Anda di halaman 1dari 95

1

Daftar Isi
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................ 2


1. PARADOKS PRODUKTIVITAS TEKNOLOGI INFORMASI .............................................................. 3
2. KLASIFIKASI METODOLOGI ANALISA COST-BENEFIT ................................................................. 6
3. RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI INFORMASI .................... 11
4. TUJUAN DAN TIPE INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI ......................................................... 17
5. MEREKA-REKA MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI BAGI PERUSAHAAN ...................... 20
6. PERHITUNGAN COST-BENEFIT SEDERHANA UNTUK MANFAAT YANG TANGIBLE ... 23
7. TEKNIK MENGUKUR MANFAAT INTANGIBLE DALAM INVESTASI ..................................... 29
8. FORMULA MENGHITUNG KEUNTUNGAN INVESTASI ............................................................... 31
9. EVALUASI INVESTASI DENGAN METODE VALUE ANALYSIS ................................................. 34
10. PRINSIP DASAR PADA KONSEP INFORMATION ECONOMICS ............................................. 36
11. KERANGKA INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI GARTNER ............................................... 41
12. MANAJEMEN PORTOFOLIO INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI .................................... 46
13. PENGAWASAN ALOKASI BIAYA PROYEK TEKNOLOGI INFORMASI ................................. 49
14. PENENTUAN EFEKTIVITAS MANFAAT DENGAN PENDEKATAN ANALISA GAP ........ 53
15. STRATEGI MENILAI MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI ..................................................... 59
16. METODE I.S.S.U.E UNTUK MENGUKUR MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI ............... 63
17. MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI DALAM STANDAR COBIT ............ 68
18. KONSEP TOTAL VALUE OF OPPORTUNITY DARI GARTNER ............................................... 75
19. PENDEKATAN I.T. VALUE CHAIN MANAGEMENT DARI ALINEAN ................................... 78
20. ANALISA INVESTASI PROYEK SISTEM KEAMANAN JARINGAN ......................................... 85


REFERENSI ......................................................................................................................................................... 93
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................................................................. 95

1. Paradoks Produktivitas Teknologi Informasi


Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, triliunan dolar Amerika telah diinvestasikan oleh
berbagai perusahaan untuk membangun teknologi informasinya. Tercatat pada tahun 2000
sekitar dua triliun dolar telah dialokasikan oleh berbagai perusahaan di seluruh dunia untuk
membeli dan menerapkan teknologi ini, dan diperkirakan pada tahun 2004 nilai ini akan
mencapai sekitar tiga triliun dolar (Strassmann, 1997a). Namun demikian, hingga saat ini
masyarakat dan para praktisi industri masih mengalami kesulitan untuk membuktikan atau
memperlihatkan bahwa investasi sebesar itu benar-benar tidak percuma, dalam arti kata
secara nyata terlihat adanya peningkatan output produk dan jasa yang diciptakan secara
signifikan (Strassmann. 1997b). Fenomena ketidakcocokan atau ketidakseimbangan
antara besaran investasi yang dikeluarkan untuk keperluan teknologi informasi dengan
ukuran total output yang dihasilkan dideskripsikan sebagai sebuah IT Productivity
Paradox (paradoks produktivitas) sebuah isu yang hingga saat ini masih hangat
dibicarakan di kalangan akademisi maupun praktisi teknologi informasi semenjak tahun
1980-an (Roach, 1994).
Berdasarkan fakta dan definisi di atas, para pakar berusaha keras untuk mendapatkan
penjelasan yang logis mengenai mengapa fenomena paradoks produktivitas tersebut
terjadi. Dari hasil kajian mereka, alasan mengapa terjadinya paradoks tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu masing-masing mengkristal menjadi
kesimpulan sebagai berikut (Willcocks et al, 2000):
1.

Permasalahan analisa dan representasi data tidak memperlihatkan terjadinya


peningkatan produktivitas;

2.

Manfaat yang diperoleh oleh teknologi informasi tidak terlihat karena adanya
kerugian di area lain; dan

3.

Peningkatan produktivitas tidak terlihat karena adanya kegagalan penerapan


teknologi informasi atau tingginya alokasi biaya teknologi informasi.

A N A L IS A

D A N

R E P R E S E N T A S I

D A T A

Para ekonom mendefinisikan produktivitas dengan cukup mudah, yaitu jumlah keluaran
(output) dibagi dengan jumlah masukan (input). Besaran output dihitung dengan cara
mengalikan jumlah produk yang dihasilkan dengan nilai (value) rata-rata dari produk
tersebut; sementara besaran input didapatkan dari jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk
menghasilkan seluruh output tersebut. Angka rasio yang didapatkan dari hasil pembagian
antara output dengan input di atas dikenal sebagai labor productivity. Jika sumber daya
lain seperti misalnya besaran investasi dan kebutuhan material dimasukkan sebagai bagian
dari input, maka angka rasio yang didapat dikenal sebagai multifactor productivity.
Ternyata di dalam dunia teknologi informasi, rumusan sederhana ini belum tentu secara
kongkrit memperlihatkan atau merepresentasikan terjadinya kenaikan atau penurunan
produktivitas seperti yang umum dipergunakan pada aktivitas lain seperti proses
manufaktur atau produksi. Hal ini disebabkan karena berbeda dan beragamnya asumsi
terhadap variabel input maupun output yang dipergunakan.
Misalnya pada industri jasa seperti kesehatan dan pendidikan. Sangat sulit untuk
menentukan kuantitas atau karakteristik seperti apa yang dikatakan sebagai sebuah output.
3

Dalam industri kesehatan misalnya, apakah yang dimaksud dengan entiti output adalah
pasien yang dilayani, atau pasien yang berhasil disembuhkan, atau pasien yang menjalani
proses penyembuhan, dan lain sebagainya. Demikian pula di bidang pendidikan, apakah
output yang dimaksud berkaitan erat dengan jumlah mahasiswa yang lulus, atau jumlah
mahasiswa yang berhasil lulus tepat waktu, atau jumlah mahasiswa yang diluluskan, dan
lain sebagainya. Ini baru hal yang terkait dengan sesuatu yang dapat diukur dan dilihat
(kuantitaf dan tangible), belum dipertimbangkan faktor-faktor lain yang bersifat
unquantifiable dan intangible seperti kualitas dari output yang dihasilkan. Dengan kata
lain, masing-masing orang akan mencoba mendefinisikan output yang dimaksud sesuai
dengan kepentingan dan relevansinya masing-masing, sehingga pengukuran produktivitas
pun menjadi sangat relatif sifatnya.
Dari segi input, yang dalam hal ini terkait erat dengan alokasi sumber daya keuangan yang
diinvestasikan untuk pengembangan teknologi informasi, terlihat bahwa ternyata
pemakaian teknologi informasi di dalam sebuah perusahaan bersifat sistemik, dalam arti
kata menyebar di seluruh proses inti dan aktivitas penunjang yang ada, sehingga sangat
sulit untuk menentukan proporsi nilai investasi terhadap sebuah rangkaian proses tertentu
atau sub-sistem tertentu yang ingin dihitung produktivitasnya. Contohnya adalah investasi
untuk membeli sebuah mesin ATM yang ternyata tidak saja berpengaruh terhadap
meningkatnya produktivitas pada proses pelayanan terhadap pelanggan (dibandingkan
dengan menggunakan teller), tetapi berpengaruh pula terhadap aktivitas terkait lainnya
seperti: mempercepat proses transfer antar rekening, mengurangi biaya komunikasi dan
transaksi, meningkatkan rasa aman pelanggan, mempertinggi tingkat kepuasan nasabah,
dan lain sebagainya. Dengan kata lain, tidak adil rasanya jika investasi tersebut hanya
dibebankan semata pada sebuah proses atau sub-sistem tertentu sementara kontribusi
manfaatnya dirasakan pula oleh berbagai proses yang lain di dalam perusahaan.
Oleh karena itu dapat dimengerti betapa sulitnya mencari rumusan produktivitas yang
benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya dalam arti kata secara kongkrit
merepresentasikan manfaat yang diberikan oleh teknologi informasi per satuan investasi
yang dialokasikan. Hasil riset memperlihatkan lebih banyaknya hasil perhitungan yang
cenderung underestimate dampak produktivitas yang sebenarnya (kenaikan produktivitas
tersembunyi di balik angka-angka dengan asumsi yang keliru) dibandingkan yang
overestimate.

K E R U G IA N

A R E A

L A IN

Pada dasarnya organisasi semacam perusahaan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari
berbagai entiti yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Katakanlah penggunaan
sebuah aplikasi teknologi informasi di salah satu divisi berhasil meningkatkan
produktivitas karyawan yang berada di dalamnya. Karena produktivitasnya meningkat,
maka perusahaan dapat mengurangi jumlah karyawannya pada divisi terkait dan
memindahkannya di divisi lain. Akibatnya secara total sistem, jika diukur
produktivitasnya, nampak tidak terjadi peningkatan yang berarti karena pada divisi baru
tersebut, karyawan yang ada hanya akan menjadi beban tambahan overhead semata.
Contoh lainnya adalah penerapan electronic commerce yang memungkinkan seorang
pelanggan untuk melakukan pemesanan produk melalui internet untuk dapat diantarkan
langsung ke rumah (delivery) pada hari yang sama. Pada proses penjualan, jelas terjadi
4

peningkatan produktivas dalam arti kata meningkatnya frekuensi pemesanan oleh


pelanggan. Namun untuk dapat memenuhi delivery dalam kurun waktu 24 jam seperti
yang diinginkan, terpaksa perusahaan harus memiliki armada ekspedisi atau kurir
tambahan untuk melakukannya yang jika dihitung-hitung secara keseluruhan justru
terkesan menurunkan produktivitas perusahaan.
Kedua contoh di atas memperlihatkan bagaimana manfaat dari teknologi informasi di satu
tempat ter-offset dengan kerugian di tempat lain di dalam sebuah organisasi. Sehingga jika
dilakukan perhitungan produktivitas secara menyeluruh, hampir tidak terlihat peningkatan
yang signifikan. Bahkan tidak mustahil justru terjadi penurunan dari hasil perhitungan
produktivitas yang ada.

B E B A N

B IA Y A

T E K N O L O G I

IN F O R M A S I

Berbeda dengan kedua kesimpulan terdahulu dimana manfaat signifikan yang berhasil
disumbangkan oleh teknologi informasi termarginalkan oleh beberapa aspek terkait, maka
dalam kesimpulan yang ketiga ini bersumber dari kenyataan bahwa teknologi informasi
memang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap tingkat produktivitas bahkan
cenderung memperburuk kinerja produktivitas perusahaan secara keseluruhan.
Hasil kajian memperlihatkan adanya dua penyebab utama terjadinya hal ini. Hal pertama
berasal dari gagalnya penerapan teknologi informasi karena berbagai faktor penyebab
internal maupun eksternal. Dalam kerangka ini jelas terlihat bahwa investasi telah keluar
secara percuma dan tidak dapat dikembalikan lagi. Hal kedua terjadi karena tingginya
biaya pemeliharaan dan pengembangan teknologi informasi yang harus ditanggung
perusahaan. Sehingga walaupun secara bisnis telah terjadi peningkatan output,
membengkaknya biaya overhead pemeliharaan maupun pengembangan teknologi
informasi telah menyebabkan tingginya faktor input yang dibutuhkan sehingga secara
langsung berdampak pada perhitungan produktivitas.
Dengan memahami dan mempelajari fenonema paradoks tersebut, terlihat betapa sulit dan
kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi dalam rangka mencari relasi antara
besaran investasi yang dialokasikan dengan manfaat yang diperoleh oleh perusahaan
terkait dengan peningkatan produktivitas. Sudah hampir 25 tahun paradoks ini
diperbincangkan, dan selama itu pula perdebatan antara sejumlah kubu yang sepakat dan
menentang adanya paradoks ini berlangsung. Suka atau tidak suka, mau tidak mau, pada
kenyataannya filosofi business is business yang akan mendominasi manajemen
pengambil keputusan dalam menentukan apakah perusahaan perlu untuk mengalokasikan
sejumlah sumber dayanya untuk mengembangkan teknologi informasi. Pada kenyataannya
cukup banyak manajemen yang tidak perduli dengan adanya paradoks ini karena mereka
yakin betul bahwa tidak ada perusahaan yang bisa survive dewasa ini tanpa melibatkan
teknologi informasi. in IT we trust demikian kata hati mereka berbicara.

2. Klasifikasi Metodologi Analisa Cost-Benefit


A N A L IS A

C O S T -B E N E F IT

Pada dasarnya, metode pengukuran dan analisa cost-benefit didasarkan pada cara serta
perspektif manajemen dalam menilai kinerja teknologi informasi yang diimplementasikan.
Terkait dengan paradigma ini, setiap metodologi yang dipilih dan dipergunakan oleh
manajemen memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan metodologi
lain.
Strategic Analysis and Evaluation merupakan suatu teknik pengukuran dengan
menggunakan scoring technique yang didasarkan pada prinsip bahwa semua perangkat
teknologi informasi yang diimplementasikan dalam perusahaan harus secara jelas dan
tegas mendukung strategi generik perusahaan, sehingga keberadaannya harus dikaji secara
sungguh-sungguh. Michael Porter dalam teori competitive advantage-nya yang terkemuka
mengatakan bahwa hanya ada dua strategi yang dapat membuat perusahaan unggul
dibandingkan dengan kompetitornya, yaitu melalui: cost reduction dan differentiation. Jika
implementasi sebuah aplikasi teknologi informasi terbukti dapat mengurangi sejumlah
atau sekelompok biaya organisasi misalnya biaya transaksi atau komunikasi maka
teknologi tersebut dianggap tepat untuk diterapkan oleh perusahaan. Demikian juga jika
aplikasi sebuah teknologi informasi dapat membuat perusahaan memiliki sesuatu yang
membedakannya dengan perusahaan lain atau mempunyai sesuatu yang lain dari pada
yang lain, maka keberadaannya dianggap tepat dalam kerangka strategis perusahaan.
Contoh aplikasi teknologi informasi yang menunjang performa differentiation adalah:
implementasi customer relationship management sehingga pelanggan merasa memiliki
hubungan yang khusus dengan perusahaan, aplikasi call center yang berfungsi sebagai
help desk khusus bagi seorang nasabah bank, penerapan supply chain management yang
mendukung perusahaan dalam menjalin kemitraan bisnis strategis dengan mitra
pemasoknya, dan lain sebagainya. Jika seluruh investasi teknologi informasi perusahaan
diarahkan bagi dikembangkannya perangkat teknologi terkait dengan dua strategi generik
ini, maka dinilai bahwa investasi tersebut tepat (manfaatnya telah embedded di dalam
kedua strategi tersebut). Semakin terkait langsung aplikasi teknologi informasi terhadap
pencapaian strategi cost reduction maupun differentiation, semakin tinggi score atau
nilainya bagi perusahaan.
Value Chain Assessment adalah sebuah pendekatan scoring technique lain dimana
didasarkan pada teori value chain yang diperkenalkan pula oleh Michael Porter. Value
chain merupakan suatu rangkaian proses di dalam perusahaan yang terkait langsung
dengan penciptaan nilai bagi kebutuhan pelanggan, dimana nilai yang dimaksud biasanya
direpresentasikan langsung dalam bentuk produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan
tersebut. Contoh sebuah value chain adalah rantai aktivitas perusahaan semenjak yang
bersangkutan membeli bahan mentah, menyimpan di dalam gudang bahan mentah,
mengolahnya menjadi bahan baku, menyimpan hasilnya di gudang bahan baku,
mengolahnya menjadi produk jadi, menyimpan produk jadi di gudang khusus,
mendistribusikan dan menyebarkannya ke tempat-tempat penyimpanan, menjualnya
secara retail di sejumlah tempat, sampai dengan melayani pelanggan pasca penjualan.
Dalam kerangka ini dikatakan bahwa setiap investasi teknologi informasi yang
dialokasikan harus dipergunakan untuk mengembangkan teknologi yang secara langsung
dipergunakan di dalam rangkaian core process atau proses utama dalam rangkaian value
6

chain tersebut. Semakin terlihat hubungan keterkaitannya, semakin tinggi score perangkat
aplikasi teknologi informasinya bagi sebuah perusahaan.
Relative Competitive Performance atau yang sedikit banyak dapat dianalogikan sebagai
proses benchmarking merupakan cara menilai kelayakan investasi teknologi informasi
dengan mengkomparasikan atau membandingkannya dengan perusahaan serupa
(kompetitor) dalam industri sejenis. Butir-butir kinerja yang dikomparasikan menyangkut
sejumlah aspek baik kualitatif maupun kuantitatif terkait dengan biaya yang
dikeluarkan untuk investasi maupun manfaat strategis atau operasional yang didapat
perusahaan. Melalui cara pembandingan ini diyakini bahwa perusahaan tidak akan
melakukan under investment atau over investment terhadap pengembangan teknologi
informasi yang dimilikinya.
Proportion of Management Vision Achieved merupakan sebuah pendekatan yang cukup
unik dimana masing-masing individu yang memegang jabatan manajer ke atas (seperti
senior manager, general manager, vice president, director, dan lain sebagainya) diminta
untuk melakukan penilaian atau kajian yang didasarkan pada apakah implementasi
teknologi informasi terkait sesuai dengan keinginan atau kehendak atau rencana
mereka semula sebagai seorang pengambil keputusan. Pendekatan ini dipergunakan
dengan berasumsi bahwa seluruh manajer di dalam perusahaan bekerja dan bergerak untuk
menuju kepada satu visi dan misi yang telah dicanangkan; sehingga mereka tahu persis
bagaimana teknologi informasi dapat berperan membantu mereka dalam setiap aktivitas
pencapaian visi dan misi tersebut. Dengan kata lain, sebuah keputusan investasi dinilai
layak dan benar apabila sesuai dengan rencana atau pandangan dari manajer terkait,
sementara jika tidak maka dinilai investasi tersebut tidak pada tempatnya.
Work Study Assessment adalah suatu pendekatan evaluasi dimana dilakukan pengkajian
terhadap bagaimana implementasi teknologi informasi memberikan dampak pengaruh
terhadap pola dan cara kerja para individu dalam satu divisi atau departemen tertentu di
perusahaan. Dalam metode ini analisa dilakukan terhadap bagaimana kontribusi teknologi
informasi berpengaruh terhadap perbaikan kinerja sebuah proses tertentu yang sangat
ditentukan dengan besarnya volume pekerjaan dan tingginya frekuensi aktivitas yang
terjadi. Sebuah investasi teknologi informasi dinilai layak dan tepat apabila dapat benarbenar memperbaiki kinerja proses atau akvitas yang dilakukan sejumlah individu sehingga
terlihat pengaruhnya dalam bentuk peningkatan kinerja atau performansi divisi atau
departemen dimana perangkat teknologi tersebut diimplementasikan.
Economic Assessment dipandang sebagai salah satu pendekatan analisa yang
menggunakan sejumlah teori ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah model
matematika tertentu. Metode analisa yang biasanya dinyatakan dalam fungsi output
terhadap sejumlah variabel input ini diperkenalkan oleh sejumlah pakar ekonomi yang
bekerjasama dengan ahli matematika dan praktisi manajemen. Dengan memasukkan
sejumlah data sesuai dengan kondisi perusahaan yang ada ke dalam beragam variabel
input pada formula terkait, maka akan didapatkan nilai output yang akan dikomparasikan
dengan sejumlah parameter untuk menilai layak tidaknya biaya yang diinvestasikan
terhadap manfaat yang diperoleh perusahaan.
Financial Accounting Based Analysis adalah metode analisa yang mempergunakan
sejumlah formula dan ukuran yang baku dipergunakan dalam manajemen financial
accounting. Contohnya adalah dengan mempergunakan formula ROI, IRR, NPV, dan
lain-lain sebagai alat bantuk untuk menilai apakah sebuah investasi dianggap layak, wajar,
7

dan worth bagi sebuah perusahaan ditinjau terlebih-lebih dari aspek sumber daya
finansial.
User Attitudes adalah cara pengukuran manfaat dengan cara melibatkan mayoritas user
atau pengguna teknologi informasi di dalam perusahaan. Melalui survei, jajak pendapat,
observasi, dan diskusi, masing-masing pengguna diminta untuk menyatakan penilaiannya
terhadap setiap aplikasi yang mereka pergunakan, terutama berkaitan dengan seberapa
besar manfaat diterapkannya aplikasi tersebut untuk membantu aktivitas mereka seharihari. Semakin positif tanggapan mereka, semakin dinilai layaklah investasi teknologi
informasi yang telah dilakukan oleh perusahaan.
User Utility Assessment dipandang sebagai sebuah metodologi yang kontroversial karena
didasarkan pada asumsi yang sangat spekulatif. Prinsip yang dipegang dalam konsep ini
adalah bahwa semakin banyak dan semakin lama individu di perusahaan menggunakan
aplikasi teknologi informasi tertentu, semakin dianggap berhasillah penerapan teknologi
tersebut. Sementara semakin sedikit atau semakin banyak individu yang menolaknya,
semakin dipandang tidak layak investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem
tersebut. Paradigma ini dipergunakan karena anggapan bahwa semakin sering sebuah
sistem dipergunakan, berarti frekuensi transaksi bisnis yang dibantu dengan adanya
sistem tersebut semakin tinggi demikian juga dengan volume per transaksinya yang
berarti akan semakin banyak manfaat yang telah diperoleh perusahaan dengan utilisasi
tersebut. Sebaliknya, utilisasi yang rendah karena tidak terpakainya sistem berarti adanya
pemborosan sumber daya yang selayaknya tidak terjadi, yang berarti pula bahwa
investasi yang telah dikeluarkan sia-sia adanya.
Value Added Analysis adalah pendekatan dimana analisa dimulai dengan cara mengkaji
nilai atau value yang diberikan oleh sistem atau aplikasi teknologi informasi sebelum
menyentuh unsur pembiayaannya. Dengan kata lain, yang pertama-tama perlu dilakukan
adalah menyetujui akan nilai atau manfaat yang diberikan oleh aplikasi teknologi
informasi terlebih dahulu, baru kemudian mereka yang bersepakat duduk bersama untuk
mengkalkulasi biaya yang layak dikeluarkan untuk pencapaian value tersebut. Jika hasil
kalkulasi tersebut berkenan di hati para pengambil keputusan, maka investasi yang
dikeluarkan dinilai layak; sementara jika tidak, maka rencana membangun dan/atau
mengembangkan sistem terkait terpaksa tidak dilakukan.
Return on Management diperkenalkan pertama kalinya oleh Paul Strassman dalam
bukunya Information Payoff (Strassman, 1985) dan ditekankan kembali pada karyanya
The Business Value of Computers (Strassman, 1990), dimana yang bersangkutan
berusaha memisahkan apa yang dinamakan sebagai management added value dengan
management cost dan kemudian membandingkan keduanya untuk diperoleh Return On
Management atau ROM. Konsepnya cukup jelas, yaitu sebagai berikut:

Semenjak sebuah sistem aplikasi teknologi informasi diterapkan, dihitunglah


seberapa besar pendapatan atau revenue yang diperoleh perusahaan.

Jika revenue tersebut dikurangi dengan Cost Of Goods Sold atau COGS dan
pajak, akan diperoleh profit margin atau business value added.

Dari business value added ini kemudian dikurangi dengan shareholders value
added (misalnya dalam bentuk pembagian deviden saham) dan operation costs

sehingga akhirnya diperoleh sebuah nilai yang merupakan gabungan dari


management costs dan management value added.

Jika nilai tersebut dikurangi dengan management costs, maka akan didapatlah
management value added.

Dengan berpegang pada formula:


ROM = Management Value Added : Management Cost
maka akan diperoleh harga ROM yang akan menentukan tingkat kelayakan investasi yang
telah dan/atau akan dilakukan. Konsep ini dibangun dengan filosofi bahwa dalam
perusahaan moderen, yang terpenting bukanlah modal, material, maupun teknologi,
namun adalah sumber daya manusia yang direpresentasikan dalam manajemen.
Multi-Objective Multi-Criteria Method atau MOMCM diperkenalkan sebagai sebuah
metode yang bernuansa subyektif karena didasarkan pada kenyataan bahwa setiap sistem
aplikasi yang diterapkan memiliki obyektif yang berbeda karena beragamnya stakeholders
yang berkepentingan dengan adanya sistem tersebut. Adanya sejumlah obyektif yang
berbeda dan beragamnya perspektif stakeholders memaksa perlu dikembangkannya
sebuah sistem yang dapat mengadopsi situasi ini. Dalam MOMCM tersebut masingmasing stakeholder diberi kesempatan untuk menentukan sendiri bobot atau weight dan
penilaian dari sejumlah obyektif atau manfaat yang didapat dari adanya sistem aplikasi
terkait. Dengan cara demikian, maka perusahaan dapat melihat dan menentukan layak
tidaknya suatu investasi dari hasil total penilaian para stakeholder tersebut.
Keduabelas metode tersebut pada dasarnya memiliki sejumlah karakteristik yang
membedakan satu dan lainnya, dan perusahaan perlu mengetahui kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing cara yang ada. Tabel berikut memperlihatkan secara
ringkas isu-isu seputar masing-masing metode evaluasi yang dijelaskan sebelumnya.
Approach and Methods
Strategic Analysis and Evaluation

Value Chain Assessment


Relative Competitive Performance

Proportion of Management Vision


Achieved

Work Study Assessment

Issues and Characteristics


Highly subjective
Issues not well understood
All but top management may be unaware of
strategy
Very subjective
Difficult to obtain hard data
Not well understood by management
Information available may be sketchy
Difficult to compare benefits of different
system
Uncertainty about competitors plans
No hard data
Virtually no objectivity in this approach to
assessment
It is sometimes not easy to get top
management to admit to failure
Objectivity may be relatively superficial
Changes in work patterns may be drastically

Economic Assessment I/O Analysis

Cost Benefit Analysis Based on


Financial Accounting

User Attitudes

User Utility Assessment

Value Added Analysis


Return on Management
Multi-Objectives Multi-Criteria
Methods

alter the assessment


Most managers are not familiar with these
techniques
Requires an understanding of economic
analysis
It is relatively abstract
It attmepts to avoid detailed quantification
of monetary terms
Most managers are not familiar with these
techniques
Tis approach is subject to manipulation
Accounting requires a sound infrastructure
which many firms do not have
Financial accounting cannot extend beyond
simple monetary terms and thus many issues
of value are omitted
However this approach has long established
acceptance in business
Involving too many users
Every user is unique and has different
background
Too many statistics involved
Users may not tell the truth or simply
exaggerate
Users may have vested interersts in
presenting a particular viewpoint
Corporate culture may colour users views
and the interpretation of the outcome
Very practical approach
Keeps costs under control
Encourages prototyping
A major break with classical economics
Not easy to operationalise
Useful to stimulate re-thinking
A very unquantifiable method
Not userful as a post implementation tool
Useful to stimulate debate

Sejumlah praktisi manajemen menyarankan agar sebuah perusahaan dapat menggunakan


dua atau tiga cara sekaligus dalam menganalisa cost-benefit investasi teknologi informasi
karena setiap metodologi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (kedua
atau ketiga metodologi yang dipergunakan diharapkan dapat saling melengkapi sehingga
menghasilkan suatu metrik pengukuran yang lebih berkualitas). Namun bukan berarti
perusahaan dapat menggunakan sekitar enam atau tujuh cara sekaligus, karena justru akan
berpotensi menghasilkan sebuah hasil yang konflik satu dan lainnya sehingga akan
mempersulit pengambilan keputusan.

10

3. Ragam Teknik Evaluasi Investasi Proyek Teknologi


Informasi
Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di dalam dunia
bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya menjustifikasi
kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan teknologi tersebut. Berikut
adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi informasi yang cukup banyak dikenal
dan telah dipergunakan secara luas di kalangan praktisi bisnis.
R E T U R N -O N -IN V E S T M E N T

(R O I)

Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe, 1982).
Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana dicoba dihitung
durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang telah dialokasikan.
Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini terlampau sederhana. Mereka lebih
suka menggunakan metode ROI dimana dicoba diperhitungkan nilai atau value atau
manfaat investasi yang akan diperoleh di masa depan dan memproyeksikan besaran nilai
tersebut pada saat ini (ketika investasi dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih
adalah dengan menggunakan Internal Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan
bersama dengan Net Present Value (NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang
diusulkan untuk dibiayai terlebih dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut
lebih besar dari hurdle rate of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang
telah disepakati perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR
berada di bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya
ditolak oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh
organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber daya
keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi para
pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek teknologi
informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih besar dari
ambang rasio yang dicanangkan misalnya lebih besar dari bunga deposito bank atau alat
investasi konvensional lainnya maka manajemen dengan leluasa dan penuh kepastian
akan memilih untuk melakukan investasi terhadap proyek tersebut. Namun kelemahan
terbesar dan dinilai cukup mendasar dari metode ROI ini adalah banyaknya hambatan
dalam menentukan nilai atau parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk
menghitung IRR misalnya, karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena
IRR membutuhkan nilai perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi
teknologi informasi di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit
untuk ditentukan, yaitu:

Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat


yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain
disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible,
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan
kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai
atau manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat
relatif).

Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak


sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada
11

waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas


tinggi. Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar
akan memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek.
Seandainya proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu
dilakukan perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan
kebutuhan bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan
untuk menyelesaikan proyek terkait.
Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih menggunakan metode
ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi informasinya, sebagian dari
mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode ini.
C O S T -B E N E F IT

A N A L Y S IS

(C B A )

Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau menghitung nilai
dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi terhadap biaya yang
dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978). Pada mulanya, metode ini lahir
untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait seperti manfaat - dengan teknologi
informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau harga yang jelas. Contohnya adalah akan
dinilai berapa manfaat implementasi sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk
menyelematkan nyawa satu orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value
yang jelas dicoba untuk dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan
berbagai teknik penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah
ditransfer ke dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam
format alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah
dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya manajemen
dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif maupun intangible.
Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian yang sudah-sudah adalah
sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam menentukan teknik yang sesuai dalam
mencari value elemen yang nilainya tidak jelas tersebut.
M U L T I -O B J E C T IV E ,
(M O M C )

M U L T I-C R IT E R IA

M E T H O D S

Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa di dalam sebuah
perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing memiliki pandangan
berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari sejumlah aspek atau elemen
teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran yang dipandang lebih penting
dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap proyek teknologi informasi pasti
memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang ditemui terdapat lebih dari satu
obyektif yang menjadi target. Karena setiap stakeholder sebagai pengambil keputusan
memiliki pandangan atau perspektif yang berbeda terhadap obyektif tersebut, maka
masing-masing pihak berhak untuk melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap
sejumlah obyektif yang ada (misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari
investasi yang akan dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan
dengan biaya maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut
untuk memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi

12

proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik yang
terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun manfaat dari
teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah dimungkinkannya
pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih dari satu jenis proyek
investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat terkait. Untuk membantu
manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak sekali dijual di pasaran berbagai
jenis perangkat lunak (software) yang dapat dipergunakan. Selain sebagai alat bantu
pengambilan keputusan, perangkat lunak tersebut dapat pula melakukan kajian terkait
dengan metode ini seperti contohnya analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan
(robustness).
B O U N D A R Y

V A L U E S

Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari karena
kemudahan dan kesederhanaannya (Martin, 1989). Prinsip yang dipergunakan adalah
melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio perusahaan dengan rasio rata-rata
industri yang diperoleh dengan cara menghitung biaya total yang harus dikeluarkan untuk
investasi teknologi informasi dibandingkan dengan sebuah ukuran agregrat tertentu,
seperti total pendapatan (revenue) atau total pengeluaran operasional (operating expenses).
Jika rasio perusahaan lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka
kenaikan biaya investasi dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya
dilakukan. Sementara jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi
tersebut. Sering pula dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan
menggunakan rasio biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara
manfaat teknologi informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan
pemeliharaan teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan
untuk mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja
efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar
dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan dengan
para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan memiliki kinerja
teknologi informasi yang sukses dan kompetitif.
R E T U R N -O N -M A N A G E M E N T

(R O M )

Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan terjadinya
perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985). Cara ini
bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap nilai tambah di
kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil perhitungan dari total
pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan nilai tambah dari masingmasing sumber daya termasuk modal (capital) kecuali biaya manajemen dan hal
terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah sistem baru adalah selisih antara
ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan dengan ROM setelah sistem tersebut
diimplementasikan. Tantangan penggunaan metode ini terletak pada kemampuan
memperkirakan proyek pendapatan dan biaya terkait dengannya di kemudian hari
seandainya sistem tersebut diimplementasikan. Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja
metode ROM akan jauh lebih baik dibandingkan dengan metode ex post evaluation
lainnya.

13

IN F O R M A T IO N

E C O N O M IC S

(IE )

Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satu-satunya cara
yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor dan karakteristik
unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam mengevaluasi proyek
investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam prakteknya, terlihat bahwa
metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang disesuaikan secara khusus untuk
menjawab berbagai faktor ketidakpastian (uncertainties) dan intangible yang kerap
ditemukan dalam proyek teknologi informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat
kuantitatif dan tangible dapat dengan mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode
ROI konvensional. Namun untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki
unsur resiko, diberlakukan sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring.
Hasilnya kemudian dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari
aspek yang bersifat tangible dan intangible. Singkatnya, metode ini bertujuan untuk
mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul akibat
diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini dikatakan
merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses tambahan yang
diberlakukan, yaitu:

Value Linking yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama


di berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;

Value Acceleration - yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang


akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan

Job Enrichment yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah


lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan
perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.

Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan kualitatif dari
manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang penuh
ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama yang berkaitan
dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk menggunakan metode
ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang kompleks dan cukup memakan
waktu.

C R IT IC A L

S U C C E S S

F A C T O R S

(C S F )

Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para pimpinan
perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah menentukan visi,
misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan berusaha untuk
mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa saja yang dipandang
sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF berhasil didefinisikan, barulah
ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi informasi terhadap masing-masing
CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi sangat besar terhadap pencapaian sebuah
CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF
adalah: pelayanan prima kepada pelanggan di seluruh dunia dimana investasi untuk
14

membangun sebuah sistem Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu


keharusan.

V A L U E

A N A L Y S IS

(V A )

Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang memberikan


sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible (Melone et al, 1984).
Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa lebih baik memfokuskan diri
pada value atau nilai yang didapat perusahaan dibandingkan dengan usaha untuk
mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini didasari pada observasi bahwa setiap
inovasi berkembang karena adanya keinginan untuk meningkatkan value tertentu, bukan
sekedar untuk melakukan penghematan terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value
yang optimal, kajian terhadap hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA
biasanya mempergunakan teknik pendekatan iteratif - seperti metode Delphi untuk
mendapatkan solusi terhadap permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip
dari sebuah sistem agar manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value
yang dapat diperoleh seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di
kemudian hari. Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang
akan diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik
seperti cluster analysis manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan. Setelah
kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing kategri
dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut kerap
diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan lain
sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada MOMC.
Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk
diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para stakeholder
dalam dunia bisnis.

E X P E R IM E N T A L

M E T H O D S

Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya sistem telah selesai
dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan, terutama mereka yang
belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup mengenai dampak teknologi
informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau besar, pengerjaan yang diperkirakan
memakan waktu cukup lama, dan ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan
hal-hal yang sangat menakutkan bagi para pengambil keputusan yang akhirnya
memilih untuk tidak melakukan investasi. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara
ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut, yaitu
masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan ringkas
mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut:

Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari


sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah
sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas.
Manajemen yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai
sistem yang akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis
tertentu untuk dibangun prototipnya. Setelah prototip selesai dibangun, barulah
15

didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut


dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang
dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan
dibangun.

Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan
terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu
(software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah
agar perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif
yang terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang
bersangkutan merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi
informasinya. Melalui alat simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat
melakukan berbagai skenario yang dikehendakinya (what-if scenario)
terutama terkait dengan nilai investasi yang ingin dikeluarkan (karena hal
tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi teknologi informasi yang
akan dibangun).

Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play


terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya
sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya
perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses
tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait
dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem
automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh
akan teridentifikasi melalui proses diskusi dari berbagai pihak yang
berkepentingan ini.

Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam perkembangannya


masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk mengevaluasi investasi proyek
teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983): art criticism (menggunakan
justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan pengalaman luas mereka mengenai value of
IT bagi bisnis), accreditation (menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas
dari sebuah investasi yang baik dan benar), adversarial methods (mengambil keputusan
setelah mendengarkan dua belah pihak saling berdebat mengenai pro dan kontra dari
rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis yang
pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.

16

4. Tujuan dan Tipe Investasi Teknologi Informasi


Investasi merupakan salah satu keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan,
terutama ketika bisnisnya sedang berada dalam tahap awal, yaitu pada tingkat
pembentukan dan pertumbuhan (infancy dan growth stages). Namun tidak jarang dijumpai
pimpinan perusahaan yang menganggap bahwa investasi terhadap teknologi informasi
merupakan suatu hal yang tidak terlalu penting untuk dilakukan oleh perusahaan.
Kebanyakan dari mereka merasa bahwa investasi tersebut sifatnya adalah optional atau
nice to have belaka, dalam arti kata tidak wajib untuk dilaksanakan. Dalam kerangka
manajemen strategis di era moderen saat ini, pandangan tersebut dapat dianggap benar
atau salah sama sekali, tergantung dari karakteristik investasi yang ada.
Pada dasarnya peranan teknologi informasi bagi setiap perusahaan bersifat unik dan
spesifik. Hal ini disebabkan karena masing-masing perusahaan memiliki strategi yang
berbeda satu dengan lainnya. Walaupun dua buah perusahaan misalnya berada pada
sebuah industri yang sama, namun peranan teknologi informasinya bisa sangat berbeda.
Lihatlah bagaimana pelanggan sebuah bank akan rush jika jaringan ATM-nya rusak satu
hari saja sementara bank yang lain tidak mengalami gangguan yang berarti walaupun
jaringan ATM-nya rusak seminggu. Artinya adalah bahwa meskipun keduanya memiliki
teknologi informasi berupa jaringan ATM untuk mendukung bisnisnya, namun bagi bank
yang pertama teknologi tersebut sifatnya adalah vital, sementara bagi bank lainnya
teknologi ATM terkait hanyalah berfungsi sebagai perangkat penunjang belaka.
Ditinjau dari segi peranan strategis teknologi informasi, paling tidak dapat ditemukan lima
jenis tujuan dari dilakukannya investasi terhadap perangkat teknologi tersebut. Kategori
pertama adalah karena alasan kelangsungan hidup perusahaan atau bisnis itu sendiri,
dalam arti kata adalah bahwa perusahaan melihat bahwa keberadaan teknologi informasi
di dalam bisnis terkait sifatnya adalah mutlak. Contohnya adalah perusahaan semacam
bank retail, hotel kelas atas (bintang lima), transportasi penerbangan, dan lain sebagainya
yang tidak mungkin dapat bertahan lama dalam ketatnya persaingan bisnis tanpa
diperlengkapi oleh teknologi informasi. Melihat kemutlakan sifat tersebut, maka jarang
dilakukan analisa untuk menimbang seberapa penting melakukan investasi untuk
mengembangkan teknologi informasi karena perangkat tersebut merupakan syarat atau
sarana utama yang harus dimiliki perusahaan agar dapat berbisnis.
Kategori kedua adalah perusahaan yang hendak melakukan investasi karena alasan ingin
memperbaiki efisiensi. Diharapkan dengan diimplementasikannya teknologi informasi
dalam sejumlah bidang atau aktivitas tertentu, maka akan dilakukan proses reduksi atau
optimalisasi terhadap alokasi beragam sumber daya perusahaan, seperti: manusia, waktu,
biaya, material, aset, dan lain sebagainya. Biasanya teknologi informasi dipergunakan
untuk menekan atau mereduksi biaya komunikasi (interaksi) dan transaksi. Contohnya
adalah penerapan teknologi semacam intranet, office automation, website, dan lain
sebagainya. Berdasarkan teori keunggulan kompetitif Michael Porter, salah satu strategi
perusahaan dalam era persaingan global yang kerap dipakai adalah cost leadership, dalam
arti kata manajemen berusaha untuk sedapat mungkin menekan biaya produksi agar
barang atau jasa yang ditawarkannya dapat bersaing dalam harga. Artinya adalah bahwa
untuk industri dimana faktor harga memiliki elastisitas yang tinggi di pasar seperti
misalnya produk komoditas aspek efisiensi merupakan hal krusial atau vital yang harus
diupayakan oleh perusahaan. Perusahaan akan mampu menciptakan produk atau jasa yang
baik, murah, dan cepat apabila proses penciptaan produk atau jasa tersebut adalah baik,
murah, dan cepat. Metode yang paling tepat dipergunakan untuk mengevaluasi proposal
17

investasi terhadap teknologi terkait adalah analisa cost benefit; dimana dalam metode ini
dicoba untuk dikomparasikan antara besarnya investasi yang dikeluarkan dengan perkiraan
manfaat efisiensi yang diperoleh melalui penerapan teknologi informasi tersebut.
Investment Purpose
business survival
improving efficiency
improving
effectiveness
competitive leap
infrastructure

Investment Type
Mandatory
Vital
Critical

Evaluate/Measure
continue/discontinue business
cost benefit
business analysis

Strategic
Architecture

strategic analysis
very broad terms

Kategori berikutnya adalah tujuan investasi untuk memperbaiki efektitivitas usaha, dalam
arti kata melakukan apa yang diistilahkan sebagai do the right thing. Contoh penerapan
aplikasi teknologi informasi terkait dengan hal ini adalah menerapkan sistem pengambilan
keputusan (decision support system), membangun datawarehouse untuk keperluan
business intelligence, mengembangkan situs electronic commerce, dan lain sebagainya.
Dalam bisnis, investasi semacam ini dikatakan sebagai sebuah hal yang kritikal, mengingat
bahwa tanpa dimilikinya perangkat teknologi tersebut, akan sulit bagi perusahaan untuk
menjalankan suatu rangkaian proses tertentu. Oleh karena itulah maka cara melakukan
evaluasi terhadap investasi terkait adalah dengan menjalankan aktivitas analisa bisnis,
dimana dalam kegiatan tersebut dipetakan dan didefinisikan rangkaian proses mana saja
yang merupakan core processes atau proses utama; dimana teknologi informasi akan
dipergunakan untuk menopang kehandalan proses tersebut.
Kategori keempat adalah keinginan perusahaan untuk mendapatkan suatu loncatan
keunggulan kompetitif (competitive advantage leap) agar dapat meninggalkan para
pesaing bisnisnya dengan mengembangkan teknologi yang perusahaan lain belum
memiliki. Terkait dengan tipe investasi ini adalah pengembangan aplikasi untuk
menerapkan berbagai konsep manajemen baru seperti supply chain management,
enterprise resource planning, customer relationship management, call center, dan lain
sebagainya dimana secara signifikan implementasi berbagai perangkat teknologi
informasi ini diharapkan dapat membawa perusahaan berada jauh di depan dipandingkan
dengan para pesaing bisnisnya. Investasi dalam kaitan ini memang terkesan bersifat
strategis, atau memiliki perspektif rentang waktu jangka panjang, sehingga kelayakannya
sangat ditentukan oleh para pimpinan senior perusahaan (misalnya para anggota direksi);
sehingga alat bantu untuk mengukur visibilitas dari investasi ini biasanya terkait dengan
konsep analisa strategis.
Kategori yang terakhir adalah suatu bentuk investasi yang dilatarbelakangi oleh peranan
teknologi informasi sebagai salah satu perangkat infrastruktur yang tidak dapat dihindari
keberadaannya bagi sebuah perusahaan di era global ini. Adalah merupakan suatu standar
bagi perusahaan dewasa ini untuk memiliki corporate website yang dapat diakses oleh
para calon pelanggan di seluruh dunia, menggunakan email sebagai sarana berkomunikasi
sehari-harinya, memanfaatkan sejumlah alat bantu aplikasi office productivity (seperti
word processor, spreadsheet, presentation, database, dan lain-lain), menginstalasi
jaringan Local Area Network untuk keperluan aktivitas sehari-hari, dan lain sebagainya;
dimana keseluruhan perangkat tersebut sudah menjadi sebuah infrastruktur usaha yang
harus dimiliki oleh perusahaan. Besarnya investasi yang perlu dikeluarkan sifatnya sangat
tergantung dari arsitektur infrastruktur yang diadopsi oleh perusahaan, sehingga alat ukur
kelayakannya pun cukup beraneka ragam. Biasanya pimpinan akan melakukan proses

18

benchmarking dengan perusahaan lain yang bergerak di industri serupa dan memiliki
ukuran usaha yang kurang lebih sama untuk mendapatkan perkiraan total investasi yang
wajar untuk kategori infrastruktur ini.

19

5. Mereka-reka Manfaat Teknologi Informasi bagi


Perusahaan
Merupakan hal yang cukup sulit dalam menentukan apakah melakukan investasi untuk
membangun infrastruktur teknologi informasi merupakan hal yang tepat atau tidak. Di satu
pihak perusahaan merasa bahwa seperti halnya investasi di bidang lain, harus ada target
ROI (Return On Investment) yang dikenakan pada setiap investasi terhadap komponen
teknologi informasi, perusahaan pesaing lain banyak yang sudah tidak memikirkan hal ini
lagi, alias investasi yang dilakukan sudah melampaui batas-batas kewajaran (berlebihan).
Namun gejala over investment ini bukan tanpa alasan dilakukan oleh perusahaanperusahaan besar mengingat banyak sekali advantage dari utilisasi teknologi informasi
yang tidak dapat diukur secara finansial. Dan Remenyi, Arthur Money, dan Alan Twite
mencoba mengilustrasikan benefit tersebut dalam sebuah matriks (Remenyi et al, 1995)
yang dapat digunakan sebagai landasan manajemen dalam pengambilan keputusan.
Masalah investasi di bidang teknologi informasi merupakan hal yang cukup memusingkan
kepala para manajemen senior perusahaan. Di satu sisi mereka sadar bahwa sudah saatnya
(kalau tidak memang karena sudah terlambat) mereka harus memiliki suatu sistem
informasi yang dapat menunjang bisnis mereka, sementara di lain pihak mereka harus
mengeluarkan biaya yang relatif cukup besar untuk dapat merancang dan
mengimplementasikan sistem informasi yang dibutuhkan. Tanpa memiliki teknologi
informasi yang cukup canggih, sulit di alam kompetisi global ini untuk dapat bersaing
dengan perusahaan-perusahaan besar dari manca negara yang mulai banyak mengadu
untung di tanah air. Namun salah mengidentifikasikan kebutuhan sistem pun akan menjadi
bumerang bagi organisasi yang bersangkutan. Jika dalam organisasi non-profit jenis
teknologi yang cocok adalah yang tepat guna, dalam perusahaan, besarnya investasi di
bidang teknologi informasi yang feasible ditentukan melalui suatu analisa biaya dan
manfaat (cost-benefit analysis).
Menghitung biaya investasi yang diperlukan di muka, dan biaya operasional yang secara
periodik harus dikeluarkan per bulannya, cukup mudah untuk dilakukan. Namun
terkadang para praktisi teknologi informasi maupun manajemen perusahaan sulit
meyakinkan pelaku investasi akan besarnya manfaat (benefit) yang akan diperoleh melalui
investasi di bidang teknologi informasi, karena tidak semua jenis manfaat dapat dengan
mudah dirupiahkan.
Remenyi membagi manfaat dari utilisasi teknologi informasi menjadi dua macam, yang
bersifat tangible dan intangible. Manfaat tangible adalah yang secara langsung
berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan, baik berupa pengurangan atau
penghematan biaya (cost) maupun peningkatan pendapatan (revenue). Sebagai contoh,
jika pada mulanya perusahaan harus mempekerjakan beberapa karyawan yang secara
khusus bertugas mempersiapkan laporan-laporan rekapitulasi keuangan, dengan
diimplementasikannya aplikasi Datawarehousing perusahaan yang bersangkutan tidak
perlu lagi harus merekrut karyawan-karyawan baru yang harus digaji per bulannya.
Contoh lainnya adalah dengan diinstalasinya ATM (Automated Teller Machine) sebagai
perpanjangan tangan atau kanal distribusi, sebuah bank dapat merperluas jangkauan
bisnisnya sehingga dapat menjaring para pelanggan baru atau non pelanggan untuk
melakukan transaksi melalui mesin tersebut. Secara nyata perusahaan dapat merasakan
pertambahan revenue yang diperoleh melalui transaksi-transaksi melalui jaringan ATMnya.
20

Namun pada kenyataannya, tidak semua jenis manfaat tangible dapat dinyatakan dalam
besaran angka atau kuantitatif. Contoh yang paling populer adalah dengan
dikembangkannya Office Automation System, sebuah perusahaan merasa kinerjanya
menjadi lebih efisien dan cost effective. Namun besarnya efisiensi dan efektivitas sangat
sulit dikuantitatifkan dalam rupiah.

TANGIBLE

Di sisi lain, manfaat intangible didefinisikan sebagai manfaat positif yang diperoleh oleh
perusahaan sehubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi, namun tidak memiliki
korelasi secara langsung dengan profitabilitas perusahaan. Seperti halnya manfaat tangible
dan manfaat intangible dapat dibagi menjadi dua bagian, yang quantifiable dan yang
unquantifiable atau biasa pula dipergunakan measurable dan unmeasurable. Matriks
berikut menggambarkan kategori dari manfaat atau benefit yang diperoleh oleh
perusahaan sehubungan dengan investasi di bidang teknologi informasi beserta contohcontohnya.

HIGH

Better Information
Improved Security
Lower Risk

Staff Reduction
Lower Assets
More Sales

LOW

Market Reaction
Access to New Staff

Faster Information
Positive Staff Reaction

LOW

HIGH

MEASURABLE

Sumber: Remenyi et.al., 1995

Berdasarkan kenyataan di lapangan, terlihat bahwa sebagian besar manajemen hanya


memperhatikan manfaat yang tangible-quantifiable karena mudah untuk dikalkulasi dan
dirupiahkan dan terlihat berpengaruh langsung terhadap profitabilitas perusahaan.
Sehingga tidaklah mengherankan jika melihat kenyataan betapa sulitnya meng-goal-kan
suatu proyek teknologi informasi karena berdasarkan perhitungan, terlihat bahwa benefit
yang diperoleh tidak sesuai dengan besarnya cost yang dikeluarkan. Namun jika
manajemen berani untuk mengkalkulasi baik secara heuristik maupun secara what-if
simulation maka akan terlihat kelayakan investasi di bidang teknologi informasi.
Kalkulasi secara heuristik biasanya dilakukan dengan cara hitung-hitungan kasar dan
sederhana. Katakanlah untuk membangun suatu Executive Information System,
manajemen senior ditanya berapa besar yang bersangkutan mau membayar untuk sebuah
laporan atau informasi per harinya. Jika manajer tersebut mau membayar katakanlah Rp
10,000 per laporan per harinya, berarti dengan kata lain beliau mau mengeluarkan kurang
lebih Rp 200,000 per bulannya. Jika ada 50 manajer dalam satu perusahaan, berarti per
bulannya mereka mau mengeluarkan Rp 10,000,000 per bulan untuk laporan yang
bersangkutan, atau dengan kata lain Rp 120,000,000 per tahunnya. Nilai kasar inilah yang
dianggap dapat merepresentasikan nilai dari informasi (manfaat) tersebut, sehingga dapat

21

melakukan perbandingan dengan biaya yang diperlukan untuk membangun sistem


Executive Information System tersebut.
What-if simulation biasanya berupa suatu aplikasi sederhana dalam spreadsheet yang
berisi kalkulasi secara matematis mengenai hubungan antara variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap biaya dan manfaat dari kinerja teknologi informasi. Katakanlah
dengan diimplementasikannya sistem komputer tertentu, maka seorang customer service
dapat lebih cepat melayani pelanggan, sehingga dalam satu hari akan lebih banyak jumlah
pelanggan yang dapat dilayani oleh perusahaan yang bersangkutan, yang secara tidak
langsung akan meningkatkan kualitas pelayanan dan mendatangkan sumber-sumber
pendapatan yang potensial. Katakanlah counter tersebut bertugas melayani pembukaan
rekening baru di bank, maka dalam satu hari, jumlah pemasukan bank dengan adanya
sistem komputer akan lebih besar jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya yang
manual.
Pada buku yang sama, Remenyi memperlihatkan sebuah matriks yang diharapkan dapat
memandu manajemen dalam menentukan teknik pendekatan semacam apa yang cocok
untuk dipergunakan berdasarkan karakteristik tangible-intangible dan measurableunmeasurable seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.

Sumber: Remenyi et.al., 1995

Masih banyak lagi teknik-teknik lain yang dapat dipergunakan untuk menghitung manfaat
menyeluruh yang dapat diberikan oleh suatu sistem informasi. Pada dasarnya, perlu
dibentuk tim yang secara khusus dapat melakukan analisa cost-benefit secara menyeluruh
sehingga manajemen dapat dengan mudah mengambil keputusan terhadap investasi
besarnya di bidang teknologi informasi.

22

6. Perhitungan Cost-Benefit Sederhana untuk Manfaat


yang Tangible
Analisa Cost-Benefit dalam metode penghitungan investasi pengembangan teknologi
informasi menggunakan prinsip memperbandingkan biaya yang harus dikeluarkan dengan
manfaat yang diperoleh oleh perusahaan. Pendekatan ini biasa dipergunakan di dalam
situasi dimana penggunaan teknologi informasi memberikan manfaat yang tangible dan
cenderung mudah diukur (measurable) secara kuantitatif. Konsep ini sebenarnya cukup
sederhana, namun ada baiknya dipahami sungguh-sunggu sebelum mencoba
menggunakan teknik lain yang lebih rumit. Untuk mudahnya, akan diberikan 4 (empat)
buah contoh pendekatan ini masing-masing terkait dengan manfaat teknologi informasi
dalam:

Mereduksi biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (cost displacement);

Menghindari biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (cost avoidance);

Memperbaiki kualitas keputusan yang diambil (decision analysis); dan

Menghasilkan dampak positif yang diperoleh perusahaan (impact analysis).

C O S T

D IS P L A C E M E N T

Banyak biaya yang dapat direduksi dengan dimanfaatkannya komputer atau teknologi
informasi di sebuah perusahaan. Pendekatan ini biasa dipergunakan, pada saat teknologi
informasi dipergunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja efisiensi, dalam hal ini
memanfaatkan keunggulan yang ditawarkan untuk mengurangi total biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan (biasanya terkait dengan biaya overhead). Misalnya dengan
dipergunakannya komputer, maka lembur tidak perlu dilakukan lagi sehingga biaya
tunjangan gaji karyawan maupun penyelia dapat dikurangi. Atau dengan dipergunakannya
aplikasi spreadsheet, maka tidak perlu lagi direkrut karyawan honorer untuk membuat
laporan konsolidasi dalam bentuk grafik, karena komputer telah secara otomatis
mengeluarkannya. Karena pada dasarnya biaya-biaya tersebut dapat dengan mudah
dihitung secara kuantitatif, maka ROI atau payback dari investasi teknologi informasi
tersebut dapat dengan mudah dan sederhana dihitung seperti yang diperlihatkan pada tabel
berikut ini.
dalam 000,000

Biaya Investasi
Personal Computer
Aplikasi Spreadsheet
Jaringan
Modem
Printer dan Scanner
Instalasi
Total
Biaya Bulanan
Karyawan
Pemeliharaan

Rp100
Rp128
Rp73
Rp2
Rp2
Rp10
Rp315

Rp9
Rp12

23

Pengembangan Aplikasi
Lain-Lain
Amortisasi
Total

Rp8
Rp8
Rp8
Rp45

Manfaat Bulanan
Reduksi gaji pegawai
Reduksi proses kontrol
Reduksi biaya administrasi
Reduksi biaya sewa tempat
Reduksi biaya lain-lain
Total

Rp42
Rp8
Rp4
Rp2
Rp1
Rp57

Keuntungan per Bulan

Rp12

Manfaat per Tahun


ROI
Simple Payback

Rp144
46%
2

tahun

Dalam tabel tersebut jelas diperlihatkan bahwa dalam waktu sebulan, perusahaan berhasil
memperoleh manfaat dalam bentuk reduksi biaya sebesar Rp 12 juta per bulan atau RP
144 juta per tahun. Sehingga jelas terlihat bahwa investasi yang dikeluarkan diperkirakan
akan kembali dalam kurun waktu kurang lebih 2 (dua) tahun, karena memberikan ROI
sebesar 46%. Dengan mudah tabel ini dapat di-extend misalnya untuk kurun waktu 3 (tiga)
tahun jika diperlukan oleh manajemen sehingga akan menghasilkan perhitungan seperti
yang diperlihatkan pada ilustrasi berikut.
dalam
000,000

Biaya Investasi
Personal Computer
Aplikasi Spreadsheet
Jaringan
Modem
Printer dan Scanner
Instalasi
Total

Rp100
Rp128
Rp73
Rp2
Rp2
Rp10
Rp315
Tahun 1

Tahun 2

Tahun 3

Biaya Bulanan
Karyawan
Pemeliharaan
Pengembangan Aplikasi
Lain-Lain
Amortisasi
Total

Rp9
Rp12
Rp8
Rp8
Rp8
Rp45

Rp10
Rp13
Rp9
Rp9
Rp9
Rp50

Rp11
Rp14
Rp10
Rp10
Rp10
Rp55

Manfaat Bulanan
Reduksi gaji pegawai
Reduksi proses kontrol
Reduksi biaya administrasi
Reduksi biaya sewa tempat

Rp42
Rp8
Rp4
Rp2

Rp46
Rp9
Rp4
Rp2

Rp51
Rp10
Rp5
Rp2

24

Reduksi biaya lain-lain


Total

Rp1
Rp57

Rp1
Rp62

Rp1
Rp69

Keuntungan per Bulan

Rp12

Rp12

Rp14

Rp144

Rp144

Rp168

ROI
Simple Payback

46%
2

46%
tahun

53%

Cost of capital

20%
Rp1,076
tahun

Rp96

Manfaat per Tahun

Discounted Annual Net Benefit


Discounted Payback

Rp120
3

Dalam tabel ini terlihat bahwa manajemen dapat pula memperhitungkan indikator
finansial lainnya seperti discounted annual net benefit dan discounted payback dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun tersebut terkait dengan investasi yang dikeluarkan dan manfaat
reduksi biaya yang diberikan oleh teknologi informasi.
C O S T

A V O ID A N C E

Jika pada cost diplacement diperoleh manfaat berupa reduksi biaya, maka prinsip yang
dipergunakan dalam cost avoidance adalah dihindarinya atau diantisipasinya pengeluaran
biaya yang tidak perlu karena adanya teknologi informasi. Misalnya adalah dengan
dipergunakannya aplikasi Computer Based Training (CBT), maka tidak diperlukan lagi
pengeluaran biaya karyawan untuk keperluan administrasi, akomodasi, material,
instruktur, dan transportasi ke luar kota karena proses pelatihan tersebut dapat dilakukan di
tempat kerja. Cara perhitungan yang sama dapat dipergunakan seperti yang diperlihatkan
pada tabel berikut ini. Terlihat dari perhitungan tersebut bahwa investasi yang dikeluarkan
dapat dikembalikan dalam kurun waktu kurang lebih 6 (enam) tahun karena memberikan
ROI sebesar 16%.
dalam 000,000

Biaya Investasi
Personal Computer
Aplikasi Computer Based Training
Jaringan
Modem
Printer dan Scanner
Instalasi
Total

Rp432
Rp100
Rp60
Rp20
Rp7
Rp220
Rp839
Tahun 1

Biaya Bulanan
Karyawan
Pemeliharaan
Pengembangan Aplikasi
Lain-Lain
Amortisasi
Total

Rp34
Rp65
Rp8
Rp4
Rp23
Rp134

25

Manfaat Bulanan
Tidak memerlukan instruktur
Tidak memerlukan biaya transportasi
Tidak memerlukan biaya akomodasi
Tidak memerlukan biaya makalah
Tidak memerlukan administrasi
Total
Keuntungan per Bulan

Rp120
Rp7
Rp12
Rp3
Rp3
Rp145
Rp11

Manfaat per Tahun

Rp132

ROI
Simple Payback
D E C IS IO N

16%
6

tahun

A N A L Y S IS

Terkadang dengan diimplementasikannya sebuah sistem informasi yang efektif,


manajemen dapat diuntungkan dalam hal pengambilan keputusan yang lebih baik.
Contohnya adalah penerapan Transactional Information System dan Management
Information System untuk proses pemantauan piutang dan penagihan. Perusahaan yang
memiliki pelanggan hingga puluhan atau bahkan ratusan ribu, mengalami kesulitan dalam
proses penagihan piutang (pada umumnya mereka yang tidak ditagih cenderung akan
terlambat membayar hutangnya). Dengan dibangunnya sebuah sistem aplikasi yang
membantu manajemen dalam menentukan dan memonitor para pelanggan yang harus
segera melunasi kewajibannya, akan banyak manfaat yang dapat diperoleh. Misalnya akan
diperolehnya masukan uang tunai dari piutang pada waktunya, yang kemudian akan
berpengaruh terdapat adanya pemasukan tambahan dari bunga bank hasil tabungan
pemasukan tersebut, yang berarti pula akan berkurangnya tugas debt collector sehingga
mereka dapat memanfaatkan waktu untuk melakukan penjualan produk/jasa perusahaan,
dan lain sebagainya.
dalam 000,000

Biaya Investasi
Personal Computer
Aplikasi TIS dan MIS
Jaringan
Modem
Printer dan Scanner
Instalasi
Total

Rp876
Rp89
Rp10
Rp8
Rp2
Rp3
Rp988

Biaya Bulanan
Karyawan
Pemeliharaan
Pengembangan Aplikasi
Lain-Lain
Amortisasi
Total

Rp5
Rp88
Rp11
Rp7
Rp20
Rp131

26

Manfaat Bulanan
Pembayaran piutang lebih cepat
Bunga bank karena tagihan cepat
Kenaikan penjualan
Manfaat lain-lain
Total
Keuntungan per Bulan
Manfaat per Tahun
ROI
Simple Payback

Rp14
Rp8
Rp111
Rp43
Rp176
Rp45
Rp540
55%
2 tahun

Dari situasi ini terlihat bahwa sebenarnya pengambilan keputusan penagihan yang lebih
baik memberikan keuntungan bagi perusahaan sekitar Rp 45 juta per bulan atau kurang
lebih Rp 540 juta per tahun.
IM P A C T

A N A L Y S IS

Manfaat lain yang kerap diperoleh dari implementasi teknologi informasi terkait dengan
penghematan waktu, yang berdampak langsung terhadap penghematan biaya atau peluang
memperoleh pendapatan. Misalnya penerapan Sales Information System untuk
menggantikan proses penjualan secara manual melalui telepon atau tatap muka. Sebelum
sistem ini diterapkan, dalam satu hari setiap salesman dapat melakukan sales call
sebanyak 6 kali dengan masing-masing lama pembicaraan sekitar 35 menit dan pengisian
formulir selama 60 menit. Dengan sistem yang baru, maka lama transaksi dari 35 menit
dapat direduksi menjadi 15 menit, dan pengisian formulir untuk semua pelanggan dari 60
menit dapat dikurangi menjadi 10 menit. Artinya, setiap hari akan dihemat waktu sebesar
170 menit. Artinya setiap salesman dengan waktu tambahan 170 menit tersebut dapat
melakukan tambahan sales call sebanyak 3 transaksi per hari (dengan asumsi durasi sela
antar telepon adalah 25 menit). Jika setiap telepon mendatangkan pendapatan atau revenue
sebesar Rp 1.5 juta sebagia nilai transaksi, maka dalam satu hari perusahaan mendapatkan
tambahan pendapatan sebesar Rp 4.5 juta. Jika net profit per transaksi adalah 7.5%, maka
setiap harinya akan diperoleh manfaat sebesar Rp 1.69 juta per hari atau Rp 33.75 juta per
bulan. Katakanlah sistem yang diinvestasikan ada 5 (lima) buah, berarti manfaat bulanan
satu buah sistem adalah Rp 6.75 juta atau Rp 81 juta per tahun. Perusahaan akan
memperoleh ROI yang cukup besar dalam hal ini yaitu sekitar 63%.
dalam
000,000

Biaya Investasi 5 Buah Sistem


Personal Computer
Aplikasi Sales Information System
Jaringan
Modem
Printer dan Scanner
Instalasi
Total

Rp30
Rp23
Rp10
Rp10
Rp10
Rp45
Rp128

27

Biaya Bulanan
Karyawan
Pemeliharaan
Pengembangan Aplikasi
Lain-Lain
Amortisasi
Total

Rp4
Rp6
Rp3
Rp2
Rp12
Rp27

Manfaat Bulanan
Rata-rata "sales call" per hari
Rata-rata nilai penjualan per "call"
Reduksi rata-rata durasi "sales call" dari 35 menjadi 15 menit
Reduksi waktu yang diperlukan untuk mengisi formulir dari 60 menjadi 10
menit
Total Hemat Waktu
Rata-rata waktu sela antara "sales call"
Artinya terdapat tambahan peluang untuk melakukan tambahan "sales call"
Sehingga akan mendapatkan tambahan pemasukan sejumlah

6
Rp1.5
20

menit

50

menit

Rp170

menit

25

menit

per hari

Rp4.5

per hari

Net Profit

7.5%

Manfaat harian dari 5 buah sistem

1.688

Manfaat bulanan untuk 5 buah sistem

33.75

Manfaat bulanan 1 buah system

6.75

Manfaat per Tahun

Rp81

ROI

63%

28

7. Teknik Mengukur Manfaat Intangible dalam


Investasi
Salah satu tantangan terbesar dalam menilai kelayakan sebuah investasi pembangunan
teknologi informasi adalah menilai atau memperkirakan manfaat apa yang akan diperoleh
oleh perusahaan nantinya. Dikatakan sebagai tantangan karena kebanyakan manfaat yang
diberikan oleh teknologi informasi bersifat intangible atau sulit dikuantifikasikan ke dalam
satuan angka finansial dan tidak secara langsung berpengaruh terhadap profitabilitas
perusahaan. David Silk pada tahun 1990 menawarkan langkah-langkah untuk membantu
manajemen dalam mengukur manfaat intangible tersebut (Silk, 1990). Adapun pendekatan
tersebut terdiri dari 6 (enam) langkah utama sebagai berikut.
Langkah pertama adalah mencoba untuk menkonseptualisasikan dampak atau manfaat
yang kira-kira akan diperoleh perusahaan dengan diimplementasikannya sistem baru.
Misalnya adalah Sistem Informasi Penagihan (Automatic Billing System) yang diharapkan
dapat memberikan serangkaian manfaat seperti: mengurangi kesalahan, mempercepat
pengiriman tagihan, mereduksi durasi pembayaran, dan lain sebagainya.
Langkah kedua adalah melihat perubahan langsung apa yang kira-kira akan terjadi terkait
dengan manfaat yang telah didefinisikan pada langkah sebelumnya. Contohnya adalah
sebagai berikut:

Mengurangi kesalahan berarti akan terjadi perubahan dalam hal: keluhan


pelanggan berkurang, kepuasan pelanggan meningkat, biaya memperbaiki
kesalahan dapat direduksi (biaya komunikasi, kertas, peralatan kantor, dan
waktu yang hilang), dan lain sebagainya;

Mempercepat pengiriman tagihan berarti akan terjadi perubahan dalam hal:


ketepatan pembayaran, tertib administrasi, pendjadwalan pemasukan, dan lain
sebagainya;

Mereduksi durasi pembayaran berarti akan terjadi perubahan dalam hal:


pemasukan diterima lebih cepat, memperkecil opportunity loss karena
keterlambatan pembayaran, dan lain sebagainya.

Langkah berikutnya adalah menentukan jenis indikator ukuran apa yang dapat
dipergunakan untuk merepresentasikan masing-masing perubahan tadi, seperti:

Mengurangi keluhan

jumlah keluhan

Mengurangi kesalahan

jumlah kesalahan

Mempercepat tagihan

waktu pengiriman

Mempercepat pembayaran

waktu pembayaran

dan seterusnya.
Langkah keempat adalah memperkirakan kuantitas perubahan yang terjadi terhadap
masing-masing indikator ukuran yang ada jika sistem baru diimplementasikan. Dalam hal
ini misalnya:

29

Jumlah keluhan berkurang dari sekitar 10 buah per hari menjadi tidak lebih
dari 2 per hari;

Jumlah kesalahan berkurang dari sekitar 150 buah per hari menjadi tidak lebih
dari 10 per hari;

Waktu pengiriman tagihan ke klien atau pelanggan dari rata-rata 2 minggu


menjadi sekitar 2 hari;

Waktu pembayaran dari rata-rata 6 minggu menjadi 1 minggu;


dan seterusnya.

Langkah selanjutnya adalah mentransformasikan perubahan kuantitas indikator tersebut ke


dalam satuan finansial terkait dengan hal tersebut. Misalnya:

Melayani sebuah keluhan membutuhkan seorang customer service


menggunakan telepon selama kurang lebih 30 menit, sehingga dengan
berkurangnya jumlah keluhan dari 10 menjadi 2, maka waktu komunikasi
yang dihemat adalah kurang lebih 4 jam. Jika 1 jam perusahaan harus
membayar katakanlah Rp 25,000 untuk telepon interlokal, maka dalam sehari
yang bersangkutan telah menghemat biaya sebesar Rp 100,000.

Waktu pembayaran yang tadinya biasa dilakukan dalam 6 minggu menjadi 1


minggu berarti perusahaan akan memperoleh uang satu bulan lebih cepat. Jika
perusahaan memiliki 1000 orang pelanggan, dan nilai transaksi per masingmasing pelanggan sebesar Rp 1 juta, maka perusahaan tersebut berhasil
mendapatkan uang Rp 1 milyar lebih cepat. Jika bunga bank dalam setahun
sebesar 12%, maka sama saja dengan perusahaan berhasil mendapatkan bunga
yang selama ini hilang karena keterlambatan pembayaran sebesar Rp 10
juta per bulannya.
dan seterusnya.

Langkah keenam atau langkah terakhir adalah menggunakan total hasil perhitungan di atas
sebagai jumlah manfaat yang diberikan sistem teknologi informasi kepada perusahaan.
Barulah berdasarkan karakteristiknya, pergunakanlah metode pengukuran cost-benefit
seperti ROI, IRR, NPV, Value Analysis, dan lain sebagainya.

30

8. Formula Menghitung Keuntungan Investasi


Dalam setiap metode perhitungan cost-benefit, dilakukan perkiraan manfaat implementasi
teknologi informasi yang dinyatakan dalam ukuran finansial seperti mata uang rupiah atau
dolar Amerika. Perkiraan tersebut biasanya didasarkan pada sejumlah asumsi terkait
dengan harapan manfaat atau expected return yang akan diperoleh perusahaan
seandainya sebuah sistem teknologi informasi diaplikasikan. Manfaat yang dimaksud
dapat beraneka ragam rupanya dan berasal dari berbagai sumber, seperti:

Nilai transaksi yang didapat melalui mekanisme perdagangan elektronik;

Fee yang diperoleh perusahaan untuk setiap transaksi yang terjadi atau
dibukukan;

Biaya overhead yang dihemat karena kehadiran aplikasi dan teknologi


informasi;

Reduksi total biaya yang diperlukan untuk melakukan proses komunikasi,


koordinasi, dan kooperasi; dan lain sebagainya.

Dalam perhitungan yang lebih akurat, nilai manfaat yang diharapkan tersebut sebenarnya
harus dikalikan dengan sejumlah probabilitas agar sesuai dengan kenyataan yang ada.
Rumus atau formula yang kerap dipergunakan untuk hal tersebut adalah sebagai berikut:
Expected Return = Estimated Return x IT Investment Equation

dimana nilai sebenarnya dari manfaat yang akan diperoleh perusahaan adalah merupakan
hasil perkalian antara besarnya nilai yang diharapkan dengan sebuah nilai probabilitas
tertentu, yang pada dasarnya merupakan ekuasi atau persamaan dari investasi teknologi
informasi.

Adapun persamaan dari investasi teknologi informasi tersebut dapat dinyatakan sebagai:
IT Investment Equation = P(ROI Type) x P(Conversion Success)

dimana
IT Investment Equation = P(Success|Return)

yang berarti bahwa probabilitas kesuksesan sebuah investasi teknologi informasi sehingga
mendatangkan atau memberikan manfaat tertentu akan sangat bergantung dari probabilitas
tercapainya ROI dari tipe aplikasi teknologi informasi terkait dan probabilitas suksesnya
proses pengembangan dan aplikasi aplikasi teknologi informasi tersebut.
Contohnya adalah sebagai berikut. Katakanlah perusahaan bermaksud untuk membeli dan
mengimplementasikan sistem lembur untuk membantu manajemen dalam memonitor dan
mengawasi pekerjaan karyawannya. Alasan diimplementasikannya sistem ini karena
melihat kenyataan bahwa banyak karyawan yang melakukan kerja lembur hanya agar

31

yang bersangkutan mendapatkan tunjangan tambahan. Perusahaan terpaksa harus


kehilangan banyak uang karena harus membiayai mereka ini, sementara produktivitas
perusahaan tidak meningkat dengan bertambahnya jam kerja lembur tersebut. Diharapkan
dengan diimplementasikannya sistem ini, perusahaan dapat menghemat misalnya sekitar
Rp 50 juta per bulan, hasil dari proses seleksi terhadap permohonan lembur yang tidak
perlu.
Menurut pengalaman yang sudah-sudah, probabilitas terjadinya pengembalian investasi
atau ROI dari implementasi sistem lembur di perusahaan adalah sekitar 0.75, sementara
diperoleh data yang mengatakan bahwa 8 dari 10 proyek implementasi sistem informasi
lembur berhasil dilakukan. Artinya adalah bahwa:
Expected Return

=
=
=
=
=
=

Estimated Return x IT Investment Equation


Rp 50 juta x IT Investment Equation
Rp 50 juta x P(Success|Return)
Rp 50 juta x P(ROI Type) x P(Conversion Success)
Rp 50 juta x 0.75 x 0.8
Rp 30 juta

yang artinya adalah bahwa nilai yang harus dimasukkan sebagai value manfaat dari
teknologi informasi adalah Rp 30 juta, bukan Rp 50 juta seperti yang diperkirakan
sebelumnya.
Untuk mencari angka kedua probabilitas di atas, manajemen biasanya melakukan riset
kecil dengan cara mengumpulkan informasi atau referensi terkait dengan ukuran tersebut.
Cukup banyak lembaga-lembaga di dunia yang telah melakukan riset serupa seperti AC
Nielsen, Gartner, Jupiter, dan lain-lain - dimana hasilnya dapat dengan mudah didapatkan
melalui internet. Katakanlah sebuah perusahaan yang berniat untuk mengimplementasikan
aplikasi Enterprise Resource Planning atau ERP ingin melakukan perhitungan manfaat
yang mendekati akurat. Melalui perhitungan kasar, didapatkan keuntungan perusahaan
dalam satu tahun sebesar Rp 10 Milyar, dimana nilai ini merupakan estimated return.
Ketika dilakukan pencarian referensi, didapatkan dua buah informasi yang kurang lebih
dapat dipergunakan sebagai parameter probabilitas yang diinginkan untuk menghitung
expected return dari manfaaat implementasi ERP.

32

Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa probabilitas diperolehnya manfaat dari
implementasi ERP adalah sekitar 77% (27% highly successful dan 50% moderately
successful); sementara probabilitas keberhasilan kebanyakan proyek ERP di perusahaan
adalah sekitar 35% (implementation complete), sehingga memberikan:
Expected Return

= Rp 10 Milyar x 77% x 35%


= Rp 2,6950 Milyar

Fenomena tersebut oleh Lucas pada tahun 1991 ditelurkan dalam bentuk 4 (empat) prinsip
utama dalam berinvestasi, yaitu masing-masing:
1.

Terdapat beraneka ragam jenis manfaat atau value bagi perusahaan melalui
penerapan teknologi informasi, dimana Return On Investment dalam satuan
dan bentuk uang hanyalah merupakan salah satu jenis dari value tersebut;

2.

Setiap jenis investasi di teknologi informasi memiliki probabilitas


pengembalian atau pemberian manfaat yang berbeda-beda;

3.

Probabilitas diperolehnya keuntungan dari investasi teknologi informasi sangat


bergantung dengan probabilitas keberhasilan implementasi; dan

4.

Nilai riil yang didapat perusahaan sebagai manfaat dari implementasi


teknologi informasi di kebanyakan kasus lebih kecil dari nilai manfaat yang
diharapkan melalui hasil perhitungan.

33

9. Evaluasi Investasi dengan Metode Value Analysis


Sering kali manfaat dari diimplementasikannya suatu aplikasi tertentu tidak dapat
dibayangkan oleh para stakeholder karena kebanyakan dari mereka tidak memiliki latar
belakang terkait dengan teknologi informasi. Untuk mengatasi keragu-raguan dalam
melakukan investasi terhadap sebuah proyek teknologi informasi yang besar, pada tahun
1981, seorang praktisi teknologi Informasi bernama Keen memperkenalkan suatu metode
evaluasi investasi yang diberi nama Value Analysis. Metode ini digunakan pertama kali
oleh yang bersangkutan untuk membantu eksekutif dalam menilai tingkat manfaat dari
implementasi aplikasi Decision Support System. Metode ini terdiri dari 8 (delapan)
langkah yang terbagi menjadi dua tahap utama.

Sumber: Keen, 1981


T A H A P

P E M B A N G U N A N

P R O T O T IP

Obyektif dari tahap ini adalah melakukan perencanaan dan konstruksi sebuah prototip
aplikasi kecil untuk memberikan gambaran atau ilustrasi kepada yang berkepentingan
terhadap seperti apa bentuk aplikasi lengkap nantinya. Ada dua jenis prototip aplikasi yang
dapat dibangun. Pertama adalah prototip yang menggambarkan sebagian kecil modul dari
sistem besar yang lengkap; sementara jenis kedua adalah prototip yang menggambarkan
sebuah modul yang memiliki fitur lengkap dari sistem besarnya. Pada tahap ini, ada empat
langkah utama yang harus dilakukan.
Langkah pertama adalah melakukan identifikasi terhadap manfaat seperti apa yang dapat
diperlihatkan atau ditunjukkan kepada para mereka yang berkepentingan. Dalam
melakukan pengidentifikasian ini, sang perancang aplikasi haruslah jeli agar value atau
manfaat yang hendak diperlihatkan benar-benar dapat dimengerti, relevan, dan kontekstual
dengan calon pengguna. Contoh dari value yang dapat ditonjolkan di dalam prototip
aplikasi adalah sebagai berikut:

Seorang manajer agen penjualan real estate dapat melakukan pencarian


terhadap rumah sesuai dengan profil, karakteristik atau spesifikasi khusus yang
diminta oleh pelanggannya, seperti berdasarkan pada: lokasi, gaya arsitektur,
jumlah kamar, luas bangunan, dan lain sebagainya;

Seorang investor dapat melakukan investasi secara online ke seluruh bursa


efek yang ada di dunia tanpa harus meninggalkan meja kerjanya;

Seorang customer service dapat melakukan pemindahan rekening nasabah


bank kapan saja dan dari mana saja secara mudah dan fleksibel;
34

Seorang dokter dapat berkomunikasi dengan para pasiennya melalui teleconference yang diinstalasi di rumah dan tempat praktek kerjanya;

Seorang dosen dapat melakukan perkuliahan secara virtual di dunia maya yang
dapat diikuti oleh seluruh mahasiswanya yang tersebar di berbagai belahan
bumi; dan lain sebagainya.

Berdasarkan tawaran value di atas, langkah kedua yang harus dilaksanakan adalah
memperkirakan kisaran biaya maksimum berapa yang sanggup dikeluarkan oleh
perusahaan atau investor untuk membuat prototip aplikasinya. Agar yang bersangkutan
bersedia untuk mengalokasikan dana tersebut, ada baiknya prototip yang dikembangkan
bukanlah merupakan suatu sistem setengah jadi yang sifatnya coba-coba, tetapi dapat
langsung dimanfaatkan sebagai sebuah modul kecil yang menjalankan sebuah proses
bisnis tertentu.
Katakanlah perusahaan telah sepakat untuk mengalokasikan uang sejumlah X rupiah untuk
membangun aplikasi terkait. Jika biaya tersebut dianggap cukup oleh para pembuat
prototip, maka langkah ketiga yang dilakukan adalah mengembangkan prototip aplikasi
tersebut.
Setelah prototip jadi, maka langkah keempat yang dilakukan adalah mendemokan atau
memperlihatkan fitur dan keunggulan aplikasi tersebut kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama mereka yang akan menggunakan dan memiliki kewenangan
untuk memutuskan alokasi investasi. Dengan memperlihatkan prototip aplikasi ini, maka
yang bersangkutan dapat secara jelas memperoleh gambaran manfaat intangible apa yang
terkandung dan akan diperoleh perusahaan seandainya keseluruhan sistem berhasil
dibangun dan diimplementasikan.

T A H A P

P E N G E M B A N G A N

S IS T E M

U T U H

Dengan berasumsi bahwa manajemen merasa puas dengan hasil yang diperlihatkan oleh
prototip aplikasi, maka langkah kelima yang kemudian harus dilakukan adalah melakukan
perhitungan terhadap perkiraan total biaya yang dibutuhkan untuk membangun
keseluruhan sistem yang dimaksud. Perlu diperhatikan bahwa yang harus dihitung adalah
keseluruhan biaya secara lengkap (total cost of ownership), menyangkut biaya investasi,
operasional, dan pemeliharaan sistem.
Langkah keenam adalah membiarkan para pengambil keputusan untuk
mempertimbangkan kelayakan total biaya yang dibutuhkan tersebut dengan keseluruhan
manfaat yang telah mereka pahami melalui demo prototip aplikasi terdahulu.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka jika yang bersangkutan menilai bahwa biaya
tersebut sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh, maka langkah ketujuh yang
dilaksanakan adalah membangun aplikasi terkait secara utuh.
Akhirnya, setelah sistem tersebut jadi dan diimplementasikan, perlu dilakukan langkah
kedelapan untuk me-leverage investasi yang telah dialokasikan, dalam bentuk perbaikan
atau peningkatan fitur maupun fasilitas sistem utuh yang ada agar dapat memberikan lebih
banyak manfaat bagi pemakainya.

35

10. Prinsip Dasar pada Konsep Information Economics


Dalam paradigma moderen, manfaat implementasi teknologi informasi kerap dikaitkan
dengan konsep value dalam bisnis. Hal ini disebabkan karena lebarnya spektrum dari
value yang dimaksud, dari yang sifatnya tangible menuju intangible sampai dengan yang
sifatnya quantifiable menuju unquantifiable. Marilyn Parker, Robert Benson, dan Trainor
merupakan salah seorang praktisi teknologi informasi yang melakukan terobosan melalui
teori information economics-nya sebagai salah satu cara yang hingga saat ini dinilai
terakurat dalam kaitannya dengan proses analisa biaya dan manfaat implementasi
teknologi informasi.
Konsep value dalam information economics dianggap sebagai perluasan dari indikator
semacam ROI, IRR, dan lain sebagainya melalui penambahan unsur manfaat seperti: value
linking, value acceleration, value restructuring, dan innovation (Parker, 1988).

Sumber: Parker et.al., 1987

Value Linking adalah manfaat yang diperoleh berupa peningkatan kinerja satu atau
sejumlah fungsi bisnis atau organisasi karena adanya implementasi teknologi informasi.
Katakanlah fungsi back office atau administrasi yang tadinya sarat dengan pengeluaran
untuk keperluan alat-alat kantor dapat secara signifikan dikurangi karena
diimplementasikannya konsep paperless office atau electronic document management
system. Atau semakin meningkatnya kompetensi sumber daya manusia perusahaan karena
organisasi membangun dan menerapkan konsep computer based training. Atau sebuah
perguruan tinggi yang meningkat knowledge base dan potential revenue source-nya
karena menerapkan konsep e-learning. Manfaat yang diperoleh sebagai dampak
diimplementasikannya teknologi informasi ini harus diperhitungkan dalam melakukan
kajian atau analisa cost-benefit.
Value Acceleration berkembang sebagai konsekuensi logis dari nature atau karakteristik
teknologi yang memiliki dimensi kecepatan atau mempercepat terciptanya suatu
manfaat bagi organisasi semacam perusahaan. Lihatlah bagaimana fungsi pada ATM
(Automated Teller Machine) dapat memberikan kinerja pelayanan jauh lebih cepat
dibandingkan dengan traditional teller atau customer service dalam hal-hal semacam
mentransfer dana, mengambil tunai, menabung, membayar tagihan, dan lain sebagainya.
36

Selain fungsi operasional, secara strategis pun keberadaan teknologi informasi dapat
memberikan manfaat dalam dimensi kecepatan yang tinggi, seperti dalam hal: pembukaan
kantor cabang baru (secara virtual), pengembangan pasar secara internasional (melalui
internet), peningkatan frekuensi dan transaksi perdagangan (e-commerce atau e-business),
dan lain sebagainya.
Value Restructuring merupakan manfaat langsung maupun tidak langsung yang dinikmati
perusahaan karena terjadinya sejumlah restrukturisasi proses bisnis. Restrukturisasi yang
dimaksud terjadi ketika sejumlah rangkaian proses yang terjadi di perusahaan didesain
kembali secara lebih ramping sebagai dampak dilibatkannya perangkat teknologi
informasi dan komunikasi di dalam bisnis. Paling tidak terdapat 4 (empat) cara melakukan
restrukturisasi proses, yaitu melalui: eliminasi proses, simplifikasi proses, integrasi proses,
dan otomatisasi proses. Dengan melakukan satu atau lebih cara tersebut, jelas akan terlihat
peningkatan kinerja proses bisnis yang ada di dalam organisasi.
Innovation yang dimaksud dalam kerangka ini adalah kemampuan teknologi informasi
dalam membantu melahirkan produk-produk dan jasa-jasa baru yang dapat ditawarkan ke
pasar. Lihatlah bagaimana teknologi semacam SMS (Short Message Services) telah
mampu mengembangkan beragam pasar baru karena kemampuannya melahirkan
sejumlah produk atau jasa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, seperti: membeli
pulsa telepon, melakukan jajak pendapat, memesan tiket pesawat, bermain game interaktif,
dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini memberikan manfaat yang sangat signifikan bagi
perusahaan yang berhasil menerapkannya.

Sumber: Parker et.al., 1987

Dalam perspektifnya tersebut, Parker berpendapat bahwa value yang bersangkutan


akan dapat ditemukan dan didefinisikan secara cermat jika dilakukan pengkajian
terhadap dua domain utama, yaitu: domain bisnis dan domain teknologi. Untuk dapat
memahami bagaimana kedua domain tersebut berinteraksi, perlu dikembangkan
sebuah kerangka pemahaman tertentu. Hubungan yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
Setiap perusahaan yang berbisnis pasti memiliki atau menyusun apa yang disebut
sebagai Business Plan atau rencana bisnis. Rencana ini dibuat sebagai acuan pimpinan
dan segenap karyawan perusahaan dalam menjalankan usahanya, disamping sebagai
sebuah bahasa bersama antara pimpinan perusahaan tersebut dengan pemegang saham

37

atau pemilik usaha. Berdasarkan visi, misi, obyektif, dan sasaran yang dikemukakan
dalam rencana bisnis itulah maka perusahaan menyusun strategi operasionalnya
sehari-hari. Hal yang utama dilakukan adalah mendesain rangkaian proses bisnis
terkait dengan penciptaan produk dan jasanya serta membentuk sebuah struktur
organisasi yang dinilai paling efektif dan efisien.

Sumber: Parker et.al., 1987

Untuk mendesain sebuah proses bisnis dengan kinerja yang prima dalam arti kata
lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik dibandingkan dengan para pesaing bisnis
yang lain dilibatkanlah teknologi informasi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan
sebuah arsitektur sistem informasi yang dapat menjawab tantangan usaha tersebut.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, perkembangan teknologi informasi yang
sedemikian cepat tidak saja merupakan tantangan tertentu bagi perusahaan, namun
lebih jauh lagi dapat menciptakan sejumlah peluang bisnis baru yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya. Peluang baru inilah yang secara interaktif akan
mempengaruhi rencana bisnis yang telah disusun sebelumnya untuk kemudian
direvisi.
Secara pemahaman rule of thumb, kedua domain tersebut dapat dipisahkan karena
adanya hubungan dimana domain atau perspektif bisnis dikaitkan dengan aspek
manfaat, sementara domain teknologi dianggap yang berkontribusi terhadap aspek
biaya (atau bisnis merupakan sumber pendapatan sementara teknologi merupakan
sumber pengeluaran).

Sumber: Parker et.al., 1988

38

Oleh karena itulah maka keseimbangan di antara dua domain ini perlu dijaga secara
hati-hati agar hasil akhirnya bukanlah merupakan kerugian bagi perusahaan.

Sumber: Parker et.al., 1987

Jika kedua domain tersebut dianggap sebagai sebuah neraca usaha, maka akan
diperoleh hubungan antara kedua domain terkait berupa siklus sebagai berikut. Bisnis
akan memperoleh sebuah value apabila menerapkan aplikasi teknologi informasi
tertentu. Tentu saja teknologi terkait akan membutuhkan biaya investasi dan
operasional yang akan dibebankan kepada bisnis tersebut. Namun biaya tersebut
bukanlah merupakan alokasi finansial yang hilang atau sia-sia karena akan
menggerakkan aplikasi teknologi informasi yang dimaksud untuk menciptakan
sejumlah atau beragam value yang akan mendatangkan sumber pendapatan baru bagi
bisnis, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk melakukan perhitungan terhadap value maupun biaya investasi tersebut perlu
dilibatkan berbagai pihak di dalam perusahaan, seperti: para manajer, direktur
keuangan, kepala divisi perencanaan, penanggung jawab manajemen sistem
informasi, dan lain sebagainya. Ada dua tugas besar yang harus mereka jalankan
terkait dengan pengkajian cost-benefit ini, masing-masing adalah menentukan
besarnya manfaat atau value dari sejumlah perencanaan implementasi aplikasi
teknologi informasi yang ada, untuk kemudian menyusun urutan prioritas
pengembangannya.

Sumber: Parker et.al., 1987

39

Masing-masing pihak kemudian melakukan analisanya masing-masing untuk


kemudian memberikan nilai atau score terhadap setiap proyek aplikasi teknologi
informasi yang dikembangkan. Mengingat bahwa terdapat sekian banyak cara
melakukan justifikasi terhadap investasi selain ROI dan IR maka lebih dari satu
metodologi perlu dilibatkan dalam perhitungan tersebut, dimana masing-masing
metodologi akan diberikan beban atau weight sesuai dengan pandangan pihak terkait
terhadap keampuhan konsep tersebut merepresentasikan perhitungan cost-benefit.
Hasil perhitungan yang merupakan jumlah dari perkalian antara score yang diberikan
dengan bobot yang ada merupakan total value yang dimaksud.

Sumber: Parker et.al., 1987

Dengan melakukan hal yang sama terhadap setiap aplikasi teknologi yang ada, maka
manajemen perusahaan dapat melihat dan membanding-bandingkan total value dari
masing-masing aplikasi teknologi yang telah dimiliki maupun yang akan
dikembangkan.
Untuk dapat menentukan prioritas terhadap sistem mana yang sebaiknya terlebih
dahulu diperhatikan dan dibangun, perlu dilakukan satu tahapan pengkajian. Caranya
adalah dengan mencoba menghitung total value yang merupakan hasil penjumlahan
antara ROI (dan konsep lain yang dimiliki) dengan hasil evaluasi pada domain bisnis
(meliputi manfaat total yang berpotensi akan diraih perusahaan) dan hasil evaluasi
pada domain teknologi (merupakan keunggulan-keunggulan yang diperoleh oleh
perusahaan karena adanya teknologi tersebut setelah memperhitungkan berbagai
faktor biaya dan resiko yang ada). Urutan prioritas ditentukan berdasarkan total nilai
terbesar yang diperoleh oleh masing-masing proyek teknologi informasi yang ada.

Sumber: Parker et.al., 1988

40

11. Kerangka Investasi Teknologi Informasi Gartner


IN T E G R A T E D

P L A N N IN G

S U IT E

Ada sebuah kerangka konseptual menarik yang diperkenalkan oleh Lembaga Riset
Gartner terkait dengan manajemen investasi teknologi informasi di sebuah perusahaan.
Gartner melihat bahwa kebijakan investasi di sebuah perusahaan adalah merupakan bagian
dari prinsip governance yang harus diterapkan dalam hal ini adalah bagaimana
perencanaan dan pengembangan teknologi informasi benar-benar dilakukan untuk
mendukung tercapainya obyektif bisnis dengan menjunjung tinggi aspek akuntabilitas,
responsibilitas, dan transparansi. Sehubungan dengan hal tersebut, perencanaan sebuah
investasi teknologi informasi harus sejalan atau align dengan strategi bisnis terkait. Untuk
keperluan tersebut, Gartner menawarkan sebuah konsep governance yang diberi nama
Gartners Integrated Planning Suite (Kumagai, 2002).

Sumber: Gartner, 2002

Dalam kerangka ini, ada empat aspek yang saling terkait satu dengan lainnya sehubungan
dengan prinsip governance yang ingin ditegakkan, dimana masing-masing memiliki relasi
keterkaitan sebagai berikut:

Strategic Planning dari perusahaan yang biasa dikemukakan secara gamblang


dalam rencana bisnis korporat (business plan) merupakan hal yang men-drive
disusunnya sebuah rencana investasi teknologi informasi. Dengan memahami
visi, misi, obyektif, dan ukuran kinerja dari perusahaan yang bersangkutan,
akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai peranan dan teknologi
informasi seperti apa yang harus dibangun oleh perusahaan tersebut. Untuk
itulah perlu dialokasikan sejumlah dana untuk mengembangkan teknologi
informasi tersebut dalam durasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang. Detail dari rencana tersebut biasanya dijelaskan secara mendalam
dalam dokumen Rencana Induk Teknologi Informasi atau IT Masterplan atau
Information Technology Strategic Planning yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari Strategic Corporate Planning (Perencanaan Strategis
Korporat).

Mengingat bahwa pengembangan teknologi informasi perusahaan akan


dibangun secara bertahap sebelum sebuah sistem holistik atau menyeluruh
selesai dibangun, maka manajemen investasi teknologi informasi tersebut
41

harus dikembangkan berdasarkan arsitektur teknologi informasi yang diadopsi


perusahaan atau yang diistilahkan Gartner sebagai Enterprise Architecture.
Sebuah arsitektur yang baik akan memperlihatkan keseluruhan komponen dan
hubungan keterkaitan satu dengan lainnya yang membentuk sebuah sistem
teknologi informasi korporat. Diperlihatkan pula dalam arsitektur tersebut
bagaimana filosofis pembangunan sistem secara rumah tumbuh akan
dikembangkan oleh perusahaan, sesuai dengan kekuatan dan keterbatasan
sumber daya yang dimiliki.

Karena begitu banyaknya komponen dalam arsitektur teknologi informasi


yang harus dibangun yang terbagi menjadi sejumlah kategori seperti
perangkat lunak (sistem operasi, aplikasi, dan basis data), perangkat keras
(komputer, jaringan, dan infrastruktur), dan perangkat manusia (user dan
kebijakan) maka diperlukan suatu pendekatan manajemen portofolio atau
Portfolio Performance Management agar terjadi optimalisasi proses
pengembangan. Konsep portofolio yang dikembangkan tersebut berakar dari
beranekaragamnya perspektif atau pandangan mengenai nature dari teknologi
informasi yang ingin dibangun, seperti dilihat dari segi: prioritas, fungsi,
utilisasi, kebutuhan, demografi, stakeholder, karakteristik sumber daya, aspek
perencanaan, dan lain sebagainya.

Dalam perkembangannya, keputusan yang diambil berdasarkan prinsip


manajemen portofolio ini akan diukur kinerjanya, terutama terkait dengan
bagaimana keputusan penerapan teknologi informasi tersebut akan
berpengaruh terhadap kinerja bisnis perusahaan secara keseluruhan. Oleh
karena itulah dikatakan bahwa manajemen portofolio tersebut akan
mempengaruhi strategic planning yang disusun.

Perlu diketahui bahwa Gartner mengembangkan konsep berfikir dalam kerangka tersebut
karena dilatarbelakangi oleh hasil riset yang dilakukannya pada tahun 2002, dimana
didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.

Perusahaan yang dapat mengintegrasikan rencana bisnis korporat dengan


strategi pengembangan teknologi informasinya (strategic planning) akan
memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari perusahaan yang gagal melakukan
integrasi tersebut;

2.

Perusahaan yang memiliki arsitektur teknologi informasi yang jelas (enterprise


information technology architecture) akan mampu memperbaiki kinerja
operasionalnya 30% lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lain yang
tidak memilikinya terutama berkaitan dengan tuntutan perubahan karena
lingkungan eksternal yang dimanis dari waktu ke waktu; dan

3.

Perusahaan yang menerapkan prinsip manajemen portofolio dalam beragam


proyek teknologi informasinya berhasil melakukan penghematan 10-30%
terhadap pengeluaran dari masing-masing proyek yang dilakukan (kebanyakan
karena adanya pengurangan aktivitas alokasi sumber daya yang redudansi).

Dengan kata lain, keberadaan aspek strategic planning, enterprise architecture, dan
portfolio performance management merupakan kunci penting yang harus dipertimbangkan

42

secara sungguh-sungguh dalam melakukan strategi pengelolaan investasi teknologi


informasi di sebuah perusahaan.

V A L U E -O P T IM IZ E D

F R A M E W O R K

Dalam kenyataan sehari-hari, sangat jarang perusahaan berada dalam kondisi yang ideal
seperti yang dimaksud di atas. Proses menuju pada terciptanya governance tersebut
biasanya secara evolusi dilalui oleh perusahaan dalam beberapa tahap yang kerap
diistilahkan sebagai proses pematangan atau maturity process. Berpegang pada standar
IT Governance yang diperkenalkan oleh Information System Audit and Control
Association (ISACA) yang dikembangkan dengan menggunakan teori Capability Maturity
Model (CMM) dari Software Engineering Institute (SEI), proses pematangan IT
Governance dilakukan melalui lima tahap (level). Kerangka yang diberi nama ValueOptimized Framework ini berusaha untuk melihat kematangan tata kelola (governance)
perusahaan dari dua sisi utama, yaitu manajemen portofolio investasi (portfolio
management) dan keberadaan indikator untuk mengukur kinerja (performance
measurement). Adapun kelima tahap yang dimaksud memiliki arti sebagai berikut:
1.

Pada tahap awal ini yang dijadikan fokus untuk mengembangkan governance
lebih pada aktivitas internal perusahaan, yang masing-masing dilakukan oleh
sebuah fungsi organisasi. Dengan kata lain, ukuran kinerja perusahaan dilihat
dari seberapa jauh beragam aktivitas internal memenuhi standar yang telah
ditentukan oleh manajemen. Sementara itu, terkait dengan permasalahan
manajemen portofolio investasi, manajemen masih dalam fase dini, dimana
mulai ditanamkan keperdulian mengenai pentingnya aspek ini.

2.

Pada tahap kedua ini, fokus pengukuran kinerja mulai ditekankan pada
aktivitas atau proses lintas departemen. Yang menjadi ukuran utama pada
proses lintas fungsi ini adalah outcome atau output yang dihasilkan oleh
serangkaian proses tersebut, terutama dilihat dari sisi customer atau pelanggan
dari rangkaian proses tersebut. Adapun dalam kaitannya dengan manajemen
investasi, pimpinan perusahaan mulai memahami dan menetapkan baku
standar tata kelola investasi teknologi informasi di perusahaan yang harus
ditaati oleh segenap sumber daya manusia yang ada.

3.

Pada tahap selanjutnya, perusahaan mulai mengkonsentrasikan diri untuk


melibatkan dan mengukur performansi sejumlah proses eksternal yang
terintegrasi dengan beragam rangkaian proses internal. Pada saat yang
bersamaan, manajemen perusahaan telah secara penuh menerapkan tata kelola
investasi portofolio proyek teknologi informasi secara penuh dan menyeluruh.

4.

Pada tahap keempat, domain kinerja proses ditingkatkan secara lebih luas lagi,
yaitu menyangkut keseluruhan proses perusahaan yang telah diintegrasikan
dengan seluruh rangkaian proses yang dimiliki oleh para mitra bisnis, baik
yang berfungsi sebagai pemasok (supplier), vendor, lembaga keuangan, dan
mitra strategis lainnya. Konsep manajemen terintegrasi seperti supply chain
management dan customer relationship management merupakan beberapa
contoh dari teori yang dapat diterapkan dalam format ini. Sementara itu di sisi
manajemen investasi, telah terjadi proses optimalisasi atau perbaikan terhadap
43

kinerja total portofolio yang dimaksud terutama berdasarkan hasil evaluasi


dari implementasi portofolio yang sudah-sudah.

Sumber: Gartner, 2002


5.

Pada tahap ultimate atau final ini, secara teori telah terjadi sebuah platform,
dimana penyelenggaraan proses internal dan eksternal telah membentuk suatu
sistem yang mampu memperbaiki dirinya sendiri dalam arti kata dapat
dengan mudah diubah-ubah dan disesuaikan dengan kondisi bisnis yang secara
dinamis berubah (kemampuan adaptif). Sementara di sini manajemen
investasi, dengan sendirinya telah terjadi proses leveragement dari teknologi
informasi yang dimiliki karena telah terjadi sejumlah optimalisasi proses di
berbagai bidang.

Dalam kerangka value-optimized tersebut terlihat bahwa ketiga aspek lainnya dalam tata
kelola teknologi informasi yaitu strategic planning, investment management, dan
enterprise architecture merupakan pilar penyanggah terlaksananya governance yang
baik selama proses pematangan terjadi dengan fungsi keterkaitan sebagai berikut:

Strategic Planning akan memberikan arahan kebijakan strategis terhadap


sumber dan cara membiayai investasi yang dibutuhkan (financing and funding
strategy);

Investment Management akan berisi anggaran tahunan yang direncanakan


untuk dialokasikan bagi pengembangan teknologi inforamsi; dan

Enterprise Architecture akan memiliki keterkaitan yang erat dengan resiko


investasi yang siap ditanamkan oleh perusahaan bagi pembangunan dan
pengembangan teknologi informasinya.

Menurut hasil riset oleh lembaga yang sama, perusahaan yang mengembangkan prinsip
governance-nya secara bertahap sesuai dengan maturity model yang ada berhasil
meningkatkan kinerjanya secara signifikan, yaitu:

44

Mempercepat proses pengembangan aplikasi bisnis yang dipergunakan hingga


40%;

Mereduksi biaya pengembangan aplikasi hingga 25%; dan

Mengurangi permasalahan proyek yang dipicu karena ketidaktepatan jadwal


penyelesaian hingga 145%.

45

12. Manajemen Portofolio Investasi Teknologi Informasi


Seperti halnya konsep portofolio dalam ilmu keuangan, investasi perusahaan terhadap
sejumlah proyek pengembangan teknologi informasi disarankan untuk menerapkan
pendekatan serupa. Hasil lembaga pengkajian Gartner memperlihatkan bahwa perusahaan
yang untuk pertama kalinya memutuskan untuk menerapkan konsep portofolio di dalam
manajemen investasi teknologi informasinya berhasil melakukan penghematan antara 1030% terhadap total biaya proyeknya (Gartner, 2002).

Sumber: Gartner, 2002

Secara sederhana portofolio investasi teknologi informasi didefinisikan sebagai


sekumpulan keputusan investasi yang dialokasikan untuk membangun dan
mengembangkan sejumlah aplikasi teknologi informasi di dalam perusahaan. Mengelola
sejumlah proyek secara portofolio sangat berbeda dengan mengelola proyek individu.
Keputusan untuk melakukan investasi pada sebuah proyek biasanya didasarkan pada
kebutuhan tertentu, sementara keputusan untuk melakukan sejumlah investasi (portofolio)
didasarkan pada kebutuhan yang lebih besar atau luas, yaitu pencapaian visi, misi, dan
obyektif perusahaan. Dengan kata lain, jika pada proyek individu tujuannya adalah untuk
pemenuhan suatu kebutuhan khusus tertentu, proyek secara portofolio tujuannya untuk
tercapainya perimbangan terhadap pemenuhan sejumlah ragam kebutuhan baik yang
sifatnya strategis maupun operasional. Manfaat lain yang diperoleh selain terjadinya
penyeimbangan pemenuhan kebutuhan adalah terciptanya optimalisasi pada sumber daya
yang dialokasikan perusahaan.
Dalam manajemen portofolio dipergunakan sejumlah perspektif untuk mengklasifikasikan
proyek teknologi informasi yang ada menjadi beberapa kategori. Contoh pengelompokkan
yang ada misalnya berdasarkan: demografi, stakeholder, jenis kebutuhan, sumber daya,
rencana implementasi, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak perspektif yang ada, yang
paling banyak dipergunakan di dalam bisnis adalah berdasarkan hakekat atau peranannya
dalam perusahaan seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.

46

Sumber: Gartner, 2002

Dalam kerangka portofolio jenis ini, nature dari sebuah aplikasi teknologi informasi dibagi
menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

Foundation Infrastructure yaitu aplikasi teknologi informasi yang menjadi


landasan dari berbagai aplikasi lain yang ada di dalam perusahaan, seperti:
sistem operasi, basis data, network management, office productivity modules,
dan lain sebagainya;

Utility yaitu aplikasi teknologi informasi yang sifatnya mendasar dan


dipergunakan untuk berbagai urusan utilisasi sumber daya perusahaan seperti
yang sering didapatkan pada proses back-office, seperti: sistem penggajian,
aplikasi akuntansi dan keuangan, modul-modul administrasi, dan lain
sebagainya;

Enhancement yaitu aplikasi teknologi informasi yang dibangun sesuai dengan


kebutuhan spesifik perusahaan terutama yang berkaitan dengan proses
penciptaan produk dan jasa yang ditawarkan kepada pelanggan (berkaitan
langsung dengan proses inti atau core processes), seperti: customer
relationship management, supply chain management, enterprise resource
planning, dan lain sebagainya; dan

Frontier yaitu aplikasi teknologi informasi unik yang bersifat eksperimental,


untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan karena sifatnya yang
unik.

Pada setiap kategorisasi pasti terkandung suatu filosofi tertentu. Foundation Infrastructure
adalah merupakan suatu kategori aplikasi yang mau tidak mau harus dimiliki oleh
perusahaan, sehingga keberadaannya bersifat mutlak. Utility merupakan kebutuhan
minimum yang harus pula dimiliki perusahaan karena merupakan aplikasi yang mengurusi
permasalahan administrasi usaha. Karena sifatnya sebagai aplikasi penunjang (supporting
applications), maka keberadaannya pastilah akan memakan biaya tertentu (cost center),
sehingga perlu dipikirkan cara yang paling efisien untuk mengelolanya. Sebaliknya pada
aplikasi bertipe enhancement, penerapan aplikasi yang baik akan memberikan keuntungan
signifikan bagi bisnis, dalam arti kata berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas
produk dan jasa, sehingga aplikasi terkait harus dikembangkan seefektif mungkin. Dan
yang terakhir, aplikasi pada kategori frontier biasa dikembangkan perusahaan untuk
mencari sumber pendapatan baru (non konvensional) sehingga profitabilitas usaha dapat

47

ditingkatkan. Melihat pembagian ini, manajemen perusahaan harus berusaha keras untuk
memikirkan proporsional investasinya untuk ditanamkan pada kategori mana saja, agar
berimbang, dan sesuai dengan strategi bisnis perusahaan. Biasanya, proporsi
keseimbangan portofolio akan bergantung pada jenis industri dimana perusahaan tersebut
berada seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut ini.

Sumber: Gartner, 2002

Contoh lain mengenai pembagian kategorisasi terkait dengan manajemen portofolio


terlihat pada gambar berikut:

Sumber: Gartner, 2002

dimana kategori aplikasi dibagi menjadi 5 (lima) jenis dari yang sifatnya mandatory
(keharusan) sampai dengan strategis. Terkait dengan investasi yang ditanamkan, terlihat
bahwa semakin tinggi resiko yang diambil, akan semakin besar pula potensi manfaat
investasi yang dapat diperoleh perusahaan seandainya berhasil.

48

13. Pengawasan Alokasi Biaya Proyek Teknologi


Informasi
Aktivitas pengembangan teknologi informasi di perusahaan biasanya dilakukan dengan
menggunakan pendekatan atau berbasis proyek. Sesuai dengan standar baku yang ada, hal
utama yang perlu dilakukan di dalam sebuah proyek adalah menyusun perencanaan.
Menurut PMBOK (Project Management Body of Knowledge) - sebuah panduan baku
penerapan konsep manajemen proyek efektif yang diperkenalkan oleh Project
Management Institute anggaran biaya dari sebuah proyek ditentukan oleh paling tidak 5
(lima) faktor, yaitu: ruang lingkup proyek, durasi pengerjaan, kualitas output yang
diharapkan, sumber daya manusia yang dialokasikan, serta ragam material dan sumber
daya lain yang dibutuhkan (PMI, 1996). Dalam perencanaan biaya, kelima faktor tersebut
harus diperhitungkan sungguh-sungguh agar dapat dihitung anggaran biaya proyek yang
sesungguhnya.

Sumber: Schwalbe, 2002

Pada saat biaya tersebut telah disepakati, maka dialokasikanlah sejumlah uang agar proyek
terkait dapat segera dimulai. Adalah merupakan suatu keharusan bagi seorang project
manager untuk memonitor atau mengawasai pemakaian biaya tersebut selama proyek
berjalan, agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat mengganggu lancarnya pengerjaan
proyek. Pada aktivitas yang diberi nama project cost control ini terdapat sejumlah hal yang
harus dilakukan, yaitu:

Memastikan bahwa tersedia biaya yang diperlukan untuk melakukan berbagai


aktivitas di dalam proyek sesuai dengan waktu pengerjaannya;

Melakukan langkah-langkah realokasi yang dibutuhkan seandainya terjadi


kesalahan dalam pengelolaan biaya yang telah dialokasikan karena satu dan
lain hal (revisi anggaran);

Menginformasikan kepada stakeholder terkait mengenai hal-hal terkait dengan


perubahan kebutuhan dan implementasi biaya; dan

49

Memantau penggunaan sumber daya keuangan dari waktu ke waktu.

Terkait dengan aktivitas tersebut di atas, ada berbagai konsep yang dapat dipergunakan,
salah satunya adalah Earned Value Management (EVM). Dalam EVM, dikenal beberapa
istilah penting, yaitu:

PV atau Planned Value dahulu dinamakan sebagai BCWS (Budgeted Cost of


Work Scheduled) atau ringkasnya anggaran, adalah merupakan biaya yang
disepakati untuk dialokasikan untuk pelaksanaan sebuah aktivitas pada satu
waktu tertentu;

AC atau Actual Cost dahulu dinamakan sebagai ACWP (Actual Cost of


Work Performed) merupakan total biaya yang telah dipergunakan untuk
menyelesaikan sebuah aktivitas pada satu waktu tertentu; dan

EV atau Earned Value dahulu dinamakan sebagai BCWP (Budgeted Cost of


Work Performed) merupakan nilai dari hasil perkalian antara persentasi dari
pekerjaan yang telah diselesaikan dengan biaya yang dianggarkan (Planned
Value).

Untuk mempermudah pembahasan, dapat dipergunakan contoh sebagai berikut.

Sumber: Schwalbe, 2002

Terlihat dalam contoh tersebut sebuah aktivitas pembelian web server yang direncanakan
untuk dilakukan selama dua minggu; dimana di minggu pertama telah dianggarkan
sejumlah uang sebesar US$10,000 dan di minggu kedua sebesar US$0. Saat ini, proyek
telah memasuki minggu kedua (tahap pertama baru saja selesai), dan telah selesai
dikerjakan kurang lebih 75% dari aktivitas terkait; namun dari catatan yang ada, pada
minggu pertama telah dikeluarkan biaya sebesar US$15,000 dan pada minggu kedua telah
dipergunakan uang sebesar US$5,000. Dengan berdasarkan pada perhitungan EV = 75% x
US$10,000 = US$7,500 maka dapat dipergunakan sejumlah formula kinerja sebagai
berikut:

50

Sumber: Schwalbe, 2002

CV atau Cost Variance sebesar US$-7,500 mengandung arti bahwa proyek


telah mengalokasikan uang sebesar US$7,500 lebih banyak dari yang
dianggarkan, atau telah terjadi cost overrun;

SV atau Schedule Variance sebesar US$-2,500 mengandung arti bahwa telah


terjadi keterlambatan dalam penyelesaian aktivitas yang mengakibatkan
tersia-sianya atau tidak terpakainya uang sebesar US$2,500;

CPI atau Cost Performance Index sebesar 50% mengandung arti bahwa
proyek telah rugi sebesar dua kali dari biaya yang seharusnya dikeluarkan;
dan

SPI atau Schedule Performance Index sebesar 75% mengandung arti bahwa
baru 75% porsi aktivitas yang selesai dikerjakan.

Dengan kata lain, dibutuhkan dana sebesar US$10,000 (total anggaran) x 50% (CPI) =
US$5,000 pada minggu kedua agar akvititas dapat selesai sepenuhnya.
Perlu diperhatikan bahwa sejumlah formula tersebut dapat dipergunakan sebagai indikator
kinerja proyek, terutama terkait dengan manajemen pembiayaan, melalui cara sebagai
berikut:

Jika CV atau SV menunjukkan nilai negatif, maka proyek dalam keadaan


bermasalah; dan

Demikian pula CPI atau SPI yang nilainya lebih kecil dari 100% merupakan
indikasi terjadinya permasalahan biaya dalam proyek.

Mengingat proyek pada dasarnya merupakan kumpulan dari serangkaian aktivitas atau
kegiatan, maka perlu dikembangkan anggaran secara lengkap seperti yang diperlihatkan
pada tabel berikut.

51

Sumber: Schwalbe, 2002

52

14. Penentuan Efektivitas Manfaat dengan Pendekatan


Analisa Gap
Teori manajemen teknologi informasi memperlihatkan adanya tiga konstituen atau
stakeholders di dalam organisasi yang kerap memiliki obyektivitas saling bertentangan
(konflik). Adapun ketiga konstituen yang dimaksud adalah:

Pimpinan dan Manajemen yang dianggap sebagai sponsor dari setiap


inisiatif penerapan teknologi informasi karena dari merekalah aspek business
value of information technology menemukan konteksnya;

Pengelola Teknologi Informasi yang merupakan pihak paling bertanggung


jawab terhadap implementasi pembangunan aplikasi teknologi informasi; dan

Pengguna atau Pemakai (user) yang berperan aktif sebagai pemakai


teknologi informasi yang dibangun untuk membantu aktivitasnya sehari-hari.

Dalam kaitannya dengan analisa cost-benefit, manfaat sebuah pengembangan teknologi


informasi dianggap menemukan titik optimasinya artinya proyek penerapan tersebut
dianggap berhasil apabila gap ekspektasi di antara ketiga konstituen tersebut kecil.
Dengan kata lain, biaya investasi yang dikeluarkan dianggap sepadan dengan manfaat
yang diperoleh sejauh tidak terdapat gap konflik kepuasan atau efektivitas penerapan dari
ketiga konstituen tersebut.
Kerangka yang dipergunakan untuk mengkaji hal tersebut adalah dengan menggunakan
analisa Multiple Gap yang diperkenalkan oleh Arthur Money dan Remenyi bersaudara.
Cara menggunakannya adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini.
L A N G K A H 1 : M E N E N T U K A N
D I H A R A P K A N

T I P E

M A N F A A T

Y A N G

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan butir-butir manfaat yang
diharapkan organisasi atau perusahaan sehubungan dengan sistem teknologi informasi
yang akan diterapkan. Contohnya adalah 16 manfaat generik yang kerap dipergunakan
sebagai berikut:
1.

Mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan

2.

Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi

3.

Menghindari pengeluaran yang tidak perlu

4.

Meningkatkan peluang pertumbuhan usaha melalui sumber pendapatan baru

5.

Memperbaiki kualitas informasi bagi pengambilan keputusan manajemen

6.

Meningkatkan produktivitas karyawan

7.

Meningkatkan kapasitas volume dan frekuensi transaksi usaha

8.

Mengurangi kesalahan yang sering terjadi

9.

Menciptakan keunggulan kompetitif usaha


53

10.

Mengejar ketinggalan dalam persaingan

11.

Memperbaiki kualitas kontrol atau pengawasan

12.

Meningkatkan kinerja produktivitas manajemen

13.

Memperbaiki moral dan etika karyawan

14.

Meningkatkan citra perusahaan

15.

Meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan

16.

Memperbaiki relasi atau hubungan antar stakeholder

L A N G K A H 2 : M E N Y U S U N
K O N S T I T U E N

K U E S I O N E R

U N T U K

K E T I G A

Hal selanjutnya yang perlu dipersiapkan adalah menyusun kuesioner serupa tapi tak
sama yang akan diisi oleh ketiga domain konstituen yang berbeda tersebut. Dikatakan
serupa karena daftar pertanyaan yang diberikan sama terhadap ketiga konstituen, yaitu
berasal dari ke-16 manfaat generik yang telah dijelaskan sebelumnya; dikatakan tak
sama karena masing-masing konstituen akan memberikan penilaiannya dengan
menggunakan konteks indikator yang berbeda sesuai dengan karakteristik, kebutuhan,
peranan, dan ekspektasi dari masing-masing konstituen. Contoh kuestioner yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Domain Pimpinan dan Manajemen
1. Kemampuan sistem dalam mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan
Tidak Relevan
Tidak Penting
Penting
Kritikal
2. Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi
Tidak Relevan
Tidak Penting
Penting
Kritikal
3. dan seterusnya
Domain Pengelola Teknologi Informasi
1. Kemampuan sistem dalam mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan
Tidak Mungkin
Mungkin
Berpotensi
Pasti
2. Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi
Tidak Mungkin
Mungkin
Berpotensi
Pasti
3. dan seterusnya
Domain Pengguna atau Pemakai
1. Kemampuan sistem dalam mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan
Sangat Buruk
Buruk
Baik
Sangat Baik
2. Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi

54

Tidak Mungkin
Mungkin
3. dan seterusnya

Berpotensi

Pasti

Kuesioner tersebut kemudian dibagikan ke masing-masing kelompok konstituen untuk


dilakukan penilaian. Hasilnya kemudian dikumpulkan untuk selanjutnya dikaji.
L A N G K A H 3 : M E N G H I T U N G
A N T A R K O N S T I T U E N

H A S I L

D A N

M E N G K A J I

G A P

Hasil dari kuestioner untuk masing-masing konstituen tersebut dihitung dan dicari nilai
akhirnya misalnya dengan menggunakan rata-rata. Katakanlah hasilnya adalah seperti
yang diperlihatkan pada tabel berikut ini.
Pimpinan

Pengelola

Pengguna

Mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan


perusahaan

3.4

2.5

1.5

Mengganti karakteristik biaya yang kerap


dikeluarkan melalui efisiensi

2.5

1.2

3.3

Menghindari pengeluaran yang tidak perlu

1.6

3.0

2.0

Meningkatkan peluang pertumbuhan usaha


melalui sumber pendapatan baru

2.0

3.3

3.0

Memperbaiki kualitas informasi bagi


pengambilan keputusan manajemen

1.0

2.0

4.0

Meningkatkan produktivitas karyawan

2.4

2.0

2.0

Meningkatkan kapasitas volume dan frekuensi


transaksi usaha

3.6

3.0

1.0

Mengurangi kesalahan yang sering terjadi

2.1

2.0

2.0

Menciptakan keunggulan kompetitif usaha

3.0

3.1

3.1

Mengejar ketinggalan dalam persaingan

2.2

2.0

2.4

Memperbaiki kualitas kontrol atau pengawasan

4.0

3.1

2.2

Meningkatkan kinerja produktivitas manajemen

3.2

2.9

3.1

Memperbaiki moral dan etika karyawan

3.4

2.6

2.2

Meningkatkan citra perusahaan

2.2

2.2

3.0

Meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan

3.3

4.0

1.0

Memperbaiki relasi atau hubungan antar


stakeholder

3.9

3.1

2.5

55

Tabel di atas kemudian ditransformasikan ke sebuah tabel baru dengan menggunakan 3


(tiga) buah indikator, yaitu masing-masing menggunakan simbol:
*

: importance scores

(dihasilkan oleh domain Pimpinan)

: expectation scores

(dihasilkan oleh domain Pengelola)

: experience scores

(dihasilkan oleh domain Pengguna)

1 to 2

2 to 3

3 to 4

Mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan


perusahaan

Mengganti karakteristik biaya yang kerap


dikeluarkan melalui efisiensi

Menghindari pengeluaran yang tidak perlu

*@

#@

Meningkatkan peluang pertumbuhan usaha


melalui sumber pendapatan baru

*@

#@

Memperbaiki kualitas informasi bagi


pengambilan keputusan manajemen

*#

Meningkatkan produktivitas karyawan

#@

*#@

#@

*#@

Meningkatkan kapasitas volume dan frekuensi


transaksi usaha
Mengurangi kesalahan yang sering terjadi

*#

Menciptakan keunggulan kompetitif usaha

Mengejar ketinggalan dalam persaingan

*#

*#@

*# @

Memperbaiki kualitas kontrol atau pengawasan

*#

Meningkatkan kinerja produktivitas manajemen

*@

#@

*#@

Memperbaiki moral dan etika karyawan


Meningkatkan citra perusahaan

Meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan

*#
#@

Memperbaiki relasi atau hubungan antar


stakeholder

56

Dari tabel di atas terlihat, bahwa sistem yang diterapkan telah berhasil memenuhi 4
(empat) harapan atau ekspektasi perusahaan, yaitu masing-masing dalam hal:

Kemampuan sistem dalam meningkatkan produktivitas karyawan;

Kemampuan sistem dalam mengurangi kesalahan yang terjadi;

Kemampuan sistem dalam mengejar ketinggalan persaingan; dan

Kemampuan sistem dalam meningkatkan citra perusahaan

Sedangkan terhadap hasil pada masing-masing kriteria manfaat lainnya, tampak dengan
jelas sejumlah gap yang terjadi di antara ketiga konstituen terkait. Paling tidak terdapat 3
(tiga) jenis gap yang perlu diperhatikan seperti yang dijelaskan berikut ini:

Gap 1 terjadi jika ada nilai perbedaan yang signifikan antara Pimpinan dan
Pengelola;

Gap 2 terjadi jika ada nilai perbedaan yang signifikan antara Pengelola dan
Pengguna; dan

Gap 3 terjadi jika ada nilai perbedaan yang signifikan antara Pimpinan dan
Pengguna.

L A N G K A H 4 : M E N G A M B I L
M A S I N G - M A S I N G G A P

K E S I M P U L A N

T E R H A D A P

Dari tabel yang terakhir disusun dan tiga kategori gap yang ada, dapat diambil sejumlah
kesimpulan terhadap masing-masing butir kriteria sebagai berikut.
Gap 1: Pimpinan vs Pengelola
Jika nilai (* - #) > 0, maka berarti bahwa pengelola tidak berhasil membangun
sistem sesuai dengan besarnya harapan yang dimiliki oleh pimpinan (under
achievement) atau dianggap gagal mencapai ekspektasi yang ada.

Jika nilai (* - #) < 0, maka berarti bahwa pengelola berhasil membangun


sistem yang melampaui harapan yang ada pada pimpinan atau dianggap
berhasil mencapai target yang diharapkan.

Gap 2: Pengelola vs Pengguna


Jika nilai (# - @) > 0, maka berarti bahwa pengelola tidak berhasil
membangun sistem karena dianggap hasilnya berada di bawah tingkat
kepuasan para pengguna.

Jika nilai (# - @) < 0, maka berarti bahwa pengelola berhasil membangun


sistem yang benar-benar dianggap bermanfaat oleh pengguna karena melebihi
ekspektasi yang ada.

Gap 3: Pengelola vs Pengguna


Jika nilai (* - @) > 0, maka berarti bahwa kepentingan pimpinan terhadap
sistem yang ada tidak didukung dengan tingkat kepuasan para pengguna
sistem yang memakainya.
57

Jika nilai (* - @) < 0, maka berarti bahwa para pengguna sistem memiliki
tingkat kepuasan sesuai atau lebih besar daripada pandangan pimpinan
terhadap nilai kepentingan sistem tersebut.

Dengan menganalisa ketiga gap tersebut maka dapat diambil sejumlah kesimpulan sebagai
berikut:

Jika Gap 1 bernilai positif, maka terdapat gap atau masalah kesenjangan yang
tinggi antara pimpinan perusahaan yang memiliki perspeksi tersendiri terhadap
business value of information technology dengan kemampuan pengelola
dalam menghasilkan sebuah sistem dengan kinerja yang dimaksud. Dalam
posisi ini layak dipertimbangkan kerjasama dengan pihak ketiga (misalnya
dengan menggunakan pola outsourcing), terutama terhadap sejumlah kriteria
manfaat yang sangat diharapkan oleh pimpinan terhadap sistem yang
dibangun.

Jika Gap 2 bernilai positif, maka terdapat gap atau masalah kesenjangan antara
manfaat positif yang secara langsung ingin dirasakan oleh para pengguna
sistem dengan kinerja sistem yang dibangun oleh pengelola. Pengelola dalam
hal ini perlu mengkaji kembali strateginya mulai dari memikirkan user
interface yang cocok bagi para pengguna sampai dengan menerapkan sebuah
aplikasi yang manfaatnya langsung dirasakan atau quick win oleh setiap
pengguna.

Jika Gap 3 bernilai positif, maka terdapat suatu masalah yang serius karena
manfaat yang dianggap penting oleh pimpinan untuk dapat dirasakan
organisasi atau perusahaan berbanding terbalik dengan tingkat kepuasan para
pengguna sistem tersebut. Untuk mencegah terjadinya pemboikotan dari
pengguna sistem, ada baiknya komunikasi dan negosiasi antara pimpinan
dan pengguna digalakkan untuk memperoleh pandangan yang serupa
mengenai manfaat yang dituju dengan dibangunnya sistem terkait.

Metode analisa manfaat berdasarkan gap antara tiga konstituen organisasi ini sangat baik
diterapkan di sebuah organisasi besar yang sulit melakukan komunikasi efektif antara
pihak pimpinan, pengelola, dan pengguna. Dengan dibantu oleh kuesioner sederhana dan
mudah dipahami, manajemen pengembang sistem informasi dapat membangun strategi
pendekatan agar investasi besar yang telah dikeluarkan dipandang wajar oleh ketiga
konstituen tersebut karena kecilnya gap perspektif di antara mereka bertiga.

58

15. Strategi Menilai Manfaat Teknologi Informasi


Manfaat yang diperoleh oleh organisasi atau perusahaan yang menerapkan teknologi
informasi sifatnya berbeda-beda satu dan lainnya. Memperkirakan atau menilai manfaat
ini adalah merupakan seni tersendiri karena harus dilakukan dengan cara memperhatikan
konteks yang lebih besar, terutama terkait dengan organisasi dimana teknologi tersebut
berada. Meta Group menegaskan kembali konsep penilaian ini dengan istilah IT Value
Management (Fisher, 2000). Menurutnya, terdapat 6 (enam) langkah strategi yang harus
dilakukan oleh manajemen di dalam usahanya untuk menentukan atau menilai manfaat
yang akan diperoleh dengan diimplementasikannya aplikasi teknologi informasi.
L A N G K A H 1 :
B E N E F I T S

E S T A B L I S H

I T S

R O L E

I N

C R E A T I N G

Setiap individu dapat memandang teknologi informasi secara berbeda, tergantung dari
kacamata atau perspektifnya masing-masing. Pimpinan perusahaan dalam hal ini harus
memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan peranan teknologi informasi yang spesifik
bagi perusahaannya dengan cara menekankan kepada segenap manajemen dan karyawan
perusahaannya akan posisi teknologi informasi yang dimaksud di dalam kerangka usaha
yang ada. Dengan cara demikianlah maka akan didapat kesatuan pandangan akan manfaat
teknologi informasi yang akan dan diharapkan diperoleh dengan keberadaannya di
perusahaan.
Sejumlah teori mengatakan bahwa karakteristik industri dimana perusahaan itu berada
akan sangat mempengaruhi tipe peran teknologi informasi dalam memberikan
manfaatnya. Lihatlah beberapa contoh teori yang kerap dipergunakan sebagai berikut:

Teori Tallon yang membagi peranan teknologi informasi berdasarkan aspek


Strategic Positioning dan Operational Effectiveness sehingga didapatkanlah tipetipe peran yaitu: Dual Focus, Operations Focus, Market Focus, dan Unfocused.

Teori Warren McFarlan yang mengklasifikasikan teknologi informasi berdasarkan


aspek Business Fuctionality Dependent Upon IT dan aspek IT Development for
Competitive Advantage sehingga terdapatlah empat tipe peranan yaitu masingmasing: Stratetic, Turnaround, Factory, dan Support.

Teori Accounting Practices yang secara gambling membagi hakekat teknologi


informasi menjadi empat jenis besar yaitu: Cost Center, Profit Center, Investment
Center, dan Service Center.

Inti dari langkah ini adalah adanya kesepakatan dan pemahaman bersama dari seluruh
jajaran perusahaan bahwa keberadaan teknologi informasi adalah semata-mata untuk
mendatangkan manfaat bisnis tertentu yang telah dicanangkan bersama.
L A N G K A H 2 :
P O R T F O L I O

C L A S S I F Y

B E N E F I T S

W I T H I N

Y O U R

I T

Setiap perusahaan biasanya menerapkan lebih dari satu aplikasi teknologi informasi. Yang
perlu dipahami adalah bahwa setiap jenis aplikasi memiliki hakekat manfaat yang berbeda
satu dan lainnya. Terhadap masing-masing aplikasi yang berada pada portofolio aplikasi
teknologi informasi tersebut, perlu dilakukan pemetaan terhadap peranan dan manfaatnya
masing-masing. Ada beberapa sistem pembagian kategori yang dapat dilakukan.
59

Contohnya adalah lima kateogri yang diperkenalkan oleh Weill dan Broadbent sebagai
berikut:

Strategic memberikan manfaat dalam hal peningkatan daya saing;

Informational memberikan manfaat dalam hal meningkatkan fungsi kontrol dan


pengambilan keputusan;

Transactional memberikan manfaat dalam hal pengurangan biaya dan


peningkatan produktivitas;

Infrastructure memberikan manfaat sebagai perangkat


pengintegrasian proses bisnis dan utilisasi sumber daya usaha; dan

Research and Development memberikan manfaat untuk inovasi baru dalam


bisnis.

penunjang

Dengan melakukan klasifikasi terhadap manfaat tersebut maka perusahaan dapat melihat
apakah mayoritas (atau perbandingan) aplikasi dengan proporsi terbesar sejalan dengan
peranan teknologi informasi yang telah didefinisikan sebelumnya. Jika ya, berarti
perusahaan telah secara tepat memposisikan keberadaan teknologi informasi dalam
konteks bisnis yang berarti pula akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pencapaian
manfaat teknologi informasi. Jika tidak, perlu diadakan pengkajian ulang dengan
melibatkan sejumlah pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan tertentu.
L A N G K A H 3 :
S T R A T E G Y

M A P

I T

B E N E F I T S

O N T O

B U S I N E S S

Setelah masing-masing manfaat tersebut teridentifikasi dan diklasifikasikan, maka langkah


selanjutnya adalah mencari kaitan antara manfaat tersebut dengan strategi bisnis yang
dimiliki perusahaan. Ada beberapa anchor atau titik kaitan yang dapat dipergunakan,
misalnya adalah dengan menghubungkan manfaat tersebut dengan obyektif atau sasaran
bisnis, critical success factors, key performance measures, key goal indicators, dan lain
sebagainya. Dengan demikian maka akan jelas terlihat bahwa keberadaan teknologi
informasi memang sejalan dengan strategis bisnis yang dianut. Contoh sejumlah business
drivers yang dapat dipergunakan terkait dengan hal ini adalah kemampuan teknologi
informasi di dalam hal-hal semacam:

Memaksimalkan utilisasi aset dan sumber daya perusahaan;

Memperbaiki kualitas tata kelola atau manajemen informasi;

Memelihara dan menarik pelanggan baru bagi perusahaan;

Meningkatkan mutu hubungan atau relasi dengan para mitra bisnis;

Menarik, mengembangkan, serta menanamkan motivasi tinggi bagi karyawan;

Menumbuhkan jangkauan serta ruang lingkup bisnis;

Mengoptimalkan investasi infrastruktur;

60

Mengakomodasi sejumlah persyaratan regulasi; dan

Menambah value secara finansial.

Cara lain yang kerap dipergunakan oleh perusahaan adalah menghubungkan manfaat
teknologi informasi dengan sejumlah konsep manajemen yang diimplementasikan
perusahaan tersebut, seperti: value chain, balanced scorecard, ISO 9001:2000, sixth
sigma, dan lain sebagainya.
L A N G K A H 4 : B U I L D
D E V E L O P M E N T

I T

B E N E F I T S

I N T O

P R O J E C T

Manfaat dari teknologi informasi baru dapat dirasakan apabila perangkat teknologi
tersebut benar-benar dibangun dan diterapkan. Mengingat bahwa hampir seluruh
pengembangan teknologi informasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis
proyek, maka target tercapainya manfaat teknologi informasi tersebut harus benar-benar
dipahami oleh segenap stakeholder langsung maupun tidak langsung dari seluruh proyek
yang terdapat di perusahaan. Dalam hal ini, project manager dan project leader
merupakan para individu yang paling bertanggung jawab untuk mempromosikan dan
meyakinkan tercapainya manfaat teknologi informasi dalam setiap inisiatif proyek yang
ada. Berdasarkan teori Integrated Project Management dan konsep Project Management
Body of Knowledge, terdapat 4 (empat) tahap utama di dalam mengelola proyek yang
perlu diperhatikan, terutama dalam kaitannya untuk mempertinggi tingkat keberhasilan
proyek tersebut, yaitu:

Tahap Preconditioning yang pada dasarnya merupakan suatu penanaman


pemahaman kepada seluruh stakeholder atau awareness mengapa sebuah proyek
harus dilaksanakan;

Tahap Project in Action yang merupakan serangkaian proses semenjak


dideklarasikannya sebuah proyek hingga tahap penyelesaian akhirnya;

Tahap Transition Management yang merupakan proses pasca proyek dimana


hasil atau outcome dari proyek tersebut harus diintegrasikan dengan sistem bisnis
secara utuh dalam bentuk manajemen transisi (atau change management); dan

Tahap Continuous Improvement yang merupakan mekanisme di dalam


perusahaan sebagai komitmen untuk selalu memperbaharui diri ke arah yang lebih
baik dalam bentuk perbaikan-perbaikan kinerja yang berkesinambungan.

L A N G K A H

5 :

U S E

R I S K

T O

D I S C O U N T

I T

B E N E F I T S

Keberadaan resiko dalam berbagai aktivitas manusia merupakan kenyataan kehidupan


yang tidak dapat dihindari. Demikian pula dengan setiap inisiatif pengembangan teknologi
informasi pasti akan dibayang-bayangi dengan sejumlah kehadiran sejumlah resiko, baik
yang berskala rendah, menengah, dan tinggi. Total manfaat yang diperkirakan akan
diperoleh perusahaan harus dikurangi dengan keberadaan resiko tersebut, yang dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan.
Tahap pertama adalah dengan melakukan pengukuran terhadap besarnya resiko tersebut.
Besar kecilnya resiko biasanya ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti: ukuran atau ruang
lingkup proyek, tingkat kompleksitas proyek, kesiapan perusahaan untuk berubah,
61

ketersediaan sumber daya manusia dengan kompetensi atau keahlian tertentu, dan lain
sebagainya. Biasanya dengan menggunakan teknik scoring maka dapat dilihat seberapa
besar resiko yang dihadapi perusahaan terkait dengan inisiatif pengembangan aplikasi
teknologi informasi tertentu.
Tahap kedua adalah dengan melakukan perbandingan atau kalkulasi pengurangan antara
manfaat yang akan didapat dengan besar kecilnya resiko yang dihadapi tersebut. Untuk
mempermudah perhitungan dapat dipergunakan peta matriks 2x2 dimana aspek yang
dipergunakan adalah besar kecilnya manfaat yang diperoleh dan besar kecilnya resiko
yang dihadapi.
Tahap ketiga adalah menentukan daerah resiko mana saja yang sesuai atau sepadan
dengan strategi bisnis perusahaan, sehingga proyek-proyek teknologi informasi yang
berada di daerah tersebut sajalah yang akan dikembangkan perusahaan. Misalnya dari
matriks yang ada dipilih proyek-proyek yang berada di dalam domain manfaat besar dan
resiko kecil serta domain manfaat kecil dan resiko kecil. Namun untuk seorang pimpinan
perusahaan yang bersifat risk taker, tidak mustahil berani untuk memilih melakukan
proyek dengan kriteria manfaat besar dan resiko kecil.
L A N G K A H
W O R K

6 :

P U T

P O S T - I M P L E M E N T A T I O N

R E V I E W S

T O

Pada hakekatnya, melakukan prosedur langkah 1 sampai dengan langkah 5 di atas


merupakan suatu proses pembelajaran yang tidak akan lepas dari sejumlah kesalahan.
Oleh karena itulah harus ada mekanisme evaluasi pasca implementasi prosedur tersebut di
atas, sehingga metodologi yang dipergunakan dalam menilai manfaat yang diberikan
teknologi informasi kepada bisnis dapat senantiasa diperbaiki.

62

16. Metode I.S.S.U.E untuk Mengukur Manfaat


Teknologi Informasi
Brown pada tahun 1994 membedakan manfaat teknologi informasi menjadi yang
bersifat hard dan soft. Hard benefit adalah manfaat yang dapat secara langsung
dirasakan oleh perusahaan yang mengimplementasikannya karena karakteristiknya
yang dapat diukur secara kuantitatif, misalnya dengan menggunakan satuan finansial.
Sementara itu soft benefit adalah manfaat yang tidak secara langsung dapat dinikmati
oleh perusahaan karena karakteristiknya yang tidak terlihat secara nyata. Ada tiga
jenis soft benefit yang dimaksud, dimana masing-masing diberi nama: intangible,
indirect, dan strategic.
Perbedaan di antara keempat jenis manfaat ini dapat digambarkan secara matriks
dengan menggunakan pendekatan dua buah aspek. Aspek pertama terkait dengan
seberapa jauh tipe teknologi informasi atau sistem informasi yang dikembangkan
dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh pengguna (attributable to the IT/IS),
dan aspek kedua berhubungan dengan dapat tidaknya manfaat yang ada
dikuantifikasikan atau diukur secara kuantitatif (measurable).

Sumber: Brown, 1994

Manfaat hard biasanya terkait dengan implementasi teknologi informasi yang secara
jelas memberikan kontribusi kepada perusahaan dalam bentuk reduksi biaya,
pengurangan staf atau karyawan, peningkatan produktivitas, dan lain sebagainya.
Manfaat intangible merupakan implementasi teknologi informasi yang segera dapat
dirasakan manfaatnya bagi pengguna atau perusahaan yang menerapkannya, namun
sangat sulit dilakukan pengukuran terhadap besarnya manfaat tersebut. Contohnya
adalah bagaimana penerapan Decision Support System dapat memperbaiki kualitas
pengambilan keputusan manajemen, namun sulit untuk dikuantifikasikan besaran
manfaat yang diperoleh tersebut dalam satuan finansial.
Manfaat indirect pada dasarnya dapat dikuantifikasikan besarannya namun
keberadaannya tidak langsung dapat dirasakan oleh para pengguna. Misalnya adalah
pengembangan Local Area Network, dimana walaupun manfaatnya dapat dengan
mudah dihitung karena adanya optimalisasi terhadap sumber daya yang ada (melalui
proses sharable), namun user tidak dapat segera merasakan manfaatnya karena belum
adanya aplikasi yang diinstalasi di atas jaringan tersebut (seperti e-mail, office
productivity, intranet, dan lain sebagainya).

63

Manfaat strategic lebih merupakan suatu manfaat jangka panjang yang dapat
dinikmati perusahaan karena dimiliki atau dikembangkannya teknologi informasi
tertentu. Misalnya adalah keberadaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan
daya saing usaha, memperbesar potensi pasar, memperbaiki citra perusahaan di mata
pelanggan, mengoptimalkan hubungan dengan para mitra bisnis, dan lain sebagainya.
Dengan berpegang pada keempat manfaat tersebut, maka setiap jenis atau tipe aplikasi
teknologi informasi yang ada dapat dipetakan kategori manfaat yang diberikan.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah sebagai berikut: perusahaan harus
memfokuskan diri pada penghitungan manfaat yang mana agar kajian cost-benefit
dapat mencapai sasarannya?

Sumber: Brown, 1994

Sejumlah literatur mengusulkan agar proses pengukuran dilakukan secara bertahap


atau evolusioner sesuai dengan kematangan perusahaan dalam menghadapi isu
tersebut. Pendekatan ini menyarankan agar hal pertama yang sebaiknya dilakukan
adalah mengukur manfaat yang bersifat hard terlebih dahulu, sebelum kemudian
perusahaan belajar untuk menerapkan metodologi untuk menghitung besarnya
manfaat yang bersifat intangible atau indirect. Dengan sendirinya manfaat yang
bersifat strategic akan dipelajari terakhir.

Sumber: Brown, 1994

Kenyataan memperlihatkan bahwa untuk melakukan pengukuran terhadap manfaat


yang bersifat soft, perlu dipergunakan sejumlah simulation tool. Perusahaanperusahaan di negara maju banyak sekali menggunakan perangkat simulasi bisnis
seperti Extend, FinSim, dan lain sebagainya. Tujuan dari dipergunakannya perangkat
simulasi ini adalah untuk sedapat mungkin menggambarkan keadaan lingkungan
bisnis secara nyata sehingga berbagai variabel yang tidak tampak dan bersifat

64

kompleks dapat saling berinteraksi sehingga manfaat soft yang sulit dihitung dapat
teridentifikasi dan diukur. Adapun metodologi yang diperkenalkan dalam pendekatan
ini dikenal sebagai ISSUE yang merupakan kepanjangan dari Initiation Simulation
Substantiation Utilisation Estimation.

Sumber: Brown, 1994

Pada tahap Initiation ini hal pertama yang dilakukan adalah mendefinisikan obyektif
dari sistem yang ingin dikembangkan, terutama berkaitan dengan manfaat yang dituju
(yang tentu saja dengan tujuan akhir manfaat tersebut dapat dikuantifikasikan). Selain
obyektif, hal yang perlu digambarkan pula adalah rangkaian proses bisnis terkait
dengan sistem yang ada, termasuk di dalamnya pemberian atribut kinerja atau
karakteristik proses seperti waktu, biaya, pelaku, dan lain sebagainya.

Sumber: Renaissance Indonesia, 2002

Tahap selanjutnya adalah Simulation dimana dilakukan konstruksi model yang


menyerupai keadaan yang sebenarnya. Setelah model tersebut selesai dikembangkan,
maka kondisi AS IS atau lingkungan perusahaan saat ini tersebut disimulasikan
sedemikian rupa sehingga dapat dilihat kinerjanya, terutama dalam kaitannya dengan
performa finansial (atau menghitung indikator kinerja lain yang terkait dengan
parameter keuangan).

65

Sumber: Renaissance Indonesia, 2002

Substantiation adalah tahap konfirmasi atau penegasan kembali bahwa model yang
telah dibuat tersebut benar-benar mendekati kenyataan yang ada. Berbagai tes perlu
dilakukan untuk membuktikan hal ini terhadap sistem yang dimodelkan tersebut.
Setelah dilakukan pengecekan atau validasi terhadap kehandalan model yang dibuat,
barulah dilakukan tahap Utilisation dimana pada saat inilah dilakukan sejumlah kajian
antara kondisi AS IS dan kondisi di masa mendatang TO BE ketika aplikasi
teknologi informasi diterapkan. Perbandingan kinerja yang dinyatakan dalam
sejumlah indikator antara kondisi lama dan baru inilah yang akan menjadi fokus
kajian manfaat yang dimaksud.

Sumber: Renaissance Indonesia, 2002

Setelah perbandingan tersebut dilakukan, barulah tahap Estimation dimana para


pimpinan atau praktisi bisnis terkait melakukan perkiraan pengukuran terhadap
besarnya manfaat yang akan mereka peroleh akibat diimplementasikannya sistem
terkait.

66

Sumber: Renaissance Indonesia, 2002

67

17. Manajemen Investasi Teknologi Informasi dalam


Standar COBIT
IT Governance Institute bekerja sama dengan ISACA (Information System Audit and
Control Association) memperkenalkan sebuah kerangka untuk mengelola information
technology governance di perusahaan dengan nama COBIT (Control Objectives for
Information and Related Technologies) yang merupakan hasil riset dari berbagai institusi
terkemuka seperti PriceWaterhouseCoopers, IBM, Gartner, dan sejumlah tokoh-tokoh
profesional dari dunia bisnis, pemerintahan, dan pendidikan.
Dalam salah satu control area dari 34 butir yang ada, dibahas mengenai masalah
Manajemen Investasi Teknologi Informasi yang baik dan efektif. Terkait dengan butir
tersebut, COBIT secara jelas menekankan prinsip investasi yang dinyatakan dalam kalimat
sebagai berikut (ITGI, 2000):
Control over the IT process Manage the IT Investment with the business goal of
ensuring funding and controlling disbursement of financial resources ensures
delivery of information to the business that addresses the required Information
Criteria and is measured by Key Goal Indicators is enabled by a periodic
investment and operational budget established and approved by the business
considers Critical Success Factors that leverage specific IT Resources and is
measured by Key Performance Indicators.

IN F O R M A T IO N

C R IT E R IA

D A N

IT

R E S O U R C E S

Manajemen sebuah perusahaan akan berfungsi secara efektif apabila para pengambil
keputusan selalu ditunjang dengan keberadaan informasi yang berkualitas. COBIT
mendeskripsikan karakteristik informasi yang berkualitas menjadi 7 (tujuh) aspek utama,
yaitu masing-masing:

Effectiveness informasi yang dihasilkan haruslah relevan dan dapat


memenuhi kebutuhan dari setiap proses bisnis terkait dan tersedia secara tepat
waktu, akurat, konsisten, dan dapat dengan mudah diakses;

Efficiency informasi dapat diperoleh dan disediakan melalui cara yang


ekonomis, terutama terkait dengan konsumsi sumber daya yang dialokasikan;

Confidentiality informasi rahasia dan yang bersifat sensitif harus dapat


dilindungi atau dijamin keamanannya, terutama dari pihak-pihak yang tidak
berhak mengetahuinya;

Integrity informasi yang dihasilkan haruslah lengkap, akurat, valid,dan


memiliki nilai bisnis sesuai dengan harapan yang membutuhkannya;

Availability informasi haruslah tersedia bilamana dibutuhkan dengan kinerja


waktu dan kapabilitas yang diharapkan;

68

Compliance informasi yang dimiliki harus dapat dipertanggung-jawabkan


kebenarannya dan mengacu kepada hukum maupun regulasi yang berlaku,
termasuk di dalamnya mengikuti standar nasional atau internasional yang ada;
dan

Reliability informasi yang dihasilkan haruslah berasal dari sumber yang


dapat dipercaya sehingga tidak menyesatkan para pengambil keputusan yang
menggunakan informasi tersebut.

Keseluruhan informasi tersebut dihasilkan oleh sebuah sistem informasi (dan teknologi
informasi) yang dimiliki perusahaan, dimana di dalamnya teradapat sejumlah komponen
sumber daya penting, yaitu:
1.

Data yang merupakan bahan mentah dari setiap informasi yang dihasilkan,
dimana di dalamnya terkandung fakta dari aktivitas transaksi dan interaksi
sehari-hari masing-masing proses bisnis yang ada di perusahaan;

2.

Aplikasi yang merupakan sekumpulan program untuk mengolah dan


menampilkan data maupun informasi yang dimiliki oleh perusahaan;

3.

Teknologi yang terdiri dari sejumlah perangkat keras dan infrastruktur


teknologi informasi sebagai teknologi pendukung untuk menjalankan
portofolio aplikasi yang ada;

4.

Fasilitas yang berupa sarana fisik seperti ruangan dan gedung dimana
keseluruhan perangkat sistem dan teknologi informasi ditempatkan; dan

5.

Manusia yang merupakan pemakai dan pengelola dari sistem informasi yang
dimiliki.

Sumber: ITGI, 2000

69

IT Resources
Sumber: ITGI, 2000

Berdasarkan riset yang dilakukan terhadap sejumlah perusahaan terkemuka di dunia,


diperoleh kesimpulan bahwa untuk mengelola proses bisnis terkait dengan investasi di
bidang teknologi informasi, untuk komponen Information Criteria dipilih 2 (dua) aspek
utama atau primer, yaitu effectiveness dan efficiency; dan reliability dianggap sebagai
aspek utama penting lainnya yang bersifat sekunder. Sementara untuk komponen IT
Resources, aplikasi, teknologi, fasilitas, dan manusia dianggap sebagai hal yang perlu
diperhatikan secara sungguh-sungguh agar dapat dihasilkan informasi dengan kualitas
seperti yang diharapkan tersebut. Artinya adalah bahwa seluruh hal terkait dengan
informasi mengenai investasi yang harus dialokasikan untuk pengembangan teknologi
informasi perlu diberikan secara efektif, melalui cara-cara yang ekonomis (efisien),
dimana keseluruhan datanya haruslah terpercaya atau reliable. Untuk itulah dibutuhkan
teknologi, fasilitas, dan aplikasi yang memadai dengan didukung oleh sumber daya
manusia yang handal.
C R IT IC A L

S U C C E S S

F A C T O R S

Critical Success Factors atau biasa disingkat CSF, merupakan hal-hal yang dianggap
sebagai kunci keberhasilan perusahaan dalam mengelola teknologi informasi yang dimiliki
agar dapat secara efektif menjadi penunjang setiap usaha untuk pencapaian obyektif bisnis.
Secara prinsip, CSF memiliki karakteristik sebagai berikut:

Pemacu utama untuk pencapaian keberhasilan pelaksanaan proses manajemen;

Suatu kondisi yang akan menjadi batu pijakan tercapainya keberhasilan


pelaksanaan aktivitas secara optimal;

Hal yang dianggap sangat penting untuk meningkatkan probabilitas tingkat


kesuksesan terlaksananya sebuah proses;

Parameter yang dapat diukur dan diamati agar organisasi dapat sukses;

Bernuansa strategis, melibatkan teknologi, berorientasi organisasi, dan


memiliki aspek prosedural;

Fokus pada pencapaian perbaikan kapabilitas dan kemampuan pelaksanaan


aktivitas; dan

Cenderung berorientasi pada level proses.

70

COBIT menganggap bahwa terkait dengan proses investasi teknologi informasi, paling
tidak ada beberapa CSF yang patut untuk dipertimbangkan untuk dipakai sebagai acuan,
masing-masing adalah:

Seluruh tipe dan jenis biaya terkait dengan teknologi informasi telah
teridentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan karakteristiknya;

Sejumlah aset teknologi informasi yang terkait dengan adanya pembiayaan


pemeliharaan terhadapnya dapat diukur secara efektif dan jelas;

Kriteria yang dipergunakan untuk setiap pengambilan keputusan terkait


dengan investasi teknologi informasi secara formal telah dimiliki, lengkap
dengan prosedur pengajuan dan persetujuannya;

Perencanaan pengembangan teknologi informasi secara jelas telah


didefinisikan sesuai dengan siklus hidup (life cycle) teknologi terkait, sehingga
biaya yang perlu dikeluarkan dan diinvestasikan di kemudian hari telah dapat
diketahui;

Proses pengembilan keputusan terhadap investasi yang akan dikeluarkan telah


memperhitungkan hal-hal semacam: dampak jangka pendek dan panjang yang
akan terjadi (misalnya biaya sosial, biaya perubahan, biaya perbaikan, biaya
migrasi, dan lain sebagainya), dampak proses lintas sektoral yang perlu dibina,
manfaat yang diharapkan didapatkan, kontribusi terhadap bisnis yang
diperoleh, dan lain sebagainya;

Tersedia pilihan sejumlah skenario terhadap berbagai kemungkinan investasi


yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti analisa
cost-benefit, fisibilitas, tingkat kematangan teknologi, tata kala waktu, dan
lain-lain;

Anggaran dan investasi teknologi informasi sejalan dengan strategi anggaran


dan rencana bisnis perusahaan atau korporat; dan

Tingkat akuntabilitas manajemen yang jelas terhadap realisasi manfaat yang


diperoleh dalam bentuk prosedur pengawasan berkala yang jelas, sejalan
dengan biaya investasi yang dikeluarkan.

K E Y G O A L IN D IC A T O R S
IN D IC A T O R S

D A N

K E Y

P E R F O R M A N C E

Key Goal Indicators atau disingkat KGI adalah merupakan sasaran atau target yang ingin
dicapai oleh sebuah proses atau aktivitas di dalam perusahaan. Karena KGI sifatnya
sebuah obyektif yang ingin dicapai di masa mendatang, maka secara berkala perlu
dilakukan pengukuran-pengukuran untuk menjamin bahwa aktivitas yang dilakukan
perusahaan berada di jalan yang benar (on the right track) dalam arti kata menuju pada
tercapainya KGI tersebut. Indikator ukuran ini lah yang di dalam COBIT dinamakan
sebagai Key Performance Indicators atau KPI.

71

Sumber: ITGI, 2000

Terkait dengan proses investasi teknologi informasi di perusahaan, contoh KGI yang dapat
dipergunakan adalah sebagai berikut:

Persentasi investasi teknologi informasi yang berhasil memenuhi atau bahkan


melebihi manfaat yang diharapkan atau ditargetkan sebelumnya, berdasarkan
perhitungan semacam ROI atau kepuasan pemakai (user satisfaction);

Biaya aktual pengeluaran teknologi informasi yang dinyatakan sebagai


persentasi total pengeluaran dibandingkan dengan target yang telah
direncanakan;

Biaya aktual pengeluaran teknologi informasi yang dinyatakan sebagai


persentasi total pemasukan (revenue) dibandingkan dengan target yang telah
direncakan; dan lain sebagainya.

Sementara itu, KPI yang dapat dipergunakan sebagai indikator kinerja adalah sebagai
berikut:

Persentasi proyek teknologi informasi yang menggunakan standar baku model


investasi dan penganggaran;

Durasi pemantauan dan revisi anggaran secara berkala;

Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus terjadinya penyimpangan


dengan pelaporan;

Persentasi proyek teknologi informasi yang melewati tahap evaluasi investasi;

Jumlah proyek teknologi informasi yang berhasil memberikan manfaat sesuai


dengan harapan dan besaran investasi yang telah dikeluarkan; dan lain
sebagainya.

M A T U R IT Y

M O D E L

COBIT melihat bahwa menerapkan mekanisme governance secara efektif tidaklah


semudah membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui sejumlah tahap
kematangan tertentu. Paling tidak posisi kematangan sebuah perusahaan terkait dengan

72

keberadaan dan kinerja proses tata kelola investasi teknologi informasi dapat dikategorikan
menjadi 6 (enam) tingkatan, yaitu:

Adalah posisi kematangan terendah, suatu kondisi dimana perusahaan merasa


tidak membutuhkan adanya mekanisme proses investasi teknologi informasi
yang baku, sehingga tidak ada samak sekali pengawasan terhadap investasi
teknologi informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan;

Sudah ada beberapa inisiatif mekanisme perencanaan, tata kelola, dan


pengawasan terhadap sejumlah investasi yang dilakukan, namun sifatnya
masih ad-hoc, sporadis, tidak konsisten, belum formal, dan reaktif;

Kondisi dimana perusahaan telah memiliki kebiasan yang terpola untuk


merencanakan dan mengelola investasi teknologi informasi dan dilakukan
secara berulang-ulang secara reaktif, namun belum melibatkan prosedur dan
dokumen formal.

Pada tahapan ini, perusahaan telah memiliki mekanisme dan prosedur yang
jelas mengenai tata cara dan manajemen proses investasi teknologi informasi,
dan telah terskomunikasikan serta tersosialisasikan dengan baik di seluruh
jajaran manajemen perusahaan;

Merupakan kondisi dimana manajemen perusahaan telah menerapkan


sejumlah indikator pengukuran kinerja kuantitatif untuk memonitor efektivitas
pelaksanaan manajemen investasi teknologi informasi; dan

Level tertinggi ini diberikan kepada perusahaan yang telah berhasil


menerapkan prinsip-prinsip governance secara utuh dan mengacu pada best
practice, dimana secara utuh telah diterapkan prinsip-prinsip governance,
seperti: transparency, accountability, responsibility, dan fairness.

Sumber: ITGI, 2000

Dengan adanya maturity level model, maka perusahaan dapat mengetahui posisi
kematangannya saat ini, dan secara kontinyu serta berkesinambungan harus berusaha

73

untuk meningkatkan levelnya sampai ke tingkat tertinggi agar aspek governance terhadap
proses investasi teknologi informasi dapat berjalan secara efektif.

74

18. Konsep Total Value of Opportunity dari Gartner


Total Value of Opportunity atau TVO adalah sebuah metodologi pendekatan analisa costbenefit terhadap investasi teknologi informasi yang dilakukan di dalam sebuah bisnis
perusahaan. Karena sifatnya yang sangat kompleks dalam arti kata melibatkan sejumlah
formula perhitungan yang mempertimbangkan aspek-aspek semacam manfaat bisnis,
resiko yang dihadapi, maupun tingkat kesiapan organisasi perhitungan TVO dibantu
dengan sebuah aplikasi berbasis web. Adapun keistimewaan dari metodologi yang
diperkenalkan lembaga riset terkemuka Gartner ini adalah ruang lingkup analisanya yang
sangat mendalam karena melibatkan tiga aspek konstituen utama di dalam perusahaan
yang kerap saling konflik, masing-masing adalah: bisnis, teknologi informasi, dan
keuangan.

Secara struktur logika, anatomi TVO terbagi menjadi tiga layer, yaitu: Value Questions,
TVO Applied Methodologies, dan TVO Software Flow. Metode analisa berangkat dari
sejumlah pertanyaan mendasar yang merupakan kunci dari setiap keputusan bisnis yang
terkait dengan investasi teknologi informasi, masing-masing adalah:
1.

What is the initiative?

2.

How will we meassure business value?

3.

What does the technology do?

4.

How much benefits will we receive?

5.

How much does it cost?

6.

How do we take into account future uncertainty?

7.

Is the enterprise positioned to exploit the capabilities?

Masing-masing pertanyaan tersebut kemudian akan dijawab dengan metode yang pernah
dikenal dan dipandang efektif sebagai cara untuk menyelesaikannya. Misalnya adalah
pertanyaan pertama yang akan secara baik dijawab dengan menggunakan metode Project
Description and Investment Framework yang diperkenalkan oleh MIT Sloan School of

75

Management, atau pertanyaan kelima yang dengan baik akan terjawab jika digunakan
pendekatan Total Cost of Ownership (PCO) dalam menghitung total biaya investasi, atau
pertanyaan terakhir yang akan mengarah pada dipergunakannya paradigma lima pilar
kapabilitas yaitu strategic assessment, business process impact, architecture, direct
payback, dan risk assessment. Ketujuh metode yang saling berhubungan tersebut
kemudian secara kompleks akan men-drive cara kerja aplikasi yang dipergunakan untku
membantu melakukan kalkulasi TVO yang dimaksud. Untuk mempermudah mengetahui
bagaimana hasil dari TVO dapat membantu manajemen di dalam mengambil keputusan
terhadap rancangan investasi yang akan dilakukan, dapat dilihat melalui sebuah contoh
proyek dengan ruang lingkup penerapan konsep supply chain yang bertujuan untuk
mengurangi jumlah kesalahan dan meningkatkan ketepatan pengiriman dengan profil
investasi dan manfaat sebagai berikut:

Profil ini kemudian dimasukkan sebagai input ke dalam software TVO dan akan
menghasilkan initial outputs sebagai berikut:

Seperti yang terlihat pada anatomi software TVO, output ini dihasilkan setelah perangkat
lunak tool tersebut melakukan kalkulasi terhadap input yang diberikan dengan
menerapkan sejumlah teori dan konsep seperti: Framework Prime and Aggregates, IT
76

Capabilities, TCO, Future Value, dan lain sebagainya. Initial Output ini kemudian diolah
kembali untuk didiagnosa sehingga dihasilkan Final Output sebagai berikut:

Dari Final Output tersebut jelas terlihat bahwa dari overall score yang dihasilkan adalah
57%, yang dalam tabel berada pada wilayah range 51%-75%, dimana mengandung arti:
Rencana investasi terkait dipandang baik, hanya saja butuh sejumlah penyempurnaan
(fine tuning).
Sebagai catatan, sejumlah perusahaan besar yang telah mengadopsi TVO sebagai metode
analisa cost-benefit adalah: Microsoft, SAP, Intel, Cisco, JP Morgan Chase, Black and
Decker, Cognos, Hyperion, Kintana, Captaris, dan Newroads.

77

19. Pendekatan I.T. Value Chain Management dari


Alinean
Pada tahun 2002 perusahaan konsultan terkemuka dunia Ernst and Young menghasilkan
sebuah riset yang salah satu kesimpulannya memperlihatkan bahwa hampir 79%
perusahaan pada saat ini menggunakan ROI dalam menganalisa investasi teknologi
informasinya. Walaupun demikian, 65% dari perusahaan respondennya mengaku tidak
tahu secara pasti apakah cara penghitungan ROI-nya sudah benar atau tidak jika
diterapkan pada investasi teknologi informasi. 75% dari mereka juga menyatakan tidak
memiliki prosedur yang jelas dan baku, maupun anggaran yang tersedia, dalam usahanya
memakai ROI sebagai formula perhitungan. Bahkan 68% dari mereka tidak menggunakan
ROI lagi setelah sebuah proyek teknonologi informasi selesai sebagai bahan pengukuran.
Dengan kata lain, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, nampaknya ROI
masih menjadi satu-satunya bahasa investasi yang disepakati oleh para stakeholder
perusahaan. Oleh karena itu, untuk tidak membuat perhitungan menjadi misleading,
sebuah perusahaan konsultan Alinean memperkenalkan metode yang diberi nama IT
Value Chain Management untuk menganalisa dan mengukur cost-benefit dari
implementasi teknologi informasi berbasis proyek.
Metodologi IT Value Chain Management dibagi menjadi empat langkah, yaitu masingmasing (Alinean, 2002):
1.

Project ROI

2.

Project Optimisation and Budgeting

3.

Corporate Financial Impact

4.

Competitive Peer Comparison

Keempat langkah tersebut berada di dalam dua buah domain perspektif, masing-masing
adalah perspektif makro dan mikro (dalam kaitannya dengan dampak terhadap bisnis
perusahaan yang terjadi karena diimplementasikannya teknologi informasi), dan perspektif
internal dan eksternal (terkait dengan stakeholders yang memperoleh manfaat dari
teknologi informasi).

78

Sumber: Alinean, 2002

L A N G K A H

1 :

P R O J E C T

R O I

Idealnya, setiap proyek teknologi informasi diharapkan mengarah pada tujuan peningkatan
profitabilitas usaha yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan perusahaan atau
berkurangnya total biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini diharapkan dapat terjadi - secara
langsung maupun tidak langsung setelah sebuah proyek teknologi informasi selesai
dilaksanakan. Dengan kata lain, harus terdapat kinerja perbaikan yang jelas pada saat
sebelum inisiatif teknologi informasi diimplementasikan (As-Is) dan setelah aplikasi
teknologi informasi diterapkan (To-Be). Jika hal ini tidak terwujud tentu saja para sponsor
proyek tidak akan bersedia menyisihkan sumber daya keuangannya untuk dialokasikan
pada proyek teknologi informasi yang diusulkan.

Sumber: Alinean, 2002

Setiap proyek teknologi informasi pasti diusulkan karena adanya kebutuhan atau tuntutan
tertentu dari bisnis (business case). Oleh karena itu, cara lain mengidentifikasan adanya

79

manfaat dari dilaksanakannya sebuah proyek teknologi informasi adalah terjadinya benefit
value yang merupakan hasil pengurangan dari proposed plan (usulan pelaksanaan proyek
teknologi informasi) dengan kondisi yang ada saat ini, atau dapat dinyatakan dengan
formula:
Value =

(Cost and Benefit with IT Investment)


(Cost and Benefit without IT Investment)

Nilai value tersebut haruslah positif karena berarti (Benefit-Cost) ketika investasi
dilakukan (To-Be) jauh lebih besar dibandingkan dengan (Benefit-Cost) jika investasi
tidak dilakukan (As-Is). Adapun indikator finansial yang biasa dipergunakan dalam
menghitung cost-benefit terkait dengan proyek teknologi informasi ini adalah: ROI, NPV,
IRR, dan Payback Period.

Sumber: Alinean, 2002

Dimana masing-masing indikator tersebut akan melibatkan sejumlah formula dan variabel
tertentu terkait dengan total biaya yang harus diperkirakan dan perkiraan manfaat yang
dapat diperoleh seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.

Sumber: Alinean, 2002

80

Sumber: Alinean, 2002

Untuk dapat mengukur manfaat secara tepat, tentu saja dibutuhkan pengetahuan yang
cukup untuk dapat mengidentifikasi tidak saja tangible benefits tetapi memasukkan juga
unsur-unsur intangible benefits. Demikian pula di dalam menghitung total cost, harus
dimasukkan pula asumsi-asumsi terkait dengan sejumlah resiko yang kerap dihadapi
proyek teknologi informasi.

L A N G K A H 2 :
B U D G E T IN G

P R O J E C T

O P T IM IZ A T IO N

A N D

We dont have all the money in the world artinya adalah bahwa setiap perusahaan
memiliki keterbatasan anggaran untuk dialokasikan terhadap sejumlah usulan atau inisiatif
proyek teknologi informasi. Untuk itu, perusahaan harus melakukan proses seleksi dan
prioritasi terhadap semua usulan proyek teknologi informasi yang ada. Cara pertama
adalah dengan membuat tabel detail dan grafik ilustrasi mengenai profil masing-masing
proyek seperti contoh berikut.

81

Sumber: Alinean, 2002

Berdasarkan tabel dan gambar di atas, maka dapat dilakukan proses seleksi melalui
sejumlah kriteria dan perhitungan berbasis pada data ROI, resiko, biaya total, NPV, IRR,
dan Payback Period. Katakanlah hasil perhitungan memperlihatkan bahwa dua proyek
dapat ditunda atau tidak dilaksanakan karena nilai atau score-nya yang rendah, yaitu
masing-masing: proyek Security Improvement dan proyek Human Capital Management
Automation. Maka dapatlah disusun perkiraan anggaran yang dibutuhkan seperti yang
diperlihatkan pada tabel berikut.

Sumber: Alinean, 2002

L A N G K A H

3 :

C O R P O R A T E

F IN A N C IA L

IM P A C T

Setelah anggaran dan perhitungan cost-benefit selesaikan dikerjakan barulah langkah


berikutnya dilakukan, yaitu memetakan hasil perhitungan tersebut ke dalam bahasa standar
keuangan perusahaan, yang dalam bentuk terkecilnya direpresentasikan dalam chart of
account.

82

Sumber: Alinean, 2002

Dengan telah dipetakannya perhitungan tersebut, maka dengan sendirinya biaya dan
manfaat seluruh proyek teknologi informasi telah diintegrasikan dengan seluruh
komponen biaya dan manfaat perusahaan sehingga dapat diperoleh balance sheet, cash
flow, dan income statement yang terpadu dan telah mereprentasikan profil proyek
teknologi informasi sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh para stakeholder
terkait.

Sumber: Alinean, 2002


L A N G K A H

4 :

C O M P E T IT I V E

P E E R

C O M P A R IS O N

Langkah terakhir yang kerap dilaksanakan oleh perusahaan moderen adalah melakukan
komparasi atau benchmarking terhadap para saingan atau perusahaan di industri sejenis
untuk membandingkan presentasi dan besarnya investasi teknologi informasi yang telah
dan akan dilakukan. Sejumlah indikator tambahan dapat dipergunakan untuk memperoleh
nilai perbandingan yang akurat dan relevan, misalnya dengan menggunakan konsep EVA
atau Economic Value Added dan Information Productivity.
83

Sumber: Alinean, 2002

Tujuan dari dilakukannya perbandingan tersebut untuk dapat mengevaluasi apakah


perusahaan cenderung melakukan over investment atau under investment disamping untuk
melihat tingkat keunggulan kompetitif antara perusahaan dengan kompetitornya, sehingga
usaha perbaikan dapat secara terus menerus dilakukan.

84

20. Analisa Investasi Proyek Sistem Keamanan Jaringan


Dewasa ini, hubungan antara bisnis dan teknologi informasi bukan lagi merupakan sebuah
relasi demand-supply belaka, tetapi keduanya telah menjadi suatu kesatuan yang tak
terpisahkan. Fenomena ini terutama terjadi pada perusahaan moderen yang telah
menyadari bahwa informasi telah menjadi salah satu faktor produksi penting disamping
empat sumber daya lain yang lebih dikenal sebagai 4M (men, machines, materials, dan
money). Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa manajemen perusahaan harus memiliki
mekanisme efektif untuk mengelola proses penciptaan, penyimpanan, penyaluran, dan
pengawasan terhadap informasi ini agar keberadaannya benar-benar dapat menjadi sebuah
entiti strategis bagi perusahaan. Melihat bahwa pada dasarnya wujud informasi merupakan
sebuah content yang berada dalam sebuah container yang bernama teknologi informasi
(konvergensi antara teknologi komputer dan telekomunikasi), maka faktor pengelolaan
terhadap teknologi ini menjadi sangat krusial. Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa
di era internet ini, banyak terjadi berbagai tindakan kriminal berkaitan dengan pencurian
informasi penting dan rahasia yang dimiliki oleh perusahaan. Tindakan ini tidak saja
bermuara pada terjadinya kerugian langsung yang harus ditanggung/diderita oleh pihak
perusahaan terkait, tetapi lebih jauh lagi dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan dan
perkembangan teknologi informasi sebagai suatu alat bantu untuk meningkatkan kualitas
kehidupan manusia pada umumnya dan aktivitas bisnis (pertukaran barang dan jasa) pada
khususnya. Walaupun jelas terlihat dalam kerangka ini bahwa sudah saatnya manajemen
perusahaan menaruh perhatian serius terhadap kondisi sistem keamanan jaringan teknologi
informasinya, namun pada kenyataannya hanya sedikit sekali pimpinan perusahaan yang
memutuskan untuk menyisihkan sebagian anggarannya untuk membangun sistem yang
efektif. Memperhatikan bahwa salah satu alasan yang dikemukanan adalah tidak jelasnya
manfaat riil yang diperoleh untuk menjustifikasi biaya yang telah dikeluarkan, artikel ini
bertujuan untuk memberikan beberapa alternatif pendekatan seputar teknik analisa dan
perhitungan cost-benefit terhadap isu terkait. Harapannya adalah agar para eksekutif
perusahaan yang ingin mengembangkan sistem keamanan jaringannya tidak harus merasa
takut akan terjadinyaover investment (investasi yang berlebih) dalam mengeksekusi
keputusan alokasi biaya terkait.
D O M A IN

R E S IK O

K E A M A N A N

Berkaitan dengan aktivitas yang terjadi pada perusahaan, paling tidak ada 3 (tiga) domain
resiko keamanan yang harus benar-benar diperhatikan, masing-masing adalah (Indrajit,
2002):

Domain Relasi Internal

Domain Relasi Konsumen

Domain Relasi Mitra Bisnis

Domain Relasi Internal berkaitan dengan pengelolaan informasi (penciptaan,


penyimpanan, penyaluran, dan pengawasan) yang melibatkan berbagai entiti bisnis yang
saling terkait satu lainnya dalam batasan wilayah organisasi usaha. Contohnya adalah
informasi yang mengalir antar departemen, antar fungsi, antar jabatan, antar unit bisnis,
dan lain-lain.
85

Domain Relasi Konsumen berkaitan dengan pengelolaan informasi pada suatu wilayah
yang terbentuk karena adanya interaksi antara perusahaan dengan pelanggannya.
Contohnya adalah informasi profil pelanggan, informasi transaksi melalui internet,
informasi pembayaran dengan kartu kredit, informasi jual-beli produk, dan lain-lain.
Domain Relasi Mitra Bisnis berkaitan dengan pengelolaan informasi dalam suatu wilayah
kolaborasi antara perusahaan dengan sejumlah mitra bisnisnya, seperti para supplier,
vendor, lembaga keuangan, dan lain sebagainya. Dalam kerjasama ini, beragam informasi
mengalir dari perusahaan ke sejumlah mitra bisnis dan sebaliknya. Contohnya adalah
informasi berkaitan dengan pemesanan barang, peminjaman kredit di bank, kontrak
kerjasama, dan lain-lain.
T IP E

R E S IK O

B IS N IS

Dengan mengetahui tiga domain di atas, maka manajemen dengan mudah dapat
mengidentifikasi jenis dan tingkat resiko bisnis apa saja yang perlu untuk dipahami dan
diperhatikan secara sungguh-sungguh.
Resiko Keamanan Internal
Dalam domain relasi internal, informasi memiliki dua peranan strategis. Peranan pertama
adalah keberadaan informasi sebagai salah satu faktor produksi penting yang secara
langsung terlibat dalam proses penciptaan barang dan/atau jasa. Dengan adanya informasi
ini diharapkan proses utama tersebut (core processes) dapat dilangsungkan secara efektif
dan efisien. Termasuk di dalam proses ini adalah aktivitas perencanaan korporat, aktivitas
pengelolaan sumber daya, aktivitas pengambilan keputusan, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal ini, faktor keamanan data dan/atau informasi yang buruk akan
memiliki dampak langsung kepada perusahaan, misalnya:

Masuknya virus yang merusak data dan/atau informasi yang dimiliki


perusahaan akan membuat kegiatan produksi perusahaan terganggu;

Bocornya data dan/atau informasi rahasia perusahaan ke tangan kompetitor


(terutama yang berkaitan dengan hak milik intelektual) dapat mendatangkan
kerugian yang sangat besar;

Hilangnya data dan/atau informasi krusial dapat menghentikan sejumlah


proses dan aktivitas internal perusahaan;

Dirubahnya sejumlah data dan/atau informasi oleh pihak yang tidak


bertanggung jawab akan membuat keputusan strategis yang diambil menjadi
salah;

Rusaknya sistem email dapat menurunkan efisiensi kinerja karena sulitnya


melakukan komunikasi; dan lain sebagainya

Resiko terbesar yang dihadapi oleh perusahaan sehubungan dengan hal ini adalah
terganggunya atau terhentinya proses produksi yang berarti hilangnya kesempatan
perusahaan untuk menawarkan produk dan/atau jasanya kepada pelanggan yang berarti
pula ancaman terhadap eksistensi usaha.

86

Peranan kedua dari informasi adalah sebagai alat bantu terciptanya kontrol internal yang
baik di dalam perusahaan terutama yang berkaitan dengan aspek good corporate
governance yang belakangan ini mutlak dituntut oleh mayoritas stakeholder organisasi.
Sejumlah kasus keamanan yang kerap terjadi sehubungan dengan hal ini misalnya:

Manipulasi laporan keuangan dan perpajakan karena buruknya sistem


keamanan aplikasi maupun database perusahaan;

Diubahnya data dan/atau informasi sejumlah ukuran kinerja bisnis pada


masing-masing unit atau departemen agar tidak terlihat adanya kinerja buruk
yang terjadi;

Digantinya isi dari sejumlah dokumen arsip agar tidak terkena jeratan hukum;

Dibukanya dokumen-dokumen rahasia oleh mereka yang tidak berhak untuk


mengaksesnya; dan lain sebagainya.

Adapun resiko terbesar yang dihadapi oleh perusahaan jika faktor keamanan terhadap data
dan/atau informasi tidak terjaga dalam konteks ini adalah potensi terjadinya chaos atau
kekacauan internal, yang tentu saja akan berdampak langsung dan sangat buruk terhadap
operasional usaha.
Resiko Keamanan Konsumen
Perusahaan dapat eksis menjalankan usahanya karena adanya konsumen yang setia
membeli produk dan/atau jasa yang ditawarkan. Dengan kata lain, konsumen merupakan
faktor penentu dari hidup matinya usaha. Dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari, tentu
saja terjadinya relasi yang intens antara perusahaan dengan para konsumennya. Dan di
dalam era internet seperti saat ini, sejumlah dan beragam interaksi antara perusahaan
dengan konsumennya terjadi di dunia maya. Berbeda dengan resiko kemanan internal
dimana hanya kalangan terbatas saja terhubung dengan jaringan komputer perusahaan, di
dalam dunia maya, puluhan bahkan ratusan juta individu maupun kelompok saling
terhubung satu dengan yang lain sehingga secara langsung meningkatkan kompleksitas
dan mempertinggi resiko terjadinya tindak kejahatan terhadap perusahaan melalui
pencurian maupun pengrusakan terhadap informasi yang mengalir di internet.

Sumber: Indrajit, 2002

87

Paling tidak ada tiga jenis resiko keamanan yang dapat terjadi dalam konteks relasi ini:

Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi konsumen;

Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi perusahaan;


dan

Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi kedua belah


pihak.

Jenis pertama merupakan ancaman nyata terhadap para konsumen yang menginginkan
untuk melakukan transaksi jual beli melalui internet (e-commerce). Tindakan kriminal
yang telah terjadi di dunia maya dimana dampaknya sangat merugikan para konsumen
adalah:

Pencurian nomor kartu kredit, sehingga orang lain yang tidak berhak dapat
dengan leluasa mempergunakannya untuk berbelanja di internet;

Penyadapan data dan/atau informasi yang bersifat privacy dimana sering


disalahgunakan oleh mereka yang mencurinya untuk melakukan hal-hal yang
tidak diinginkan (spamming, pemerasan, marketing, dll.);

Pengambilan kata kunci rahasia (password) sehingga dapat disalahgunakan


orang lain (melakukan pemesanan palsu, mengganti konten, memfitnah,
mengadu domba, dll.); dan lain sebagainya.

Jenis kedua adalah hal-hal yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi perusaaan, seperti
yang terjadi karena aktivitas kriminal sebagai berikut:

Pemesanan palsu terhadap sejumlah barang yang telah dikirimkan ke


konsumen dan kembali lagi ke perusahaan;

Penjualan produk dan/atau jasa kepada pihak yang tidak berhak;

Tidak dapat diaksesnya situs jual beli karena dirusak (diboikot);

Pengambilan produk digital tanpa meninggalkan catatan jual-beli; dan lain


sebagainya.

Dalam situasi dimana terjadi sejumlah tindakan kriminal sekaligus, tentu saja kedua pihak
yaitu masing-masing konsumen dan perusahaan mengalami kerugian secara bersamasama.
Resiko Keamanan Mitra Bisnis
Seperti halnya pada konsumen, terdapat tiga jenis resiko yang terkait dengan relasi ini,
yaitu masing-masing:

Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi mitra bisnis;

Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi mitra


perusahaan;

88

Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi kedua belah


pihak.

Contoh-contoh kasus kejahatan yang berkaitan dengan ketiga jenis kerugian tersebut
antara lain:

Pemesanan palsu yang dilakukan oleh pihak yang berhasil masuk ke dalam
domain akses jaringan sehingga pihak pemasok (supplier) mengirimkan bahan
baku kepada perusahaan yang tidak membutuhkannya;

Proses autorisasi dan autentifikasi yang seolah-oleh telah berjalan dengan


sempurna padahal sifatnya semu (menjalankan program aplikasi yang
ditanam oleh pelaku kejahatan);

Penggunaan signature palsu untuk melakukan transaksi dan/atau


pengaksesan terhadap dokumen dan arsip rahasia; dan lain sebagainya.

T IN G K A T

K R IT IK A L IT A S

K E A M A N A N

Melihat sejumlah kasus yang pernah terjadi dan beragam trend kejahatan yang
mengancam tersebut perusahaan dapat memilahnya menjadi tiga jenis resiko, yaitu
(Indrajit, 2002):

Resiko Besar keadaan dimana jika terjadi suatu kasus kejahatan tertentu,
perusahaan akan terancam keberadaan atau eksistensinya;

Resiko Menengah keadaan dimana jika terjadi suatu kasus kejahatan


tertentu, perusahaan akan mengalami kerugian yang cukup signifikan
walaupun tidak sampai mengancam keberadaannya; dan

Resiko Kecil keadaan dimana jika terjadi suatu kasus kejahatan tertentu,
kerugian yang terjadi tidak terlampau mempengaruhi kinerja perusahaan
secara keseluruhan.

Jika tingkat resiko ini dikaitkan dengan tipe resiko bisnis yang telah dikemukakan
sebelumnya, akan dapat diperoleh sebuah matriks yang memperlihatkan portofolio tingkat
kritikalitas sistem keamanan jaringan ditinjau dari resiko bisnis terburuk yang dapat
ditimbulkan. Secara jelas terlihat dalam matriks tersebut, hal-hal mana saja yang termasuk
di dalam kategori resiko besar, menengah, dan kecil. Berdasarkan pemetaan ini, terdapat
tiga jenis keputusan yang perlu diambil oleh manajemen perusahaan terkait dengan strategi
pengembangan sistem keamanan jaringan, masing-masing adalah:

Terhadap ancaman kejahatan yang beresiko besar, sewajarnya perusahaan


berusaha untuk membangun sistem keamanan jaringan terkait at any cost,
dalam arti kata tanpa mempertimbangkan lagi seberapa besar biaya yang harus
dikeluarkan. Hal ini wajar mengingat jika terjadi kasus, keberadaan
perusahaan dalam keadaan terancam.

Terhadap ancaman kejahatan yang beresiko menengah, perusahaan biasanya


akan mengadakan perhitungan cost-benefit mengingat ancaman yang ada

89

terkait dengan hilangnya sumber daya finansial. Pada saat ini biasanya
perusahaan akan menganggarkan keuangannya secara wajar sesuai dengan
resiko yang dihadapi.

Terhadap ancaman kejahatan yang beresiko kecil, biasanya perusahaan


memutuskan untuk membangun sistem keamanan dengan standar minimum
saja.

Sumber: Indrajit, 2002

P E R H IT U N G A N

C O S T -B E N E F IT

Dari matriks yang sama, dapat dilihat adanya 9 (sembilan) jenis kategori perhitungan costbenefit yang dapat dijadikan pedoman bagi para pengambil keputusan. Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing skenario dimaksud (Indrajit, 2002).
Investasi Resiko Besar
Prinsip yang dipergunakan di dalam kategori ini adalah perusahaan harus secara mutlak
memiliki sistem keamanan jaringan jika tidak ingin suatu ketika nanti gulung tikar pada
saat terjadi kasus kejahatan. Jadi keberadaannya bersifat mutlak. Ditinjau dari segi manfaat
(benefit), jelas terlihat bahwa dengan adanya sistem jaringan keamanan yang baik,
perusaaan terbebas dari sebuah resiko yang mengancam eksistensinya. Justifikasi biaya
(cost) yang harus dikeluarkan, sangat terkait erat dengan domain resiko keamanan yang
ada:

Pada Domain Relasi Internal, biasanya biaya yang harus dikeluarkan untuk
melindungi perusahaan dari ancaman kejahatan jaringan tidak lagi sekedar
menjadi sebuah biaya investasi, tetapi lebih merupakan sebuah overhead
yang dibebankan sebagai biaya operasional sehari-hari karena sifatnya yang
mutlak. Secara kontinyu dan berkala sistem keamanan jaringannya harus
selalu diawasi dan dievaluasi, dan tentu saja diremajakan sesuai dengan
perkembangan teknologi baru yang ada.

Pada Domain Relasi Mitra Bisnis, perusahaan memiliki kesempatan untuk


dapat memperkecil biaya yang harus dikeluarkan dengan cara mengajak para
mitranya untuk berbagi biaya (cost sharing). Hal ini dimungkinkan mengingat
90

resiko yang sama (walau mungkin dengan derajat yang berbeda) dihadapi pula
oleh mitra bisnis terkait, sehingga dengan sedikit usaha negosiasi, perusahaan
tidak harus sendirian mengalokasikan sumber daya finansialnya untuk
membangun sistem keamanan jaringan.

Pada Domain Relasi Konsumen, keadaan cukup berbeda, mengingat


banyaknya jumlah konsumen yang perlu dilayani. Dalam kerangka ini, usulan
implementasi anggaran tak terbatas dapat dilakukan dengan cara mengajak
pihak ketiga untuk bersama-sama berinvestasi dalam mengelola resiko yang
ada. Contohnya adalah perusahaan asuransi yang memberikan tawaran
perlindungan terhadap transaksi elektronik, dimana jika terjadi kejahatan, yang
bersangkutan akan mengganti kerugian konsumen; sementara jika kejahatan
tidak terjadi, perusahaan asuransi mendapatkan persentasi dari nilai transaksi.
Dalam kerangka ini, kedua belah pihak sepakat untuk memilih suatu sistem
jaringan yang terjangkau biayanya (affordable), namun memiliki kinerja yang
cukup baik (bukan state-of-the-arts). Perjanjian bisnis lain dapat juga terjadi
antara perusahaan dengan beragam industri terkait, misalnya dengan vendor
teknologi informasi, perusahaan jasa kemanan jaringan, konsultan, atau
dengan pihak-pihak lainnya.

Investasi Resiko Menengah


Dalam situasi dimana ancaman keamanan memiliki resiko yang langsung terhadap
profitabilitas perusahaan ini (terjadi potensi pengurangan pendapatan dan peningkatan
biaya yang dapat dikuantifikasikan), besarnya investasi yang dikeluarkan perusahaan akan
sangat tergantung dari perhitungan tertentu.

Pada Domain Relasi Internal, formula yang biasa dipergunakan cukup mudah.
Anggaplah dengan adanya virus yang masuk ke dalam sistem, maka
produktivitas perusahaan menurun sebesar 25%. Maka potensi kerugian
perusahaan yang timbul dalam satu hari adalah nilai tersebut dikalikan dengan
rata-rata pendapatan perusahaan yang diperoleh dalam satu hari. Dengan kata
lain perusahaan akan dapat mengira-ngira hilangnya potensi pendapatan yang
ada dalam satu tahun. Angka tersebut kemudian dipakai untuk menghitung
nilai investasi sistem jaringan keamanan dan ROI yang terjadi sebagai bahan
pengambilan keputusan. Cara kedua adalah dengan menghitung biaya yang
harus dikeluarkan seandainya terjadi masalah terkait dengan rusaknya sistem
jaringan yang dipergunakan. Katakanlah untuk memperbaikinya, dibutuhkan
biaya X, dan kejadian tersebut terjadi hampir setiap bulan. Maka dapat dengan
mudah manajemen menghitung biaya yang harus dikeluarkan dalam waktu
satu tahun hanya untuk memperbaiki sistem terkait agar bisnis dapat berjalan
kembali secara normal.

Pada Domain Relasi Mitra Bisnis, biasanya untuk sistem dengan resiko
menengah ini kedua perusahaan yang bermitra berada dalam posisi
seimbang dimana keduanya dapat bersama-sama membangun sistem unik
(proprietary) yang didedikasikan untuk kepentingan bersama. Mengenai
keputusan jumlah biaya yang perlu dialokasikan, biasanya selain faktor resiko
dilihat pula business value yang dapat dinikmati oleh kedua belah pihak.

Pada Domain Relasi Konsumen, angka besarnya investasi untuk membangun


sistem keamanan jaringan dihitung melalui potensi kerugian yang mungkin
91

terjadi dalam setiap kasus kejahatan, dikalikan dengan angka probabilitas/


kemungkinan terjadinya tindakan kriminal tersebut. Untuk keperluan tersebut,
perusahaan harus memiliki daftar jenis kejahatan yang mungkin terjadi dengan
potensi kerugian dan probabilitas frekuensi kejadian sebelum akhirnya dapat
memperkirakan total biaya yang layak untuk diinvestasikan.
Investasi Resiko Rendah
Terhadap jenis ancaman beresiko rendah, biasanya prioritas pengembangan sistem
keamanan jaringan juga menjadi kecil di mata manajemen perusahaan. Bisa dikatakan
keberadaan sistem ini bersifat optional atau nice to have. Paling tidak dalam situasi ini
perusahaan memutuskan untuk menginstalasi sistem keamanan jaringan dengan standar
paling minimum.

Pada Domain Relasi Internal, manajemen perusahaan biasanya melakukan


proses perbandingan (benchmarking) di perusahaan pada industri sejenis
terhadap jumlah alokasi atau persentasi biaya yang didedikasikan untuk
membangun dan memelihara sistem jaringan keamanan.

Pada Domain Relasi Mitra Bisnis, ada kesempatan dimana perusahaan


melimpahkan atau memberikan keleluasaan kepada mitra bisnisnya untuk
membangun sistem terkait, mengingat keberadaan sistem ini bagi perusahaan
bersifat tidak mendesak sementara mungkin bagi mitra bisnis bersifat
sebaliknya.

Pada Domain Relasi Konsumen, hal yang kurang lebih sama terjadi.
Mengingat bahwa kerugian yang diderita perusahaan tidak terlampau
signifikan, maka faktor resiko dan biayanya, diserahkan atau dilimpahkan
kepada para konsumen yang ingin melakukan transaksi. Hal ini akan berjalan
secara efektif terutama jika konsumen juga memandang resiko kerugian yang
dihadapi cukup rendah seandainya terjadi ancaman keamanan.

Pada akhirnya, pengalaman memperlihatkan bahwa keputusan untuk menentukan apakah


perusahaan akan membangun sistem keamanan jaringannya atau tidak akan sangat
tergantung dari dua hal utama, yaitu: peranan sistem dan teknologi informasi bagi
perusahaan terkait dan pola atau gaya manajemen pimpinan perusahaan. Jika keberadaan
atau posisi sistem dan teknologi informasi sangat kritikal bagi perusahaan (terkait dengan
peranannya dalam melancarkan rangkaian proses bisnis inti atau core processes), maka
jelas permasalahan keamanan jaringan merupakan hal yang mutlak diperhatikan.
Sebaliknya jika tidak, maka pemikiran terhadap perlu tidaknya dilakukan pembangunan
terhadap sistem keamanan jaringan menjadi hal yang tidak mendapatkan prioritas utama.
Ditinjau dari gaya kepemimpinan, seorang risk taker biasanya justru berani mengambil
resiko dengan cara tidak perlu memperhatikan sungguh-sungguh terhadap isu keamanan
ini; sementara seorang risk averse biasanya justru tertarik untuk mencari jalan
bagaimana agar segala resiko yang mengancam kelanggengan usaha bisnisnya dapat
diminimalisasi.
Seperti yang sering terjadi dalam fenomena kehidupan sehari-hari, seorang kepala rumah
tangga tidak akan pernah berfikir untuk menyisihkan sebagian pendapatannya guna
membeli sistem alarm rumah, sampai tetangga atau teman dekatnya mengalami musibah
perampokan.
92

Referensi
Alavi, M. (1984). An Assessment of the Prototyping Approach to IS Development.
Communciations of the ACM, 27, 6, 556-63.
Alinean. (2002). Aligning IT Investment Strategies with Business Value: Cost Justifying IT
Investments using ROI and IT Value. Presentation by Tom Pisello, CEO and Founder.
Fisher, S. (2000). Metrics for e-Success, CTO FirstMover, 15 May, 27-3- (www.infoworld.com).
Gartner, (2002). Gartner Business Performance Framework and Total Value of Opportunity:
Measure the Business Value of IT Initiatives. Gartner Presentation by Rudi Roegiers, USA.
Hertz, D. (1990). Risk Analysis in Capital Investment. In Dyson, G. (ed.) Strategic Planning:
Models and Analytical Techniques. John Wiley, Chichester.
Hirschheim, R. (1985). Office Automation: a Social and Organisational Perspective. John Wiley,
Chichester.
House, E. (ed.) (1983). Philosophy of Evaluation. Sage, San Fransisco and London.
Indrajit, Richardus Eko. (2002). Isu dan Strategi Sistem Keamanan Jaringan, STIBANAS Applied
Technology Center Bulleting, 2002.
ITGI. (2000). COBIT Management Guidelines 3rd Edition. Information System Audit and Control
Foundation, IT Governance Institute, Rooling Meadow, Illinois, USA.
Keen P.G.W. Value Analysis: Justifiying Decision Support Systems. MIS Qtly (March).
King, J. and Schrems, E. (1978). Cost Benefit Analysis in IS Development and Operation.
Computing Surveys, March, 19-34.
Kumagai, William. (2002). Public Sector Challenges in 2002. Gartner Consulting-MISAC, United
States.
Martin, R. (1989). The Utilisation and Efficiency of IS: a Comparative Analysis. Oxford Institute of
Information Management, Templeton Cllege, Oxford.
Melone, N. and Wharton T. (1984). Strategies for MIS Project Selection. Journal of Systems
Management, 32, 2, 26-37.
Parker, M, and Benson, R. With Trainor, H. (1987). Information Economics. Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, NJ.
Project Management Institute. (1993). Project Management Body of Knowledge. PMI Publishing,
Maryland, USA.
Radcliffe, R. (1982). Investment: Concepts, Analysis, Strategy. Scott Foreman, Glenview, Illinois.
Remenyi, Dan, Arthur Money, and Alan Twite. (1995). Effective Measurement and Management
of IT Costs and Benefits, Butterworth-Heinemann, Oxford.
Roach, S. (1994). Lessons of the Productivity Paradox. In Gillin, P. (ed.) The Productivity Payoff:
the 100 Most Effective Users of Information Technology. Computerworld, Septemebr 19th,
Section 2, 55.
Rockart, J. (1979). Chief Execurives Define their own Information Needs. Harvard Business
Review, 57, 2, 81-93.
Scwalbe, Kathy. (2002). Information Technology Project Management, The Course Technology
Thomson Learning.
Silk, D.J. (1990). Managing IS Benefits for the 1990s, Journal of Information for MBA Studnets,
Henley The Management College.
Strassman, P. (1985). Information Payoff: The Transformation of Work in the Electronic Age. The
Free Press, New York.
Strassman, P. (1990). The Business Value of Computers, The Information Economics Press.
Strassmann, P. (1997a). Do US Firms Spend too much on Information Technology? Interview by
Norm Alster. Investors Business Daily, April 3rd.
Strassmann, P. (1997b) P. The Squandered Computer. Information Economics Press, New Canaan.
Wilcocks, Leslie P. and Stephanie Lester. (2000). Beyond the IT Productivity Paradox. John Wiley
and Sons, New York.

93

Vaid-Raizda, V. (1983). Incorporation of Intangibles in Comptuer Selection Decisions. Journal of


Systems Management, 34, 11, 30-46.

94

Riwayat Hidup

Richardus Eko Indrajit dilahirkan di Jakarta, 24 Januari 1969. Saat ini


menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Perbanas
dengan pangkat akademis Lektor Kepala, Direktur Lembaga Riset Renaissance Indonesia,
CEO Prime Consulting Indonesia, dan Ketua Forum Komunikasi Program Studi
Komputer Kopertis Wilayah III. Menyelesaikan studi sarjananya di Jurusan Teknik
Komputer Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dan memperoleh gelar Master
of Science dari Harvard University, Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, belajar
pula di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Boston University sebelum pada
akhirnya menamatkan program Master of Business Administration dari Leicester
University, Inggris dan menyelesaikan program doktoralnya di University of the City of
Manila, Filipina. Saat ini selain bekerja sebagai konsultan independen di bidang sistem dan
teknologi informasi, tercatat pula sebagai dosen di berbagai program sarjana maupun
pasca sarjana perguruan tinggi di Indonesia, seperti: Universitas Indonesia, Universitas
Atmajaya, Universitas Trisakti, Universitas Bina Nusantara, dan Universitas Pelita
Harapan. Selain di perguruan tinggi, aktif pula mengajar di Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhannas) dan bergabung dengan berbagai lembaga penelitian. Sebagai konsultan, telah
memiliki pengalaman cukup luas di beragam industri seperti manufaktur, telekomunikasi,
perbankan, retail, pertambangan, distribusi, kesehatan, infrastruktur, jasa-jasa, dan
transportasi. Kurang lebih telah menulis 15 buah buku terkait dengan bidang bisnis, sistem
informasi, dan teknologi informasi. Sehari-hari dapat dihubungi melalui email
indrajit@post.harvard.edu atau handphone (818) 925-926.

95

Anda mungkin juga menyukai