Anda di halaman 1dari 8

Yutu Solihat, Akhyar H.

Nasution, Henry Panjaitan


Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/
RSUP Haji Adam Malik, Medan

Abstrak: Paska-operasi atrial fibrilasi (POAF) merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai
setelah tindakan bedah jantung. Penelitian sebelumnya mengungkapkan kejadian POAF antara
20-50%. Kejadian POAF meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini, hal ini berhubungan
dengan umur penderita yang menjalani tindakan bedah jantung. Patofisiologi POAF setelah
operasi jantung belum diketahui secara pasti, namun dikatakan bahwa mekanismenya merupakan
multifaktorial.1,2. Tujuan dari tulisan ini adalah menerangkan mengenai faktor resiko,
mekanisme, pencegahan serta pengobatannya POAF.
Kata kunci: POAF, cardiac surgery
Abstract: Post operative atrial fibrilation was most common complication after cardiac surgery.
From previous research the incidence of POAF is approximately 2050%. The incidence of POAF
increase in this past decade, this related to the patient age who performing cardiac surgery. The
pathophysiology of POAF is still unknown for sure, but it is said that the mechanism is
multifactorial.1-2
Keywords: pascaoperasi atrial fibrilasi, operasi jantung

INSIDENSI DAN DAMPAK KLINIS


Kejadian POAF 30% setelah operasi
CABG (coronary artery bypass grafting), 40%
setelah operasi pergantian atau perbaikan
katub, dan meningkat menjadi 50% bila
tindakan kombinasi. Kejadian ini diperkirakan
akan meningkat di kemudian hari, oleh karena
populasi pasien yang menjalani prosedur
bedah jantung berusia tua dan kejadian AF
1-4
berkorelasi kuat dengan umur.
POAF cenderung muncul dalam 2-4 hari
setelah tindakan, dan mencapai puncaknya
pada hari ke-2 pascaoperasi. Tujuh puluh
persen terjadi sebelum hari keempat dan 94%
1,2
sebelum akhir hari ke 6 paskah operasi.
Meskipun biasanya dapat ditoleransi
dengan baik, POAF dapat mengancam jiwa,
khususnya bila terjadi pada pasien usia lanjut
dan adanya disfungsi ventrikel kiri. POAF
telah dilaporkan sebagai kejadian morbiditas
utama, bersamaan dengan peningkatan resiko
tromboemboli
dan
stroke,
gangguan
hemodinamik, disritmia ventrikel, dan
komplikasi
iatrogenik.
Resiko
stroke
perioperatif 3 kali lebih sering pada POAF.
Almassi dkk, menemukan bahwa pada 3855
pasien bedah jantung, angka kematian (6% vs

3%) dan angka kematian dalam 6 bulan (9%


1
vs 4%) pada penderita POAF.
Dampak POAF pada lamanya rawat inap
penderita memanjang 4.9 hari, dengan
pengeluaran ekstra U$ 10.000-11.500 di
Amerika Serikat. Menurut American Heart
Association (AHA), pada tahun 2004, dari
640.000 pasien bedah jantung, insiden POAF
mencapai 30% dan biaya ekstra yang harus
dikeluarkan
mencapai
U$
2
juta
1-3
milyar/tahun.
FAKTOR RESIKO
Prediktor utama munculnya POAF
adalah pertambahan umur. Mathwe dkk
melaporkan
setiap
dekade
tedapat
peningkatan 75% peluang terjadinya POAF,
dan penderita umur 70 tahun ke atas
merupakan resiko tinggi terjadinya AF. Hal ini
oleh karena pada usia lanjut terjadi proses
degenerasi dan inflamasi sehingga terjadi
perubahan anatomi atrium (dilatasi, fibrosis),
yang menyebabkan gangguan elektrofisiologi
atrium (pemendekan masa refraktori efektif,
dispersi refraktori dan konduksi, abnormal
automatisasi, anisotropik konduksi). Proses

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

207

Tinjauan Pustaka

terakhir ini berperan sebagai substrate


1-3
potensial terjadinya POAF.
Selain faktor umur, banyak faktor yang
telah diidentifikasikan termasuk: riwayat AF
sebelumnya, berjenis kelamin pria, penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri, pembesaran atrium
kiri, operasi katup jantung, penyakit paru
obstruktif kronis, gagal ginjal kronik, diabetes
mellitus, dan penyakit jantung rematik.
Penelitian terbaru mengatakan, obesitas
merupakan prediktor bebas terjadinya AF
onset baru pada populasi umum dan pada
penderita yang menjalani operasi jantung.
Obesitas merupakan faktor resiko yang kuat
timbulnya POAF setelah operasi CABG
terutama pada usia di atas 50 tahun, namun
pada umur lebih muda belum ada
penelitiannya.
Sindroma
metabolik
merupakan faktor independen metabolik satu1-3
satunya terjadinya POAF pada usia muda.

PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME


Mekanisme yang mendasari terjadinya
POAF melibatkan banyak faktor, namun tidak
semua faktor dapat diterangkan secara jelas.
Beberapa mekanisme penyebab antara lain
adalah
inflamasi
perikardial,
produksi
katekolamin
yang
berlebihan,
ketidakseimbangan autonomik selama periode
pascaoperasi, dan perubahan cairan interstisial
yang mengakibatkan perubahan volume,
tekanan dan rangsangan neurohumoral.
Faktor-faktor ini dapat mengganggu refraktori
atrium dan memperlambat konduksi atrium .
Multiple re-entry wavelets akibat dari dispersi
(penyebaran) refraktori atrium merupakan
1-7
mekanisme elektrofisiologis terjadinya POAF.
Tetapi, ada satu yang masih menjadi
pertanyaan,
mengapa
ada
respon
supseptibilitas interindivu timbulnya POAF.

Pre-disposing factors:
-Advanced age
-Hypertension
-Obesity
-Metabolic syndrome
-Left atrial enlargement
-Diastolic dysfunction
-Left vent.hypertrophy
-Genetic predisposition

Intraoperative factors:
-Surgical atrial injury
-Atrial ischemia
-Pulmonary vein vent
-Venous cannulation
-Acute volume changes

Post-operative factors:
-Volume overload
-Increased afterload
-Hypotension

-Inflammation
-Oxidative stress

Atrial structural substrate

Dispersion of atrial refractoriness

Multiple re-entry wavelets

Atrial electrophysiological substrate

Triggers:
-Atrial premature contractions
-Imbalance of autonomic nervous
system
-Electrolyte imbalance
(hypomagnesemia, hypokalemia)

POAF

Gambar 1. Pathogeneses POAF

208

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

Yutu Solihat dkk.

Salah satu jawabannya adalah pasien yang


memiliki substrate struktural sebelum operasi
lebih cenderung terjadi re-entri elektrikal
atrium dan lebih mudah terkena gangguan
fisiologi
yang
dijumpai
pascaoperasi.
Penjelasan lain adalah struktural substrate ini
merupakan hasil dari prosedur operasi itu
sendiri. Sangat mungkin gangguan struktur
jantung ini akibat insisi atrium atau iskemia
perioperatif
yang
meningkatkankan
1,2,5-7
suseptibilitas gangguan irama.

Atrial Fibrilasi Pascatindakan...

Aktifasi neurohormonal telah diketahui


dapat meningkatkan suseptibilitas terjadinya
POAF. Peningkatan aktifasi simpatis dan
aktifasi
mengganggu
refraktori
atrium
(pemendekan
periode
refrakter
efektif
atrium), kemungkinan dapat memberikan
konstribusi terjadinya substrat aritmia. Hoque
dkk telah melaporkan, pasien POAF dengan
variasi
RR interval tinggi atau rendah,
peningkatan rangsang simpatis atau tonus
vagal muncul sebelum onset aritmia.
Penemuan ini menduga intervensi yang
mengatur baik simpatis dan parasimpatis
dapat
memberikan
keuntungan
dalam
1,2
menekan terjadinya aritmia pascaoperasi.
Adanya peningkatan proses inflamasi
memainkan
peranan
penting
dalam
patogenesis POAF. Dua penelitian terbaru
menunjukkan inflamasi dapat mengganggu
konduksi atrium, memfasilitasi re-entri dan
merupakan predisposisi terbentuknya POAF.
Extracorporeal circulation yang ditandai
dengan adanya respon inflamasi sistemik, juga
bertanggungjawab terhadap timbulnya POAF.
Juga telah dilaporkan leukositosis, yang
biasanya didapati beberapa hari setelah
cardiopulmonary
bypass,
merupakan
1,2,4
prediktor bebas terjadinya POAF.
Obesitas berhubungan dengan kebutuhan
yang lebih besar atas curah jantung, masa
ventrikel kiri , ukuran atrium kiri. Semua ini
juga merupakan predisposisi timbulnya
1
POAF.
Selain hal-hal yang telah disebut tadi,
mekanisme lain yang juga berhubungan
dengan terjadinya POAF, antara lain adalah:
kelebihan volume, predisposisi genetik yang
diukur dengan adanya variant gene promotor
interleukin-6, gangguan stress oxidatif atrium,
dan peningkatan ekspresi dari gap-junctional
protein connexin 40. 1
PENCEGAHAN
Banyak penelitian mengenai pencegahan
timbulnya POAF secara efektif, baik secara
farmakologi maupun nonfarmakologi.Pada
tahun 2006, telah dipublikasikan guidelines
pencegahan dan pengobatan POAF menurut
1-7
ACC/AHA dan ESC.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

209

Tinjauan Pustaka

Tabel 1.
Adapted from ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for the management of AF after cardiac surgery
Indication Class I

Indication Class II

Indication Class III

-Unless contraindicated, treatment with an oral beta-blocker drug to prevent


POAF is recommended for patients undergiong cardiac surgery
-Administration of AV nodal blocking agents is recommended to achieve rate
control in patients who develop POAF
-Pre-operative administration of amiodarone reduces the incidence of AF in
patients undergoing cardiac surgery and represents appropiate prophylactic
therapy for patients at high risk for POAF
-It is reasonable to restore sinud rhythm by pharmacologic cardioversion with
ibutilide or direct-current cardioversion in patients develop POAF, as advised
for nonsurgical patients
-It is reasonable to administer antiarrhythmic medications in attemp to maintain
sinus rhythm in patients with recurrent or refractory POAF, as recommended
for other patients who develop AF
-It is reasonable to administer antithrombotic medication in patients who
develop POAF, as recommended for nonsurgical patients
- Prophylactic administration of sotalol might be considered for patients at risk
of developing AF after cardiac surgery

Penyekat beta. Merupakan obat yang paling


banyak diteliti sampai sat ini. Peningkatan
aktivitas simpatis yang meningkat pada
penderita
pascaoperasi
jantung
memungkinkan untuk terjadinya POAF.
Hampir semua penelitian menunjukkan
penurunan
kejadian
POAF
dengan
penggunaan penyekat beta. Suatu metaanalisis
yang dilakukan Crystal dkk, menunjukkan
pada 28 penelitian dengan penyekat beta
(4074 sampel) menunjukkan penurunan
kejadian POAF. (OR 0.35). Para peneliti
menganjurkan untuk tidak menghentikan
pemberian penyekat beta sebelum operasi
1-7
jantung.
Sotalol. Merupakan golongan penghambat
beta yang juga mempunyai efek antiaritmia
golongan III. Banyak studi yang telah
mengevaluasi pemberian sotalol sebagai
profilaksis dalam pencegahan POAF. Bahkan
dalam penelitian Burgess dkk, ditemukan
bahwa sotolol lebih efektif dari penyekat beta
yang lain, namun efek bradikardi dan
1-7
hipotensinya juga lebih tinggi.
Amiodarone.
Merupakan
antiaritmia
golongan III, yang juga memiliki efek
menghambat alpha dan beta adrenergik
sehingga menekan stimulasi yang berlebihan
pada sistem simpatis. Pemberian amiodarone
sekurangnya 1 minggu pre-operatif secara
signifikan
mengurangi
kejadian
POAF
dibandingkan dengan plasebo (25% vs 53%).
Pada
penelitian
ARCH
(Amiodarone
Reduction in Coronary Heart), pemberian
amiodarone
intravena
pascaoperasi
mengurangi kejadian POAF dibandingkan
1-7
plasebo (35% vs 47%).

210

A
B
A
B
B
B
B

Atrial Pacing. Manfaat atrial pacing untuk


mencegah POAF didasarkan pada pacing akan
mempengaruhi konduksi intra-arterial dan
arterial refraktori. Ada beberapa mekanisme
bagaimana pacing atrial dapat mencegah
1-7
POAF :
1. Mereduksi bradikardia-induced dispersion
atrial repolarisasi, yang memberikan
konstribusi
terbentuknya
substrat
elektrofisiologi untuk terjadinya AF
2. Menekan overdrive atrial, sehingga
mencegah atrial premature beat dan
supraventrikular premature beat, sehingga
mencegah terangsangnya AF
3. Pemakaian dual-site arterial pacing akan
merubah bentuk gelombang atrial yang
teraktifasi,
sehingga
mencegah
terbentuknys intra-arterial re-entri
Digoxin.
Pemakaian
digoxin
sebagai
pencegahan POAF telah ditinggalkan oleh
karena tidak efektif. Metaanalisis terbaru
menemukan bahwa pemakaian digoxin preoperatif tidak efektif menurunkan kejadian
1-4
POAF.
Calcium-channel bloker. Pemakaian obat ini
mengurangi resiko terjadinya supraventricular
takiaritmia. Namun pada beberapa studi
ditemukan terjadinya peningkatan insidensi
AV blok dan sindroma low output, yang
berhubungan dengan efek kronotropik dan
1,2,4,7
inotropik negatif.
Statin. Statin dapat mencegah terjadinya
POAF
pascaoperasi
CABG
melalui
mekanisme
antiinflamasi.
ARMYDA-3
(Artovastatin for Reduction of Myocardial
Dysrhythmia
After
cardiac
surgery)
menunjukkan dengan pemberian Artovastatin

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

Yutu Solihat dkk.

40 mg perhari dimulai pada 7 hari sebelum


operasi jantung elektif dan dilanjutkan setelah
paskah operasi menurunkan nangka kejadian
1
hinga 61%.
Anti inflamasi. Pada studi yang dilakukan
Cheruku dkk, pada pasien CABG yang
diberikanya ketorolac 30 mg intravena setiap
6 jam sampai kemudian diganti dengan
ibuprofen oral 600 mg setiap 8 jam (bila telah
mampu
peroral).
Hasil
penelitian
menunjukkan, AF timbul pada 28.6% pada
plasebo berbanding 9.8% pada konvensional
group. Mereka menyimpulkan pemberian anti
inflamasi
nonsteroid
efektif
dalam
menurunkan kejadian AF setelah CABG.
Akan tetapi rasio perbandingan antara resiko
dan
keuntungannya
untuk
pemberian
propilaksis
belumlah jelas, karena bila
diberikan terutama pada penderita usia lanjut
1
dapat menimbulkan nefrotoksik.
Pada
penelitian
lain
pemberian
hydrocortisone 100 mg pada pasien apakah
operasi jantung, timbulnya POAF dalam 84
jam pertama lebih rendah dibandingkan
1,2
plasebo (30% vs 48%).
PENGOBATAN
Managemen
komorbid
(misalnya
hipoksia) dan koreksi atas ketidakseimbangan
elektrolit (khususnya Kalium dan Magnesium)
merupakan bagian dari strategi pencegahan
dan pengobatan POAF. Meskipun POAF
dapat bersifat sementara dan umumnya selflimiting, pengobatan diindikasikan pada
1-4
keadaan :

Atrial Fibrilasi Pascatindakan...

- Timbulnya simptom
- Hemodinamik tidak stabil
- Terjadi iskemik atau gagal jantung.
Penatalaksanaan konvensional meliputi:
- Mencegah terjadinya tromboembolik
- Mengkontrol respon ventrikel
- Mengembalikan dan menjaga agar irama
sinus.

Rate control. Periode pascaoperasi biasanya


ditandai dengan peningkatan stress adrenergik,
sehingga sulit untuk mengkontrol denyut
jantung pada POAF. Obat penyekat beta kerja
pendek merupakan pilihan utama, khususnya
pada penyakit jantung iskemik, namun
preparat ini relatif kontraindikasi terhadap
terhadap pasien dengan asma atau penyakit
brokospasma, gagal jantung, atau AV blok
(Tabel 2). Sebagai gantinya dapat diberikan
nondihydropyridine calcium channel blocker
(AV nodal blocking agent). Digoxin kurang
efektif diberikan saat tonus adrenergik tinggi
tetapi dapat digunakan pada gagal jantung
kongesti. Amiodarone juga efektif untuk
mengontrol denyut jantung, pemberian secara
1-7
intravena meningkatkan status hemodinamik.

Rhythm

control.
Pada
pasien
yang
simptomatik atau respon ventrikel sulit
dikontrol,
lebih
baik
menggunakan
kardioversi. Banyak preparat yang efektif
untuk konversi AF ke irama sinus, termasuk
amiodarone, procainamide, ibutilide dan
1-7
sotalol.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

211

Tinjauan Pustaka

Table 2.
Dosage, adventage, and side effects of drugs used for rate control in POAF
Drugs
Digoxin
Beta-blocker drugs
Esmolol
-

Atenolol

Metoprolol

Calcium CB
Verapamil
-

Diltiazem

Adult Dosage
0.25-1.0 mg IV then 0.125-0.5
mg/day IV/PO

Advantage
Can be used in HF

Side Effects
Nausea, AVB
effect in POAF

500 ug/kg over 1min then 0.050.2 mg/kg/min


1-5 mg IV over 5 min repeat after
10 min then 50-100 mg bid PO
1-5 mg IV over 2 min then 50-100
mg bid PO

Short acting effect and


short duration
Rapid
onset
of
rate
control(IV)

Might worsen CHF; can


cause
bronchospasm,
hypotension; AVB

2.5-10 mg IV over 2 min then 80120 mg/day bid PO


0.25 mg/kg IV over 2 min then 515 mg/h IV

Short acting effect

Rapid
onset
control(IV)

of

moderate

rate
Migh worsen CHF, AVB

Table 3.
Dosage, advantage, and side effects of drugs used for rhythm control in POAF
Drugs
Amiodarone
Procainamide
Ibitulide

Electrical

Adult Dosage
2.5-5 mg/kg IV over 20 min
then 15 mg/kg or 1.2 g over
24 h
10-15 mg/kg IV up to 50
mg/min

Advantages
Can be used in patients with
severe LVdysfunction

1 mg IV over 10 min, can


repeat after 10 min if no
efect

Easy to use

cardioversion.

Therapeutic
achieved

Merupakan
penatalaksanaan segera bila dijumpai adanya
ketidakstabilan hemodinamik, gagal jantung
akut, atau iskemik jantung dan digunakan
secara elektif setelah timbulnya onset AF
yang pertama kali dan telah dilakukan terapi
dengan obat-obatan namun tidak berhasil
212

level

quickly

Side Effects
Thyroid and hepatic dysfunction,
torsades de pointes, pulmonary
fibrosis,photosensitivity,bradycardia
Hypotension,fever,accumulates
in
renal failure, worsen HF, requires drug
level monitoring
Torsades de pointes more frequent
than amiodarone and procainamide

kembali ke irama sinus. Peletakan paddle di


anterior dan posterior lebih baik, dan pasien
diberikan
sedasi
dengan
short-acting
anesthetic. Digunakan gelombang biphasik
dengan energi paling rendah. Yang perlu
diperhatikan pada POAF adalah timbulnya
tromboemboli terutama bila muncul lebih

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

Yutu Solihat dkk.

dari 48 jam. Untuk kasus nonsurgical,


diberikan antikoagulant 3-4 minggu sebelum
kardioversi pada AF yang telah berlangsung
selama 48 jam. Pada kasus post operatif
sebaiknya
dilakukan
pemeriksaan
transoesophageal
ekokardiografi
untuk
mengetahui
adanya
trombus
sebelum
dilakukan kardioversi. Setelah kardioversi akan
terjadi
atrial
stunning,
untuk
itu
direkomendasikan pemberian antikoagulant 31-4,7
4 minggu setelah AF kembali ke irama sinus.
Pencegahan
thromboemboli.
POAF
berkaitan dengan adanya kejadian stroke
perioperatif. Pemberian antikoagulant diyakini
dapat menurunkan angka kejadian. Namun
pemberian antikoagulant pascaoperasi dapat
meningkatkan
resiko
perdarahan
atau
tamponade jantung. Resiko perdarahan dapat
meningkat
dibandingkan
keuntungannya

Atrial Fibrilasi Pascatindakan...

untuk mencegah stroke terutama pada


penderita usia lanjut, hipertensi tidak
terkontrol dan dengan riwayat perdarahan
1-7
sebelumnya.
Belum ada penelitian yang khusus
mengevaluasi
efikasi
dan
keamanan
pemakaian antikoagulan pada POAF onset
baru, yang sering hilang spontan setelah 4-6
minggu. Umumnya antikoagulan diberikan
pada POAF yang berlangsung > 48 jam
dan/atau episode POAF yang sering. The
American College of Chest Physicians
merekomendasikan pemberian atikoagulan
pada penderita resiko tinggi emboli, seperti
adanya riwayat stroke atau TIA (Transient
Ischemic Attack) dimana timbul AF setelah
prosedur pembedahan.Pada penderita seperti
ini direkomendasikan pemberian antikoagulan
sampai 30 hari setelah kembali ke irama sinus
1-7
normal.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

213

Tinjauan Pustaka

KESIMPULAN
POAF setelah operasi jantung merupakan
komplikasi
yang
sering
terjadi
yang
menyebabkan meningkatnya resiko mortalitas
dan morbiditas. Pasien dengan resiko tinggi
terkena stroke dan tromboemboli sering
membutuhkan pengobatan tambahan, dengan
demikian akan meningkatkan biaya untuk
perawatan pascaoperasi. Ada beberapa usaha
untuk mencegah terjadinya hal ini. Menurut
bukti terbaru obat penyekat beta cukup
efektif dan aman digunakan untuk kebanyakan
pasien. Amiodarone juga dapat digunakan
untuk pasien-pasien
dengan resiko tinggi
terjadinya AF.
Jika POAF ini muncul, disertai dengan
hemodinamik yang tidak stabil, maka dapat
segera
dilakukan
tindakan
kardioversi
elektrikal. Jika hemodinamik stabil, gunakan
obat penghambat AV-nodal untuk mencapai
denyut jantung terkontrol. Jika AF tidak
secara spontan berubah ke irama sinus dalam
24 jam, gunakan obat antiaritmia kelas III atau
Ic untuk mengkontrol irama dan berikan
antikoagulan secara bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Echahidi N, Pibarot P, Pibarot P,OHara
G, Mathieu P. Mechanisms, Prevention,
and Treatment of Atrial Fibrillation After
Cardiac Surgery. JACC 2008; 51 (8):
793-801

214

2.

Palin CA, Kailasam R, Houge CW. Atrial


Fibrillation After Cardiac Surgery:
Pathophysiology and treatment. Semin
Cardiothorac Vasc Anesh 2004;8: 175-83

3.

Fuster V, Ryden EL, Cannom SD,Crijns


HJ, Curtis AB, Morais J et al
ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the
management of patients with atrial
fibrillation: full text. Eurospace 2006; 8:
651-745

4.

Kay NG, Plumb GN. Rhythm and


Conduction Disorders:Atrial fibrillation,
atrial flutter, and atrial tachycardia
.Hursts The Heart 2004;11 (2): 825-54

5.

King ED, Dickerson ML, Sack J. Acute


Management of Atrial Fibrillation: Part I.
Rate and Rhythm Control. American
Family Physician 2002; 66 (2): 249-56

6.

Khairy P, Nattel S. New insights into the


mechanisms and management of atrial
fibrillation. JAMC 2002;167 (9): 101220

7.

Iqbal BM, Taneja KA, Lip YHG, Flather


M.
Clinical
Review:
Recent
developments in atrial fibrillation. BMJ
2005; 330: 238-43

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

Anda mungkin juga menyukai