PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
I Identitas Pasien
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Pekerjaan
Bangsa
Alamat
II
: Ny. R
: Perempuan
: 57 Tahun
: Islam
: Pedagang
: Indonesia
: Jl. Cilendek Timur rt/rw 02/03, Bogor Barat Jawa Barat
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara Auto-anamnesis pada tanggal 28 Januari 2014 pukul 09.25
WIB di Poliklinik Mata RSMM Bogor.
Keluhan Utama
Terasa ada yang mengalangi penglihatan pada mata kanan.
Keluhan Tambahan
Pasien merasa kedua mata sering berair, gatal, terasa terdapat benda asing dan kedua mata
terkadang merah.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang kepoliklinik mata RSMM Bogor dengan keluhan terasa ada yang
menghalangi penglihatan pada mata kanan. Keluhan tersebut timbul sejak 6 bulan smrs.
Pasien juga mengaku mengeluh kedua mata sering berair dan gatal, terkadang merah dan
timbul adanya lapisan seperti selaput pada kedua matanya sejak 4 tahun smrs. Pasien
mengaku keluhan mata merah dan gatal serta berair timbul terutama saat pasien berada
diluar rumah. Selaput yang rasa pasien sedikit mengganjal timbul semakin lama semakin
membesar dalam waktu 4 tahun, dan menghalangi penglihatan pada mata kanan. Menurut
pasien jika ia membaca kadang terdapat bayangan yang mengahalangi penglihatan dalam
melihat jauh maupun dekat, keluhan itulah yang sangat mengganggu pasien. Pasien sering
berpergian keluar rumah saat terik matahari untuk berjualan dipasar tanpa menggunakan
kaca mata. Pasien menyangkal adanya keluhan nyeri pada kedua mata atau terkadang sakit
kepala.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, keluhan ini
dirasakan pasien pertama kalinya. Pasien belum pernah memakai kaca mata sebelumnya.
Pasien mengaku mempunyai riwayat Hipertensi (+), Diabetes Melitus (-).
2
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku belum pernah melakukan pengobatan untuk keluhannya kedokter, pasien
pertama kalinya datang ke dokter mata. Pasien mengaku 1 bulan ini memakai obat tetes
mata insto yang dibelinya diwarung, 3 tetes/hari, tetapi tidak membaikm dengan
pengobatan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada dikeluarga pasien yang mengalami hal yang sama seperti pasien. Dan riwayat
kelainan mata lainnya disangkal. Riwayat Hipertensi (+), Diabetes Melitus (-).
III
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tidak tanpak sakit
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 160/110 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8oC
Status Generalis
Kepala
: Normocephali
Mata
: (status oftalmologi)
Telinga
: Normotia, Serumen -/Hidung
: Septum deviasi (-), sekret -/Mulut
: Bibir kering (-), Sianosis (-)
Tenggorokan
: Tonsil T1-T1 tenang, Faring hiperemis (-)
Leher
: Trakea lurus ditengah, KGB tidak teraba membesar, Tiroid tidak
Jantung
Paru
Abdomen
Ekstermitas
IV
teraba membesar.
: BJ1-BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-), batas jantung dbn
: Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/: Teraba supel, Hepar lien tidak teraba, BU (+) normal
: Akral hangat pada keempat ekstermitas, Oedem (-)
Status Oftalmologi
OD
Visus
1/60
OS
0,8 F
Orthoforia
-
Orthoforia
-
Supersilia
Alopesia
Palpebra Superior
Edema
Spasme
Hiperemis
Benjolan
Ulkus
Fistel
Hordeolum
Khalazion
Ptosis
Palpebra Inferior
Edema
Hiperemis
Benjolan
Ulkus
Fistel
Hordeolum
Khalazion
Entropion
Sekret
Benjolan
Trikiasis
Madarosis
Ulkus
Fistel
Punctum Lakrimalis
Edema
Hiperemis
Sekret
Epikantus
Simblefaron
+
+
+
-
+
+
+
-
+
-
+
-
Konjungtiva Bulbi
Kemosis
Pterigium
Pinguekula
Flikten
Slimbafaron
Injeksi Konjungtiva
Injeksi Siliar
Injeksi Episklera
Perdarahan Subkonjungtiva
Kornea
Kejernihan
Edema
Ulkus
Flikten
Macula
Leukoma
Leukoma Adherens
Sfatiloma
Neovaskularisasi
Pigmen Iris
Bekas Jahitan
Tes Fluoresensi
Tes Sensibilitas
Tes Placido
+
Tidak dilakukan
+
Tidak dilakukan
Jernih
Jernih
Coklat
Normal
Coklat
Normal
Bulat
3 mm
Isokor
+
+
Bulat
3 mm
Isokor
+
+
Jernih
Limbus Kornea
Arkus Senilis
Bekas Jahitan
Sklera
Sklera Biru
Episkleritis
Skleritis
COA
Kejernihan
Iris
Warna
Kripta
Pupil
Bentuk
Ukuran
Isokoria
RCL
RTCL
Lensa
Kejernihan
Vitreus Humour
Kejernihan
Jernih
Jernih
Normal
Tidak dilakukan
Normal
Tidak dilakukan
Funduskopi
Funduskopi
Tekanan Intraokuler
Palpasi
Tonometer Schiotz
Pemeriksaan Penunjang
Dengan menggunakan Snellen Chart, ditemukan :
VOD : 1/60
VOS : 0,8F
VI
Resume
Pasien Ny.R 53 tahun datang dengan keluhan terdapat selaput bening tipis pada kedua
mata, terutama OD yang menghalangi penglihatan sejak 4 tahun smrs yang bersifat
progressive. Pasien juga mengeluh mata berair, gatal dan hiperemis pada kedua mata yang
terkadang timbul apabila terkena paparan sinar matahari. Riwayat pengobatan dengan obat
tetes mata insto 3tetes/hari dalam 1 bulan, perbaikan (-). Pemeriksaan fisik dalam batas
normal. Pemeriksaan Oftalmologi didapatkan penebalan (pterigium ODS) yang disertai
dengan pelebaran pembuluh darah konjungtiva dan episklera. OD melewati pupil dan OS
melewati limbus tetapi tidak sampai pupil.
VII
Diagnosis Kerja
OD Pterigium Stadium IV
OS Pterigium Stadium II
VIII Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
Pasien disarankan hindari kedua mata dari debu dan sinar mata hari dengan bantuan
kaca mata pelindung
Medikamentosa
Operatif
Eksisi Pterigium
Non-Operatif
Polydex eye drop 4x1
Possop eye drop 4x1
8
IX
Prognosis
Ad Vitam
Ad Fungtionam
Ad Sanationam
: Ad Bonam
: Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
OD EKSISI PTERIGIUM
BAB III
ANALISIS KASUS
I.Diagnosis
Pada pasien ini diteggakan diagnosis OD Pterigium grade IV dan OS Pterigium grade II
atas dasar :
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pasien mengeluh terdapat yang mengalangi pandangannya pada mata kanan yang
semakin memburuk 6 bulan smrs. Pasien juga mengaku terdapat selaput pada kedua
matanya yang timbul sejak 4 tahun smrs, pasien juga mengeluh mata terkadang berair
dan gatal serta merah yang timbul terutama saat berada di luar dan terkena sinar
matahari. Pasien bekerja sebagai pedagang dipasar, sehingga sering sekali terpapar
debu dan sinar matahari dalam kesehariannya.
Pterigium merupakan suatu kelainan patologis yang disebabkan pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersivat degeneratif dan invasif, dan biasanya terletak
didaerah nasal dari pada temporal konjungtiva. Pterigium berbentuk segitika dengan
puncak mencapai kornea. Pada pasien ini sangat jelas sekali adanya pterigium,
berkaitan dengan pekerjaan pasien sebagai pedagang dipasar berkaitan dengan etiologi
dari pterigium. Etiologi pterigium disebutkan radiasi UV B, pada pasien ini aktifitas
sehari harinya adalah diluar rumah yang menyebabkan lebih sering terpapar sinar
matahari yang memungkiinkan pasien terkena pterigium. Selain itu etiologi dari
pterigium juga disebutkan mikrotrauma oleh pasir, debu, angin yang berkaitan dengan
aktifitas pasien memungkinkan terjadinya pterigium.
Untuk keluhan mata berair merah dan gatal, lebih sering terjadi saat pasien berada
diluar rumah yang disebabkan karena terkenanya debu atau pasir pada mata sehingga
terjadi peningkatan ekskresi air mata yang bertujuan menghilangkan debu atau pasir
yang dianggap sebagai corpus alineum mata. Pada saat didalam rumahpun, selaput
pterigium bukanlah pertumbuhan selaput atau jaringan yang normal pada mata.
Sehingga mata berusaha memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan ekskresi
10
air mata yang bertujuan menghilangkankan sesuatu yang dianggap bukan bagian
normal dari mata (pterigium). Pada mata kanan pasien pterigium terus tumbuh pada
kornea sampai melewati pupil oleh karena itu diagnosis untuk mata kanan pasien
mencapai grade IV, sedangkan untuk mata kiri pasien melewati limbus tetapi belum
mencapai pupil maka diagnosisnya pterigium grade II. Pada mata kanan, selaput
tersebut menghalangi pupil sehingga penglihatan tidak sempurna. Semakin luas
pterigium tersebut berkembang kearah temporal yang bisa menutupi seluruh kornea
maka penglihatan (-).
b. Penatalaksanaan
Pada pasien dilakukan rencana tindakan operasi yaitu eksisi pterigium. Eksisi pada
pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pterigium post eksisi pterigium
bisa dilakukan mengulangi tindakan pembedahan eksisi dan pencangkokan, keduaduanya dengan konjungtival limbal autografts atau selaput amnion dengan teknik
pterigoplasty. Pasien yang memiliki resiko tinggi pengembangan pterigium atau
dikarenakan diperluas ekspose radiasi sinar ultraviolet, perlu untuk dididik penggunaan
kaca mata dan mengurangi ekspose mata dengan UV.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
11
Konjungtiva
1. Anatomi
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian
belakang. Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi
permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior
tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan
bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.3,4,5
12
13
14
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang kan
meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata
prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi. Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat
bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui
stroma yang utuh. Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea.
Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah
terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.3,4,5
15
PTERIGIUM
1. Definisi
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh
dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk
sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya sayap.1,2,6
2. Epidemiology
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang
Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan
kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup
tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama
dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian
berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat
terpapar lingkungan di luar rumah.1,6
3. Etiologi
Etiology pterigium tidak diketahui dengan jelas. Karen penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal diiklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut
adalah respon terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin
kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga berbagai faktor resiko tersebut
menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular.
Dan progresivitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan bowman kornea.
Beberapa studi menunjukan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.1
4. Faktor Resiko1,6
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi Ultraviolet
16
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah
terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini
merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya
pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
5. Patogenesis7
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya
insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan
menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan
kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran
17
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan.
Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala
dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung
terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.
6. Gambaran Klinis6
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa
unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di
nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal
jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan,
menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi
dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel
kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's line).
7. Klasifikasi Pterigium1,6
18
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau
halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.
Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :
- Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala
pterygium (disebut cap pterygium).
- Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika
pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis
pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.
Pembagian lain pterygium yaitu :
1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang
luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata.10
Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
19
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
8. Gambaran Klinis1,6
Pterygium lebih Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang
mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat
dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka
kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
penyebab pinguekula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut miring
seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium mirip
dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva
bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak
melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada
pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true
pterygium.
9. Penatalaksanaan8
20
Pterygium lebih Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering
ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans,
vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada
derajat 1 dan derajat 2. Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan
penggunaan kacamata pelindung ultraviolet Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi.
Eksisi dilakukan pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan
bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual,
adanya gangguan pergerakan bola mata.
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin.
Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah
bawah pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma
jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu
daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek
konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser
untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva
yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai
dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium,
mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru
mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian
mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang
digunakan.
21
limbus.
Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya
dengan menggunakan gunting.
Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur.
Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar
BAB V
KESIMPULAN
23
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Ilyas, S, Prof, Dr. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2003.
2. Ilyas, S, Prof, Dr. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi ke2. Jakarta: 2003.
3. Guyton,N Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007. hal 786-790.
4. Junqueira, L Carlos. Histologi Dasar. Jakarta: EGC. 1998
5. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Yogyakarta. Fakultas Kedokteran
UGM. 2005
6. Fisher
JP,
Trattler
WB.
Pterygium.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.2011
7. Coronco MT, Di Girolamo N, Wakefield D: The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin
Ophtalmol 1999 Aug; 10 (4); 282-8 [Medline]
8. Aminlari A, Singh R, Liang D. management of Pterygium. Diunduh dari :
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?.
25