Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. STROKE
II.1.1. Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Kelompok Studi
Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 1999).

II.1.2. Epidemiologi
Stroke merupakan satu dari tiga penyebab terbesar kematian di
Amerika Serikat, termasuk di banyak negara lainnya di dunia, setelah
penyakit jantung dan kanker. Hampir juta individu di Amerika Serikat
mengalami stroke tiap tahunnya dan dari jumlah tersebut sebanyak
150.000 (90.000 perempuan dan 60.000 laki-laki) mati akibat stroke. Di
China, kira-kira 1,5 juta penduduk mati setiap tahun oleh karena stroke
(Sacco dkk, 2000; Caplan, 2000).
Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke yang menyerang
kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses
patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli,
pecahnya dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun

Universitas Sumatera Utara

kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta


komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital
maupun degeneratif, atau akibat proses lain, seperti peradangan,
aterosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus (Misbach, 1999).

II.1.3. Klasifikasi Stroke


Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas
patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah)
(Misbach, 1999).
1) Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a) Stroke iskemik
i) Transient Ischemic Attack (TIA)
ii) Trombosis serebri
iii) Emboli serebri
b) Stroke hemoragik
i) Perdarahan intraserebral
ii) Perdarahan subarakhnoid
2) Berdasarkan stadium:
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
b) Stroke in evolution
c) Completed stroke
3) Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
a) Tipe karotis
b) Tipe vertebrobasiler

Universitas Sumatera Utara

II.2. ELEKTROKARDIOGRAFI
II.2.1. EKG NORMAL
Elektrokardiografi adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah,
praktis dan dapat dibawa kemana-mana, tetapi harus diingat bahwa
walaupun alat ini sangat berguna, banyak pula keterbatasannya. Dalam
usaha

menginterpretasikan

gambaran

EKG

normal

belum

tentu

menunjukkan jantung normal, sebaliknya gambaran EKG abnormal belum


tentu menunjukkan jantung yang tidak normal (Munawar dkk, 2002).
Banyak

variasi

mengenai

EKG

normal.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi adalah habitus tubuh, sumbu listrik jantung, ukuran dada


dan keadaan lain seperti obesitas dan penyakit paru. Kriteria yang dipakai
di bawah ini hanyalah sebagai pegangan, namun diagnosis akhir apakah
jantung normal atau abnormal harus dibuat berdasarkan gambaran klinis
secara keseluruhan (Munawar dkk,2002).
Kriteria (Munawar dkk,2002)
1).

Gelombang P
Positif (keatas) di sandapan I, II,aVF dan V3 V6. Di sandapan aVR
gelombang P selalu negatif (terbalik). Sedang di sandapan II, aVL,
V1 dan V2 gelombang P sangat bervariasi. Interval PR berkisar
antara 0,11 sampai dengan 0,20 detik.

2).

Gelombang Q
Gelombang Q kecil (kurang dari 0,045 detik, kurang dari
gelombang R) normal terlihat di I, V5 atau V6. Terjadinya
gelombang Q ini akibat aktifitas septal. Vektor awal QRS kearah

Universitas Sumatera Utara

kanan atas dan muka. Olehkarena itu gelombang Q kecil atau


bahkan kadang-kadang tak terlihat di sandapan II, aVF dan V3. Di
sandapan III dan aVL terlihat kecil atau bahkan kadang-kadang tak
terlihat dan kadang-kadang tak terlihat cukup bermakna.
3).

Gelombang R
Tergantung dari sumbu QRS. Biasanya sangat dominan di I dan II,
V5 dan V6. Di sandapan aVR, V1 dan V2 biasanya hanya kecil
atau tidak ada sama sekali.

4).

Gelombang S
Tidak terlihat atau kurang dibanding gelombang R di sandapan I
atau II . Tetapi di sandapan III, aVF dan aVL biasanya lebih
menonjol atau justru tidak terlihat. Di sandapan aVR, V1 dan V2,
gelombang S terlihat lebih menonjol. Di V4-V6 kurang dibanding R.

5).

Gelombang T
Positif di sandapan I, II, V3-V6. Terbalik di aVR. Di sandapan III,
aVF, aVL, V1 dan V2, gelombang T bervariasi.

6).

Interval QT
Interval in akan memendek bila laju jantung bertambah cepat,
sebaliknya akan memanjang bila laju jantung lambat (interval QT
0,41 detik pada laju jantung 50/menit dan berubah menjadi 0,31
detik pada laju jantung 100/menit).

7).

Segmen ST
Biasanya isoelektris. Bervariasi sampai +1 mm di sandapan
ekstremitas dan sampai 2 mm (0,2 mV) di sandapan prekordial.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. EKG normal. Dikutip dari : Mirvis D.M, Goldberger A.L 2005.
Electrocardiography. In : Brauwald E. Ed. Heart Disease : Textbook of
Cardiovascular Medicine . 6th. Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company.p.
107-118.

II.2.2. INTERVAL QT DAN DISPERSI QT


II.2.2.1. Definisi
Interval QT adalah jarak yang diukur pada rekaman EKG
permukaan , mulai dari defleksi pertama kompleks QRS sampai dengan
bagian terminal gelombang T (mm), yakni titik potong gelombang T
dengan garis isoelektrik (Okin dkk, 2000)
Dispersi QT adalah perbedaan antara interval QT maksimum dan
minimum pada rekaman EKG. (Afsar, 2003).
Dispersi QT ini merupakan marker dari adanya heterogenitas
repolasasi ventrikel.

Dispersi QT dihitung dengan menggunakan

perbedaan antara nilai maksimum dan minimum interval QT. Biasanya


dispersi

QT

dikoreksi

menggunakan

rumus

Bazzetts

sehingga

menghasilkan dispersi QTc(Lazar, 2008).

Universitas Sumatera Utara

II.2.2.2. Nilai Normal Interval QT dan Dispersi QT


Secara umum nilai normal interval QTc kurang atau sama dengan
440 milidetik. Beberapa studi mengemukakan bahwa nilai tersebut
mungkin dapat memanjang 20 milidetik, dan sedikit memanjang pada
perempuan. Interval QTc memanjang jika nilai QTc lebih dari 440 milidetik
(Mirvis dkk,2005).
Nilai dispersi QT sangat bervariasi, berkisar dari 10 sampai 71
milidetik pada subjek normal. Suatu studi 8455 subjek kontrol dengan usia
yang bervariasi, termasuk anak-anak yang sehat, didapatkan nilai rerata
dispersi QT berkisar dari 11 sampai 71 milidetik. Nilai yang sama juga
dilaporkan pada studi yang besar dan beberapa tinjauan kepustakaan
yang menganggap bahwa batas atas normal dari dispersi QT pada subjek
normal adalah 65 milidetik. Nilai dispersi QT lebih dari 70 milidetik
dianggap memanjang, namun nilai normal belum ada kesepakatan (Malik
dan Bathcarov, 2000)

II.2.2.3. Patofisiologi Perpanjangan Interval QT


Perpanjangan interval QT disebabkan oleh peningkatan durasi
salah satu atau lebih komponen kompleks QRS, segmen ST dan
gelombang T. Interval QTc memanjang juga merupakan penanda noninvasif substrat aritmogenik elektrofisiologis yang berkorelasi dengan
risiko tinggi terhadap kejadian aritmia ventrikel, sinkop dan kematian
mendadak. Perpanjangan interval QTc terjadi karena sel-sel miokard lebih

Universitas Sumatera Utara

bermuatan positif selama masa repolarisasi (Tan H.L dkk,1995; Rubart M


dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).
Gelombang depolarisasi (fase 0) jaringan ventrikel disebabkan oleh
pergerakan cepat ion natrium dari ruang ekstrasel ke intrasel, suatu
proses yang dikenal sebagai arus natrium cepat. Aliran keluar ion K dan
masuknya ion Ca2+ bertanggung jawab terhadap awal repolarisasi (fase
1). Kemudian diikuti fase plato (fase 2), yang merupakan penentu utama
durasi potensial aksi. Durasi fase plato ditentukan melalui keseimbangan
aliran kation ke dalam dan keluar secara kompetitif di kanal-kanal ion.
Termasuk inaktivasi lambat kanal natrium , kanal kalsium tipe-L dan kanal
kalium. Repolarisasi (fase 3) dihasilkan dari inaktivasi arus kalsium
bersamaan dengan peningkatan arus keluar kalium. Aliran masuk dari
kanal kalium selanjutnya bertanggungjawab terhadap pemeliharaan
potensial membran istirahat (fase 4) (Gambar 1) (Tan H.L dkk,1995;
Rubart M dkk, 2001; Ramaswamy dkk, 2000).
Kanal ion Kalium tertutup, terjadi penundaan pembukaan atau
membuka dalam waktu singkat, menyebabkan penurunan arus kalium ke
luar sel. Akibatnya, repolarisasi menjadi memanjang. Menetapnya arus ion
Na+ masuk ke dalam sel, juga berakibat repolarisasi memanjang (Tan HL
dkk, 1995; Rubart M dkk, 2001). Hal inilah yang menyebabkan interval QT
memanjang dan early afterdepolarizations (EADs) . Perpanjangan
repolarisasi ini selanjutnya juga akan memperlambat inaktivasi kanal Ca2+
dan selanjutnya akan menyebabkan early afterdepolarizations (EADs)

Universitas Sumatera Utara

yang akan memicu terjadinya aritmia ventrikel (Ramaswamy dkk, 2000;


Tan HL dkk, 1995 ; Rubart M dkk, 2001 ).

Gambar 2. Hubungan antara Fase Potensial Aksi Jantung dan EKG Permukaan.
Dikutip dari : Tan HL dkk. Electrophysiologic Mechanisms of The Long Interval
QT Syndromes and Torsade de Pointes. Ann Intern Med 1995; 122: 701-14.

II.2.2.4. Etiologi
Perpanjangan interval QT secara etiologis dikategorikan dalam
bentuk primer dan sekunder karena berbagai penyebab antara lain (
Akhtar M , 2003; Camm dkk, 2000; Victor dkk, 2004; Silvia dkk, 2003) :
a. Kongenital (primer) :
1. Sindrom Jervell- Lange Nielsen
2. Sindrom Romano- Ward
b. Didapat (sekunder) :
1. Induksi obat : digitalis, aritmia, antibiotik, antidepresan, anti
jamur.

Universitas Sumatera Utara

2.

Abnormalitas

metabolik

/elektrolit

hipomagnesemia,

hipokalsemia, hipokalemi.
3. Hipertensi sistemik
4. Sirosis hati
5. Gangguan pada sistem saraf pusat atau otonom.
6. Lain-lain : iskemia dan infark miokard, prolaps katup mitral
(MVP), penyakit jantung koroner (PJK), kardiomiopati,dsb.

II.2.2.5. Gambaran EKG Interval QT memanjang


Interval QT memanjang sering berhubungan dengan perubahan
morfologi gelombang T, menjadi cekung, bifasik dan terdapat komponen
lain yang menampilkan distribusi heterogen repolarisasi ventrikel. Interval
QT mencakup dua komponen yaitu depolarisasi dan repolarisasi, dan
peningkatan salah satu atau keduanya akan menghasilkan perpanjangan
interval QT (gambar 3). Gelombang T terbentuk oleh repolarisasi pada
lapisan selain miokard (epikard, endokard, miokard). Proses repolarisasi
ini meluas dari apeks hingga basis ventrikel terutama diatur oleh
pergerakan arus keluar natrium (Crows dkk, 2003; Mirvis dkk,2005)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. EKG penderita dengan perdarahan subarachnoid akut, interval QT


mengalami perpanjangan (QTc =613milidetik).
Dikutip dari : Mieghem C.V, Sabbe M, Knockaert D. 2004. The Clinical Value
of the ECG in Noncardiac Conditions. Chest ; 125 : 1561-76.

II.3. MEKANISME PERPANJANGAN INTERVAL QT PADA STROKE


Peningkatan

dispersi QT terutama sekali berkaitan dengan

inhomogenitas dari repolarisasi jantung. Akan tetapi, mekanisme dan


sistem regulasi berbeda yang mempengaruhi dispersi QT masih belum
dimengerti. (Perkiomaki dkk, 2001).
Telah lama diketahui bahwa lesi pada susunan saraf pusat dapat
menyebabkan perubahan EKG, aritmia jantung dan gangguan refleks
kardiovaskuler

(Naver

dkk,

1996).

Dimana

susunan

saraf

pusat

memegang peran penting dalam regulasi fungsi otonom. Batang otak,


pons, hipotalamus merupakan area utama yang berperan mengontrol
homeostasis vaskular. Tiap level otak tersebut memiliki bagian yang
terintegrasi yang berhubungan dengan pathway aferen dan eferen

Universitas Sumatera Utara

(Kuntzer dan Waeber, 1996). Hubungan ini bisa dilihat pada gambar
berikut :

Gambar 4. Dikutip dari: Kuntzer T, Waeber B, 1996. Peripheral nerve, muscle,


and autonomic changes. In: Bogousslavsky, J. Caplan, L. (eds). Stroke
Syndrome. pp. 200-7. Cambridge University Press. Australia.

Secara bermakna, peningkatan dispersi QT merupakan kejadian


repolarisasi

dan

perpanjangan

otot

jantung

sebagai

akibat

ketidakseimbangan sistem saraf simpatis dan parasimpatis . Disfungsi


sistem otonom ini akan mengarah ke repolarisasi jantung abnormal , dan
dapat menyebabkan peningkatan dispersi QTc ( Huang dkk,2004).
Abnormalitas EKG, sebagaimana nekrosis sel miokard terjadi
setelah stroke paling sering disebabkan peningkatan aktifitas saraf
simpatis yang dimediasi dari sentral. Area difus atau fokal dari nekrosis
miokard mirip seperti yang diamati pada penderita pheochromocytoma
dan konsentrasi katekolamin sangat tinggi pada sirkulasi. Overaktifitas

Universitas Sumatera Utara

parasimpatis dapat dijumpai pada beberapa penderita dengan kejadian


supresi sinus node atau blok atrioventrikuler (Kuntzer dan Waeber, 1996).
Bagaimana patologi SSP berperan pada iskemik miokard, telah ada
hipotesa bahwa injury SSP dapat menimbulkan tonus simpatis yang
berlebihan dan produksi katekolamin. Tempat yang paling penting
mengontrol susunan saraf simpatis adalah pada korteks insular, amigdala
dan hipotalamus lateral (Mieghem dkk, 2004).
Brainin dan Gugging (2005) menyatakan bahwa pada penderita
stroke akut dengan lesi pada daerah insular berhubungan dengan
disfungsi jantung seperti QT prolongation.
Pada penderita stroke, dimana ada kecenderungan terjadi
bersamaan dengan penyakit arteri koroner adalah tinggi, diyakini bahwa
peningkatan tonus simpatis menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen
dan kadang-kadang kerusakan miokard. Korban kecelakaan lalu lintas
dan penderita perdarahan subarakhnoid juga menunjukkan kerusakan
miokard pada keberadaan arteri koroner normal. Penelitian klinis memberi
dukungan lebih lanjut terhadap hipotesa overaktivitas simpatis. Kerusakan
miokardial dapat dihasilkan secara eksperimental dengan pemberian
secara parenteral katekolamin atau dengan stimulasi elektrik pada daerah
tertentu di otak seperti pada hipotalamus dan insula. Lesinya mirip seperti
yang ditemukan pada penderita pheochromocytoma atau pecandu kokain.
Katekolamin mungkin memberi efek toksik secara langsung pada sel-sel
miokardial atau memediasi vasokonstriksi arteri koroner yang diikuti
dengan kerusakan miokard (Mieghem dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Walaupun beberapa peneliti menyatakan bahwa disfungsi jantung


berhubungan

dengan

abnormalitas

EKG

dan

edema

pulmonum,

mekanisme pasti yang mendasari kerusakan jantung masih belum


diketahui. Salah satu dugaan penyebabnya adalah aktivasi yang terus
menerus dari sistem saraf simpatis, yang dikarakteristikkan dengan
sekresi katekolamin yang berlebihan dari terminal saraf simpatis ke
jaringan (Masuda dkk, 2002).
Pada suatu penelitian manusia dan binatang telah diketahui bahwa
terdapat asimetris anatomi dan fungsi pada persarafan otonom jantung.
Sistem parasimpatis dan simpatis yang mensarafi jantung mempunyai
beberapa paralel, pada sisi kanan bekerja untuk nodus sinus dan pada
sisi kiri untuk nodus ventrikuloatrial dan ventrikel (Naver dkk,1998 ;
Tokgozoglu dkk, 1999 ).
Adanya bukti dari lateralisasi kortikal pada regulasi fungsi
kardiovaskular mengindikasikan bahwa iskemik pada hemisfer kanan
mempunyai konsekuensi simpatis yang lebih besar daripada hemisfer kiri
(Strittmatter dkk, 2003).
Dispersi QT digunakan sebagai faktor prognostik penderitapenderita dengan penyakit kardiovaskuler yang beresiko untuk takiaritmia
ventrikuler dan kematian mendadak. Stroke akut diketahui akan
mengakibatkan abnormalitas EKG termasuk perpanjangan QT (Lazar,
2008).
Randell menemukan bahwa pada 26 penderita dengan perdarahan
subarakhnoid akan memanjang dispersi QT nya bila dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

kontrol yang mempunyai aneurisma cerebral yang tidak ruptur (Randell,


1999).
Eckardt dkk, meneliti pada 40 penderita dengan stroke iskemik
hemisfer unilateral dan menemukan bahwa dispersi QT berhubungan
dengan lokasi lesi serebri (Eckardt, 1999).
Afsar dkk, juga menemukan bahwa perpanjangan nilai dispersi QT
pada 36 penderita dengan stroke akut bila dibandingkan kontrol (Afsar,
2003).
Dispersi QT memang berhubungan dengan mortalitas yang lebih
tinggi dan hasil akhir yang lebih jelek pada penyakit serebrovaskuler
(Lazar, 2008).

II.4. COMPUTED TOMOGRAPHY (CT) DAN VOLUME LESI


Sejak diperkenalkan tahun 1973, CT telah merubah pendekatan
akan diagnosa stroke. Dengan CT memungkinkan dengan jelas
membedakan iskemia otak dengan perdarahan dan menetukan ukuran
dan lokasi dari infark dan hemorhage (Furlan, 2001 ; Caplan, 2000). CT
sken tanpa kontras (Non-Contrast Computed Tomography / NCCT)
merupakan pemeriksaan radiologi rutin yang pertama di unit gawat darurat
untuk menilai penderita dengan stroke akut, dan masih tetap merupakan
pemeriksaan imejing stroke akut yang standart. Peran standart dari NCCT
dalam mendiagnosa stroke akut dengan cepat mendeteksi perdarahan
otak (Lev dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Pada infark otak akut menurut standart pendidikan bahwa CT


adalah normal dalam 24 jam pertama setelah onset stroke (Furlan, 2001).
Pada iskemia, pada stadium awal sering normal atau hanya sedikit
abnormalitas. Selama hari-hari pertama onset stroke, infark biasanya bulat
atau oval dan batasnya kurang tegas. Kemudian menjadi lebih hipodense
dan gelap, dan lebih seperti baji (wedge-like) dan berbatas. Sebagian
infark yang tadinya hipodens menjadi isodens setelah minggu kedua dan
ketiga onset. Hal ini yang disebut sebagai fogging effect kadang-kadang
dapat mengaburkan lesi (Caplan, 2000).
Pantano dkk (1998) melaporkan bahwa sekitar dua pertiga
penderita ukuran infark ditegakkan dalam 24-36 jam setelah onset stroke,
sedangkan sisanya perubahan volume lesi dapat terjadi sesudah 24-36
jam pertama.

II.5. OUTCOME STROKE DAN INSTRUMEN


Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan
sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat
batasan sebagai berikut (Caplan, 2000) :.
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis
dan

anatomis

yang

disebabkan

stroke.

Tindakan

psikoterapi,

fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.


2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat

Universitas Sumatera Utara

seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh


stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke berperan sebagai manusia normal akibat impairment atau
disability tersebut .
Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel Index dan Modified
Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah
digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke dan
memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999 ; Weimar dkk, 2002).

Instrumen
Dalam uji klinik Barthel Index (BI) dan Modified Rankin Scale
(mRS) merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai outcome
dan merupakan pengukuran yang dapat dipercaya yang memberi
penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke
(Sulter dkk, 1999).
Barthel Index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan kemudian
dimodifikasi oleh Granger dkk sebagai suatu tehnik yang menilai
pengukuran performasi penderita dalam 10 aktifitas hidup sehari-hari yang
dikelompokkan kedalam 2 kategori yaitu (Sulter dkk, 1999) :
-

Kelompok yang berhubungan dengan self-care antara lain : makan,


membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan
buang air kecil, penggunaan toilet.

Universitas Sumatera Utara

Kelompok yang berhubungan dengan morbiditas antara lain : berjalan,


berpindah dan menaiki tangga.
Skor maksimum dari BI ini adalah 100, yang menunjukkan bahwa

fungsi fisik penderita benar-benar tanpa bantuan, dan nilai terendah


adalah 0 yang menunjukkan ketergantungan total (Sulter dkk, 1999).
Skala mRS lebih mengukur ketergantungan daripada performasi
aktifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik
digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu
dari 0-5, dimana 0 berarti tidak ada gejala dan 5 berarti cacat/
ketidakmampuan yang berat (Sulter dkk, 1999). Skala mRS adalah lebih
sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan
sedang (Weimar dkk, 2002).

Meskipun kedua skala tersebut diatas

mudah digunakan dan dapat dipercaya, belum ada konsensus mengenai


bagaimana skala tersebut seharusnya digunakan untuk menentukan
outcome pada uji klinik (Sulter dkk, 1999).
Sulter dkk (1999) melakukan trial pada beberapa penelitian yang
menggunakan skala BI dan mRS pada stroke iskemik, dimana pada studi
Granger dkk menemukan bahwa skor 60 pada BI berhubungan dengan
pergeseran

dari

dependent

menjadi

independent.

Dan

skor

85

menunjukkan peralihan dari memerlukan bantuan minimal ke-tanpa


bantuan (independent).
Pengukuran National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS)
untuk menilai impairment terdiri dari 12 item pertanyaan (tingkat
kesadaran, respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze

Universitas Sumatera Utara

palsy, pemeriksaan lapangan pandang, fasial palsy, motorik, ataksia,


sensori, bahasa disartria, dan ekstensi/inattention). Skala ini telah banyak
digunakan pada penelitian-penelitian dalam terapi stroke akut dan
merupakan pemeriksaan standar dalam penelitian klinis. Nilai skor NIHSS
saat penderita mengalami stroke akan dapat digunakan sebagai prediksi
perawatan pada saat setelah masa akut, dimana setiap peningkatan 1
poin skor secara bermakna akan menambah lama rawatan di rumah sakit.
Ada 3 rentang skor NIHSS yang secara bermakna berhubungan dengan
perawatan penderita stroke, yaitu skor 5 (ringan) penderita dapat keluar
dari rumah sakit, skor 6-13 (sedang) penderita memerlukan rehabilitasi
dan > 13 (berat) akan memerlukan fasilitas perawatan yang lama (Meyer
dkk, 2002; Schlegel dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

II.6. KERANGKA KONSEPSIONAL


Stroke

Peningkatan aktivitas
parasimpatis

Peningkatan aktivitas
simpatis

Kuntzer dan Waeber, 1996

Kuntzer dan Waeber, 1996


Mazuda dkk, 2002

Peningkatan produksi
katekolamin
Kuntzer dan Waeber, 1996
Masuda dkk, 2002

Efek toksik terhadap


jantung

Vasokonstriksi arteri
koroner

Peningkatan
tonus otot

Mieghem, 2004

Mieghem, 2004

Mieghem, 2004

Peningkatan
kebutuhan O2
Mieghem, 2004

Abnormalitas gambaran EKG


Kuntzer dan Waeber ,1996
Mieghem, 2004
Familloni, 2006

Repolarisasi memanjang
Khechinashvili, 2002

Perpanjangan dispersi QT
Afsar, 2003
Lazar, 2008

Luas lesi

Lokasi lesi

Tipe stroke

Afsar, 2003
Taschl. 2006

Eckartd, 1999
Afsar ,2003
Huang , 2004

Jain, 2004
Randell, 1999
Lazar ,2003
Familloni, 2006

Outcome : NIHSS,
MRS, BI
Lazar, 2003
Lazar, 2008

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai