesi adalah 1 menit dan durasinya adalah sekitar 10
menit (Whitehead, 1990).
2. Salep yang mengandung lignokain hidroklorida 5% juga dapat digunakan
untuk tujuan yang sama, namun diperlukan waktu 3-4 menit untuk memberikan
efek anastesi. Beberapa industri farmasi bahkan menyertakan enzim
hialuronidase dalam produknya dengan harapan dapat membantu penetrasi
agen anastesi lokal dalam jaringan. Amethocaine dan benzocaine umumnya
48
49
b. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik anestesi lokal paling sering digunakan
pada maxilaris. Pada teknik ini, larutan anestesi didepositkan pada
permukaan supraperiosteal yang berhubungan dengan periosteum bukal dan
labial. Larutan anestesi didepositkan di dekat serabut terminal dari saraf dan
akan terinfiltrasi sepanjang jaringan untuk mencapai serabut saraf dan
menimbulkan efek anestesi dari daerah terlokalisir yang disuplai oleh saraf
tersebut. Teknik infiltrasi dapat dibagi menjadi (Lamlanto, 2009).
1. Suntikan submukosa
Istilah ini diterapkan bila larutan didepositkan tepat dibalik membran mukosa.
Walaupun tidak menimbulkan anestesi pada pulpa gigi, suntikan ini sering
digunakan baik untuk menganestesi saraf bukal panjang sebelum pencabutan
molar bawah atau operasi jaringan lunak (Lamlanto, 2009).
Gambar 1 Suntikan
submukosa,
suntikan
supraperiosteal,
suntikan
subperiosteal,
suntikan
Gambar 3.1 Suntikan submukosa, suntikan supraperiosteal, suntikan
interdental
subperiosteal, suntikan interdental papilla, dan suntikan peridental. papilla, dan
Sumber : www.studentals.net/stu/t8830.html Accessed at Des 10th 2009
2. Suntikan supraperiosteal
50
Pada beberapa daerah seperti maksila, bidang kortikal bagian luar dari tulang
alveolar biasanya tipis dan dapat terperforasi oleh saluran vaskular yang kecil.
Pada daerah-daerah ini bila larutan anestesi didepositkan di luar periosteum,
larutan akan terinfiltrasi melalui periosteum, bidang kortikal, dan tulang
medularis ke serabut saraf. Dengan cara ini, anestesi pulpa gigi dapat
diperoleh
melalui
penyuntikan
di
sepanjang
apeks
gigi.
Suntikan
51
dipilih. Lubang harus terletak di dekat apeks gigi pada posisi sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin merusak akar gigi geligi (Lamlanto, 2009).
Jarum yang pendek dengan hub yang panjang diinsersikan melalui lubang dan
diteruskan ke tulang, larutan anestesi 0,25 ml didepositkan perlahan ke ruang
medularis dari tulang. Jumlah larutan tersebut biasanya cukup untuk sebagian
besar prosedur perawatan gigi. Teknik suntikan intraoseous akan memberikan
efek anestesi yang baik pada pulpa disertai dengan gangguan sensasi jaringan
lunak yang minimal. Walaupun demikian, biasanya tulang alveolar akan
terkena trauma dan cenderung terjadi rute infeksi. Prosedur asepsis yang tepat
pada tahap ini merupakan keharusan. Pada prakteknya, dewasa ini sudah
dipasarkan larutan anestesi yang efektif dan penggunaan suntikan
intraligamentum atau ligamentum periodontal sudah mengurangi perlunya
suntikan intraoseous dan karena itu, teknik suntikan intraoseous sudah makin
jarang digunakan (Lamlanto, 2009).
5. Suntikan intraseptal
Merupakan versi modifikasi dari teknik intraoseous yang kadang-kadang
digunakan bila anestesi yang menyeluruh sulit diperoleh atau bila akan
52
6. Suntikan intraligament
Teknik ini umumnya menggunakan syringe konvensional yang pendek dan
lebarnya 27 gauge atau syringe yang didesain khusus untuk tujuan tersebut.
Teknik ini mempunyai beberapa manfaat. Efeknya yang terbatas
dimungkinkan dilakukannya perawatan pada satu gigi dan membantu
perawatan pada kuadran mulut yang berbeda. Suntikan ini juga tidak terlalu
sakit bagi pasien yang umumnya tidak menyukai rasa bengkak yang sering
menyertai anestesi lokal. Suntikan ini juga dapat menghindari terjadinya baal
pada lidah, pipi dan jaringan lunak lainnya, jadi mengurangi resiko trauma
pada bibi dan lidah yang baal dan tidak menimbulkan rasa kurang enak bagi
pasien sehingga ia dapat makan, minum dan berbicara secara normal. Efeknya
yang terlokalisir membuat teknik ini dapat digunakan sebagai suntikan
diagnostik untuk mengidentifikasi sumber sakit (Lamlanto, 2009).
C. Anestesi Blok
Anestesi Blok pada Maxillaris
1. Anestesi Blok Nervus Infraorbital
53
54
gauge.
2. Mintalah pasien untuk membuka mulut sedikit.
3. Menarik bibir atas dengan ibu jari tangan kiri.
4. Gunakan jari telunjuk untuk meraba foramen infraorbital secara ektraoral.
Letakkan jari telunjuk di titik injeksi.
5. Mengarahkan jarum pada puncak sulkus bukal maxillaris di antara gigi
premolar.
6. Arahkan jarum sejajar akar gigi premolar menghadap foramen infraorbital
sampai berkontak dengan tulang, sekitar 15 sampai 20 mm.
7. Jarum ditarik sedikit, jika apsirasi negatif , suntikkan secara perlahanlahan 1,5 ml larutan anestesi.
55
56
dan masuk ke tulang sekitar satu cm ke superior dan posterior gigi molar
ketiga. Nervus PSA mempersarafi gingival bagian bukal, jaringan
periodontium, dan alveolus yang berhubungan dengan gigi molar atas.
Nervus ini mempersarafi pulpa dari semua gigi molar atas dengan
kemungkinan pengecualian pulpa mesiobukal dari molar pertama, yang
dipersarafi oleh nervus alveolar superior medial (MSA) pada sebagian
besar individu (Lamlanto, 2009).
Anestesi blok ini dimaksudkan untuk menganestesi nervus alveolar
superior posterior menembus aspek posterolateral dari tuberositas
maxillaris sebelum mencapai tulang. Dengan demikian, ada hubungan
yang erat antara daerah suntikan dengan plexus venous pterygoid di bawah
dan di atas dan dapat dengan mudah dimasuki jarum (Lamlanto, 2009).
Injeksi blok nervus PSA dilakukan di daerah yang sangat vaskular,
sehingga pembentukan hematoma sering terjadi, terutama ketika jarum
masuk lebih dari 15 mm. Perdarahan segera dapat dikontrol oleh tekanan,
tetapi setelah injeksi, trismus dapat berlangsung selama bermingguminggu. Terapi antibiotik harus diresepkan jika hematoma membesar
(Lamlanto, 2009).
57
58
59
60
61
dari aspek lingual gigi anterior dari distal dari gigi kaninus pada satu
sisi ke sisi distal dari gigi kaninus di sisi yang berlawanan.
62
bibir atas, menjadi mati rasa. Jika palatum mati rasa, ini merupakan tanda
larutan anestesi telah terpenetrasi ke ganglion sphenopalatinal. Dengan
demikian sebagian maxillaris dapat teranestesi, termasuk sinus maxilaris.
Jika palatum tidak mati rasa, dilakukan injeksi tambahan pada palatinal
anterior dan foramen incisivum jika anestesi pada seluruh bagian maxillaris
diinginkan (Lamlanto, 2009).
Injeksi maxillaris ekstraoral lebih baik daripada secara intraoral
karena secara intraoral, bibir dan pipi diretraksi, sehingga dapat saja
terpotong dan memar. Selain itu, jarum diinsersi ke dalam permukaan yang
steril. Anatomi landmark untuk insersi jarum ditemukan dengan meraba
pinggiran superior dari lengkung zigomatikum ke tempat dimana terbentuk
sudut siku-siku dengan tepi superior dari orbit. Sudut ini disebut sudut
zygomatikum. Dari titik ini garis vertikal ditarik ke bawah 0.5 cm di bawah
tepi inferior zygomatikum, yang merupakan tempat insersi jarum.
Tekhnik (Lamlanto, 2009):
1. Sterilkan kulit dengan menggunakan kapas beralkohol.
2. Setelah kulit steril dan siap, jarum diinsersi dengan gigi-geligi
beroklusi.
3. Beberapa tetes dari larutan anestesi dinjeksikan ke bawah kulit,
kemudian jarum melewati pipi secara vertikal menuju otot bucinator
dengan kedalaman 2 sampai 3 cm, selanjutnya berkontak dengan
tulang.
4. Sekarang jarum diarahkan sedikit lebih ke belakang melewati dinding
posterior dari maxillaris.
63
64
ramus
mandibula
pada
aspek
lateral
dan
raphe
65
aspirasi.
Jika aspirasi negatif, injeksikan sekitar 1.5 ml larutan anestesi.
Teknik indirect. Teknik anestesi blok nervus alveolar inferior indirect
dapat digunakan pada awal atau dapat digunakan sebagai alternatif jika
teknik direct gagal. Teknik indirect mengatasi masalah kontak ridge
internal oblique mandibula, tetapi pergerakan jarum diperlukan dalam
posisi yang benar. Orientasi pasien, membuka mulut, posisi tangan kiri
operator dan peralatan sama saja dengan teknik direct. Titik penetrasi
mukosa juga sama, pertengahan antara ramus dan raphe
pterygomandibular pada titik tengah ibu jari dokter gigi. Syringe diarahkan
secara intraoral sepanjang dataran oklusal dari gigi premolar dan molar
pada daerah yang akan diinjeksi. Setelah penetrasi mukosa, jarum
disuntikkan 10 mm ke dalam jaringan. Syringe kemudian berayun di atas
gigi premolar yang berlawanan sisi, kemudian metode selanjutnya seperti
yang dijelaskan pada teknik direct.
66
67
68
Anestesi blok nervus bukal, atau dikenal dengan anestesi blok bukal
panjang atau buccinators, merupakan tambahan yang berguna pada
anestesi blok nervus alveolar inferior ketika dilakukan manipulasi dari
jaringan lunak bukal di regio molar mandibula. Titik target teknik ini
adalah nervus bukal yang melalui ramus dibagian anterior. Kontraindikasi
prosedur ini yaitu inflamasi dan infeksi akut pada daerah injeksi. Teknik
ini menggunakan jarum panjang 25 gauge (Lamlanto, 2009).
Nervus buccinators diblok pada titik tranversal batas anterior ramus. Yang
muncul dari dalam prosessus coronoid dari mandibula dan melintasi ramus
setinggi molar atas dalam posisi mulut terbuka. Daerah injeksi terbaik
pada tinggi ini dan masuk ke dalam jaringan yang menutupi tepi anterior
coronoid. Sekitar satu ml larutan anestesi diinjeksikan. Efek anestesi
dicapai setelah 5 menit (Lamlanto, 2009).
69
2.
Mencari sisi yang paling distal gigi molar pada sisi yang dirawat.
Jaringan di bagian distal dan bukal di gigi molar terakhir merupakan
daerah injeksi.
70
71
untuk deposit larutan di atas lingual. Berikut dua landmark ektraoral yang
digunakan
1. Pertama, dataran diidentifikasi untuk mengarahkan jarum suntik.
Dataran ini memanjang dari batas bawah ke notch telinga melalui
commisura bibir.
2. Kedua adalah sebuah titik, tragus telinga, yang mengidentifikasi
landmark yang mengarahkan jarum.
72
73
74
5. Hematoma
Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah
blok nervus alveolar superior posterior atau nervus inferior. Hematoma
yang terjadi setelah blok saraf alveolar inferior dapat dilihat secara
intraoral sedangkan hematoma akibat alveolar blok posterior superior
dapat dilihat secara extraoral. Komplikasi hematoma juga dapat
berakibat trismus dan nyeri.
Pembengkakan dan perubahan warna pada region yang terkena
dapat terjadi setelah 7 sampai 14 hari.
6. Nyeri
Penyebab nyeri dapat terjadi karena teknik injeksi yang kurang
hati-hati, jarum tumpul akibat pemakaian injeksi multiple, deposisi cepat
pada obat anestesi lokal yang menyebabkan kerusakan jaringan, jarum
dengan mata kail (biasanya akibat tertusuk tulang). Nyeri yang terjadi
dapat menyebabkan peningkatan kecemasan pasien, menciptakan
gerakan tiba-tiba pada pasien dan menyebabkan jarum patah.
7. Rasa terbakar
Rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat pada
daerah palatal, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga
menyebabkan rasa terbakar. Jika disebabkan karena pH, maka akan
menghilang sejalan dengan reaksi anestesi. Namun jika disebabkan
karena injeksi terlalu cepat, kontaminasi dan obat anastesi yang terlalu
75
76
keras. Nyeri dapat terjadi pada deskuamasi epitel atau abses steril
sehingga ada kemungkinan infeksi pada daerah yang terkena.
11. Lesi intraoral post anastesi
Pasien sering melaporkan setelah 2 hari dilakukan anastesi lokal
timbul ulserasi pada mulut mereka terutama di sekitar tempat injeksi.
Gejala awalnya adalah nyeri. RAS atau herpes simplex dapat terjadi
setelah anestesi lokal. Recurrent aphthous stomatitis merupakan penyakit
yang paling sering dari pada herpes simplex, terutama berkembang pada
gusi yang tidak cekat dengan tulang. Biasanya pasien mengeluh adanya
sensitivitas akut pada area ulse.
12. Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus
fasialis yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, selsel schwan dan selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan
saraf otak. Berbagai penyebab kelumpuhan wajah meliputi kelainan
genetik, komplikasi dari operasi, bells palsy, trauma, Infeksi herpes
simpleks atau herpes zoster, penyakit lyme, stroke dan gangguan
sistem saraf pusat, tumor, penyakit sistemik, infeksi, penyebab
miscellaneous (Facial Paralysis And Bells Palsy 2014).
Kelumpuhan nervus fasialis ini dapat terjadi di bagian
supranuklear, nuklear, infranuklear (perifer) dari nervus tersebut.
Paralisis perifer (bells palsy) adalah jenis yang paling umum dari
hilangnya fungsi saraf fasialis (75%). Paralisis ini dapat terjadi pada
77
segala usia, namun lebih sering pada umur 20-50 tahun (Duus 1994 cit.
Milala 2001).
Paralisis nervus fasialis dapat terjadi menetap atau sementara
tergantung kepada penyebab dan sifat kerusakan yang terjadi. Paralisis
nervus ini biasanya bersifat sementara di bidang kedokteran gigi.
Penyebab paralisis nervus fasialis belum diketahui secara pasti. Etiologi
dari paralisis nervus fasialis tergantung pada lokasi lesi dari nervus
fasialis (perifer, nuklear, supranuklear) (Trenggono cit. Milala 2001).
Paralisis nervus fasial dapat disebabkan karena kesalahan injeksi
anestesi lokal yang seharusnya ke dalam kapsul glandula parotid. Jarum
secara posterior menembus kedalam badan glandula parotid sehingga
hal ini menyebabkan paralisis (Baart dan Brand 2008).
Pasien yang mengalami paralisis unilateral mempunyai masalah
utama yaitu estetik. Wajah pasien terlihat berat sebelah. Tidak ada
treatment khusus kecuali menunggu sampai aksi dari obat menghilang.
Masalah lainnya adalah pasien tidak dapat menutup satu matanya secara
sadar, refleks menutup pada mata menjadi hilang dan berkedip menjadi
susah. Paralisis nervus fasialis adalah istilah umum yang diberikan
untuk pasien yang kehilangan kemampuan untuk memindahkan satu
sisi wajah mereka. Bells palsy adalah bagian spesifik dari pasien
yang memiliki kelumpuhan wajah tersebut (Malamed dan Stanley
2004).