Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

ITP atau Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah penyakit kelainan autoimun yang
berdampak kepada trombosit atau platelet. Penyakit ini didapat sebagai akibat dari penghancuran
trombosit yang berlebihan, ditandai dengan trombositopenia, purpura, gambaran darah tepi yang
umumnya normal, dan tidak ditemukan penyebab trombositopenia yang lainnya. Klasifikasi ITP
adalah akut dan kronik, disebut kronik apabila trombositopenia menetap lebih dari 6 bulan.1
Diperkirakan ITP merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang
banyak ditemukan oleh dokter anak, dengan insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per
100.000 anak pertahun. Umumnya ditemukan pada anak berusia antara 2 sampai 10 tahun, tidak
terdapat perbedaan insiden antara laki-laki dan perempuan. Kelainan ini biasanya menyertai
infeksi virus atau imunisasi yang disebabkan oleh respon imun yang tidak tepat (Inappropriate)
dan dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang juga menderita ITP.1
Manifestasi yang paling menonjol yang dapat terjadi pada penyakit ini adalah seseorang
menjadi mudah mengalami memar atau berdarah, dan terjadi secara berlebihan. Perdarahan yang
terjadi disebabkan oleh tingkat trombosit yang rendah dimana trombosit adalah sel darah yang
membantu dalam penggumpalan darah untuk mencegah dan menghentikan perdarahan.1

BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
Nama Mahasiswa
NIM

STATUS PASIEN KASUS


: Wicaksono Harry N.
Pembimbing : dr.Tjahaja, SpA
: 030.09.266
Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. P
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur
: 5 bulan 15 hari
Suku Bangsa : Jawa
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 27 Juli 2015
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Cipinang Pulo no 29. RT 03 RW 14 Kelurahan Cipinang Besar Utara,
Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.
Pendidikan
:Orang tua / Wali
Ayah:
Nama : Tn. A
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Cipinang Pulo no 29. RT 03 RW
14 Kelurahan Cipinang Besar Utara,

Ibu :
Nama : Ny. N
Umur : 25 tahun
Alamat : Jl. Cipinang Pulo no 29. RT 03 RW
14 Kelurahan Cipinang Besar Utara,
Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Penghasilan: Pendidikan : SLTA
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam

Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.


Pekerjaan : Karyawan swasta
Penghasilan: Rp. 3.800.000,00/ bulan
Pendidikan : D3
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Tn. A dan Ny.N (Bapak dan ibu kandung pasien)
Lokasi
: Bangsal lantai V Timur, kamar 512
Tanggal / waktu
: 12 Desember 2015 pukul 20.30 WIB
Tanggal masuk
: 12 Desember 2015 pukul 18.00 WIB (di IGD)
Keluhan utama
: Muncul bintik kemerahan dan berwarna biru
Keluhan tambahan : A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih diantar oleh ibu dan ayahnya dengan keluhan
timbul lebam-lebam di tungkai bawah dan perut sejak 12 jam SMRS. Lebamnya tidak nyeri,
2

mulanya berwarna biru lalu menjadi kehitaman. Awalnya lebam timbul di kedua tungkai bawah,
lalu diperut sebelah kiri dan di kedua kaki. Lebam semua berukuran kecil tidak lebih dari 2 cm.
Tidak ada riwayat jatuh maupun benturan. Saat ini tidak ada keluhan gusi berdarah, dan tidak ada
mimisan. Ibu pasien juga mengatakan, pasien tidak pernah terlihat mengalami kelelahan saat
sedang memainkan mainannya, pasien juga tidak pernah telihat pucat.
Pasien sedang tidak dalam pengobatan ataupun mengkonsumsi obat-obatan. Tidak ada
penurunan berat badan yang dialami oleh pasien dan mengonsumsi ASI baik seperti biasanya.
Ibu pasien menyangkal adanya demam, batuk, pilek dan mata berair. Buang air kecil lancar tidak
ada keluhan, tidak ada sakit maupun keluar kencing berdarah saat buang air kecil. Buang air
besar lancar tidak ada keluhan diare maupun buang air besar berdarah. Nyeri pada sendi juga
disangkal.
Pasien pada 4 minggu SMRS mengalami batuk kering dan pilek dengan lendir berwarna
putih tidak terlalu kental dan demam yang tidak terlalu tinggi (paling tinggi 37,8 oc) yang
berlangsung sekitar 3-4 hari. Saat mengalami batuk dan pilek pasien mengaku keadaan
umumnya tidak terlalu lemah, tidak terdapat sesak nafas, hidung yang kembang kempis, suara
serak maupun nyeri di telinga. Pasien tidak diperiksa ke dokter hanya dirawat dan istirahat di
rumah.
B. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
Morbiditas kehamilan

Tidak ada. Anemia (-), HT (-), DM (-), penyakit

Perawatan antenatal

jantung (-), penyakit paru (-), infeksi (-)


Rutin kontrol ke tempat praktek bidan 1x setiap

KEHAMILAN

bulan dan saat menginjak usia tujuh bulan


dilakukan 2x setiap bulan, sudah melakukan

KELAHIRAN

Tempat persalinan
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
Keadaan bayi

imunisasi TT 2x
Rumah Sakit
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi
Tindakan : SC atas indikasi partus lama
Cukup Bulan
Berat lahir : 4000 gram
Panjang lahir : 52 cm
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis
Nilai APGAR : (tidak tahu)
3

Kelainan bawaan : Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran :


Neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan, SC atas indikasi partus lama.
C. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap

: Umur 4 bulan

(Normal: 3-4 bulan)

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : sejauh ini tidak terdapat


kertelambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan pasien, baik sesuai usia.
D. RIWAYAT MAKANAN
Umur

ASI/PASI

Buah / Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

02

ASI

24

ASI

46

ASI

(bulan)

Kesimpulan riwayat makanan : Pasien mendapatkan ASI eksklusif.


E. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin
BCG
DPT / PT

Dasar ( umur )
2 bulan 2 bulan 4 bulan

Ulangan ( umur )
-

Polio

0 bulan

2 bulan

Campak
Hepatitis B

0 bulan

1 bulan

Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap dan sesuai jadwal. Belum dilakukan
imunisasi tambahan.
F. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi

No
1.

Tanggal lahir

Jenis

(umur)

kelamin

5 bulan 15 hari

Laki -laki

Hidup
Hidup

Lahir
mati

Abortus

Mati

Keterangan

(sebab)

kesehatan

Pasien

b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali
Tn. A
1
26 tahun
D3
Islam
Jawa
Sehat
-

Nama
Perkawinan keUmur saat menikah
Pendidikan terakhir
Agama
Suku bangsa
Keadaan kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit, bila ada

Ibu / Wali
Ny. N
1
24 tahun
Tamat SLTA
Islam
Jawa
Sehat
-

c. Riwayat Penyakit Keluarga :


Pada keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit yang serupa seperti pasien. Riwayat
Diabetes Melitus (-) Hipertensi (-) dan Asma (-) disangkal
d. Riwayat Kebiasaan Keluarga : Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang memiliki
kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, dan penggunaan obat-obatan terlarang.
Kesimpulan Riwayat Keluarga : tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan penyakit
yang serupa dengan pasien
G. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit

Umur

Penyakit

Umur

Penyakit
Penyakit

Alergi

(-)

Difteria

(-)

Cacingan

(-)

Diare

(-)

Penyakit ginjal

(-)

DBD

(-)

Kejang

(-)

Radang paru

(-)

Otitis

(-)

Morbili

(-)

Parotitis

(-)

Operasi

(-)

TBC
Lain-lain: batuk

(-)
Pernah 1 bulan

dan pilek (flu)

yang lalu

jantung

Umur
(-)

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : Pasien belum pernah mengalami
penyakit yang sama sebelumnya. Pernah mengalami riwayat batuk pilek pada waktu 4 minggu
SMRS.
H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama ayah, dan ibunya. Menurut pengakuan,
rumah berlantai 2, luas rumah 62 meter, terdiri dari 4 kamar, 2 kamar mandi, 1 dapur dan 1 ruang
tamu, ventilasi di rumah cukup baik, pencahayaannya baik, sumber air bersih berasal dari air
tanah, dan sumber air minum berasal dari air galon serta sampah dibuang setiap harinya. Diakui
lingkungan sekitar rumah cukup baik, kawasan padat penduduk.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Lingkungan rumah cukup baik.
I. RIWAYAT SOSIAL DAN EKONOMI
Ayah pasien saat ini bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan, dengan
penghasilan Rp.3.800.000,00/ bulannya. Penghasilan tersebut diakui cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Cukup baik, pasien berasal dari keluarga dengan taraf sosial
ekonomi menengah.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 12 Desember 2015 pukul 21.00 WIB
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesan Sakit
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Kesan Gizi
: Gizi normal
Keadaan lain
: ikterik (-), sesak (-), sianosis (-), pucat (-)

Data Antropometri
Berat Badan sebelum sakit
Berat Badan sekarang
Tinggi Badan
Lingkar Kepala

: 6,7 kg
: 6,7 kg
: 64 cm
: 42 cm (normosefali, terletak diantara -2 dan +2 SD Kurva

Neillhaus)
6

Status Gizi
BB / U = 6,7/7 x 100 % = 96 % (gizi baik)
TB / U = 64/63 x 100 % = 101 % (tinggi baik)
BB / TB = 6,7/6,9 x 100 % = 97% (gizi baik)
Kesan gizi Gizi baik
Tanda Vital
Tekanan Darah: 85/50 mmHg
Nadi
: 131 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Nafas
: 40 x / menit, tipe abdomino-thoracal
Suhu
: 36,7C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)
KEPALA
RAMBUT
WAJAH

: Normosefali, ubun-ubun besar sudah menutup


: Rambut hitam, keriting, lebat, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
: Wajah simetris, wajah tampak bengkak, luka atau jaringan parut

MATA:
Visus
Sklera ikterik
Konjungtiva anemis
Exophthalmus
Enophtalmus

: tidak dilakukan
: -/: -/: -/: -/-

Ptosis
Lagofthalmus
Cekung
Kornea jernih
Strabismus

: -/: -/: -/: +/+


: -/-

Lensa jernih

: +/+

Nistagmus

: -/-

Cekung

: -/-

Pupil

: bulat, isokor

Refleks cahaya
: langsung +/+ , tidak langsung +/+
Oedem palpebral
: -/TELINGA :
Bentuk
: normotia
Tuli
: -/Nyeri tarik aurikula : -/Nyeri tekan tragus
: -/Liang telinga
: lapang
Membran timpani
: sulit dinilai
Serumen
: -/Refleks cahaya
: sulit dinilai
Cairan
: -/HIDUNG :
Bentuk
: simetris
Napas cuping hidung
: -/Sekret
: -/Deviasi septum
:Mukosa hiperemis
: -/Konka eutrofi
:BIBIR
: mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), pucat (-)

MULUT

: trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), gigi tetap berjumlah 24 buah,
mukosa gusi berwarna merah muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus

LIDAH

palatum simetris dengan mukosa palatum berwarna merah muda.


: Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-), atrofi papil (-),

tremor (-), lidah kotor (-)


TENGGOROKAN : dinding faring hiperemis (-), uvula terletak di tengah, ukuran tonsil T1/T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar, tidak ada detritus
LEHER
: Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak tampak dan tidak
teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea tampak dan teraba di tengah
THORAKS :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal saat pernapasan,
warna kulit sawo matang, tidak didapatkan adanya retraksi sela iga, sternum mendatar,

tulang iga normal, pulsasi abnormal (-)


Palpasi : Gerakan pernapasan simetris kanan dan kiri, vocal fremitus sama kuat, teraba

ictus cordis pada ICS V linea midclavicularis kiri.


Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, ronchi (-/-), wheezing (-/-),
bunyi jantung I-II reguler, punctum maksimum pada ICS V 1 cm linea midclavicularis

kiri, murmur (-), gallop (-)


ABDOMEN :
Inspeksi : perut datar, warna kulit sawo matang, dijumpai adanya efloresensi pada kulit
perut sebelah kiri bawah berupa petekie, kulit keriput (-), umbilicus normal, gerak

dinding perut saat pernapasan simetris, tidak tampak bagian yang tertinggal.
Auskultasi : bising usus (+), frekuensi 3x / menit
Perkusi : timpani pada seluruh region abdomen, shifting dullness (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) dan nyeri lepas tekan (-) pada seluruh regio abdomen,

turgor kulit baik, hepar dan ;ien tidak teraba membesar, ballottement (-)
GENITALIA : tidak ditemukan adanya kelainan, rambut pubis (+)
KELENJAR GETAH BENING:
Preaurikuler
: tidak teraba membesar
Postaurikuler
: tidak teraba membesar
Submandibula
: tidak teraba membesar
Supraclavicula
: tidak teraba membesar
Axilla
: tidak teraba membesar
Inguinal
: tidak teraba membesar
EKSTREMITAS :

Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta sikap
badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis
(-), edema tungkai (-), capillary refill time < 2 detik.

Ekstremitas atas
Tonus otot
Trofi otot
Kekuatan otot
Ekstremitas bawah
Tonus otot
Trofi otot
Kekuatan otot

Kanan

Kiri

Normotonus
Eutrofi
5

Normotonus
Eutrofi
5

Normotonus
Eutrofi
5

Normotonus
Eutrofi
5

STATUS NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis

Kanan

Kiri

Biseps

Triceps

Patella

Achiles

Kanan
-

Kiri
-

Kanan
-

Kiri
-

Refleks Patologis
Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rangsang meningeal
Kaku kuduk
Kerniq
Laseq
Brudzinski I
Brudzinski II

Saraf cranialis
- N. I (Olfaktorius)
Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Opticus dan Occulomotorius)
Pupil bulat isokor 3mm / 3mm, RCL +/+, RCTL +/+
- N. IV dan VI (Trochlearis dan Abducens)
Gerakan bola mata baik ke segala arah
- N. V (Trigeminus)
Tidak ada gangguan sensibilitas wajah
- N. VII (Facialis)
Wajah simetris
Motorik: dapat menutup mata sempurna, dapat mengernyitkan dahi, dan dapat tersenyum
dengan baik
Sensorik: tidak ada gangguan pengecapan
- N. VIII (Vestibulo-kokhlearis)
Dapat mendengar bunyi gesekan jari pada kedua telinga
- N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Tidak ada gangguan menelan
- N. XI (Aksesorius)
Dapat mengangkat kedua bahu dan memutar kepala dengan baik
- N. XII (Hipoglosus)
Gerakan lidah tidak terganggu, tidak terdapat paralisis, kekuatan lidah baik
PUNGGUNG : tulang belakang bentuk normal, tidak terdapat deviasi, massa (-), ruam/
efloresensi (-), gibbus (-), nyeri tekan (-)

KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
lembab, capillary refill time < 2 detik. Terdapat efloresensi bermakna: ekimosis (+) Ptechiae
(+) pada tungkai bawah.

10

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium dari IGD pada tanggal 15 September 2015
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Pemeriksaan Laboratorium di UGD tanggal 12 Desember 2015)

11

Hematologi

Hasil

Nilai Normal

Leukosit

7.9 / L

6 17,5

Eritrosit

3.6 juta/uL

3.1 - 4.7

Hemoglobin

9.6 g/dL

9.6 12.6

Hematokrit

32 %

32 44

Trombosit

9* ribu/ L ()

217 497

MCV

77.9 fL

73 - 109

MCH

26.8 pg

21 - 33

MCHC

34.0 g/dL

26 - 34

RDW

11.1 %

<14

Pemeriksaan Tinja di Bangsal 13 Desember 2015


FAECES RUTIN
Makroskopik:
Warna
Konsistensi
Lendir
Darah
Mikroskopis:
Leukosit
Eritrosit
Amoeba Coli
Amoeba
Histolitika
Telur cacing
Pencernaan:
Lemak
Amilum
Serat
Sel Ragi

Nilai

Satuan

Nilai Normal

Coklat
Lunak
Negatif
Negatif

Coklat
Lunak
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif

Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

IV.
RESUME

12

Pada anamnesis didapatkan seorang pasien anak laki - laki berusia 5 bulan, datang diantar
oleh ibunya ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan timbul lebam-lebam biru secara tiba-tiba
sejak 12 jam SMRS pada tungkai bawah dan perut di sebelah kiri. Sebelumnya, pasien
mengalami batuk dan pilek pada waktu 4 minggu SMRS, namun sembuh dalam waktu 3-4 hari.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, dan
kesan gizi baik. Pada status gizi didapatkan pasien gizi normal. Pada tanda vital didapatkan
tekanan darah 85/50 mmHg, nadi 131x/menit, pernafasan 40x/menit, suhu 37,1C. Pada tungkai
bawah dan perut ditemukan efloresensi yaitu berupa ekimosis dan ptechiae. Pada pemeriksaan
laboratorium tanggal 12 Desember 2015 didapatkan trombosit 9 ribu/L ().
V. DIAGNOSIS BANDING

ITP akut
Hematom et causa trauma
Leukemia
Sindroma Lupus Eritematosus

VI. DIAGNOSIS KERJA


ITP akut
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN

Hematologi lengkap
Gambaran Darah Tepi
Masa Pembekuan dan masa perdarahan
Anti-dsDNA

VIII. PENATALAKSANAAN

Non medika Mentosa


1. Rawat inap
2. Istirahat total
3. Diet : Makan lunak
4. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai
keadaan pasien.

13

5. Mencegah perdarahan akibat trauma (kurangi menggosok gigi terlebih


dahulu)
6. Menghindari obat yang dapat menekan produksi trombosit atau merubah

fungsinya
Medika Mentosa
- IVFD : Asering 3 cc/kgBB/Jam
- Metylprednisolon 2mg/kgbb
Pada pasien : 3 x 2,5 mg, peroral
- Inj. Cefotaxim 50-100 mg/kgBB/hari
Pada pasien: 3x200 mg
- Inj. Rantin 2-4 mg/kgBB/hari
Pada pasien: 2x7,5 mg

IX. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam

: Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad bonam

14

FOLLOW UP

Tanggal
13
Desember
2015

-Bintik-bintik
kemerahan
dan lebam
pada kedua
tungkai
bawah dan
kedua kaki
- Bintik
kemerahan di
perut
berkurang

KU : tampak sakit sedang, kesan


gizi baik
Kesadaran: compos mentis
TTV :
TD : 80/60 mmHg
Nadi : 100x/m
Suhu : 36,3 0 C
RR : 38x/ m
Kepala : normosefali
Mata : CA -/- SI-/Hidung : Napas cuping hidung -/-,
sekret -/Mulut : kering (-), sianosis (),
pucat (-)
Tenggorokan: mukosa faring
hiperemis (-)
Tho : retraksi (-)
P: Suara napas vesikuler +/+, rk
-/- Wh -/J: BJ I-II reg, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : datar, bu (+), supel,
nyeri tekan (-), turgor baik,
timpani di seluruh lapang perut,
Hepar dan Lien tidak teraba
membesar
Ekstremitas : akral hangat, CRT
<2
Kulit: Ptechiae dan ekimosis (+)

A
ITP akut

P
-IVFD : Asering
3cc/kgBB/jam
-Metilprednisolon
3x2,5 mg
-Observasi
perdarahan

15

pada kedua tungkai bawah dan


kedua kaki
Status neurologis : dalam batas
normal

Tanggal

14
-Bintik-bintik
Desember kemerahan
2015
pada kedua
tungkai
bawah dan
kaki lebih
samar
(berkurang)
-Lebam
kebiruan pada
kedua tungkai
bawah dan
kaki masih (+)

O
KU : tampak sakit sedang, kesan
gizi baik
Kesadaran: compos mentis
TTV :
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 110x/m
Suhu : 36,4 0 C
RR : 40x/ m
Kepala : normosefali
Mata : CA -/- SI-/Hidung : Napas cuping hidung -/-,
sekret -/Mulut : kering (-), sianosis (),
pucat (-)
Tenggorokan: mucosa faring
hiperemis (-)
Tho : retraksi (-)
P: Suara napas vesikuler +/+, rk -/Wh -/J: BJ I-II reg, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : datar, bu (+), supel,
nyeri tekan (-), turgor baik,

A
ITP akut

P
-IVFD : Asering
3cc/kgBB/jam
-Metylprednisolon
3x8 mg
-Inj. Cefotaxime
3x200 mg
-Observasi
perdarahan

16

timpani di seluruh lapang perut,


Hepar dan Lien tidak teraba
membesar
Ekstremitas : akral hangat, CRT
<2
Kulit: Ptechiae dan ekimosis (+)
pada kedua tungkai bawah dan
kedua kaki
Status neurologis : dalam batas
normal

Tanggal

15
-Bintik-bintik
Desember kemerahan
2015
pada kedua
tungkai
bawah dan
kedua kaki
semakin
berkurang
-Lebam
kebiruan pada
kedua tungkai
bawah dan
kedua kaki
masih (+)

O
KU : tampak sakit sedang, kesan
gizi baik
Kesadaran: compos mentis
TTV :
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 110x/m
Suhu : 37 0 C
RR : 42 x/ m
Kepala : normosefali
Mata : CA -/- SI-/Hidung : Napas cuping hidung -/-,
sekret -/Mulut : kering (-), sianosis (),
pucat (-)
Tenggorokan: mukosa faring
hiperemis (-)
Tho : retraksi (-)
P: Suara napas vesikuler +/+, rk -/Wh -/J: BJ I-II reg, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : datar, bu (+), supel,

A
ITP akut

P
-Venflon
- Metylprednisolon
3x8 mg
- Inj. Cefotaxime
3x200 mg
-Inj. Rantin 2x7,5
mg
-Observasi
perdarahan

17

nyeri tekan (-), turgor baik,


timpani di seluruh lapang perut,
Hepar dan Lien tidak teraba
membesar
Ekstremitas : akral hangat, CRT
<2
Kulit: Ptechiae dan ekimosis (+)
pada kedua tungkai bawah dan
kedua kaki
Status neurologis : dalam batas
normal

BAB III
ANALISA KASUS

Pasien ini terdiagnosa ITP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis An.P, laki-laki, usia 5 bulan 15 hari datang dengan keluhan timbul
bintik bintik kemerahan pada kedua tungkai bawah dan perut sebelah kiri dan lebam lebam
kebiruan pada tungkai bawah dan kedua kaki sejak 12 jam SMRS. Pasien menyangkal adanya
riwayat tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia, hal
ini dapat menyingkirkan adanya trombositopenia yang disebabkan penggunaan obat. Selain itu,
didapatkan riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien dapat mengarah
pada penyakit genetik atau yang dapat diturunkan. Riwayat penyakit dahulu yang dialami pasien
yaitu berupa batuk pilek dengan demam yang tidak terlalu tinggi dan sekret berwarna putih serta
perjalanan penyakit yang berlangsung singkat kemungkinan batuk pilek yang dialami pasien
merupakan infeksi virus. Hal hal yang disebutkan diatas merupakan beberapa gejala dan factor
18

resiko dari ITP. ITP akut juga lebih sering terjadi pada anak, sedangkan ITP kronis lebih sering
terjadi pada dewasa.
Patogenesis manifestasi kulit dari penyakit sistemik dapat dibagi menjadi 4 kategori.
Pertama, penyebaran penyebab infeksi melalui darah (viremia, bakteriemia, dan sebagainya)
yang menghasilkan infeksi sekunder di kulit. Temuan klinis di kulit pada kelompok ini dapat
merupakan efek langsung penyebab infeksi di epidermis, dermis, atau endotel kapiler dermis,
atau dapat juga merupakan hasil reaksi respon imun antara organisme yang bersangkutan dengan
antibodi atau faktor seluler di lokasi kulit. Kedua, patogenesis yang berhubungan dengan
penyebaran toksin dari penyebab infeksi. Infeksi terjadi di lokasi tertentu namun kemudian
toksin yang dihasilkan menyebar dan mencapai kulit melalui darah. Tiga contoh penyakit dalam
kelompok ini adalah demam skarlatina streptokokal, staphylococcal scalded skin syndrome
(SSSS), dan sindroma syok toksik. Kategori ketiga adalah patogenesis pada penyakit sistemik
dimana eksantema tidak dapat dimengerti dengan baik namun muncul dan diduga mempunyai
dasar imunologis. Yang paling penting dari kelompok ini adalah gambaran klinis eritema
multiforme eksudativum (sindroma Stevens-Johnsons) dan eritema nodosum. Pada sebagian
besar kasus lokasi antigen maupun toksin yang menyebar sulit diidentifikasi. Mekanisme
keempat yaitu melalui keterlibatan vaskuler yang menghasilkan lesi di kulit. Berbagai
mekanisme tersebut mungkin saja terjadi secara berurutan. Pada kasus ini temuan klinis di kulit
disebabkan mekanisme keempat yaitu suatu penyakit perdarahan yang didapat sebagai akibat
dari penghancuran trombosit yang berlebihan.2
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ada platelet bleed type yaitu adanya ptekie, purpura.
Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain jika ditemukan adanya pembesaran hati atau
limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP. Pada pasien
ini tidak terdapat pembesaran hati dan lima sehingga dapat menyingkirkan penyakit lain.
Selain itu pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya trombositopenia <
100.000/mm3 tanpa disetai adanya penurunan sel darah yang lain atau bisa disebut dengan
Isolated Trombositopenia. Hal ini menunjang kearah diagnosis Purpura Trombositopenik
Idiopatik (ITP).

19

Gambar III.1 Alogaritma evaluasi pasien trombositopenia.3

Gambar III.2 Alogaritma lain evaluasi pasien trombositopenia3


Mengenai kemungkinan adanya kelainan genetik, riwayat adanya kelainan genetik
lainnya dalam keluarga diakui terdapat pada anak dari saudara kandung orang tua pasien. Karena
20

ITP didiagnosa per eksklusionam, diagnosa pasti dapat ditegakkan bila telah dipastikan tidak
adanya penyebab trombositopenia sekunder. Pada kasus ini setelah dipantau dengan hasil
beberapa hasil pemeriksaan baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang dapat
mengeksklusi penyakit lain yang mungin menyebabkan trombositopenia sekunder, dengan
demikian diagnosa ITP kemudian ditegakkan sampai jika ternyata kemudian terbukti terdapat
penyebab esensial trombositopeni lainnya.
Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin pada anak dengan
dugaan ITP, masih menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ahli, umumnya pemeriksaan
ini dilakukan pada kasus yang meragukan, gagal terapi selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya pembesaran hepar/lien/kelenjar getah bening, namun tidak dilakukan
pada kasus-kasus dengan manifestasi klinis yang khas. Sehingga pada pasien ini tidak dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dikarenakan gejala ITP yang khas ditemukan pada pasien,
pasien merespon terhadap terapi yang diberikan dan tidak ditemukan adanya organomegali.4
Tata laksana ITP pada anak meliputi tindakan suportif dan terapi farmakologis. Tindakan
suportif merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak, di antaranya
membatasi aktifitas fisik, mencegah perdarahan akibat trauma, menghindari obat yang dapat
menekan produksi trombosit atau merubah fungsinya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua tentang penyakitnya. 1

Gambar II.4 Indikasi rawat inap pada PTI6


Menurut kriteria berdasarkan gambar diatas pasien ini memenuhi indikasi rawat inap.
Karena pasien saat pertama kali masuk jumlah hitung trombosit 9.000/uL dan usia yang dibawah
3 tahun.

21

Gambar III.3 Intervensi penanganan ITP berdasarkan jumlah trombosit dan manifestasi klinis6
Berdasarkan gambar diatas dapat disimpulkan bahwa pasien direkomendasikan untuk
rawat inap dan mendapat terapi (Intravena Imunoglobulin) IVIG atau kortikosteroid. Sebelum
era IVIG, kortikosteroid merupakan pengobatan utama pada ITP karena dipercaya dapat
menghambat penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial dan mengurangi
pembentukan antibodi terhadap trombosit, serta mempunyai efek stabilisasi kapiler yang dapat
mengurangi perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan jumlah trombosit yang
cepat dengan efek samping yang minimal ada pada pengobatan dengan IVIG. Seperti
kortikosteroid, IVIG juga menyebabkan blokade pada sistem retikuloendotelial yang dapat
meningkatkan jumlah trombosit dalam waktu cepat (umumnya dalam 48 jam), sehingga
merupakan pengobatan pilihan untuk ITP dengan perdarahan yang serius (berat secara klinis).
Meskipun IVIG telah populer digunakan dalam terapi ITP pada anak, data terbaru menunjukkan
lebih dari 75% anak mengalami efek samping nyeri kepala dan panas. Beberapa mengalami efek
samping yang lebih serius, yaitu iritasi meningeal dan hemiplegia sementara. Oleh karena itu,
sebaiknya IVIG tidak diberikan tanpa indikasi yang jelas, apalagi apabila hanya untuk
menaikkan jumlah trombosit saja. Pengobatan dengan imunoglobulin anti-D efektif pada anak
dengan rhesus positif dan memiliki keuntungan berupa suntikan tunggal dalam waktu singkat.
Namun selain mahal, dilaporkan adanya hemolisis dan anemia yang memerlukan transfusi darah
setelah pengobatan. Sehingga pasien ini diberikan terapi kortikosteroid. Splenektomi jarang
dilakukan pada anak dengan ITP dan hanya dianjurkan pada perdarahan hebat yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, dan dilakukan setelah menjadi ITP kronis (>6 bulan).
Angka kegagalan splenektomi berkisar 25-30% dan mungkin lebih besar (>60%) dengan
pengamatan jangka panjang. Splenektomi, meskipun jarang berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya sepsis walaupun telah diberikan vaksinasi pnemokokus dan profilaksis penisilin.
22

Beberapa pengobatan lain yang pernah dilaporkan bisa diberikan pada anak dengan ITP adalah;
interferon, transfusi tukar plasma dan protein Aimmunoadsorption, alkaloid Vinca (vinkristin dan
vinblastin), danazol, vitamin C, dan siklofosfamid.1
Prognosis pada pasien adalah ad bonam dikarenakan ITP bersifat akut dan 90 % sembuh
spontan, hanya 5-10% menjadi kronis. Kekambuhan mendadak biasanya jarang didapatkan.
Perdarahan yang serius jarang didapatkan pada ITP, insiden perdarahan otak pada ITP dalam
minggu pertama hanya berkisar 0,1-0,2%, namun meningkat menjadi 1% pada mereka dengan
jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3 setelah 6-12 bulan. Perdarahan otak pada ITP pun
tidak selalu berakibat fatal.1

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

IDIOPATIK TROMBOSITOPENIK
I.

PURPURA

(ITP)

Latar Belakang
Purpura Trombositopenik Imun (PTI) atau Imun (Idiopatik) Trombositopeni Purpura

(ITP) (Immune Thrombocytopenic Purpura = Primary Essential Thrombocytopenic Purpura =


Purpura Hemmorrhagica = Werlhofs Diseases) adalah penyakit purpura disertai dengan
penurunan jumlah trombosit. ITP ditemukan pertama kali pada orang dewasa tahun 1735 oleh
Werlhof, dia menemukan seorang pasien yang mengalami pendarahan mendadak yang spontan
seperti petekiae, ekimosis dan pendarahan membran mukosa. Pasien ini mengalami remisi
spontan dan lengkap, sedangkan penyakit purpura yang terjadi pada saat itu seperti typhoid fever
dan plague tidak mengalami remisi spontan. Pada kasus ITP terjadi trombositopeni yang
diakibatkan oleh meningkatnya destruksi trombosit karena reaksi imun. Antibodi yang berperan
23

adalah IgG. Tahun 1951 Harrington menemukan bahwa transfusi plasma maupun whole blood
dari pasien ITP dapat menginduksi trombositopeni pada orang normal. ITP dapat menyerang
anak-anak dan dewasa. ITP pada anak biasanya adalah bentuk akut yang dapat sembuh spontan
dalam beberapa bulan, bentuk kronis didapatkan pada dewasa dan memiliki onset yang lebih
lambat. Pada dewasa ITP didapatkan lebih sering pada wanita daripada pria dan sering rekuren.
Bentuk ITP yang sekunder disebabkan oleh adanya penyakit hematologik primer seperti
leukemia atau kelainan nonhematologik sistemik yang lain7
II.

Definisi
Purpura trombositopenik imun ialah suatu penyakit perdarahan didapat (acquired)

sebagai akibat dari penghancuran trombosit yang berlebihan, ditandai dengan trombositopenia
(trombosit <150.000/mm3), purpura, gambaran darah tepi yang umumnya normal, dan tidak
ditemukan penyebab trombositopenia yang lainnya.1

III.

Etiologi
Penyebab PTI adalah kelainan autoimun sehingga penghancuran trombosit dalam sistem

retikuloendotelial meningkat. Kelainan ini biasanya menyertai infeksi virus atau imunisasi yang
disebabkan oleh respon sistem imun yang tidak tepat (inappropriate). Penyebab yang pasti
belum diketahui (idiopatik), tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan antara lain
hipersplenisme, infeksi virus (dengue, morbili, varisela, dsb), intoksikasi makanan atau obat
(asetosal, PAS, fenilbutazon, diamox, kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi,
panas), kekurangan faktor pematangan (malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukemia,
respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa Itp ini terutama
yang kronis merupakan penyakit autoimun.8
IV.

Klasifikasi
Klasifikasi ITP adalah akut dan kronik, disebut kronik bila trombositopenia menetap

lebih dari 6 bulan.1

24

Tabel IV.1 Perbedaan ITP Akut dan Kronis.

V.

Epidemiologi
Diperkirakan ITP merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang

banyak ditemukan oleh dokter anak, dengan insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per
100.000 anak pertahun. Di Bagian Anak RSUD Dr. Soetomo terdapat 22 kasus baru pada tahun
2000. Umumnya ditemukan pada anak berusia antara 2 sampai 10 tahun, tidak terdapat
perbedaan insiden antara laki-laki dan perempuan. Kelainan ini juga bisa terjadi pada bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang juga menderita ITP. Pada anak usia 2-6 tahun, dengan insiden 4-8 kasus
per 100.000 anak per tahun.1Dari beberapa sumber ada juga yang mengatakan lebih sering terjadi
pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan berkisar 2 : 1.1

VI.

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya trombositopenia pada ITP ternyata lebih kompleks dari yang

semula diduga. Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein
yang terdapat pada membran trombosit. Sehingga terjadi penghancuran terhadap trombosit yang
diselimuti antibodi (antibody-coated platelets) oleh makrofag yang terdapat pada limpa dan
organ retikuloendotelial lainnya. Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat

25

pada ITP. Sedangkan kadar trombopoetin dalam plasma yang merupakan progenitor proliferasi
dan maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis. 1
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara ITP akut dan kronis,
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombositopenia di
antara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
karena adanya antibodi yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi bakteri/virus atau
pada pemberian imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit. Mediatormediator lain yang meningkat selama terjadinya respon imun terhadap infeksi, dapat berperan
dalam terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Pada ITP kronis mungkin telah terjadi
gangguan dalam regulasi sistem imun seperti pada penyakit autoimun lainnya, yang berakibat
terbentuknya antibodi spesifik terhadap trombosit. 1

Saat ini telah diidentifikasi beberapa jenis glikoprotein permukaan trombosit pada ITP, di
antaranya GP IIb- IIa, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibodi antitrombosit meningkat
pada ITP, perbedaan secara pasti patofisiologi ITP akut dan kronis, serta komponen yang terlibat
dalam regulasinya masih belum diketahui. Hal tersebut di atas menjelaskan mengapa beberapa
cara pengobatan terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan ITP memiliki efektifitas
terbatas, dikarenakan gagal mencapai target spesifik jalur imunologis yang bertanggung jawab
pada perubahan produksi dan destruksi trombosit.1
Dekstruksi prematur trombosit meningkat disebabkan oleh antibodi antitrombosit atau
faktor antiplatelet (IgG) yang dihasilkan oleh sel B dan sel plasma. Antibodi ini menyebabkan
terjadinya fagositosis melalui reseptor Fc yang ada di makrofag dari sistem retikuloendotelial
terutama yang ada di dalam limpa dan limpa merupakan organ penting dalam patofisiologi ITP.
Platelet dengan lapisan antibodi yang tipis dipecah dan dihancurkan oleh lien sedangkan platelet
dengan lapisan antibodi yang tebal dapat dihancurkan oleh hati. Selanjutnya lien memproduksi
lebih banyak antibodi platelet. Beberapa penelitian pada ITP akut mendapatkan adanya antibodi
glikoprotein antitrombosit. Pembentukan antibodi tersebut dapat merupakan respon imun
terhadap infeksi bakteri/virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari
trombosit. Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadi respons imun terhadap infeksi,

26

dapat berperan dalam penekanan terhadap produksi trombosit. Normalnya jumlah platelet dapat
bertahan 8-10 hari dalam sirkulasi darah namum pada ITP platelet hanya mampu bertahan 1-3
hari atau bahkan kurang. Bila sumsum tulang tidak dapat meningkatkan produksi dan tetap
mempertahankan jumlah trombosit normal dalam sirkulasi maka akan terjadi trombositopenia
dan purpura.1

Gambar IV.1 Patofisiologi ITP9

VII.

Faktor Risiko
27

Riwayat infeksi sebelumnya umumnya virus dalam waktu 1-6 minggu. Infeksi saluran
napas atas nonspesifik banyak ditemukan mendahului ITP, ataupun infeksi saluran cerna. Pada
20% kasus riwayat infeksi virus yang dapat diidentifikasi ialah campak, rubella, Epstein-Barr,
varisela atau chicken pox, gondongan / mumps, hepatitis A, B, ataupun C. Trombositopenia
sementara dapat juga timbul setelah vaksinasi campak dan smallpox atau rubeola yang berisi
virus hidup yang dilemahkan. Juga pada pasien dengan riwayat operasi jantung, hipersplenisme,
atau sindrom antibodi antifosfolipid.1
VIII. Diagnosis
Pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tiba-tiba mengalami perdarahan pada
kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung (epistaksis). Perlu juga dicari riwayat
tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat
keluarga umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti
adanya perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan
konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu
penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa
sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.1
Selain trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP umumnya
normal sesuai umurnya. Pada lebih kurang 15% penderita didapatkan anemia ringan karena
perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan apusan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pseudotrombositopenia, sindrom trombosit raksasa yang diturunkan (inherited
giant platelet syndrome), dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit yang imatur
(megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar penderita. Pada pemeriksaan dengan flow
cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolik, yang menjelaskan mengapa
dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang didapatkan pada ITP dibanding
pada kegagalan sumsum tulang.1
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang pada anak dengan dugaan ITP, masih menimbulkan
perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya pemeriksaan ini dilakukan pada kasus-kasus
yang meragukan, namun tidak pada kasus-kasus dengan manifestasi klinis yang khas.
Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak khas misalnya pada :
28

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya demam, penurunan berat
badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi
Kasus yang akan diobati dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal diterapi
dengan imunoglobulin intravena.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada penderita ITP adalah mengukur antibodi
yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan direct
assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakan ITP primer dengan sekunder, atau
anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami perjalanan menjadi
kronis. 1
Diagnosis

ITP

ditegakkan

dengan

menyingkirkan

kemungkinan

penyebab

trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan systemic
lupus erythematosus (SLE), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma, defisiensi IgA,
hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C, dan pengobatan dengan heparin atau
quinidine.1
IX.

Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Lengkap
Isolated trombositopenia (tidak terdapat anemia dan/atau neutropenia). Hemoglobin,
indeks eritrosit, dan jumlah leukosit normal. Hiperplasia eritroid memungkinkan jika terdapat
kehilangan darah yang bermakna. Dapat ditemukan eosinofil ringan pada 25% kasus.
Peningkatan jumlah limfosit dapat menunjukkan infeksi viral yang biasanya mencetuskan ITP
akut.
2. Apusan Darah Tepi
Jumlah platelet menurun, namun jumlah eritrosit dan leukosit normal. Morfologi eritrosit,
leukosit normal, ukuran trombosit normal atau lebih besar (giant platelets). Tidak ditemukan
leukosit imatur seperti pada leukemia. Juga tidak ditemukan penggumpalan trombosit seperti
29

trombositopenia artifaktual atau pseudotrombositopenia. Peningkatan jumlah limfosit normal


ataupun atipikal dapat menunjukkan infeksi yang dapat mencetuskan ITP.
3. Retikulosit normal.
4. Profil koagulasi
- Masa perdarahan (bleeding time) memanjang. Sehubungan dengan jumlah dan fungsi trombosit
dan juga fungsi vaskular.
- Retraksi pembekuan (clot retraction) untuk memeriksa gangguan fungsi dan jumlah trombosit,
didapatkan hasil bekuan minimal hingga tidak ada dalam 24 jam.
- Prothrombine time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) dan kadar fibrinogen
normal. Dimana jalur intrinsik koagulasi pada APTT dan jalur ekstrinsik koagulasi pada APTT
memang diharapkan tidak didapati kelainan.
- Tes konsumsi protrombin terdapat defek utilisasi protrombin.
5. Pemeriksaan pencitraan seperti CT Scan atau USG abdominal untuk menilai splenomegali
jika ditemukan pada pemeriksaan fisik.
6. ANA, Lupus anticoagulant/APLA, pemeriksaan HIV, fungsi tiroid, jika dirasa perlu
dipertimbangkan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
X.

Penatalaksanaan
Tata laksana ITP pada anak meliputi tindakan suportif dan terapi farmakologis. Tindakan

suportif merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak, di antaranya
membatasi aktifitas fisik, mencegah perdarahan akibat trauma, menghindari obat yang dapat
menekan produksi trombosit atau merubah fungsinya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua tentang penyakitnya. 1

30

Gambar IV.2 Obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia.1


Sebagian besar kasus ITP pada anak tidak perlu dirawat di rumah sakit, oleh karena dapat
sembuh sempurna secara spontan dalam waktu kurang dari 6 bulan. Pada beberapa kasus ITP
pada anak didapatkan perdarahan kulit yang menetap, perdarahan mukosa, atau perdarahan
internal yang mengancam jiwa yang memerlukan tindakan atau pengobatan segera. Transfusi
trombosit jarang dilakukan dan biasanya tidak efektif, karena trombosit yang ditransfusikan
langsung dirusak. Kekambuhan secara mendadak biasanya jarang didapatkan. Pada penderita
yang jumlah trombositnya tidak mencapai nilai normal dalam 6 bulan, maka diagnosis berubah
menjadi ITP kronik.1
Perdarahan yang serius jarang didapatkan pada ITP, insiden perdarahan otak pada ITP
dalam minggu pertama hanya berkisar 0,1-0,2%, namun meningkat menjadi 1% pada mereka
dengan jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm3 setelah 6-12 bulan. Perdarahan otak pada ITP
tidak selalu berakibat fatal, dan pengobatan tidak mengurangi risiko terjadinya perdarahan otak
pada ITP.1
Pengobatan yang biasa diberikan pada anak dengan ITP meliputi kortikosteroid peroral,
imunoglobulin intravena (IVIG), dan yang terakhir, anti-D untuk kasus dengan rhesus D positif.
Pengobatan tersebut potensial memberikan efek samping yang serius, sehingga penting bagi kita
untuk mempertimbangkan risiko-risiko tersebut agar tidak merugikan pasien (primum non
nocere). Sebelum era IVIG, kortikosteroid per oral merupakan pengobatan utama pada ITP
karena dipercaya dapat menghambat penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial
31

dan mengurangi pembentukan antibodi terhadap trombosit, serta mempunyai efek stabilisasi
kapiler yang dapat mengurangi perdarahan.1
Telah dilakukan penelitian tentang efektifitas kortikosteroid peroral pada dosis standar

(2 mg/kgbb/ hari) sebagai pengobatan ITP akut. Berdasarkan jumlah trombosit, waktu
perdarahan, dan gejala klinis, tidak didapatkan perbedaaan yang bermakna antara kelompok
prednison dan plasebo kecuali pada pengobatan hari ke-7. Penelitian terbaru menunjukkan
respon yang lebih cepat (secepat IVIG) dalam menaikkan jumlah trombosit pada dosis prednison
yang lebih tinggi (4 mg/kgbb/hr) jangka pendek. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan
yang cepat jumlah trombosit dengan efek samping yang minimal pada pengobatan IVIG. Seperti
kortikosteroid, IVIG juga menyebabkan blokade pada sistem retikuloendotelial yang dapat
meningkatkan jumlah trombosit dalam waktu cepat (umumnya dalam 48 jam), sehingga
merupakan pengobatan pilihan untuk ITP dengan perdarahan yang serius (berat secara klinis).
Meskipun IVIG telah populer digunakan dalam terapi ITP pada anak, data terbaru menunjukkan
lebih dari 75% anak mengalami efek samping nyeri kepala dan panas. Beberapa mengalami efek
samping yang lebih serius, yaitu iritasi meningeal dan hemiplegia sementara. Oleh karena itu,
sebaiknya IVIG tidak diberikan tanpa indikasi yang jelas, apalagi kalau hanya untuk menaikkan
jumlah trombosit saja.1
Pengobatan dengan imunoglobulin anti-D efektif pada anak dengan rhesus positif dan
memiliki keuntungan berupa suntikan tunggal dalam waktu singkat. Namun selain mahal,
dilaporkan adanya hemolisis dan anemia yang memerlukan transfusi darah setelah pengobatan.
Terdapat beberapa penelitian yang membandingkan kombinasi dari beberapa pilihan pengobatan
meliputi tanpa terapi, prednison peroral, metilprednisolon dosis tinggi, IVIG, dan imunoglobulin
anti-D intravena.1
Di Inggris, telah dilakukan penelitian pertama yang membandingkan IVIG dan steroid.
Tidak didapatkan perbedaan respon yang bermakna antara keduanya pada anak yang jumlah
trombosit meningkat >30.000/l dalam waktu 10 hari, namun IVIG lebih baik pada mereka yang
trombositnya meningkat > 30.000//l dalam waktu > 10 hari. Albayrak, dkk (1994)
membandingkan metilprednisolon dosis tinggi (30 mg/kgbb/hr dan 50 mg/kgbb/hr selama 7 hari)
dengan IVIG (0,5g/kgbb/hr selama 5 dosis) untuk pengobatan ITP akut. Tidak didapatkan
32

perbedaan yang bermakna dalam meningkatkan jumlah trombosit di antara ketiganya. Proses
kesembuhan akan terjadi secara spontan pada anak dengan ITP, namun mungkin dipercepat
dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi atau ITP, respon tersebut sering hanya bersifat
sementara dan tidak memberi perlindungan terhadap komplikasi perdarahan hebat yang dapat
mengancam jiwa. Juga tidak didapatkan data yang menunjukkan bahwa pengobatan tersebut
menurunkan kemungkinan menjadi ITP kronis. Pemberian steroid jangka panjang sebaiknya
dihindari karena risiko efek samping yang mungkin lebih membahayakan dari penyakitnya
sendiri.1
Splenektomi jarang dilakukan pada anak dengan ITP dan hanya dianjurkan pada
perdarahan hebat yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, dan dilakukan setelah
menjadi ITP kronis (>6 bulan). Angka kegagalan splenektomi berkisar 25-30% dan mungkin
lebih besar (>60%) dengan pengamatan jangka panjang. Splenektomi, jarang berhubungan
dengan peningkatan risiko terjadinya sepsis walaupun telah diberikan vaksinasi pnemokokus dan
profilaksis penisilin.1
Beberapa pengobatan lain yang pernah dilaporkan bisa diberikan pada anak dengan ITP
adalah;

interferon, transfusi tukar plasma dan protein Aimmunoadsorption, alkaloid Vinca

(vinkristin dan vinblastin), danazol, vitamin C, dan siklofosfamid.1


Sebagian besar ahli hematologi anak di Inggris berpendapat bahwa sebagian besar anak
dengan ITP akut tidak memerlukan pengobatan aktif. Hal tersebut bertolak belakang dengan
petunjuk praktis yang ada di Amerika Serikat, yang memberi pengobatan bila didapatkan jumlah
trombosit yang rendah (< 20.000-30.000/mm3). Hal tersebut dilakukan untuk menjaga
kemungkinan terjadinya perdarahan intrakranial.1
Permasalahan yang terjadi adalah kenyataan bahwa belum cukup penelitian yang baik
yang bisa dijadikan dasar penentuan keputusan. Penelitian-penelitian yang ada lebih banyak
menggunakan jumlah trombosit sebagai hasil akhir dibanding parameter klinis. Satu pengamatan
terbaru dari beberapa kasus dengan perdarahan yang lebih serius pada ITP, didapatkan bahwa
pengobatan meningkatkan jumlah trombosit sehari setelahnya hanya dalam jumlah kecil kasus.
Hingga saat ini belum ada penelitian yang mengevaluasi respon klinis secara menyeluruh

33

terhadap pengobatan (atau tanpa pengobatan) pada anak dengan ITP. Selain itu, pembahasan
tentang kualitas hidup dan biaya berbagai macam pengobatan perlu dijadikan pusat perhatian.1
XI.

Pencegahan
ITP tidak dapat dicegah namun dapat dicegah komplikasinya antara lain dengan

menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat mempengaruhi platelet dan
meningkatkan risiko pendarahan. Selain itu lindungi dari luka yang dapat menyebabkan memar
atau pendarahan, terutama terhadap trauma kepala. Pemberian terapi yang benar untuk infeksi
yang mungkin dapat berkembang. Konsultasi ke dokter jika ada beberapa gejala infeksi, seperti
demam. Hal ini penting terutama bagi pasien yang sudah menjalani operasi splenektomi.1
XII.

Prognosis
ITP akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% pasien, 50-

60% sembuh dalam 4-6 minggu dan >90% sembuh dalam 3-12 bulan. Jika ITP terjadi pada usia
<1tahun atau >10 tahun biasanya cenderung menjadi kronis dan dihubungkan dengan kelainan
imunitas.1

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Ugrasena IDG. Purpura Trombositoprnik Imun. In: Buku Ajar Hematologi-Onkologi


Anak. Permono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, editors. 4 th ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2012. p. 133-43.
2. Husada D, Ismoedijanto.

Demam

dan

ruam

pada

anak.

Available

at

http://xa.yimg.com/kq/groups/15854266/831456831/name/DEMAM+DAN+RUAM++CHAPTER+MONOGRAF-revisi2.doc. Accessed on December 13th, 2015.


3. Sianipar NB. Trombositopenia dan berbagai penyebab. Available

at

http://www.kalbemed.com/Portals/6/07_217Trombositopenia%20dan%20Berbagai
%20Penyebabnya.pdf. Accessed on April 13th, 2015.
4. Ugrasena IDG, Setyoboedi B. Purpura Trombositopenik Idiopatik pada anak. Available
at : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-3.pdf Accessed on December 14th, 2015.
5. Kuswadji. Kandidosis. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007. p. 107.
6. Immune Thrombocytopenic Purpura. In: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Pudjiadi HA, Hegar B, Handryastuti S, editors. 2 nd ed. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2011. p. 140.
7. Imun
Trombositopenia

Purpura.

Available

at

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31728/4/Chapter%20II.pdf. Accessed on
December 14th, 2014.

35

8. Abdoerrachman, Affandi, Agusman, dkk. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP).


IN: Hasan R, Alatas H, editors.1st ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2007. Hlm. 479-482.
9. Alvina. Idiopathic thrombocytopenic purpura. Available at: http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/08/Alvina.pdf. Accessed on December 14th, 2015.

36

Anda mungkin juga menyukai