Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah yang berjudul TRAUMA THORAX ini dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu.
Makalah ini berisikan tentang definisi, tujuan, dan askep teori. Semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan dan membantu pembelajaran yang
berkaitan di lingkungan kampus kami.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya.

Surabaya,

September 2013

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Trauma torak semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat didapatkan
180.000 kematian pertahun karena trauma. 25 % diantaranya karena trauma
torak langsung, sedangkan 5 % lagi merupakan trauma torak tak langsung
atau penyerta.
Pneumotoraks

didefinisikan

sebagai

adanya

udara

di

dalam

kavum/rongga pleura.Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu


negatif untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan inflasi. Tekanan
pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir
ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.
Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat
menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga pleura, Sehingga paru
akan kolaps. Paling sering terjadi spontan tanpa ada riwayat trauma, dapat
pula sebagai akibat trauma toraks dan karena berbagai prosedur diagnostik
maupun terapeutik.
Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru
sebelum ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan
dikenal sebagai pneumotoraks artifisial . Kemajuan teknik maupun peralatan
kedokteran ternyata juga mempunyai peranan dalam meningkatkan kasuskasus pneumotoraks antara lain prosedur diagnostik seperti biopsi pleura,
TTB, TBLB; dan juga beberapa tindakan terapeutik seperti misalnya fungsi
pleura, ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat pula menjadi sebab teradinya
pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik).

1.2 TUJUAN
a. Tujuan Umum

Mahasiswa mendapat gambaran dan pengalaman tentang penetapan


proses asuhan keperawatan secara komprehensif terhadap klien trauma
dada ini.
b. Tujuan Khusus
Setelah melakukan pembelajaran tentang asuhan keperawatan
dengan bronchitis kronis. Maka mahasiswa/i diharapkan mampu :
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan trauma dada.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan trauma dada.
3. Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan trauma dada.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan trauma dada.
5. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan trauma dada.

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 DEFINISI

Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa
kurang dari 44 tahun.Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor
implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau
tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax,
baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul.(Hudak, 1999).
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari
cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga
paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan
manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan
jantung sebagai alat pemompa darah.Jika terjadi benturan atau trauma pada
dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan.
2.2 ETIOLOGI
a. Tamponade jantung : disebabkan luka tusuk dada yang tembus ke
mediastinum/daerah jantung.
b. Hematotoraks : disebabkan luka tembus toraks oleh benda tajam,
traumatik atau spontan.
c. Pneumothoraks : spontan (bula yang pecah) , trauma (penyedotan luka
rongga dada), iatrogenik (pleural tap, biopsi paaru-paru, insersi CVP,
ventilasi dengan tekanan positif). (FKUI, 1995).
2.3 ANATOMI FISIOLOGI
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk
kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang
berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang
melayang.
Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago
ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum

menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas


klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada
luka tusuk.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama
dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus,
dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior
dinding

posterior

thorax.

Tepi

bawah

muskulus

pectoralis

mayor membentuk lipatan / plika aksilaris posterior.


Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung
dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot
pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan
rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan
bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah
dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris,
menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan
sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum
bersamasama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax
dan diafragma.
Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya
terisi dengan ekspansi paru paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbal kostal,
bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral.
Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah
mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut
berperan dalam ventilasi paru paru selama respirasi biasa /tenang sekitar
75%.
2.4 PATOFISIOLOGI
Rongga dada terdiri dari sternum, 12 verebra torakal, 10 pasang iga
yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang iga yang
melayang. Di dalam rongga dada terdapat paru-paru yang berfungsi dalam
sistem pernafasan. Apabila rongga dada mengalami kelainan, maka akan

terjadi masalah paru-paru dan akan berpengaruh juga bagi sistem


pernafasan.
Akibat trauma dada
Tension pneumothorak cedera pada paru memungkinkan masuknya
udara (tetapi tidak keluar) ke dalam rongga pleura, tekanan meningkat,
menyebabkan pergeseran mediastinum dan kompresi paru kontralateral
demikian juga penurunan aliran baik venosa mengakibatkan kolapnya
paru. Pneumothorak tertutup dikarenakan adanya tusukan pada paru
seperti patahan tulang iga dan tusukan paru akibat prosedur infasif
penyebabkan terjadinya perdarahan pada rongga pleural meningkat
mengakibatkan paru-paru akan menjadi kolaps.
Kontusio paru mengakibatkan tekanan pada rongga dada akibatnya
paru-paru tidak dapat mengembang dengan sempurna dan ventilasi
menjadi terhambat akibat terjadinya sesak nafas. Sianosis dan tidak
menutup kemungkinan akan terjadi syok.
2.5 MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
b. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
c. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
d. Dyspnea, takipnea.
e. Takikardi.
f. Tekanan darah menurun.
g. Gelisah dan agitasi.
h. Kemungkinan cyanosis.
i. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
j. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.

2.6 KLASIFIKASI
Trauma thorak klasifikasikan menjadi :
1. Trauma tembus (tajam)
a. Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma.
b. Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru.
c. Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.
Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang
dikenakan secara direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal.
Pisau atau projectile, misalnya, akan menyebabkan kerusakan jaringan

dengan stretching dan crushing dan cedera biasanya menyebabkan batas


luka yang sama dengan bahan yang tembus pada jaringan.
Berat ringannya cidera internal yang berlaku tergantung pada organ
yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut. Derajat cidera
tergantung pada mekanisme dari penetrasi dan temasuk, diantara faktor
lain, adalah efisiensi dari energy yang dipindahkan dari obyek ke
jaringan tubuh yang terpenetrasi.
Faktor faktor lain yang berpengaruh adalah karakteristik dari
senjata, seperti kecepatan, size dari permukaan impak, serta densitas dari
jaringan tubuh yang terpenetrasi.
Pisau biasanya menyebabkan cidera yang lebih kecil karena
iatermasuk proyektil dengan kecepatan rendah.Luka tusuk yang
disebabkan oleh pisau sebatas dengan daerah yang terjadi penetrasi.Luka
disebabkan tusukan pisau biasanya dapat ditoleransi, walaupun tusukan
tersebut pada daerah jantung, biasanya dapat diselamatkan dengan
penanganan medis yang maksimal.
Peluru termasuk proyektil dengan kecepatan tinggi, dengan
biasanya bias mencapai kecepatan lebih dari 1800-2000 kali per detik.
Proyektil dengan kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan dapat
menyebabkan berat cidera yang sama dengan seperti penetrasi pisau,
namun tidak seperti pisau, cidera yang disebabkan olehpenetrasi peluru
dapat merusakkan struktur yang berdekatan dengan laluan peluru.
Ini karena disebabkan oleh terbentuknya kavitas jaringan dan
dengan menghasilkan gelombang syok jaringan yang bisa bertambah
luas. Tempat keluar peluru mempunyai diameter 20-30 kali dari diameter
peluru.
2. Trauma tumpul
a. Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
b. Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush
atau blastinjuries.
c. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio
paru.
d. Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi.

e. Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus,


kira-kira lebih dari 90% trauma thoraks.
Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul:

Transfer energi secara direk pada dinding dada dan organ

thoraks.
Deselerasideferensial, yang dialami oleh organ thoraks
ketika terjadinya impak.
Benturan yang secara direk yang mengenai dinding torak dapat

menyebabkan luka robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang
seperti tulang iga. Cedera thoraks dengantekanan yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehingga menyebabkan
ruptur dari organ organ yang berisi cairan atau gas.

2.7 KOMPLIKASI
a. Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam
memungkinkan keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan
dinding dada, paru.
Tanda-tanda khas: penmbengkakan kaki, krepitasi.
b. Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat
kantong tertutup sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan
menampung darah vena yang kembali. Pembulu vena leher akan
mengembung dan denyut nadi cepat serta lemah yang akhirnya
membawa kematian akibat penekanan pada jantung.
c. Pneumothorak
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam
tapi keluar lagi sehingga volume pneumothorak meningkat dan
mendorong mediastinim menekan paru sisi lain.
d. Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan
efusi pleura yaitu sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi

nyeri dada lebih mencolok. Bila kejadian mendadak maka pasien akan
syok.
Akibat adanya cairan udara dan darah yang berlebihan dalam rongga
pleura maka terjadi tanda tanda:
1. Dypsnea sewaktu bergerak/ kalau efusinya luas pada waktu
istirahatpun bisa terjadi dypsnea.
2. Sedikit nyeri pada dada ketika bernafas.
3. Gerakan pada sisi yang sakit sedikit berkurang.
4. Dapat terjadi pyrexia (peningkatan suhu badan di atas normal).
e. Plail Chest
Pada trauma yang hebat dapat terjadi multiple fraktur iga dan
bagian tersebut. Pada saat insprirasi bagian tersebut masuk sedangkan
saat ekspirasi keluar, ini menunjukan adanya paroxicqalmution (gerakan
pernafasan yang berlawanan).
f. Hemopneumothorak
penimbunan udara dan darah pada kavum pleura.
2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Radiologi : foto thorax (AP).
Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
Hemoglobin : mungkin menurun.
Pa Co2 kadang-kadang menurun.
Pa O2 normal / menurun.
Saturasi O2 menurun (biasanya).
Toraksentesis : menyatakan darah/cairan

2.9 PENATALAKSANAAN
1. Darurat
a. Anamnesa yang lengkap dan cepat. Anamnesa termasuk pengantar
yang mungkin melihat kejadian. yang ditanyakan :
- Waktu kejadian
- Tempat kejadian
- Jenis senjata
- Arah masuk keluar perlukaan
- Bagaimana keadaan penderita selama dalam transportasi.
- Pemeriksaan harus lengkap dan cepat, baju penderita harus dibuka,
-

kalau perlu seluruhnya.


Inspeksi

a) Kalau mungkin penderita duduk, kalau tidak mungkin tidur.

Tentukan luka masuk dan keluar.


b) Gerakkan dan posisi pada akhir inspirasi.
c) Akhir dari ekspirasi.
Palpasi
a) Diraba ada/tidak krepitasi
b) Nyeri tekan anteroposterior dan laterolateral.
c) Fremitus kanan dan kiri dan dibandingkan
Perkusi
a) Adanya sonor, timpanis, atau hipersonor.
b) Adanya pekak dan batas antara yang pekak dan sonor seperti
garis lurus atau garis miring.
Auskultasi
a) Bising napas kanan dan kiri dan dibandingkan.
b) Bising napas melemah atau tidak.
c) Bising napas yang hilang atau tidak.
d) Batas antara bising napas melemah atau menghilang dengan
yang normal.
e) Bising napas abnormal dan sebutkan bila ada.
Pemeriksaan tekanan darah.
Kalau perlu segera pasang infus, kalau perlu infus yang besar.
Pemeriksan kesadaran.
Pemeriksaan Sirkulasi perifer.
Kalau keadaan gawat pungsi.
Kalau perlu intubasi napas bantuan.
Kalau keadaan gawat darurat, kalau perlu massage jantung.
Kalau perlu torakotomi massage jantung internal.
Kalau keadaan stabil dapat dimintakan pemeriksaan radiologik

(Foto thorax AP, kalau keadaan memungkinkan).


2. Therapy
a. Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
b. WSD (hematotoraks).
c. Pungsi.
d. Torakotomi.
e. Pemberian oksigen.
BAB 3
ASKEP TEORITIS
3.1 PENGKAJIAN

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan


secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).Pengkajian pasien dengan trauma
thoraks (. Doenges, 1999) meliput :
1.

Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
2.
Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical
berpindah,tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ
3.
Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah.
4.
Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
5.
Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan,
tajamdan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
mengkerutkan wajah.
6.
Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit
parukronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar,
keganasan ;pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea peningkatan kerja napas, bunyi napas turun atau tak
ada , fremitus menurun, perkusi dada hipersonan, gerakkkan dada tidak
sama, kulit pucat, sian osis, berkeringat, krepitasi subkutan, mental
ansietas, bingung, gelisah, pingsan,

penggunaan ventilasi mekanik

tekanan positif
7.

Keamanan
Gejala : adanya trauma dada, radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
8.
Penyuluhan / pembelajaran
9.
Gejala
:
riwayat
factor
risiko
keluarga,
TBC,
kanker, adanya bedah intratorakal/biopsy paru.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
b. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik


terpasang bullow drainage.
3.3 INTERVENSI
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan
trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Diagnosa a : Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan
ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala
tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.
Rasionalnya: Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan
ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan,
dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasionalnya : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda
vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau
dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan
hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk
menjamin keamanan.
Rasionalnya : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak
atau kolaps paru-paru.
Rasionalnya : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri
dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

Rasionalnya : Membantu klien mengalami efek fisiologi


hipoksia,

yang

dapat

dimanifestasikan

sebagai

ketakutan/ansietas.
6. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 2
jam.
7. Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
Rasionalnya : Mempertahankan tekanan negatif intrapleural
sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru
optimum/drainase cairan.
8. Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada
batas yang.ditentukan.
Rasionalnya : Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung
yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
9. Observasi gelembung udara botol penempung.
Rasionalnya : gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan
lubang

angin

dari

penumotoraks/kerja

yang

diharapka.

Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru


dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat
menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
10. Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan
slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran
masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela
perlu.
Rasionalnya: posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan
bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang
diinginkan.
2. Diagnosa b: Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan
peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat
nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal.
Kriteria hasil :
Menunjukkan batuk yang efektif.
Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
Klien nyaman.
Intervensi :

1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa


terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Rasionalnya: Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
Rasionalnya : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan
dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
3. Diagnosa c : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma
mekanik terpasang bullow drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
1. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
Rasionalnya : mengetahui sejauh mana perkembangan luka
mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
2. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan
luka.
Rasionalnya : mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan
mempermudah
3. Pantau peningkatan suhu tubuh.
Rasionalnya : suhu tubuh

yang

meningkat

dapat

diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.


4. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka
dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
Rasionalnya : tehnik aseptik membantu mempercepat
penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
5. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan,
misalnya debridement.
Rasionalnya : agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi
tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
6. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasionalnya : balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari
tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi
infeksi.

7. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.


Rasionalnya : antibiotik berguna untuk

mematikan

mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi


infeksi.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC :
Jakarta.
Boedihartono, 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit.EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and
Suddarth Ed.8 Vol.3.EGC : Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7.
EGC:.Jakarta.
http://www.iwansain.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai