Disusun Oleh :
1. Adya Masnawa Riswari
2. Novi Lestary
3. Suci Fiddia Rahmawati
(13.01.001)
(13.01.033)
(13.01.048)
2. Novi Lestary
3. Suci Fiddia Rahmawati
Mahasiswi Akademi Keperawatan Pamenang Pare- Kediri disahkan sebagai bukti telh
mengikuti praktek klinik di ruang bedah B.
Surabaya,
(
Mengetahui,
Pembimbing Klinik
(
Oktober 2015
Kelompok 1
Mengetahui,
Pembimbing Akademik
)
PEMBAHASAN
A. Definisi
Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang mendukung kepala dan
menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah fraktur (patah atau retak) di salah satutulang leher
disebut fraktur servikal atau kadang-kadang juga disebut patah tulang leher.
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan
medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra
servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal.
.
B. Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai
tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang
dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung
tersebut dapat berupa :
1. Kecelakaan lalulintas
2. Kecelakaan olahra
3.
4.
5.
6.
7.
Kecelakaan industry
Jatuh dari pohon/bangunan
Luka tusuk
Luka tembak
Kejatuhan benda keras
C. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai
berikut :
1. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada
gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut.
Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga
dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori diilustrasikan oleh diagfragma
dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian
penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti
makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan
ventilator mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan dari ventilator secara.
intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khsus.
2. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi
lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami
rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus. Bahu dapat
di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator skapula dan otot trapezius.
setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada
daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.
3. Lesi C6
Pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan
lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari
4.
D. Patofisiologi
Akibat dari suatu trauma mengenai tulang belakang seperti jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, cedera olahraga, sedera tulang belakang mengakibatkan patah
tulang belakang , paling banyak cervikalis dan lumbalis fraktur dapat berupa patah
tulang sederhana , kompresi, kominutif dan dislokasi , sedangkan sumsum tulang
belakang dapat berupa memar, kerusakan melintang laserasi dengan atau tanpa
gangguan peredaran darah. Blok saraf pernafasan respon nyeri hebat dan akut anastesi
iskemia dan hipoksemia syock spinal gangguan fungsi rectum , kandug kemih,
gangguan rasa nyaman nyeri dan potensial komplikasi hipotensi , bradikardia
gangguan eleminasi.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:
1. Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya
tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla
spinalis.
5. Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,
anterlektasis).
6. GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
F. Komplikasi
Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :
a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor
dan kehilangan
persarafan simpatis
pada
jantung
sehingga
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti
lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas.
d. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
G. Penatalaksanaan
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu:
1) Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2) Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip,
jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3) Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4) Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7)
dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi),
member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5) Menyediakan oksigen tambahan.
6) Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse
oksimetri.
7) Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8) Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh
dari hipotensi dan bradikardi.
9) Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10) Berikan antiemboli.
11) Tinggikan ekstremitas bawah
12) Gunakan baju antisyok.
bradikardia
Eliminasi
dingin
atau
pucat.
distensi
perut,
peristaltik
Integritas ego
cemas,
usus
hilang
Pola makan
kebersihan
ekstremitas
dan
menarik
diri.
Neurosensori
sangat
ketergantungan
dalam
melakukan
ADL.
paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosis.
Nyeri/kenyamanan
: nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada derah trauma.
Pernapasan
: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
Keamanan
2. Diagnosa Keparawatan
dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6
dalam waktu 2 X 24 jam
Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5
Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu,
distensi kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan.
Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu
mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan
kecemasan dan meningkatkan istirahat
DAFTAR PUSTAKA
Amin, H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa Medis & NANDA .
Yogyakarta: Medication Jogja.
Lingga. (2012, february 21). Asuhan Keperawatan Lengkap. Retrieved October 21, 2015, from
Asuhan Keperawatan pada fraktur :
http://asuhankeperawatanlengkap.blogspot.co.id/2012/02/asuhan-keperawatan-pada-fraktur.html
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa kariasa IM. (2000). Rencana Asuhan Keperawata,
Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Persyarafan . Jakarta:
Salemba Medika.
Suddarth, B. &. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC.