Anda di halaman 1dari 18

BAB I

STATUS PASIEN
IDENTITAS
1. Identitas Pasien
Nama

: Nn. N

Umur

: 21 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Mahasiswi

Agama

: Islam

Berat Badan

: 45 Kg

Tanggal masuk RS

: 27 Mei 2015

Tanggal pemeriksaan

: 28 Mei 2015

ANAMNESIS
Diambil dari

: Autoanamnesis

Tanggal

: 28 Mei 2015

Tempat

: Bangsal Bougenvile kamar 7

Keluhan Utama

: Nyeri perut kanan bawah

Keluhan Tambahan : Terdapat nyeri ulu hati, nyeri perut kiri bawah, dan nyeri pinggang
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan sakit hebat pada perut bagian kanan bawah.
Sakit perut pada awalnya dirasakan pada ulu hati, pasien mengatakan bahwa awalnya ia mengira
nyeri yang dirasakan adalah akibat maag yang di deritanya sejak dulu kemudian nyeri dirasakan

juga pada perut kiri bawah tetapi nyeri yang dirasakan tidak sehebat nyeri pada kanan bawah,
pasien juga mengeluh pinggang terasa nyeri. Mual, muntah, dan demam disangkal. Keluhan
pasien dirasakan sejak 2 bulan terakhir.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien memiliki riwayat penyakit gastritis. Tidak ada riwayat
hipertensi, diabetes melitus, alergi, atau asma.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada riwayat penyakit seperti pasien dalam keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum:
1. Kesan Umum
: Baik
2. Kesadaran: Compos mentis
3. Tanda-tanda vital
Suhu
: 360 Celsius
Frekuensi nadi
: 84 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
4. Status generalis
Kepala
: Normochepal, rambut hitam, tebal, rambut tidak mudah dicabut
Mata
: Pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/Leher
: Trakea letak normal, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Telinga
: Dalam batas normal
Hidung
: Dalam batas normal
Mulut
: Dalam batas normal
Thoraks
:
a. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra

Perkusi

: Batas jantung normal

Auskultasi : SISII normal, murmur (-), gallop (-)


b. Paru
Inspeksi

: Bentuk dada simetris kanan dan kiri, pernapasan


simetris dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi sela
iga (-)

Auskultasi

: Terdengar suara nafas bronkial di medial dan Suara


nafas vesikuler di lateral, ronki (-/-), wheezing (-/-).

Abdomen :
Inspeksi

: Tidak tampak adanya massa, tidak terlihat distensi


abdomen, pulsasi aorta tidak terlihat

Palpasi

: Palpasi umum : nyeri tekan pada region iliaca dextra,


epigastrium, dan iliaca sinistra
Palpasi hepar: tidak ada pembesaran hepar
Palpasi lien: tidak ada pembesaran lien
Palpasi ginjal: ballottement (-)
Palpasi VU dan aorta abdominalis : Kandung kemih
teraba kosong dan aorta teraba lemah
Tes undulasi : (-)

Perkusi

: timpani di seluruh kuadran abdomen, shifting dullness


(-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal,

Ekstremitas :
Akral hangat, udem (-)
C. STATUS LOKALIS
Terdapat nyeri tekan abdomen pada region iliaca dextra, iliaca sinistra dan epigastrium
abdomen. rovsing sign (+), mc burney (+), dan psoas sign (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium darah (27 Mei 2013)

Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Laju
endap

Hematologi
Hasil
12,6 g/dl
8.840/UL
36,7%
20 mm/jam

darah
Trombosit
244.000 /uL
Masa perdarahan 2 menit
Masa pembekuan 9 menit

Pemeriksaan
GDS

Pemeriksaan
Albumin
SGOT
SGPT

Nilai Normal
P: 14-18 g/dl W: 12-16 g/dl
5000-10.000/UL
37-43%
0-15 mm/jam
150.000-450.000
1-6
5-15

Glukosa darah
Hasil
79 mg/dl

Nilai normal
< 200 mg/dl

Fungsi liver
Hasil
4,4 g/dl
11 g/dl
8 g/dl

Pemeriksaan
Ureum
Kreatinin
Asam Urat

Pemeriksaan
Natrium
Kalium
Klorida
E. DIAGNOSIS KERJA

Nilai normal
3-6 g/dl
P: <37, W: <31 u/l
P: <41, W: <31 u/l

Fungsi Ginjal
Hasil
18 g/dl
0,5 g/dl
2,6 g/dl

Elektrolit
Hasil
139,4
4,13
104,7

Nilai normal
17-43 g/dl
P 0,7-1,1 W 0,6-0,9
P 3,6-8,2 W 2,3-6,1

Nilai normal
135 155 mmol/l
3,6 5,5 mmol/l
95 107 mmol/l

Appendisitis Kronis
F. DIAGNOSIS BANDING
Gastroenteritis, demam dengue, limfadenitis mesentrika, kelainan ovulasi, infeksi panggul, KET,
kista ovarium terpuntir, endometriosis eksterna, urolitiasis ureter kanan
G. PENATALAKSANAAN
Apendektomi
Pre Op :
Infus Ringer Laktat
Cefotaxim
Ketorolac
Bed rest

H. FOLLOW UP
Hari/ tanggal : Kamis, 28 Mei 2015
S
: Pasien mengeluh sakit hebat pada perut kanan bawah, kiri bawah dan ulu hati disertai
nyeri pinggang
O

: KU ; Baik, Kesadaran ; composmentis


TTV : Suhu 36oC
Nadi 84 x/menit
RR 20 x/menit
TD 110/70 mmHg

Status lokalis : Regio abdomen


- Palpasi : Nyeri tekan pada regio iliaca dextra dan sinistra serta epigastrium
Mc burney (+), psoas sign (+), rovsing sign (+), nyeri ketok CVA (-)
A

: Appendisitis Kronis Pre op

Hari/ tanggal : Jumat/ 29 Mei 2015


S
: Pasien mengatakan luka operasi sedikit nyeri, pusing
O

: KU; Baik, kesadaran; composmentis


TTV : Suhu 36,1 oC
Nadi 84 x/menit
RR 24 x/menit
TD 100/60 mmHg
Status lokalis: abdomen
Terdapat luka bekas operasi di regio iliaca dextra, luka tertutup verban , rembesan (-)

: Post op appendisitis kronis H +1


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm dan berpangkal di
sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian,
pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Pada 65%
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak, dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoanpendiks penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibekang sekum, dibelakang
kolon asendens atau tepi lateral kolon asendens ( Sjamsuhidajat, 2010).

Gambar.1. Posisi Apendiks


Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika
superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X.
Oleh karna itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.
Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren
( Sjamsuhidajat, 2010).
2.2. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL/hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk
apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limf disini kecil sekli jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan seluruh
tubuh ( Sjamsuhidajat,2010).
2.3. Definisi Apendisitis
Apendesitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering ( Kapita selekta, 2014).
2.4. Epidemiologi apendisitis

Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Insiden
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada lelaki
lebih tinggi ( Sjamsuhidajat,2010).
2.5. Klasifikasi apendisitis
1. Apendisitis akut
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum
lokal. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri visceral di daerah epigastrium. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindak ke
kanan bawah ke titik Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Bila terdapat perangsangan
peritoneum, pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk ( Sjamsuhidajat,2010).
2. Apendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendiktomi. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronis adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik
( Sjamsuhidajat,2010).
3. Apendisitis infiltrat
Proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus
dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa. Umumnya massa apendiks
terbentuk pada hari ke 4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum.
4. Apendisitis rekurens
Diagnosis apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi, dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut

pertama kali sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar
50%. Insidens apendisitis rekuren adalah sebesar 10% dari specimen apendiktomi yang
diperiksa secara patologik. Pada apendisitis rekuren biasanya dilakukan apendiktomi
karena sering penderita datang dalam serangan akut ( Sjamsuhidajat,2010).
2.6. Etiologi Apendisitis
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya.
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2010).
2.7. Patogenesis Apendisitis

2.8. Patofisiologis Apendisitis

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia


folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orangtua perforasi mudah terjadi karena telah
ada gangguan pembuluh darah ( Kapita Selekta, 2014).
2.8. Diagnosis Apendisitis
Diagnosis apendisitis dapat dilakukan dengan melakukan:
a. Anamnesis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna,
sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral

akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Gejala lain
adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,
diduga sudah terjadi perforasi.
b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung
bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada
apendikuler abses.
2. Palpasi
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat
yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran

kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan

dan dalam di titik Mc. Burney.


Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan

adanya rangsangan peritoneum parietale.


Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal

pada sisi yang berlawanan.


Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas

oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.


Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul
dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara
pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah

hipogastrium.
3. Perkusi
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok
4. Auskultasi
Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak

membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi


peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:

c. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b) Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan apendikogram. Pada
pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan apendikogram merupakan
pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu melihat
terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen apendiks.
Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu
85% dan 92%.

c) Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f) Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi
usus halus atau batu ureter kanan ( Selvia B, 2010).
2.9. Diagnosis Banding apendisitis
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, antara lain:
1. Gastroenteritis : adalah suatu jenis peradangan yang terjadi pada saluran pencernaan,
terutama pada lambung dan usus kecil, dan mengakibatkan diare akut. Peradangan dapat
disebabkan oleh paparan makanan dan air yang terkontaminasi, atau oleh infeksi
beberapa jenis virus atau bakteri, parasit dan efek samping dari diet berlebih dan
pengobatan. pada gastroenteritis didapatkan mual, muntah dan diare mendahului rasa
sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.

2. Demam Dengue : adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang
masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes. Demam
dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Disini didapatkan hasil tes
positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, hematokrit yang meningkat.
3. Limfadenitis Mesentrika : biasa didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai
dengan nyeri perut terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut
samar, terutama kanan.
4. Kelainan Ovulasi : folikel ovarium yang pecah mungkin memberikan nyeri perut kanan
bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah
timbul lebih dulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam
tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
5. Infeksi Panggul : salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok
vagina akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding
6. Kehamilan Di Luar Kandungan : hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus didaerah pelvis dan mungkin
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan
rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
7. Kista Ovarium Terpuntir : timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan
teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok
rectal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat menentukan diagnosis.
8. Endometriosis Eksterna : endometrium diluar rahim akan memberikan keluhan nyeri di
tempat endometriosis berada. Darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada
jalan keluar.
9. Urolitiasis Pielum : batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari
pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas.
Erigosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi,menggigil, nyeri
kostovertebral di sebelah kanan dan piuria.

10. Penyakit Saluran Cerna Lainnya : penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan
di perut, seperti divertikulus meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, koleistitis
akut, pancreatitis, divertikulus kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid
abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks ( Sjamsuhidajat, 2010).
2.10. Tatalaksana Apendisitis
a. Pre Operatif
Observasi ketat, tirah baring, dan puasa. Pemeriksaan abdomen dak rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotic intrevena spectrum luas dan
analgesic dapat diberikan. Pada perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi
cairan sebelum operasi.
b. Operatif
Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan bawah
( Davis-Rockey) atau insisi oblik ( McArthur-McBurney. Pada diagnosis yang belum
jelas dapat dilakukan insisi sub umbilikal pada garis tengah.

Laparoskopi apendektomi: teknik operasi dengan luka dan kemungkinan infeksi lebih
kecil.
c. Pasca-operatif
Perlu dilskuksn observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan
perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makan saring, makan lunak, dan
makan biasa.

2.11. Komplikasi Apendisitis


Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri
atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, 2010). Komplikasi usus
buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan
jarang sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011).
2.12. Prognosis Apendisitis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan.
Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi
penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada
pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat diatas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis
dan terapi ( Kapita Selekta,2014).

BAB III
KESIMPULAN
Apendesitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering. Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Apendisitis akut merupakan
infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe,

fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E. histolytica. Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Gold standart yang dilakukan pada kasus apendisitis adalah dengan
apendektomi.

DAFTAR PUSTAKA

Craig, S., 2011. Appendicitis Treatment & Management. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/773895-treatment [Accessed 11 Juni 2015]
Hasya M.N. 2010. Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis
Apendisitis. Medan: Sumatra Utara

Kapita Selekta Kedokteran. 2014. Ed:4. Jakarta : Media Aesculapius


Selvia B. 2010 Karakteristik Penderita Appendicitis Rawat Inap Di Rumah Sakit Tembakau Deli
PTP Nusantara II. Medan: Sumatra Utara
Sjamsudihajat R. 2010. Buku ajar ilmu bedah Sjamsudihajat- De Jong, ed:3. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC. 2001.

Anda mungkin juga menyukai