Anda di halaman 1dari 9

catatan kecil

January 15, 2010


Emergensi Ortopedi

Filed under: Bedah, med papers — ningrum @ 5:45 am

PENDAHULUAN

Emergensi ortopedi merupakan keluhan yang sering disampaikan sekitar 20% dari jumlah
kunjungan pasien. Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi, teknik
reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera. Pemahaman radiologi – membuat
dan menginterpretasi sebuah film radiologi – juga dibutuhkan.(1)

          Memperoleh riwayat yang seksama tentang mekanisme cedera bisa membantu
mengidentifikasi cedera ortopedi. Misalnya, riwayat medis yang telah lalu, medikasi, dan cedera
sebelumnya.(1)

          Pemeriksaan fisik cedera ortopedi pada departemen emergensi berdasarkan pada proses 4
langkah sederhana :(1)

1. Palpasi cedera untuk deformitas dan kerapuhan


2. Menilai ROM/range of motion (aktif dan pasif) tulang yang terkena, juga
mempertimbangkan sendi diatas dan dibawah tulang yang cedera
3. Inspeksi (deformitas, pembengkakan, diskolorasi)
4. Pemeriksaan neurovaskular

Cedera < 24 jam harus diberikan kompres es atau kompres dingin yang diaplikasikan sebelum
pemasangan belat. Terapi dingin mengeraskan kolagen dan mengurangi kecenderungan ligamen
dan tendon untuk berdeformitas. Dan juga mengurangi spasme otot, aliran darah (membatasi
perdarahan dan edema), meningkatkan ambang nyeri dan mengurangi inflamasi. Kompres es
harus diaplikasikan dalam 30 menit sekaligus (mencegah cedera frostbite), dan terbatas pada 24-
48 jam pertama; setelahnya, dingin dapat bertentangan dengan penyembuhan jangka-panjang.(1)

 MENJELASKAN GAMBARAN RADIOLOGI

          Tipe fraktur, apakah transversum, oblique, spiral, segmental, dan kominutif. Pada pediatri,
tipe fraktur ada: Salter-Harris, torus/buckle, greenstick. Jelaskan lokasi fraktur dan juga dislokasi
berupa penyusutan, angulasi dan rotasi.(1)

          Fraktur tulang panjang dibagi atas 3: proksimal, medial dan distal.

 FRAKTUR PEDIATRI
          Fraktur Salter-Harris melibatkan epifisis, atau lempeng pertumbuhan epifisis kartilagenus,
dekat ujung tulang panjang pada anak-anak. Dinamakan Salter-Harris, setelah dua dokter yang
menyusun sistem klasifikasi untuk memberi nama fraktur-fraktur tersebut. Materi tulang baru
dibutuhkan untuk elongasi tulang selama masa pertumbuhan yang disediakan oleh sel khusus
dalam epifisis. Ketika pertumbuhan lengkap, transformasi fisis menjadi tulang pun terjadi,
akhirnya menyatukan tulang di sekitarnya. Fraktur Salter-Harris tidak bisa terjadi pada orang
dewasa.(1)

          Kerusakan lempeng epifisis selama pertumbuhan tulang dapat merusak semua atau
sebagian kemampuan lempeng tersebut untuk membentuk tulang baru. Hal ini mengakibatkan
pemberhentian atau deformasi pertumbuhan tulang tersebut. Semakin dini fraktur Salter- Harris
muncul semakin mungkin kesempatan deformitas muncul. Kira-kira 15% fraktur lempeng
pertumbuhan akan mengalami gangguan pertumbuhan tulang jangka panjang. Pola fraktur juga
merupakan faktor penting dalam perkembangan sebuah deformitas.(1)

 PATOFISIOLOGI FRAKTUR

          Penyembuhan fraktur memiliki 3 fase berbeda: (1)

 Inflamasi (1)
o Setelah fraktur awal, pembuluh darah mikro yang melewati garis fraktur terputus;
hal ini menyebabkan iskemia sampai kehancuran ujung tulang.
o Ujung tulang yang mengalami kerusakan menjadi nekrosis, yang kemudian
memicu respon inflamasi.
o Fase inflamasi ini singkat, namun menciptakan respon inflamasi.
 Reparatif (1)
o Fase reparasi dimulai dengan jaringan ganulasi yang menginfiltrasi daerah fraktur.
o Jaringan granulasi berisi sel-sel yang mensekresikan dan membentuk kolagen,
kartilago dan tulang; jaringan ini membentuk callus, yang dengan cepat
mengelilingi ujung fraktur tulang.
o Callus bertanggungjawab untuk menstabilkan ujung tulang yang fraktur.
o Seiring menyembuhnya fraktur, callus mengalami mineralisasi dan sangat padat.
o Batas nekrotik fragmen fraktur diserang oleh osteoklas, yang menyerap tulang.
 Remodelling (1) 
o Remodelling merupakan fase akhir penyembuhan tulang.
o Tulang perlahan-lahan memperoleh kembali bentuk, kontur dan kekuatan aslinya.
o Remodelling memakan waktu bertahun-tahun.
o Callus diserap, tulang baru muncul oleh osteoblas.
o Trabekula, densitas linear mudah terlihat pada tulang normal, merupakan hasil
akhir proses fisiologis yang membentuk kembali tulang dan memberi kekuatan
maksimum sehubungan dengan jumlah tulang yang digunakan.
o Keberhasilan remodelling tulang bergantung pada beberapa faktor:
 Anak-anak memiliki kapasitas remodelling lebih besar dibandingkan
dengan orang dewasa.
 Besar dan arah angulasi yang tidak direduksi, dan lokasi fraktur pada
tulang.
 Keremajaan.
 Dekatnya fraktur pada ujung tulang.
 Arah angulasi ketika dibandingkan dengan taraf gerakan sendi alami.
 Keputusan mengenai reduksi fraktur membutuhkan pengetahuan fisiologi
penyembuhan tulang dan hubungannya dengan usia pasien.

 PEMBELATAN (SPLINTING)

          Pengobatan awal adalah pembelatan. Fungsinya: mengontrol nyeri dan pembengkakan,
mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur, keseleo atau cedera. Tujuan
pembelatan dan imobilisasi adalah: membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi
fraktur, mencegah cedera lebih lanjut. (1)

          Pembebatan dan imobilisasi fraktur merupakan andalan pada emergensi ortopedi.
Kebanyakan fraktur dapat diimobilisasi dengan belat sederhana. Tujuan imobilisasi fraktur
adalah melindungi kerusakan tulang, dengan menjaganya pada posisi anatomi; hal ini akan
memfasilitasi penyembuhan tanpa defek anatomi. (1)

          Imobilisasi memfasilitasi proses penyembuhan dengan mengurangi nyeri dan melindungi
ekstremitas dari cedera berikutnya. Belat mempertahankan garis arah tulang. Belat juga
mengurangi gerakan; dengan membatasi mobilitas dini, edema dapat dikurangi. (1)

          Keuntungan belat dibanding gips: mudah diaplikasikan, imobilisasi jangka pendek,
memungkinkan pembengkakan berlanjut untuk mencegah komplikasi pada pemindahan pasien.
(1)

          Indikasi pembelatan : fraktur, laserasi dalam/aberasi luas, laserasi tendon, penyakit
inflamasi (gout, tenosinovitis), infeksi ruang dalam (tangan, kaki, sendi), trauma multipel.
Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat posterior long
arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat
ditangani dengan sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera ekstremitas
bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau belat cetak posterior. (1)

 Prinsip pembelatan (1)

 Pertama, nilai ABC dan situasi yang membahayakan jiwa


 Identifikasi dan nilai struktur neurovaskular yang memiliki resiko
 Konsultasi ortopedi awal untuk fraktur terbuka atau dislokasi fraktur
 Pilih teknik imobilisasi yang tepat
 Buktikan dan balut luka terbuka
 Lepaskan semua pakaian dan perangkat sempit dari ekstremitas (berlian, cincin)
 Luruskan fraktur angulasi berat
 Lindungi bagian menonjol dari tulang
 Nilai status neurovaskular dengan segera sebelum dan sesudah pembelatan
 Jika dibutuhkan perawatan luka perodik, perhatikan belat yang mudah dilepaskan

 Komplikasi (1)

 Iskemia
 Luka bakar plaster
 Luka tekanan
 Infeksi
 Dermatitis
 Kaku sendi

 DISRUPSI CINCIN PELVIS

          Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien
cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-
cedera lain sehubungan dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam
kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor. Karena daya yang
tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien dewasa muda, tidaklah mengejutkan
kalau sampai 80% pasien ini juga mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada
pasien cedera cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian ini umumnya
disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola cedera. Mortalitas meningkat
hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi. Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau
cedera abdomen yang membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika
kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90%. (2)

 Klasifikasi

          Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas mengklasifikasikan disrupsi cincin
pelvis kedalam dua kelompok mayor : stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil didefenisikan
sebagai sesuatu yang dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini
bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Gambar 1). Instabilitas umumnya dibagi
atas komponen rotasional dan vertikal (Gambar 2). Dislokasi ini dapat dinilai pada screening
radiografi AP awal. Cedera stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi
anterior < 2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis atau dislokasi
fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal adalah pemindahan superior hemipelvis
melalui fraktur sacrum atau ilium dan disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis
merupakan struktur cincin sebenarnya, dislokasi anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi
posterior yang bersesuaian. Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur
dan cedera ligamen. (2)

 Perdarahan pada Fraktur Pelvis

          Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari pleksus vena pelvis
posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan tulang. Sekitar < 10% kasus perdarahan,
disebabkan dari perdarahan arteri yang cukup dikenal (Gambar 3). Pengobatan awal harus
berfokus pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi cincin pelvis
membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan mengurangi volume pelvis dan
lakukan tampon pembuluh darah yang mengalami perdarahan dengan cara kompresi viscera dan
hematom pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan hemipelvis,
mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir. Reduksi dan stabilisasi saja
biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak merespon manuver ini lebih
mungkin mendapat perdarahan arteri. (2)

SINDROMA KOMPARTEMEN

          Pengenalan dan pengobatan dini sindroma kompartemen penting pada pasien trauma untuk
mencegah kematian, amputasi dini, dan disfungsi tungkai. Volkmann adalah orang pertama yang
menguraikan tentang akibat kontraktur paska-iskemik pada lebih dari 1 abad yang lalu. Dia
menghubungkan kontraktur otot permanen dengan trauma, pembengkakan, dan perban yang
ketat. Seddon dan rekan meninjau ulang komplikasi akhir sindroma kompartemen ekstremitas
superior dan inferior dan menekankan pentingnya pengenalan awal dan fasciotomi. Kegagalan
mendiagnosa dan menangani sindroma kompartemen pada pasien trauma mengakibatkan
sejumlah kasus morbiditas yang sebenarnya dapat dicegah. (2)

          Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas atas dan bawah.
Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan,
bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen beragam dan
termasuk, jika tidak dibatasi, fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak,
gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar. (2)

 Patofisiologi

          Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron dan jaringan otot. Mekanismenya
sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera sel, melepaskan mediator, dan meningkatkan
permeabilitas endotel yang menyebabkan oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan
kompartemen, pH jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan
jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg tekanan intra-
kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam; beberapa mengatakan sampai 6
jam. (3)

 Gambaran Klinis (3)

 Nyeri yang melebihi kapasitas cedera


 Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi (pengisian
kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa dan lemah; nervus dan
otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)

 Diagnosa (1,3)

 Sindroma kompartemen klasik:


o Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak, balutan ketat,
iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi intravena, perdarahan,
cedera vaskuler, kejang, dan trauma.
o Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi),
Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan Poikilothermic (1)
o Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat pulsasi.
o Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik.
o Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah
cedera.
 Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen.

 Penatalaksanaan (3)

 Singkirkan penyebab kompresi


 O2
 Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
 Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
 Fasciotomi: (2,3)
o Indikasi sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30 mmHg (3)
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai yang
tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan, fasciotomi
emergensi mungkin perlu dilakukan di departemen emergensi (3)
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi (Gambar 4) pada tungkai bawah merupakan
prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya mudah
dipahami (Tabel 1) (2)

 Komplikasi

Kerusakan nervus permanen, mionekrosis, deformitas, infeksi, kehilangan tungkai,


rabdomiolisis, kontraktur iskemik Volkmann, dan kematian. (3)

 FRAKTUR TERBUKA

          Fraktur terbuka merupakan emergensi bedah. Komplikasi jangka panjang adalah
terancamnya tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik, mengancam jiwa. Tantangan
penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal selama berabad-abad. Amputasi
telah menjadi pengobatan menetap sampai pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik
mulai digunakan. Antiseptik, bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi
dan devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak pada
profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka, flap otot rotasional,
transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang memperlihatkan peningkatan yang dramatis
pada kemampuan kita untuk menangani fraktur terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan
kendaraan bermotor dan luka tembak. (2)

 Klasifikasi (2) 
Tipe Fraktur Deskripsi
I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada
luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang
sederhana
II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau
avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum atau
oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal
III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur
neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan komponen
kehancuran yang berat
III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera
tembak
III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan
ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

 Manajemen

          Irigasi dini dan debridement adalah penatalaksanaan tetap. Sekali pasien berada di ruang
operasi, balutan dapat diangkat bersama dengan semua debris yang lepas. Debridement
merupakan pengangkatan dan reseksi yang sangat teliti terhadap seluruh material asing dan tidak
dapat terus hidup dari sebuah luka. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah bakteri dengan
hanya menyisakan jaringan yang dapat terus hidup yang bersih pada luka. Luka dieksplorasi
secara agresif karena zona cedera selalu lebih besar dibandingkan yang tampak pada awalnya.
Kompartemen fascial tidak selalu dihilangkan sepenuhnya oleh fraktur terbuka. Karenanya,
fasciotomi secara bebas dilakukan selama debridement. Kemudian dilakukan irigasi dengan
larutan saline berlimpah. Debridement ulangan dilakukan dalam 48-72 jam berikutnya,
sebagaimana jaringan mungkin terbatas dan nekrose. Insisi bedah yang digunakan untuk
memperbesar luka ketika eksplorasi kemudian ditutup. Bekas luka sebenarnya yang diakibatkan
cedera biasanya dibiarkan terbuka. Larutan saline – balutan yang tergenang diaplikasikan dan
diganti sekurangnya setiap hari. Berlawanan dengan balutan sementara yang diaplikasikan pada
pemindahan dari departemen emergensi, balutan manajemen luka yang pasti seharusnya tidak
digenangi dalam povidone-iodine karena hal ini bisa menyebabkan destruksi jaringan. (2)

          Perencanaan penanganan luka dimulai pada awal debridement. Konsultasi bedah plastik
awal akan membantu dan memainkan peran kuci dalam menetapkan waktu dan metode
rekonstruksi jaringan lunak. Jika pencangkokan kulit atau coverage flap otot diperlukan, maka
seharusnya dilakukan dalam minggu pertama sebelum kolonisasi sekunder dan fibrosis luka
sempat terbentuk. Keinginan untuk mencegah infeksi nosokomial telah mendorong kebiasaan
baru penanganan segera luka fraktur terbuka. (2)

 Penatalaksanaan

          Stabilisasi skeletal terlihat penting pada penyembuhan jaringan lunak. Jika dibandingkan
dengan gips dan belat, fiksasi internal atau eksternal memberi akses lebih besar pada perawatan
luka dan lebih efektif dalam mengontrol nyeri selama mobilisasi. Pada tingkat seluler, respon
inflamasi diperpendek dan penyebaran bakteri dikurangi. Keputusan mengerjakan suatu model
fiksasi bergantung pada pola fraktur, derajat kontaminasi, dan pilihan ahli bedah sendiri. (2)

          Metode fiksasi yang secara luas diterima adalah fiksasi eksternal. Kemajuan dalam disain
telah membuat alat-alat ini, lebih stabil, dan lebih mudah untuk diaplikasikan. Fiksasi eksternal
meminimalisir diseksi tambahan dan mencegah penyisipan implan metalik besar dengan
memanfaatkan pin yang disisipkan perkutan yang saling terhubung dengan alat stabilisasi
eksternal. Fiksasi ekternal mudah dilepaskan, diganti, dan disesuaikan, dan dapat
dikombinasikan dengan fiksasi jenis lainnya. (2)

          Fiksator eksternal bukannya tidak bermasalah. Osteomielitis pin tract mulai jarang dengan
perubahan pada disain dan teknik penyisipan pin. Namun, infeksi superfisial dengan drainase
muncul kira-kira 30% dari keseluruhan pasien. Karena ukuran dan lokasinya, debridement dan
penanganan berikutnya menjadi sulit. Pada tibia, misalnya, penyisipan pin melalui batas
anteromedial subkutan mengurangi infeksi pin tract namun sering menyebabkan obstruksi
terhadap akses bedah plastik dan rekonstruktif. Pada kasus lainnya, pola fraktur yang lebih luas
mungkin membutuhkan kerangka lebih kompleks dengan gagasan akses terbatas berikutnya.
Meskipun efektif dalam memberikan stabilisasi skeletal selama rekonstruksi jaringan lunak,
fiksasi eksternal tidak ideal untuk mencapai union/penyatuan fraktur. Pembedahan tambahan,
termasuk pencangkokan tulang atau konversi menjadi fiksasi internal, biasanya penting. (2)

 DISLOKASI        

          Dislokasi sendi didefinisikan sebagai dislokasi permukaan artikular tulang yang normalnya
bertemu pada sendi. Subluksasi sendi, sebagai perbandingan, adalah ketika permukaan artikular
tidak-saling berdekatan, pada derajat manapun. Dislokasi merupakan bentuk paling ekstrim dari
subluksasi. (1)

          Dislokasi sendi besar (misal, bahu, siku, panggul, lutut, mata kaki) dianggap sebagai
emergensi ortopedi. Dislokasi berkepanjangan membawa perkembangan pada kematian sel
kartilago, artritis paska trauma, cedera neurovaskular, ankylosis, dan nekrosis avaskular. Cedera-
cedera ini, yang lebih mungkin muncul pada pasien muda dan aktif, bisa memiliki akibat
mematikan. (2)

          Kebanyakan dislokasi memiliki temuan fisik khusus. Setelah terjadi dislokasi, otot-otot di
sekitar sendi secara khas menjadi spasme, terbatasnya range of motion. Hal ini sering
menyebabkan tungkai mengambil posisi berbeda. Pada dislokasi panggul posterior, paha
dipertahankan pada posisi fleksi dan berotasi secara internal. Tungkai yang terkena biasanya
memendek dan tidak dapat diulurkan secara pasif. Dislokasi bahu anterior menyebabkan rotasi
dan aduksi ektsternal posisi lengan. Dislokasi siku dan lutut (paling sering posterior)
mengakibatkan ekstermitas terkunci pada ekstensi. Sebagaimana halnya semua cedera
ekstermitas, pemeriksaan neurovaskular yang teliti harus dilakukan dan dicatat sebelum dan
sesudah melakukan manipulasi. (2)
          Dislokasi paha membutuhkan diskusi khusus karena akibat ekstrim dari kegagalan
mengenali dan mengalamatkan mereka tepat waktu. Cedera nervus panggul, kematian sel
kartilago, dan nekrosis avaskular merupakan akibat dari tertundanya pengobatan terhadap jenis
cedera ini. Dari semua ini, nekrosis avaskular merupakan yang paling berbahaya karena
kecenderungannya menyebabkan kolapsnya caput femoris dan perkembangan penyakit sendi
degenaratif berikutnya. Masalah ini menggiring pada penggantian panggul total atau fusi panggul
pada usia muda. Setelah menjalani prosedur ini, operasi rekonstruktif mayor multipel menjadi
umum selama masa hidup pasien. (2)

          Nekrosis avaskular biasanya berkembang dalam bentuk tergantung waktu. Pada posisi
dislokasi, ketegangan pada pembuluh darah kapsular membatasi aliran darah ke caput femoris.
Jika pinggul tetap berdislokasi selama 24 jam, nekrosis avaskular akan berakibat pada 100%
kasus. Terdapat sebuah aksioma bahwa: “semakin lama sebuah sendi mengalami dislokasi,
makin sulit melakukan reduksi nantinya”. (2)

          Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk mengurangi spasme otot
pada sendi. Jika sebuah sendi tidak dapat direduksi oleh metode tertutup dengan sedasi yang
cukup, maka anestesi umum dibutuhkan. Berbagai usaha dilakukan untuk mereduksi sendi
dengan teknik tertutup di dalam ruang operasi dengan staf yang siap sedia melakukan reduksi
terbuka jika prosedur teknik tertutup ini gagal.(2)

          Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan posisi anatomi dan fungsi
normal. Reduksi juga meringankan nyeri akut, membebaskan pembuluh darah dan ketegangan
nervus, dan bisa mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat pulsasi.

Anda mungkin juga menyukai