[MAKALAH PKN]
TENTANG KKN DALAM PARPOL
DISUSUN OLEH :
Pangestika Sampurnani
XI IPA 5
SMA N 1 BANTUL
ii
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa budaya korupsi sulit diberantas dalam lingkup parpol?
2. Mengapa petinggi parpol (yang notabenenya mencegah KKN) justru yang melakukan KKN?
3. Bagaimana cara memberantas KKN?
C. Identifikasi Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
BAB 2
PEMBAHASAN
KKN dalam parpol
korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi
yang dirumuskan secara umum sudah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid., h.44).
4. Differential Association.
Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai perilaku yang
dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui
sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang berlaku
di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku
menyimpang.
Sutherland memberikan sembilan prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
a. Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
b. Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses
komunikasi
c. Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat
paling dekat)
d. Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi,
kebiasaan dan sikap sehari-hari.
e. Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan.
f. Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan
mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
g. Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
h. Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
i. Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal
dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku nonkriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.
B. Budaya Korupsi
Beberapa jenis korupsi tentu harus diberantas, walaupun itu merupakan korupsi biasa. Di mana pun dan kapan pun
korupsi selalu meruntuhkan sendi-sendi moral, peremehan terhadap hukum, menusuk rasa keadilan dan menyebabkan
ekonomi biaya tinggi, dan pada gilirannya juga memperparah kemiskinan. Di Indonesia, korupsi yang paling berbahaya, jahat,
dan bejat bukan korupsi biasa (korupsi administratif), tetapi korupsi yang dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa,
pemerintah dalam arti luas yang melibatkan eksekutif, legislatif, judikatif dan sampai batas tertentu didukung oleh sebagian
media massa (sebagian, tidak semuanya), lewat kolusi dengan korporas-korporasi besar.
Ujung-ujung dari semuanya yang diperlihatkan kenyataan seperti mau kamu apa sih beres yach? bisa kita
bereskan yang bersangkutan berdiri ke depan dengan tangan terbuka di belakang tuk menadah kalau ditaruh batu yach
ambil, uang ya ambil semua ambil, apa tidak repot dengan yang hal sedemikian.
e. Bentuk kesalahan sistemik yang berubah menjadi lingkaran setan penyebab presentasi penyimpangan meningkat.
Bisa kita lihat berdasarkan pengalaman kapan dan dimana saja, mengapa tidak jika saja biaya pendidikan yang tinggi,
cukup memberi peluang kepada yang bersangkutan untuk berpikiran saya sekolah bayarnya mahal, dan memang repot dan
macam-macamlah penilaian terhadap masa pendidikannya. Bukan tidak mungkin akan terbawa konsep ini benak pikirnya
sehingga jika saja berlanjut sampai konteks pekerjaan kemuadian hari akan jadi sesuatu yang negative sifatnya, boleh kata
kemampuan ada tapi motivasi jadi jelek, diartikan sendirinlah.
Pemikiran yang menggerogotinya selalu mungkin seperti ini, saya ini untuk memperolehnya saja repot bangat, berarti
jangan saya sia-siakan kesempatan ketika saya mempunyai/mendapat bekerja nanti. Lantas kalau saja kalimat jangan
saya sia-siakan kesempatan ketika saya mempunyai/mendapat bekerja nanti diarahkannya untuk sesuatu yang lebih
positif ya lumayan, tapi jika tidak gimana? kerepotan sudah membendung pribadi yang motivasi kerja jempol ke bawah
ini, jempol ke bawah saya berikan karena, dalam kerja jempol ke atas tapi ketika mencermati mental dan motivasi
kerjanya akan sangat mungkin jempol ke bawahlah yang kita berikan. Untuk demikian sudah dianggap penting untuk
menjadi perhatian pemerintah secara khusus, agar supaya bagaimana pendidikan di tanah air ini, disiasati untuk dapat
kembali kepada sistem pendidikan yang bernuansa ideal setidaknya untuk dunia kerja. Jangan sampai terjadi lantaran
pendidikan yang pernah membuatnya sempoyongan, kemudian bersangkutan harus berusaha memaksimalkan motivasi
kerja untuk maksud yang jelek, sungguh fatal dan memprihatinkan.
C. Badan Anti-Korupsi
Mengapa badan anti-korupsi gagal? Menurut Bertrand de Speville, ada beberapa penyebeb badan anti-korupsi gagal, antara
lain.
a. Kemauan politik yang lemah
Kepentingan pribadi dan hal-hal lain yang mendesak membuat pemimpinnya tidak berdaya. Kemungkinan dia akan lebih
memilih kepentingan keluarga daripada kepentingan negara yang rumit.
b. Tidak ada sumber daya
Tidak ada kesadaran mengenai cost benefit administrasi pemerintahan yang bersih, bahwa badan yang efektif
memerlukan anggaran yang memadai.
c. Campur tangan politik
Badan tidak diizinkan melakukan tugas secara independen, apalagi memeriksa para pejabat pemerintahan tingkat atas dan
tingkat teratas.
d. Takut akibatnya
Badan tidak punya kemauan memberantas korupsi dan mudah sekali diajak ikut mempertahankan status quo dengan
akibat tidak lagi independen.
e. Harapan yang tidak realistis
Pertempuran melawan korupsi sistematik makan waktu yang sangat panjang.
f. Terlalu bergantung pada penegakan hukum
Kemampuan efektif badan untuk mencegah korupsi tidak dikembangkan.
g. Mengabaikan siasat melenyapkan peluang untuk korupsi
Terlalu bergantung pada penegakan hukum setelah korupsi terjadi, tindak korupsi tetap meningkat.
h. Undang-undang tidak memadai
Tanpa undang-undang yang dapat ditegakkan dan efektif, badan tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik.
i. Dibebani tumpukan perkara masa lalu
Badan yang baru dibentuk biasanya kecil dan perlu waktu untuk menyesuaikan diri, ditimpa beban yang terlalu berat
berupa tumpukan perkara yang belum diselesaikan dari masa lalu, dari lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya,
sehingga belum-belum sudah lumpuh.
j. Gagal dalam melibatkan masyarakat
Tidak mengadakan kampenye untuk meningkatkan kesadaran publik, dan sebagainya.
k. Tanggung gugat kurang
Badan tidak punya tanggung jawab pada masyarakat sebagaimana mestinya, dan karena itu dapat menjadi badan yang
justru membungkam orang yang mengkritik pemerintah.
l. Semangat kendur
Masyarakat luas tidak percaya pada badan, staf kehilangan semangat.
m. Badan itu sendiri korupsi
Sebenarnya agar sebuah badan anti-korupsi dapat berjalan dengan baik apabila.
1) Mendapat dukungan politik dari tingkat tertinggi pemerintahan.
2) Memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan misinya.
3) Wewenang yang memadai untuk memperoleh dokumen dan untuk meminta keterangan dari saksi.
4) Memiliki undang-undang yang bersahabat dengan ppemakai (termasuk menetapkan penumpukan kekayaan dengan
melanggar hukum sebagai tindak pidana)
5) Memiliki pemimpin yang dipandang mempunyai integritas tertinggi.
Untuk mengatasi budaya korupsi di Indonesia yang sudah merajalela, diperlukan langkah yang jitu untuk memberantas
korupsi hingga ke akar akarnya. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary antara lain.
1. Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh
gerakan antikorupsi.
2. Untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai
kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju
hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara
luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah kegentingan yang memaksa. Maka dengan Perpu
Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra
ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai kegentingan yang memaksa menurut putusan
Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh
DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.
3. Di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan.
Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang
sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan
pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari
birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian
pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang
bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan
terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai
untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.
4. Konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan
represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat
hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.
5.
Untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big
fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah
kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas
kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by
need.
6. Sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan
semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan
Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata
adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega
pengusaha.
7. Pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya.
Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel
kankernya.
8. Pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa.
Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.
9. Semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak
mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi,
tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.
10. Akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.
Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat
Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut
menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan di dalam
masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini
sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang
strategis.
Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana
seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika
menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari
pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan
baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan
denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu
struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan
cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
Korupsi juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip mempertahankan jarak.
Ketika di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi konsep keluarga besar
menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit dalam menutupi kekurangan ekonomi,
pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan
kecurangan dan pelanggaran hukum. Individu yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab
dan rasa malu di dalam diri pelakunya.
Korupsi juga tidak datang begitu saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu tindakan
melanggara hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different association,
kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari ketika seseorang mulai belajar melakukan
bisnis atau usaha untuk mencari keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa
mendapatkan keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan pelangaran
hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Selain itu, semakin bertambahnya
anggota yang memiliki paham yang sama tentang keuntungan tersebut, menjadikan korupsi sebagai
lahan untuk mencari uang sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan kejahatan korporasi.
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini
disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki
jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk,
memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu
cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan
aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang
memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://hasdiantoanto.blogspot.com/2010/12/beberapa-penyebab-korupsi-di-indonesia.html /
http://manshurzikri.wordpress.com/2010/12/14/faktor-faktor-yang-menyebabkan-terjadinya-korupsi-mengacukepada-kasus-korupsi-gayus-tambunan/
LAMPIRAN