Anda di halaman 1dari 32

Bab II

ISI

2.1 Kewajiban Membangun Rumah Tangga Islam


Islam agama yang diturunkan Allah swt. kepada manusia untuk menata seluruh
dimensi kehidupan mereka. Setiap ajaran yang digariskan agama ini tidak ada yang
berseberangan dengan fitrah manusia. Unsur hati, akal, dan jasad yang terdapat dalam diri
manusia senantiasa mendapatkan khithab ilahi (arahan Allah) secara proporsional.
Oleh karenanya, Islam melarang umatnya hidup membujang laiknya para pendeta.
Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan meninggalkan proyek berkeluarga
dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi penghalang dalam mencapai kepuasan
batin. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur
biologis.
Berkeluarga dalam Islam merupakan sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk
(kecuali malaikat), baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan ditekankan dalam
ajaran Islam bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh umat ini.
Nikah dalam Islam menjadi sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam
bingkai ilahi. Agar kita termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia yang
memenuhi hak kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti Sunnah Rasul,
yaitu nikah secara syari. Meskipun ada sebagian Ulama yang sampai wafatnya tidak sempat
berkeluarga. Dan ini bukan merupakan dalih untuk melegalkan membujang seumur hidup.
Adapun hukumnya sendiri menurut ulama bertingkat sesuai faktor yang menyertainya.
Coba perhatikan beberapa nash di bawah ini:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi
kamu. (An-Nisa: 1)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Ar-Rum: 21)
Saidbin Abu Maryam menceritakan kepada kami, Muhammad bin Jafar mengabarkan
kepada kami, Humaid bin Abu Humaid At-Thawil bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik
r.a. berkata: Ada tiga orang yang mendatangi rumah-rumah istri Nabi saw. menanyakan
ibadah Nabi saw. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti (sangat
sedikit). Mereka berkata: Di mana posisi kami dari Nabi saw., padahal beliau telah
diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang. Salah satu mereka
berkata: Saya akan qiyamul lail selama-lamanya. Yang lain berkata: Akan akan puasa
selamanya. Dan yang lain berkata: Aku akan menghindari wanita, aku tidak akan pernah
menikah. Lalu datanglah Rasulullah saw. seraya bersabda: Kalian yang bicara ini dan
itu, demi Allah, sungguh aku yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan
tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa
yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku. (Al-Bukhari)
Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga dalam Islam
sebagaimana berikut:
1. Perintah Allah swt.
Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang telah
ditetapkan

oleh

Allah

swt.

dalam

beberapa

firman-Nya.

Agar

teralisasi

kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan
fitrahnya. Kata keluarga banyak kita temukan dalam Al-Quran seperti yang terdapat
dalam beberapa ayat berikut ini;
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Asy-Syuara:


214)
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang
memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa. (Thaha: 132)
2. Membangun Masuliah Dalam Diri Seorang Muslim.
Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada
perbaikan dirinya. Masuliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan,
perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun
mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja. Akan tetapi
ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan
memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami
dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik anakanaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani. Coba kita perhatikan beberapa
hadits berikut ini:
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :




Sesungguhnya Allah Taala akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap
pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau
melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.
(Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235, diriwayatkan oleh An-Nasai dalam
Isyratun Nisaa, hadits no 292 dan Ibnu Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami,
no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah no.1636).

: - -

.
Dari Aisyah r.a., berkata: Nabi saw. bersabda: Sebaik-baik kamu adalah yang paling
baik pada kelurganya dan aku paling baik bagi keluargaku. (Imam Al-Baihaqi)

)) : :
((
Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah saw. bersabda: Mukmin yang paling
sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik di
antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. (Imam At-Tirmidzi,
dan ia berkata: Hadits hasan shahih.
3. Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim
Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat muslim.
Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah
mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim.
Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat
dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)

} :
. :

{
.
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah saw. memerintahkan kami dengan ba-ah
(mencari persiapan nikah) dan melarang membunjang dengan larangan yang
sesungguhnya seraya bersabda: Nikaihi wanita yang banyak anak dan yang banyak
kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap para nabi
pada hari kiamat. (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban. Memiliki syahid pada
riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban dari hadits Maqil bin Yasaar)
4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup
Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia
hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang, maka akan terjadi
ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk

menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam memberikan terapi dengan


melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu membangun keluarga yang sesuai
dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw. bersabda:

:
:
.

Dari Anas bin Malik r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila seseorang
menikah maka ia telah menyempurnakan setengah agama. Hendaklah ia bertakwa
kepada Allah dalam setengahnya. (Imam Al-Baihaqi)
Menikah juga bisa menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran, dan
kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:
- -

.



Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada kami: Wahai para
pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah ia
menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan
memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya. (Imam Muslim)

2.2 Pernikahan Dalam Islam


2.2.1 Definisi Pernikahan
Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha dan
zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-Quran
untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti pasangan,
dan istilah nakaha berarti berhimpun. Dengan demikian, dari sisi bahasa perkawinan
berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri, menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bermitra.
Nikah menurut syara adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan d
engan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah

rumah tangga yang sakinah. Adapun beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah
sebagai berikut:

Al-Quran

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri


dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Ruum (30):21).

As-Sunnah

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda:


Tiga kelompok yang berhak mendapat pertolongan Allah. Mujahid di jalan Allah, budak
yang ingin merdeka, orang yang menikah yang ingin menjaga kesucian (dari zina) (HR
at-Turmudzi)

2.2.2 Tujuan dan Hikmah Pernikahan


Faedahfaedah nikah sangat banyak sekali, seperti yang disebutkan oleh Imam
Ghozali dalam kitab Ihya diantaranya:
a. Mendapatkan keturunan yang mana di dalam kita mendapatkan keturunan tersebut
mempunyai 4 nilai dalam beribadah:
1. Untuk meneruskan kelangsungan hidup jenis manusia dimuka bumi ini, seperti
yang tertera dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang artinya
nikahlah kalian supaya kalian mempunyai keturunan.
2. Untuk mendapatkan cinta Rasulullah s.a.w. dengan memperbanyak umatnya,
karena nabi Muhammad s.a.w. merasa bangga dengan banyaknya umat beliau.
Seperti yang disabdakan nabi Muhammad s.a.w. (yang artinya) nikahlah kalian
sehingga kalian akan menjadi banyak, karena sesungguhnya aku akan
membanggakan kalian kepada umat-umat yang lain pada hari kiamat, walaupun
dengan bayi yang gugur (hadist diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
3. Mengharapkan doa dari anaknya kelak untuk kedua orang tuanya, karena semua
amal terputus kecuali 3 perkara, termasuk anak yang sholeh yang selalu
mendoakan kedua orang tuanya. (mutafaqun alaihi)
b. Mengharapkan syafaat dari anaknya. Dengan pernikahan tersebut kita mendapatkan
benteng yang bisa membentengi diri kita dari godaan syaiton dan hawa nafsu.

c. Mendapatkan kesenangan dalam kehidupan dan kesemangatan dalam melaksanakan


ibadah.
d. Mendapatkan banyak pahala

2.2.3 Hikmah pernikahan :

Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat
perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.

Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman

Memelihara kesucian diri

Melaksanakan tuntutan syariat

Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.

Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang
sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua
akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak
bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam
terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak

Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab

Dapat mengeratkan silaturahim

2.2.4 Pemilihan Calon


Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut
dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti
panduan-panduan ini.
Syarat bakal suami dalam islam yaitu :

beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t

bertanggungjawab terhadap semua benda

memiliki akhlak-akhlak yang terpuji

berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang
benar

tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya

rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk
kebahagiaan keluarga.

Syarat bakal istri dalam islam yaitu :

Islam

Perempuan yang tertentu

Bukan perempuan muhrim dengan calon suami

Bukan seorang banci

Akil Baligh

Bukan dalam ihram haji atau umroh

Tidak dalam iddah

Bukan istri orang

2.2.5 Hukum Pernikahan


Hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum
pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah,
terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja.
Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan
yang haram untuk dilakukan.
Semua

akan

sangat

tergantung

dari

kondisi

dan

situasi

seseorang

dan

permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
a. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan
juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri

dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu
saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina
pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup
dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu
kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
b. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah
mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang
usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun
tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh
ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan
dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran
Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam. Dari Abi Umamah
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan
janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah
sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
c. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk
menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan
hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu
mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak
akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah,
haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari
calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorang
akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram

baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima
resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk
menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan
agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita
yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam
masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah
dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita
kenal dengan nikah kontrak.
Dalam islam ada juga pernikahan yang di haramkan hukumnya yaitu :
1. Larangan menikah untuk selamanya (muabbad)
Dibagi menjadi beberapa:
1. Larangan karena ada hubungan nasab ( qoroobah )

Ibu

Anak perempuan

Saudara perempuan

Bibi dari fihak ayah ( Aammah )

Bibi dari fihak ibu ( khoolah )

Anak perempuan dari saudara laki-laki ( keponakan )

Anak perempuan dari saudara perempuan ( keponakan )

2.

Larangan karena ada hubungan perkawinan ( mushooharoh )

Ibu dari istri ( mertua )

Anak perempuan dari istri yang sudah digauli atau anak tiri, termasuk anakanak mereka kebawah

Istri anak ( menantu ) atau istri cucu dan seterusnya

Istri ayah ( ibu tiri )

3. Larangan karena hubungan susuan

Ibu dari wanita yang menyusui

Wanita yang menyusui

Ibu dari suami wanita yang menyusui

Saudara wanita dari wanita yang menyusui

Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui

Anak dan cucu wanita dari wanita yang menyusui

Saudara wanita, baik saudara kandung, seayah atau seibu

2. Larangan menikah untuk sementara (muaqqot)


Menggabungkan untuk menikahi dua wanita yang bersaudara
Menggabungkan untuk menikahi seorang wanita dan bibinya
Menikahi lebih dari empat wanita
Wanita musyrik
Wanita yang bersuami
Wanita yang masih dalam masa iddah
Wanita yang ia thalak tiga
3. Pernikahan yang terlarang
Nikah dengan niat untuk men-thalaqnya.
Nikah Tahlil, yaitu nikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang
telah diceraikan suaminya tiga kali, dengan niat untuk menceraikannya

kembali agar dapat dinikahi oleh mantan suaminya.


Nikah dengan bekas istri yang telah dithalak tiga.
Nikahnya seorang yang sedang ber-Ihrom.
Nikahnya seorang yang dalam masa iddah.
Nikahnya seorang muslim dengan orang kafir.

d. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya


Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan
untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya

rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi
mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.Sebab idealnya bukan wanita yang
menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita.
Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada
suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
e. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka
bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera
menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.

2.2.6 Rukun Pernikahan


1. Wali nikah.
Wali nikah dibagi dua :

Wali nikah khusus yaitu semua laki-laki kerabatnya yang berhak menjadi

wali.
Wali nikah umum yaitu wali hakim atau petugas KUA.
a. Orang yang berhak menjadi wali nikah yaitu :
Ayah kandung
Kakek, atau bapaknya kakek dan seterusnya
Saudara laki-laki kandung
Saudara laki-laki seayah, adapun saudara laki-laki seibu tidak berhak.
Anak saudara laki-laki kandung (keponakan)
Anak saudara laki-laki seayah dan seterusnya, adapun saudara laki-laki

seibu tidak berhak


Paman atau saudara laki-laki ayah kandung
Paman atau saudara laki-laki ayah seayah adapun paman saudara laki-

laki seibu tidak berhak


Anak paman saudara laki-laki ayah kandung (misanan)
Anak paman saudara laki-laki ayah seayah dan seterusnya.
Paman ayah
Anak paman ayah (misanan ayah)
Paman kakek kemudian anaknya
Paman ayah kakek kemudian anaknya

b.

Adapun cara perwalianya harus berurutan yaitu dari 1 kalau tidak ada dan
tidak memenuhi syarat maka baru yang ke 2, kalau tidak ada yang ke 2 baru

yang ke 3 dan seterusnya.


c. Syarat-syarat menjadi wali nikah di antaranya :
Wali nikah harus mencapai batas baligh
Harus berakal sehat tidak gila.
Bukan orang yang fasik (yang selalu berbuat dosa besar)
Tidak sedang menjalankan ibadah haji atau umroh
Bukan karena paksaan
2.

Istri
a. Ciri-ciri yang sunnah dipilih pada calon istri diantaranya :
Wanita yang sholihah
Wanita yang cerdas
Wanita yang sudah mencapai batas baligh
Wanita yang subur
Wanita dari keturunan keluarga yang baik-baik
Wanita yang cantik dhohir dan batinya. Yaitu fisiknya sehat dhohir dan
batin.
b. Wanita yang haram dinikahi diantaranya :
Wanita yang masih berstatus istri orang
Wanita yang sedang menjalankan iddah
Wanita yang murtad (yang keluar dari agama Islam)
Wanita yang kafir kalau belum masuk Islam
Wanita yang menjadi mahromnya dari nasab.
Wanita yang menjadi mahromnya dari susuan
Wanita yang menjadi mahromnya dari periparan
Wanita yang menjadi bibi istrinya atau saudari istrinya, kalau belum
diceraikan atau meninggal dunia.
c. Sifat-sifat wanita yang menjadi idaman semua pria :
Wanita yang sholehah yang taat beragama
Wanita yang selalu bergairah kepada suaminya
Wanita yang sabar dan tabah
Wanita yang tidak suka mengeluh dan mengadu kecuali hal-hal yang

penting
Wanita yang tidak berdandan kecuali untuk suaminya saja
Wanita yang selalu menyenangkan hati suaminya
Wanita yang selalu taat kepada semua perintah suaminya yang baik-baik

saja
Wanita yang benar-benar menjaga martabat dirinya dan harta suaminya
Wanita yang cerdas dan rajin
Wanita yang selalu sopan dan lembut terhadap suaminya

Wanita yang selalu menjaga kebersihan di badan, pakaian dan rumahnya

dan memakai wewangian


Wanita yang menjaga semua rahasia suaminya
Wanita yang selalu meringankan beban suaminya
Wanita yang menyiapkan makan dan minum untuk suaminya
Wanita yang tidak menolak apabila diajak bersenggama (jimak), kecuali

jika ada udzur (halangan)


Wanita yang selalu memperhatikan suaminya
Wanita yang selalu menutupi auratnya kecuali terhadap suaminya.
Wanita yang selalu rapi dalam berpenampilan.
Apabila wanita mempunyai sifat-sifat yang ada diatas maka akan

menambah paras kecantikannya, walaupun wajahnya kurang mempesona, dan


akan menimbulkan rasa cinta dan sayang selalu dari suaminya.
3. Suami (rukun yang ketiga)
a. Syarat-syarat menjadi suami diantaranya :
Menikahi seorang wanita tanpa paksaan.
Suami tersebut adalah laki-laki tulen.
Calon suami tidak sedang melakukan ihrom baik dengan haji atau umroh.
Suami yang diketahui identitas dirinya dengan jelas
Calon suami harus mengetahui calon istrinya baik, dengan mengetahui

b.

nama calon istrinya atau melihatnya langsung atau dengan cara ditunjuk.
Calon istri bukan termasuk mahromnya suami baik nasab, susuan atau

periparan (musaharah).
Calon suami harus mengetahui bahwa calon istrinya halal baginya (bukan

masih istri orang lain atau iddah atau mahrom).


Calon suami seseorang muslim.
Sifat-sifat suami yang dicintai istri diantaranya :
Suami yang taat beragama
Suami selalu mencintai istrinya
Suami yang selalu menghargai kesetiaan istrinya
Suami yang selalu setia terhadap istrinya
Suami yang sabar dan tabah dalam menghadapi segala hal cobaan
Suami yang bisa menyenangkan hati istrinya
Suami yang selalu menjaga martabatnya dan martabat istrinya
Suami yang cerdas dan rajin
Suami yang bisa memuaskan istrinya dalam hal bersenggama (jimak)
Suami yang menutupi aurotnya terhadap wanita lain
Suami yang menjaga rahasia istrinya
Suami yang lembut terhadap istrinya

Suami yang menjaga kebersihan dirinya dan pakaiannya dan memakai

wewangian
Suami yang selalu meringankan beban istrinya
Suami yang selalu rapi dalam berpenampilan
Suami yang selalu bertanggung jawab
4. Termasuk rukunnya yaitu : dua orang saksi
a. Dua orang saksi adalah termasuk rukunnya nikah adapun syaratnya diantaranya:
Keduanya harus sudah mencapai batas baligh
Keduanya adalah orang yang berakal
Keduanya dari kaum pria tulen
Keduanya beragama Islam
Keduanya termasuk orang yang adil
Keduanya bukan orang yang idiot
Keduanya bukan orang yang tuli (kalau tulinya ringan sekiranya dari dekat

maka akan terdengar maka diperbolehkan)


Keduanya bukan orang buta
Keduanya tidak bisu
Keduanya harus memahami bahasa yang dipakai dalam pernikahan

tersebut
Keduanya memiliki ingatan yang kuat
Diantara kedua saksi, bukan termasuk wali dari calon istrinya
b. Disunnahkan yang menjadi saksi dalam pernikahan yaitu orang sholeh yang taat
dalam agama dan taat dalam beribadah. Dan yang paling utama lagi apabila saksi
tersebut sudah melakukan ibadah haji.
5. Termasuk rukunnya yaitu Aqad Ijab qobul
Aqad ijab qobul merupakan rukun yang paling utama dan yang menentukan.
Adapun aqad ijab diucapkan si wali nikah dan qobul di ucapkan calon suami. Adapun
syarat-syaratnya:
1. Aqad ijab qobul tersebut harus dengan kalimat Nikah atau tazwij atau
terjemahannya yaitu nikah atau kawin saja maka tidak sah dengan memakai
kalimat yang lain.
2. Antara ijab dan qobul tidak diselingi oleh kata-kata yang tidak ada
hubungannya dengan nikah
3. Antara ijab dan qobul tidak diselingi dengan diam yang sangat lama.
4. Antara ijab dan qobul sesuai dengan arti dan maksudnya
5. Aqad ijab qobul harus dilafadzkan sekiranya terdengar oleh orang-orang yang
berada disekitarnya (tidak dengan cara berbisik-bisik).
Cara ijab qobul :

a. Adapun cara wali menikahkan putrinya dengan lafadz (ucapan) sebagai


berikut:
Alhamdulillah wassolatu wassalamu ala rosulillah sayidina muhammad bin
abdillah wa ala alihii wassohbihi ya fulan bin fulan uzawijuka ala ma amaro
allah bihi minimsaki bimaruf autasrihin bi ihsan. ya fulan bin fulan zawajtuka
wa ankahtuka binti fulanah bimahril miiah alafin rubiyyah umlah indonesia
khalan.
atau
Alhamdulillah sholat dan salam hanya untuk rosulillah Muhammad bin
Abdillah dan untuk para keluarga dan sahabatnya. Wahai fulan bin fulan aku
kawinkan kamu atas perintah ALLAH dari pada menahannya dengan baik atau
melepasnya dengan baik pula, wahai fulan bin fulan aku kawinkan kamu
dengan anakku fulanah dengan mahar 100 rb rupiah uang indonesia dengan
kontan.
b. Maka calon suami menjawab. Qobiltu tazwijaha bilmahrih madzkur
atau
Aku terima kawinnya dengan mahar yang telah di tentukan.
c. Apabila wali nikah ingin mewakilkan pernikahan anaknya maka wali nikah
harus mewakilkan pernikahan tersebut dengan berlafadz sehingga terdengar
oleh 2 orang saksi dan dalam mewakilkan pernikahan, wali nikah harus
mengucapkan : contoh : Wakaltuka fi tajwijiha ibnati fulanah binti fulan li
fulan bin fulan bimahril miiah alafin rubiyah.
atau
Aku wakilkan kepada kamu pernikahan anakku fulanah binti fulan dengan
fulan bin fulan dengan mahar 100 ribu rupiah. Kemudian yang mewakili
mengucapkan qobiltu wakalah atau aku terima perwakilannya.
2.2.7. Sunnah Pernikahan

Doa dan ucapan selamat untuk pengantin


Disunnahkan bagi setiap muslim untuk memberikanucapan selamat dan doa

kepada pengantin. Sebagaimana hadistRasulullah SAW. dari Abu Hurairah r.a. ia

berkata Jika Nabi,SAW. memberikan ucapan selamat kepada mempelai,


beliauSAW. mengucapkan:
Barakallahu laka wabaaraka alaika wajamaa baynakuma fii khair.
Semoga Allah mencurahkan kepadamu dan istrimu. Semoga Allah menyatukan
kamu berdua dalam segala kebaikan. (HR. Bukhari, Muslim).

Mengucapkan Salam ketika hendak masuk ke tempat isteri dengan


mendahulukan kaki kanan

Rasulullah SAW. bersabda kepada shahabat Anas binMalik r.a.


Wahai anakku, jika engkau masuk ke tempat isterimu, hendaknya engkau
mengucapkan salam kepadanya,agar menjadikan keberkahan bagimu dan bagi
penghunirumahmu. (H.R. At-Tirmidzi).

Doa ketika mengusap dan meletakkan tangan pada ubun-ubun isteri

Disunnahkan pula untuk mengusap dan meletakkan tanganpada ubun-ubun isteri


seraya membaca basmallah dankemudian berdoa memohon keberkahan:
Allahumma inni astaluka wakhairiha jabaltaha alaihi wa audzubika min
syarrihha wamin syarrimma jabaltaha alaihi.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikandan kebaikan yang
telah Engkau ciptakan padanya dan akuberlindung kepada-Mu dari kejahatan dan
kejahatan yang Engkau ciptakan padanya.

Shalat sunnah setelah akad nikah

Tinggal seminggu di rumah mempelai wanita

2.2.8. Hak dan Kewajiban Dalam Pernikahan


1. Suami kepada Istri

Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam


menjalankan agama. (At-aubah: 24)

Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan
Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)

Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang


sholehah. (AI-Furqan: 74)

Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar,


Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya
dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)

Jika istri berbuat Nusyuz, maka dianjurkan melakukan tindakan


berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c)
Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa: 34)
Nusyuz adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan
kepada Allah.

Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik
akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan
anaknya.(Ath-Thalaq: 7)

Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)

Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga.


Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka,
ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)

Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya.


(Abu Yala)

Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh
kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa: 19)

Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya


pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak
berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).

Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada


istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan RasulNya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)

Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan


wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)

Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa: 3)

Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasai)

Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka


suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan,
walaupun secara paksa. (AIGhazali)

Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat


terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: 40)

2. Istri kepada Suami

Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum


laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa: 34)

Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat


lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)

Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa:


39)

Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: a. Menyerahkan


dirinya, b. Mentaati suami, c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan
ijinnya, d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami, e.
Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun


sedang dalam kesibukan. (Nasa i, Muttafaqun Alaih)

Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk


menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan
melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)

Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt.
mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak
suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)

Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal
dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah,
Tirmidzi)

Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.:


Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan
perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)

Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)

Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan


suami(Thabrani)

Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di


belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa: 34)

Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2)
Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan
Al-Bashri)

Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya


selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)

Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka


dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

2.3 Putusnya Pernikahan dan Rujuk


Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut talak atau furqah. Talak berarti
membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan furqah berarti bercerai (lawan dari
berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang
berarti perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum
dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik
yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh
dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau
isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang
disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah
talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan
perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian
walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah
sesuatu yang bertentangan dengan asas asas Hukum Islam.
2.3.1 Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Talak
Khulu
Syiqaq
Fasakh
Talik talak
Ila
Zhihar
Liaan
Kematian

2.3.1.1 Talak
1. Hak Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan
alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan
pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang
biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian
tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya
daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini,
ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara
lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari
pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.

b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mutah (pemberian sukarela dari suami
kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia
mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak
ditujukan pada suami.
2. Syarat-syarat menjatuhkan Talak
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang
tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.
a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:
Berakal sehat
Telah baliqh
Tidak karena paksaan
Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak
ialah telah dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa
atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut
harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu.
Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak
boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang sedang mabuk
kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena
orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran.
Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talak hukumnya dalah tidak
sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga
apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.

b.

Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:


Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya.
Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu

tidak dapat ditalak oleh suaminya.


Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh

suaminya dalam waktu suci itu.


Isteri yang sedang hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami
atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat

talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti saya jatuhkan talak
saya satu kepadamu. Adapula yang diucapkan secara sindiran
(kinayah), seperti kembalilah ko orangtuamu atau engkau telah
aku lepaskan daripadaku. Ini dinyatakan sah apabila:
Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu
untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu
tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepda isterinya maka
sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami
mengucapkan sighat talak (talak munziz) dan ada yang jatuh
setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak muallaq).
3. Macam-macam Talak
a. Talak raji adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya
pada waktu iddah. Talak raji ialah talak satu atau talak dua yang
tidak disertai uang iwald dari pihak isteri.
b. Talak bain, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang iwald
dari pihak isteri, talak bain sperti ini disebut talak bain kecil. Pada
talak bain kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala
masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya
kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan
akad-nikah. Di samping talak bain kecil, ada talak bain besar,
ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh
suami. Talak bain besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh
merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa iddah
maupun sesudah masa iddah habis. Seorang suami yang mentalak
bain besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
Telah habis masa iddahnya.
c. Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan AlQuran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak
yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum

dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil.
Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami dalah halal.
d. Talak bidi, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti
ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bidi
dalah haram. Yang termasuk talak bidi ialah:
Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang

bulan.
Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi

telah dicampuri.
Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak
isterinya untuk selama-lamanya.

2.3.1.2 Khuluk
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan
suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari
pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk
mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat
mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara
penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya
disebut juga dengan kata iwald. Syarat sahnya khuluk ialah:
a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan
persetujuan suami-isteri.
b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama
antara suami-isteri.
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang
penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan
itu. Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam
keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu
terjadi atas kehendak isteri sendiri.
2.3.1.3 Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti
perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari

pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri. Menurut Syekh Abdul Aziz
Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam
adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.


Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang
lain tidak mau berdamai.

2.3.1.4 Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa
perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh
hakim Pengadilan Agama.
Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun
alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di
pengadilan:
a. Suami sakit gila.
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat
sembuh.
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan
hubungan kelamin.
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga
tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.

2.3.1.5 Ila
Arti daripada ila ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu
pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila mempunyai
arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk
tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri
tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung
berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatungkatung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh
ketentuan bahwa:

a. Suami yang mengila isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai
suami-isteri atau mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum
mentalak isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut
Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaknya
satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan
isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah.
Kafarah sumpah ila sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam
hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat AlMaidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara
berurutan, yaitu:
a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang
biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
c. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
d. Hendaklah kamu berpuasa tiga hari
Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami
mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada masa iddah atau dalam
perkawinan baru setelah masa iddah habis.
2.3.1.6 Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila. Arti
zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama
dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah
menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila.
Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat
2-4, yang isinya:
a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya
suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu
sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan
mencampuri isterinya lagi.
b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh
Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suamiisteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka
wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.
d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini
dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang
bersangkutan, yakni:
Memerdekakan seorang budak, atau
Puasa dua bulan berturut-turut, atau
Memberi makan 60 orang miskin.
2.3.1.7 Lian
Arti lian ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri
untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena lian diatur dalam Al-Quran
syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang
cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena
hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat
kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah
kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial
tuduhannya tidak benar (dusta).
c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima
kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia
menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan
tuduhan suaminya benar.
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman
hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selamalamanya.
2.3.1.8 Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami
atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris
atas harta peninggalan yang meninggal.

Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan


mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh
segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus
menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
2.3.2 Iddah
Iddah ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam
waktu mana si suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini
si isteri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
Kegunaan dan tujuan iddah dalah sebagai berikut:
a. Untuk memberi kesempatan berpikir kembali denagn pikiran yang jernih,
setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang
demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawina mereka putus. Kalau
pikiran telah jernih dan dingin diharapkan suami akan merujuk isterinya
kembali dan begitu pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk suaminya
itu. Sehingga hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
b. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk
menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
c. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau
empat bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting
sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang
seandainya telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan.
Di lihat dari sebab terjadinya perceraian, maka iddah dapat dibedakan menjadi
dua yaitu:
a. Iddah kematian
Isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddahnya
sebagai berikut:
Bagi isteri yang tidak sedang mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10
hari. Ketentuan ini tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234,
yang berbunyi:
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu menjalani masa

iddah selama empat bulan sepuluh hari.


Bagi isteri yang sedang mengandung iddahnya adalah sampai melahirkan.
Dasarnya adalah Al-Quran syrat At-Talaaq ayat 4, yang bunyinya

Isteri yang sedang hamil iddahnya dalah sampai melahirkan


kandungan
b. Iddah talak
Isteri yang bercerai dengan suaminya dengan jalan talak, iddahnya
dalah sebagai berikut:
Untuk isteri yang dicerai dalam keadaan mengandung maka iddahnya

adalah sampai melahirkan kandungannya.


Istri yang masih mengalami haid (menstruasi), iddahnya adalah tiga kali
suci; termasuk suci pada saat terjadi talak, asal sebelumnya tidak
dilakukan hubungan suami-isteri, sesuai dengan ketentuan surat Al-

Baqarah 228.
Isteri yang tidak pernah atau tidak dapat lagi mengalami haid iddahnya
adalah tiga bulan. Ketentuan ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Talaaq

ayat 4.
Bagi isteri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian ditalak, maka
menurut ketentuan Al-Quran surat Al-Akrab ayat 49, isteri tersebut tidak
perlu menjalani masa iddah. Dan apabila pada waktu akad-nikah belum
ditentukan berapa jumlah maskawin yang akan diberikan kepadanya,
maka suami yang mentalak itu wajib memberikan sejumlah harta kepada

isteri yang di talak sebelum dicampuri itu.


Perceraian dengan jalan fasakh berlaku juga ketentuan iddah karena talak.
Kewajiban isteri dalam masa iddah ialah harus bertempat tinggal di rumah

yang ditentukan oleh suami untuk didiami, sampai masa iddahnya habis.
Selama waktu iddah isteri dilarang diusir atau dikeluarkan dari rumah tersebut.
Selama masa iddah isteri berhak mendapat nafkah dari suaminya seperti
nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu berupa perumahan, makanan dan
pakaian.
Bagi isteri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasanalasan yang bisa dipertanggung-jawabkan, ia dianggap nusyuz. Isteri yang
sudah nusyuz tidak berhak lagi menerima nafkah iddah atau haknya nafkah
iddah menjadi gugur.
Wanita yang ditalak suaminya dan masa iddahnya telah habis, ia boleh
melakukan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Dengan terjadinya
perkawinan baru ini, hubungan bekas suami dengan isteri tersebut telah betulbetul putus, sehingga dengan sendirinya isteri tidak berhak lagi menerima

nafkah dari bekas suaminya, demikian sebaliknya suami tidak berkewajiban


lagi memberi nafkah pada isterinya.
Undang-Undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c) memberi ketentuan
bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
Hal ini sesuai juga dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 241.
2.3.3 Rujuk
Rujuk adalah berarti kembali artinya kembali hidup sebagai suami-isteri antara
laki-laki dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raji selama masih
dalam masa iddah tanpa pernikahan bain. Yang mempunyai hak rujuk adalah suami,
sebagai imbangan dari hak talak yang dimilikinya. Ketentuan mengenai hak rujuk ini
diatur dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228.
Apabila bekas suami hendak merujuk bekas istrinya, hendaklah memenuhi
syarat-syarat sebagia berikut:
a. Bekas isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri. Sehingga perceraian yang
terjadi di mana isteri belum pernah dicampuri oleh suami, tak memberikan hak
b.
c.
d.
e.

rujuk kepada suami.


Harus dilakukan dalam masa iddah.
Harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai iwald dari pihak isteri.
Persetujuan isteri yang akan dirujuk.
Cara pelaksanaan rujuk ini ada du pendapat, yakni:

a. Rujuk dengan perkataan, misalnya bekas suami berkata kepada bekas isterinya
aku rujuk kepada isteriku. Dengan diucapkannya sighat rujuk ini, maka rujuk itu
telah dianggap terjadi. Sighat rujuk yang digantungkan pada suatu syarat yang
belum terjadi atau digantungkan pada masa yang akan datang, dianggap tidak sah.
b. Rujuk dengan perbuatan, ialah apabila suami mencampuri isterinya kembali,
walaupun tidak dengan perkataan tertentu dianggap sah dan rujuknya telah terjadi.

2.4 Menikah Dengan Selain Muslim


1. Hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim (beda
agama)

Pernikahan seorang lelaki muslim menikahi seorang yang non muslim dapat
diperbolehkan, tapi di sisi lain juga dilarang dalam islam, untuk itu terlebih dahulu sebaiknya
kita memahami terlebih dahulu sudut pandang dari non muslim itu sendiri.
2.

laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang
dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim)
yang telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para
ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan
yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya
diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan
ini, yaitu mengacu pada al quran, Surat Al Maidah(5):5, Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang

merugi.
3. Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud
dengan non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama
samawi (langit), yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu
agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di
bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka diakatakan
haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah(2):222 Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik

(dengan

wanita-wanita

mukmin)

sebelum

mereka

beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya

(perintah-perintah-Nya)

kepada

manusia

supaya

mereka

mengambil

pelajaran.
2. Perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim.
Dari al quran al Baqarah(2):221 sudah jelas tertulis bahwa: "...Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman..." Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak
diharamkan dalam islam, jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk
menikahi lelaki yang tidak segama dengannya, maka apapun yang mereka lakukan
selama bersama sebagai suami istri dianggap sebagai perbuatan zina.Artinya Seorang
laki-laki muslim boleh menikahi perempuan yang bukan non muslim selama
perempuan itu menganut agama samawi, apabila lelaki muslim menikahi perempuan
non muslim yang bukan agama samawi, maka hukumnya haram. Sedangkan bagi
perempuan muslim diharamkan baginya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak
seiman

Daftar pustaka
http://ardychandra.wordpress.com/2008/09/06/putusnya-perkawinanberdasarkan-hukum-islam/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam#Pemilihan_calon
https://www.facebook.com/kitabfathulmuin/posts/101512283014514
47

http://www.dakwatuna.com/2008/06/16/736/kewajiban-membentuk-rumah-

tangga-islam/#ixzz34A8yAxmi
modul-pai-sma-kelas-xii

Anda mungkin juga menyukai