Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.1
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman S. typhi dari tinja dan urine penderita atau carrier. Di beberapa negara
pencemaran terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan dan sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan
memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan
mikrorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif.1
Demam Tifoid tersebar merata di seluruh dunia. Insidensi penyakit Tifoid
menurut WHO mencapai 17 juta orang dengan jumlah kematian sebanyak
600.000 orang setahun dan 70 % kematian terjadi di benua Asia.(3) Angka
kematian Demam Tifoid menurut WHO mencapai 10 20 %, sebelum ditemukan
antibiotik yang tepat, tetapi setelah ditemukan antibiotik yang tepat angka
kematian berkurang sampai 1 %. Pada penderita Demam Tifoid yang berat, S.
typhi menyerang usus, yang selanjutnya juga akan menyerang organ lain yang
menyebabkan adanya komplikasi pada organ lain seperti hati, limpa atau kantung
empedu.2
Penegakan diagnosis Demam Tifoid dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan laboratorium. Adapun metoda pemeriksaan yang dilakukan antara
lain pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan serologis dan metoda biakan kuman.
Penanganan yang tepat dan komprehensif akan dapat memberikan
kesembuhan terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun
perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang
1.2.4. Pengelolaan
Informasi
(Kompetensi
4)
Mahasiswa
mampu
komprehensif,
holistik,
koordinatif,
kolaboratif
dan
dokter Indonesia.
Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat
dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam
individu, keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian demam tifoid.
Untuk memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari
data di lapangan, untuk melakukan pengendalian demam tifoid.
1.3.3. Manfaat Studi Kasus
1
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1. KERANGKA TEORITIS
Hygien/ sanitasi
lingkungan
Pemaparan bakteri
PEJAMU
PEKA
Malnutrisi
invasi jaringan
INFEKSI
DEMAM
TIFOID
Makanan /
minuman
Ukuran antara 2 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C
dengan pH antara 6 8.1
2.2.3 PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam
tubuh manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi kuman Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana
tangan yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan kumanSalmonella typhi
langsung bersentuhan dengan makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari
kotoran, dimana kotoran individu yang mempunyai basil Salmonella typhi ke
sungai atau dekat dengan sumber air yang digunakan sebagai air minum yang
kemudian langsung diminum tanpa dimasak. Sebagian kuman dimusnakan dalam
lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toracicus kuman
yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah sehingga
mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan menyebar keseluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala penyakit sistemik.1
pelepasan
berbagai
mediator
inflamasi
yang
selanjutnya
akan
komplikasi
seperti
gangguan
neuropsikiatrik,
kardiovaskuler,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola
jarang ditemukan pada orang Indonesia.5.6
2.2.5 DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa suatu demam tifoid, kita perlu melakukan anamnesis
secara sistematis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis :
Pasien datang ke dokter karena demam. Demam turun naik terutama sore
dan malam hari (demam intermiten). Keluhan disertai dengan sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal,
insomnia, anoreksia dan mual muntah. Selain itu, keluhan dapat pula disertai
gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, nyeri
abdomen dan BAB berdarah. Pada anak dapat terjadi kejang demam.
Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu
kedua.
Faktor Risiko :
Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.
Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
Suhu tinggi.
Bau mulut karena demam lama.
Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang ditemukan
e.
f.
g.
h.
pada anak.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
Hepatosplenomegali.
Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi).
10
11
uji tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi IgG
sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi
infeksi lampau.9
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen
meliputi : tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas,
reagen A yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan
antigen O9, reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang
diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik dengan antigen O9. Untuk
melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan
kedalam tabung dengan satu tetes (25 L) reagen A. setelah itu dua tetes
reagen B (50 L) ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada
kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada
rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan
kecepatan 250 rpm. Interretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan
campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan.
Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat
pada tabel berikut :
Skor
<2
3
Interpretasi
Negatif
Borderline
4-5
>6
dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan
memberikan warna biru pada larutan.10
d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara
spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen Salmonella typhi. Seberat
50 kD, yang terdapat dalam strip nitroselulosa.10
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6%
dan efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas
dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89%
dengan 78% dan 89%.10
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara
berlebihan sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus
infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini
yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan ikatan antara
antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi
yang dilakukan oleh Khoo Ke dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M
menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitif (sensitivitas mencapai
100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.10
e. Uji IgM Dipstik
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
Salmonella typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini
menggunakan strip
Salmonella typhi dan antigen IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang
mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung
14
uji. Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu
4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai
dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum,
selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis
kontrol harus terwarna dengan baik.10
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai
penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di
Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas
sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari)
dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan
bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya gejala.10
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: telah mendapatkan terapi
dengan antibiotik, volume darah yang kurang, riwayat vaksinasi, saat
pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin semakin
meningkat.10
2.2.6 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai
berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal,
pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
15
16
17
Kriteria Rujukan
Pasien demam tifoid bisa mendapat perawatan di rumah namun pada
beberapa kondisi, pasien dengan demam tifoid perlu dirujuk dengan kriteria:
a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
c. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak
mencukupi.
2.2.7 KOMPLIKASI
18
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh
dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
a. Komplikasi intestinal yaitu perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
pankreatitis.
b. Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah
: anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru
: pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal
: glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang
: osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1
2.2.8
PROGNOSIS
Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
19
antara
45/100.000
penduduk/tahun
sampai
1.000/100.000
A. Orang (person)
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada
perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden
pasien demam tifoid dengan usia 12 30 tahun 70 80 %, usia 31 40
tahun 10 20 %, usia > 40 tahun 5 10 %. Menurut penelitian
Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita
demam tifoid pada umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0
3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
B. Tempat dan Waktu (place and time)
20
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate
demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber
penularannya biasanya tidak dapat ditemukan.
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi (Determinan)
Epidemiologi penyakit demam tifoid juga dapat digambarkan menurut Trias
Epidemiologi dengan melihat faktor host, agent dan environment sebagai berikut :
A. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya
penularan
Salmonella
thypi
sebagian
besar
melalui
holistik
adalah
memandang
manusia
sebagai
mahluk
fisik,
hasil
pemeriksaan
penunjang,
penilaian
risiko
22
penyaring
Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
Melakukan anamnesis
Melakukan pemeriksaan fisik
Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang disediakan
dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang melaksanakan
pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus demi kesehatan
pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal.
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I.
II.
24
III.
IV.
V.
25
BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS
3.1 Metodologi
Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari
hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan
memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian
mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek
dalam masing-masing kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah
kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter layanan primer secara
paripurna dan holistik terutama tentang penatalaksanaan penderita demam tifoid
dengan pendekatan kedokteran keluarga di Puskesmas Cendrawasih pada tahun
2015.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara dan observasi dengan pasien dimana wawancara merupakan suatu
cara mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada
seorang informan atau autoritas atau seorang ahli yang berwenang dalam suatu
masalah. Sedangkan observasi adalah pengamatan dan juga pencatatan sistematik
atas unsur-unsur yang muncul dalam suatu gejala atau gejala-gejala yang muncul
dalam suatu objek penelitian. Hasil dari observasi tersebut akan dilaporkan dalam
suatu laporang yang tersusun secara sistematis mengikuti aturan yang berlaku.
26
27
: 1 buah
: 1 buah
: 2 buah
: 18 orang
: 3 orang
: 5 orang
: 13 buah
: 40 buah
: 3 orang
: 2 orang
: 7 orang
: 6 orang
: 2 orang
: 1 orang
: 1 orang
: 1 orang
: 1 orang
: 1 orang
: 3 orang
28
dalam
wilayah
Puskesmas
terjangkau.
Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan
29
Mendorong
kemandirian
Upaya
Kesehatan
Bersumber
Daya
Masyarakat (UKBM)
3.5 Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan wajib puskesmas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
30
j) Antikonvulsan
k) Antiviral
l) Antifungi
6. Program P2M
Pada program ini, ada beberapa penyakit yang menjadi prioritas dalam
program ini yaitu TB paru, penyakit kusta, DBD, tifoid, diare, disentri,
campak. Ketika ada kasus maka akan di laporkan dan dibuatkan
penyuluan epidemiologi (PE) ke daerah atau lokasi tempat adanya
kasus tersebut.
7. KB (Keluarga Berencana)
a. Penyuluhan KB
b. Penyuluhan alat kontrasepsi : suntikan, pil, implant, IUD, dan
kondom
c. Melihat pelepasan implant yang dilakukan oleh bidan.
d. Memberikan suntikan KB yang dilakukan oleh dokter muda.
8. KIA (Kesehatan Ibu dan Anak)
Puskesmas Jongaya, kegiatan KIA kunjungan awal dilakukan
setiap hari selasa, sedangkan pada hari kamis untuk kunjungan yang
berulang, dan jumat pada pukul 08.00-12.00
Beberapa kegiatan KIA adalah :
a. Pemeriksaan HIV, malaria, dan sifilis pada ibu hamil
b. Pemeriksaan kehamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga (K1-K4)
c. Pemberian tablet Fe, kalsium, Vitamin B complex
d. Suntikan tetanus toxoid : Dua kali selama hamil dengan interval 1
e.
f.
g.
h.
9.
hari jumat pada pukul 08.00-11.30. kegiatan ini diikuti oleh ibu-ibu yang
mempunyai bayi berusia 1 bulan 1 tahun.
Hal utama yang diperhatikan sebelum pemberian imunisasi adalah
penyimpanan vaksin yang benar sehingga vaksin yang diberikan nanti masih
dalam kondisi baik dan tidak membahayakan.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
4.1.1. PASIEN
Pasien perempuan 38 tahun datang ke puskesmas cendrawasih dengan
keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak
terus menerus di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri
33
kepala kadang-kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK
lancar, BAB belum 3 hari terakhir.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien,
dokter
menganjurkan
untuk
melakukan
pemeriksaan
darah
yaitu
THT
Leher
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
: sakit sedang
: Compos Mentis
: 15
: 120/70 mmHg
: 88 x/menit
: 20 x/menit
: 37,4 C
: Normocephal
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
pupil bulat, isokor
: Dalam Batas Normal
: Pembesaran KGB dan tiroid (-), trakea berada di
tengah
: pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
: sonor seluruh lapang paru
: vesikuler kanan dan kiri, rhonki halus (-/-)
wheezing (-/-)
: iktus kordis tidak terlihat
34
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
- Ekstremitas
Status Lokalis : -
Trombosit 156.000
4.1.4. KELUARGA
Profil Keluarga
a Genogram
35
: Tn. S
: Ny. SK
: Jl. Kancil Utara No. 74
: Non family household
Nama
dalam
keluarga
1.
Tn. S
Kepala
Gende
r
Umur
Pendidika
n
Pekerjaan
45 th
SMA
Wiraswasta
rumah P
38 th
SMA
Wiraswasta
23 th
SMA
Mahasiswa
Keluarga
2.
Ny. SK
Ibu
tangga
3.
Tn.
Anak
M.S
pertama
4.
Tn. F
Anak ke dua
17 th
SMA
Pelajar
5.
Nn.M
Anak ke tiga
13 th
SMP
Pelajar
Kesimpulan
Ny.SK tinggal di rumah
milik
sendiri
dengan
36
air
PAM
yaitu, 1 buah televisi, 1 buah kipas angin, 1 buah dispenser, dan 1 buah motor.
2. Penilaian perilaku kesehatan keluarga
Apabila sakit, Ny. SK sering berobat ke puskesmas dengan menggunakan
jaminan kesehatan berupa kartu BPJS.
3. Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga
Pekerjaan sehari-hari pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien ini
tinggal di rumah sendiri yang terletak di Jl. Kancil Utara No. 74. Sekitar rumah
yaitu bagian samping kiri dan kanannya berbatasan dengan rumah batu, dan
berada di lingkungan perumahan yang cukup padat.
4. Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Pola makan 2-3 kali sehari dengan menu yang tidak tentu. Ny. SK lebih
sering memasak sendiri. Menu makan pun tidak menentu. Menu yang paling
sering di konsumsi adalah nasi, tahu, tempe, ikan dan sayur.
5. Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga
Pasien memiliki hubungan yang baik dengan sesama anggota keluarga yang
lainnya. Dengan seluruh anggota keluarga, terjalin komunikasi yang baik dan
cukup lancar.
6. Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum dijamin
kebersihannya. Pasien juga jarang berolahraga secara teratur.
7. Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal sudah cukup baik. Tata pemukiman di
sekitar rumah pun tertata dengan baik hanya saja terlalu padat. Kebersihan
37
lingkungan rumah tidak terlalu baik. Jalanan di depan rumah dalam kondisi
baik dan teraspal, sehingga meminimalkan terbawanya debu oleh aktifitas
jalanan.
4.2 PEMBAHASAN
4.2.1 Analisa Kasus
Pasien perempuan 38 tahun datang ke puskesmas Cendrawasih dengan
keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak
terus menerus di rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri
kepala kadang-kadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK
lancar, BAB belum 3 hari terakhir.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien,
dokter
menganjurkan
untuk
melakukan
pemeriksaan
darah
yaitu
Pasien
Pasien tinggal di rumah sendiri.
Pekerjaan
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
Keadaan rumah
Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk dengan kondisi ventilasi
yang tidak memadai, terdapat listrik dan air PAM serta air galon untuk
minum.
Perilaku
38
Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal sudah cukup baik. Tata pemukiman di
sekitar rumah pun tertata dengan baik hanya saja terlalu padat.
Kebersihan lingkungan rumah tidak terlalu baik. Jalanan di depan rumah
dalam kondisi baik dan teraspal, sehingga meminimalkan terbawanya
debu oleh aktifitas jalanan.
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis
secara holistic yaitu, aspek personal, aspek klinik, aspek resiko internal,
dan aspek resiko eksternal serta pemeriksaan penunjang dengan
melakukan pendekatan menyeluruh dan pendekatan diagnosis holistik.
4.2.4
Anamnese
Aspek Personal
Pasien datang ke puskesmas Cendrawasih dengan keluhan demam
sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam tidak terus menerus di
rasakan terutama pada sore hari. Pasien mengeluh nyeri kepala kadangkadang, mual dan muntah serta nafsu makan menurun, BAK lancar, BAB
belum 3 hari terakhir.
Kekhawatiran: Takut terkena DBD, Takut penyakitnya tidak sembuh,
Takut penyakitnya akan bertambah parah. Harapan: sembuh
Aspek Klinik
a. Demam sejak 7 hari sebelum ke puskesmas Mamajang
b. Demam disertai nyeri kepala, mual, muntah dan BAB tidak lancar
Aspek Faktor Resiko Internal
a Kurangnya pengetahuan tentang demam tifoid
b Mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor penyebab demam tifoid
c
kurang
Sering mengkonsumsi makanan di luar yang belum tentu terjamin
kebersihannya.
39
40
4.2.5
NO
1
WAKTU
KEGIATAN
PELAKSANAAN
kesehatan 4 Desember 2015
Promosi
derajat kesehatan
pasien
keluarga
yang
lingkungan
tidak
terjamin
merokok,
maupun
atau
tempat
dan
jarang
berolahraga.
Memberikan
tentang
KET
Meningkatkan
kebersihannya,
SASARAN
demam tifoid.
tinggalnya.
Agar
dapat
mencegah
penyakit demam
tifoid.
Tabel 6 : Rencana tindak lanjut
Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder (terapi untuk pasien dan keluarga
pasien).
Pencegahan Primer
Promosi kesehatan dengan pendekatan perilaku hidup sehat seperti makan
makanan yang bersih.
Pencegahan Sekunder
Terapi untuk pasien
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
42
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus demam tifoid yang dilakukan di Puskesmas
Cendrawasih mengenai penatalaksanaan penderita demam tifoid dengan
pendekatan kedokteran keluarga, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
penyakit demam tifoid dengan pola makan yang tidak teratur dan tidak bersih
maka disarankan :
a. Menjaga kebersihan makanan
b. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit demam
tifoid
c. Penatalaksanaan demam tifoid sebaiknya selain farmakoterapi adalah
istirahat yang cukup.
DAFTAR PUSTAKA
1
Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
43
Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575.
Bangladesh: 1993.
John
LB.
Typhoid
Fever.
Medscape.
2012.
Dapat
diakses
di
Siti
FS.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya
Baru. Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.
Frankie, et al. 2008. The TUBEX test detects not only typhoid-specific
antibodies but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical
Microbiology. 57, 316323.
10 Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis 2nd
Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
44