Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Dunia dimana untuk menjangakau
daerah satu dengan daerah lainnya cenderung sulit. Untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pemerintah Indonesia membuat suatu kebijakan untuk daerah mengatur dan
mengurus

kepentingan rumah tangganya

sendiri, dengan tujuan untuk lebih

mensejahterakan masyarakat. Kebijakan ini dikenal dengan Otonomi Daerah.


Terbentuknya Otonomi Daerah memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari sebelum
Indonesia merdeka sampai dengan sekarang. Pada saat itu pemerintah pusat memberi
peluang untuk daerah dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan
sendiri. Kemudian pada saat kemerdekaan dan pasca kemerdekaan banyak sekali
dikeluarkan undang-undang untuk mengatur Otonomi Daerah dan mencapai puncaknya
pada era reformasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan yang kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Walaupun demikian, penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia sampai saat ini dianggap masih belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Masih ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, baik dari
kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat
sendiri.
Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah dan masyarakat
di daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempercepat laju pembangunan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
menitikberatkan pada kabupaten/kota dirasakan sudah cukup tepat dengan pertimbangan
untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Kebijakan otonomi diambil dengan tujuan politik serta ekonomi didalamnya, yaitu
menciptakan kestabilan politik yang dapat merangsang pembangunan ekonomi, serta
menggerakkan proses pembagunan politik sesuai dengan jalannya ekonomi. Akan tetapi,
dalam pelaksanaannya sampai sekarang otonomi daerah menimbulkan permasalahan yang
ada di daerah seperti, korupsi pendanaan otonomi daerah yang dilakukan wakil-wakil

daerah tanpa mementingkan lagi kesejahteraan masyarakat daerah. Juga adanya


pendanaan yang berat sebelah. Jika sistem pada otonomi daerah tidak dibenahi, otonomi
daerah tidak akan mencapai tujuannya. Oleh karena itu, diharapkan seluruh elemen
negara terutama pemerintahan dapat memperbaiki lagi sistem otonomi daerah agar kasus
seperti ini dapat diminimalkan, dan otonomi daerah dapat mencapai tujuannya serta
menjadi sebuah kebijakan yang berhasil memajukan pembangunan nasional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Konsep Otonomi Daerah di Indonesia?
2. Bagaimana hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penerapan Otonomi
Daerah?
3. Apa permasalahan dan hambatan dalam penerapan Otonomi Daerah?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dapat dijabarkan tujuan penulisan
sebagai berikut :
1. Mengetahui Konsep Otonomi Daerah di Indonesia.
2. Mengetahui hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penerapan Otonomi
Daerah.
3. Mengetahui permasalahan dan hambatan dalam penerapan Otonomi Daerah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Otonomi Daerah di Indonesia


Dalam pemerintahan yang berazaskan desentralisasi tentu berhubungan erat dengan
istilah otonomi. Hal ini merupakan dimensi ketatanegaraan yang mengacu pada urusanurusan pemerintahan pusat terhadap daerah. Jadi otonomi daerah dapat berarti keleluasaan
untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan dengan potensi dan kekuatan
sendiri serta mengatasi masalah dengan kemandirian tertentu. Penyerahan Kewenangan
dari Pusat ke daerah berisi 18 urusan diantaranya urusan pendidikan, investasi daerah,
pertanian, koperasi, dan infrastruktur. Hal ini ditegaskan pula pada Pasal 18 UndnagUndang Dasar 1945 yang pada intinya menyebutkan Indonesia adalah Negara kesatuan
yang desentralisasi (otonom). Otonomi daerah perlu dilakukan karena sebagai sarana
demokratisasi, kualitas dan efisiensi pemerintahan, stabilitas pemerintahan dan persatuan,
pembangunan daerah dan partisipasi.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen
dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga
mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: Daerah otonom, selanjutnya disebut
daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang ini memberikan otonomi secara utuh kepada Pemerintah Daerah
untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan berdasarkan aspirasi masyarakat. Mulai
dari perencanaan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi
kebijakan-kebijakan otonomi daerah yang telah diimplementasikan. Dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah merupakan landasan
pengembangan otonomi daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip otonomi daerah
yang demokratis, dan peran serta masyarakat serta keadilan dan pemerataan.
Otonomi daerah tidak lepas dari konsep desentralisasi, karena otonomi adalah salah
satu perwujudan dari desentralisasi. Otonomi berasal dari bahasa yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dalam Encyclopedia of Social
Sciences yang dikutip Sumaryadi (2005 : 43), menjelaskan bahwa otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self-sufficiency dan actual independence. Namun

demikian pelaksanaan otonomi tetap dalam batas koridor yang tidak melampaui
wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah.
Jadi pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak,
yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana
untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab. Dengan demikan suatu daerah otonom adalah daerah yang self suffiency,
self authority, dan self regulation to its laws and affairs dari daerah lainnya baik secara
vertikal maupun horizontal karena daerah otonom memiliki actual independence.
Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada political aspect
kekuasaan),

sedangkan

desentralisasi

lebih

cenderung

pada

(aspek politik
administrative

aspect (aspek administrasi negara). Namun demikian dilihat dari konteks sharing
of power (pembagian kekuasaan), dalam prakteknya di lapangan, kedua istilah tersebut
berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pernyataan seberapa besar
wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai
wewenang rumah tangga daerah.Sesuai dengan pendapat Sumaryadi (2005 : 16) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang saling menentukan dan bergantung antara
desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasilah yang melandasi suatu daerah dapat
dikatakan otonom. Otonomi daerah tidak akan ada jika tidak menimbulkan kesulitan
dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan didaerah. Jadi teori desentralisasi
merupakan dasar pijakan otonomi.Untuk konteks Indonesia, maka otonomi daerah
menjadi pilihan yang tepat.
Di sisi lain, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi
(Sarundajang, 2005 : 34). Dari berbagai pemahaman tentang otonomi daerah
tersebut beliau menyimpulkan sebagai :
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom;
b. Daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas
wilayahnya;
c. Daerah tidak boleh mencanpuri urusan rumah tangga daerah lain sesuai dengan
wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;
d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain.Otonomi daerah sebagai salah satu
bentuk desentralisasi pemerintahan, pada dasarnya memiliki tujuan dalam memenuhi
kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Berdasarkan ide hakiki yang terkandung dalam konsep otonomi, sehingga


Sarundajang (2002 : 35) juga menegaskan tujuan pemberian otonomi daerah kepada
daerah meliputi 4 aspek :
a. Dari segi politik adalah mengikut sertakan, menyalurkan aspirasi dan inspirasi
masyarakat, baik untuk kepentingan untuk daerah sendiri, maupununtuk mendukung
politik kebijakan nasional;
b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkat daya gunadan hasil
guna penyelenggaraan pemerintahan;
c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi sertamenumbuhkan
kemandirian masyarakat melalui upaya pemberdayaan(empowerment) masyarakat
untuk mandiri;
d. Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan program pembangunan
guna tercapainya kesejahteraan rakyat.
Secara etimologi, desentralisasi terdiri dari kata de artinya lepas dan sentrum
artinya pusat. Jadi secara harafiah, artinya lepas dari pusat (Suradinata, 1996 : 27). Dalam
Encyclopedia of the Social Science yang dikutip Sarundajang (2002 : 46), disebutkan
bahwa,the proces of desentralization denotes the transferences of authorithy, legilasive,
judicial or administrative, from higher level of government to a lower, mendefiniskan
desentralisasi sebagai peyerahan wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi kepada
pemerintah yang lebih rendah.
Pengertian desentralisasi yang dimaksud dalam kajian ini sejalan dengan konsep yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerahotonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2.2 Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penerapan Otonomi Daerah.
Menurut Clarke dan Stewart model hubungan pemerintah pusat dan daerah secara
teoritis dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu :
1. The Relative Autonomy Model. Model ini memberikan kebebasan yang relatif besar
kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat

serta tetap berpegang teguh pada urusan-urusan pembantuan dalm konteks negara
kesatuan.
2. The Agency Model. Pada model ini pemerintah daerah tidak memiliki kekuasaan
yang cukup berarti sehingga keberadaannya hanya terlihat sebagai agen pemerintah
pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakasanaan pemerintah pusatnya.
3. The Interaction Model. Model ini merupakan suatu model di mana keberadaan dan
peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah
pusat dan daerah.
Pengaturan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam
hal hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Regulasi mengenai hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan
merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan di analisis agar tidak terdapat
kendala serta menghindari terjadinya permasalahan dalam penyelenggaraan dan
pelakasanaan pemerintahan secara keseluruhan (pusat-daerah). Dengan adanya satuan
pemerintahan daerah tentu telah menimbulkan dan melahirkan sebuah konsekuensi akan
lahirnya sebuah konsep pembatasan dan pembagian kekuasaan sebagai salah satu unsur
dalam konteks negara hukum yang di tuangkan dalam bentuk undang-undang. Pembatasan
dan pembagian kekuasaan dalam hal hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan
daerah dibagi dalam dua bentuk yaitu pembatasan dan pembagian kekuasaan secara
horisontal dan vertikal. Pertama, pembatasan dan pembagian kekusaan secara horizontal
yaitu suatu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan
diserahkan kepada tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar (trias politika)
yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua, pembatasan dan pembagian
kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintahan nasional
(pusat) dengan pemerintahan yang lebih rendah (daerah).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang sangat luas, maka alat administrasi
Negara sebagai pelaksana pemerintahan diberi kewenagan yang bebas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah
dapat mengambil tindakan yang cepat dan tepat dalam menjalankan tugas pemerintahan
dan kenegaraan. Kepentingan pengurusan Negara dan masyarakat, pemerintah yang dalam
hal ini diwakili oleh alat administrasi Negara diberi kekuasaan oleh Undang-Undang
Dasar dan undang-undang untuk melaksanakan tugasnya.

Terkait kewenangan Kepala Daerah, dapat dikaji/dianalisis dengan menggunakan


beberapa teori tentang kewenangan yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
Menganalisis kewenangan Kepala Daerah dengan menggunakan teori-teori kewenangan
tersebut barulah dapat menentukan sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh Kepala
Daerah. Landasan kewenangan dalam penyelenggaraan wewenang Kepala Daerah sebagai
kepala daerah dapat dianalisis dengan menggunakan tiga teori. Pertama, landasan
kewenangan atas dasar atribusi. Atas dasar landasan kewenangan ini maka wewenang
yang ada pada alat administrasi negara atau pejabat administrasi negara sifatnya melekat,
tidak bisa dialihkan dan tidak dapat dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar mandat,
yakni bahwa wewenang itu diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari pejabat
kepada subjek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi mandat dan
tanggungjawab pemberi mandat. Ketiga, kewenangan atas dasar delegasi, yaitu
pelimpahan wewenang dari pejabat administrasi negara kepada subjek hukum lain untuk
bertindak atas nama sendiri dan atas tanggungjawab sendiri, pelimppahan wewenang
tersebut dilakukan pejabat lain yang bersifat horizontal

2.3 Permasalahan dan hambatan dalam penerapan Otonomi Daerah


Dalam pelaksanaan otonomi daerah tentu masih terdapat masalah-masalah yang
akibatnya merugikan masyarakat, masalah yang sering terjadi adalah pemekaran wilayah
yang tidak merata, serta korupsi di daerah yang persentasinya cenderung tinggi. Otonomi
daerah juga dianggap belum berhasil selama 16 tahun terakhir. Di berbagai daerah, masih
terlihat pemerintah daerah dan DPRD belum mengembangkan pemerintahan yang
melayani. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya peraturan daerah yang tidak pro
pembangunan, sedangkan yang pro kesejahteraan malah diabaikan. Agar otonomi daerah
dapat berjalan efektif, Kemendagri harus membuat penilaian yang terukur, dengan cara
penilain yang ketat untuk kinerja diseluruh daerah. Kemendagri juga diminta untuk
membuat panduan pelaksanaan keuangan dan program daerah secara terstruktur, hal ini
untuk meminimalisir penyimpangan di tingkat daerah.Serta memberi pengarahan langsung
untuk pelaksanaan program pemerintah pusat di daerah.
Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dengan pulau-pulau didalamnya
memungkinkan mudahnya terjadi disintegrasi, karena disetiap daerah mempunyai
kepentingan tersendiri. Dalam hal ini, otonomi daerah dapat dikatakan sebagai sesuatu
7

yang dapat membuat konflik antar daerah. Dikatakan demikian, karena dalam otonomi
daerah dianggap masih memunculkan egoisme daerah. Sistem pemerintahan ini justru
melemahkan negara akibat munculnya egoisme kedaerahan. Praktik KKN terus terjadi
sedangkan kesejahteraan tak kunjung tercapai. Dalam kasus ini, pemerintah pusat
dianggap membiarkan masalah tersebut. Selain itu, pemerintah daerah sering mengabaikan
instruksi dari pemerintah pusat.
Otonomi Daerah juga dikatakan sebagai Pemekaran Wilayah yang Kebablasan.
Dikatakan seperti itu karena, dapat kita ketahui bahwa perimbangan keuangan antara Pusat
dan Daerah yang mengikuti ketentuan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan telah memungkinkan munculnya ketimpangan fiskal antar daerah. Daerah kaya
akan mendapatkan dana fiskal yang semakin besar sedangkan daerah yang miskin akan
mendapatkan bagian yang semakin kecil. Daerah kaya akan melakukan pemekaran yang
drastis, sedangkan daerah terpencil akan terus tertinggal. Seperti yang tertulis diatas,
bahwa daerah yang mendapat dana lebih besar akan merasa daerahnya lebih baik
dibanding dengan daerah lain yang pendanaannya lebih sedikit, hal tersebut dapat
menyulut konflik horizontal. Jika otonomi daerah terus berjalan seperti ini, otonomi
daerah bukanlah otonomi daerah lagi melainkan otonomi daerah yang berbasis sentralisasi,
karena pemekaran wilayah dapat terjadi secara pesat hanya di suatu daerah. Banyaknya
wilayah yang merasa menjadi penyumbang besar pendapatan Negara, sementara fasilitas
yang diterima dirasakan tidak sebanding menjadi pemicu banyaknya tuntutan pemekaran
wilayah yang mencuat.
Dari beberapa uraian masalah diatas, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah belum
berjalan baik di daerah-daerah terpencil. Padahal yang kita ketahui otonomi daerah
bertujuan untuk mensejahterakan rakyat di setiap daerah dengan pembangunan daerah
serta menggali potensi yang dimiliki setiap daerah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa
selama adanya otonomi daerah, daerah-daerah yang belum mampu melakukan pemekaran
daerahnya akan termotivasi untuk melakukan pemekaran daerahnya saat melihat daerah
lain yang berhasil melakukan pemekaran wilayah yang baik.
Titik berat desentralisasi pada daerah kabupaten/kota menyisakan persoalan antara lain
yaitu:

1.

Munculnya ketegangan horizontal daerah kaya versus miskin karena masing-masing


daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam

2.
3.

mengumpulkan PAD.
Perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat versus daerah.
Banyaknya birokrat daerah yang pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif

4.

menjalankan pekerjaannya.
DPRD menjadi sangat lamban dalam bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji
sendiri untuk kepentingan pengembalian dana ke kas partai dan juga memperbesar

5.
6.
7.

anggaran perjalanan dinas.


Pemerintah daerah menjadi mesin pembelanjaan.
Beban keuangan daerah dari pajak ekstra tidak memperhatikan lingkungan.
Tidak adanya koordinasi di tingkat supra-regional, garis batas tanggung jawab antara

8.

pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangat kabur.


Merebaknya politik identitas yang ditandai dengan menguatnya egoisme sektoral karena

9.

pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral.


Peranan polisi sebaga penjaga keamanan dan ketertiban dan tentara sebagai penjaga
persatuan dan kesatuan di daerah terabaikan.

Desentralisasi dalam praktik Otonomi Daerah ternyata tidak membuat birokrasi


pemerintahan kabupaten/kota belajar, terbukti dari banyaknya bupati/walikota yang tidak
memiliki kemampuan teknis menyusun Propeda (Program Pembangunan Daerah). Banyak
diantara mereka harus mengontrak konsultan, yang pada akhirnya membengkakkan biaya
pengeluaran, untuk merancang visi, misi, dan strategi daerah sesuai dengan potensi,
sumberdaya, dan masalah daerah. Terlebih lagi kuallitas SDM di daerah masih rendah
sehingga tidak mampu mendongkrak penguatan kelembagaan daerah.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam desentralisasi terdapat beberapa konsep hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pertama, Untuk Pemerintah Provinsi konsep
9

hubungan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan yaitu asas tugas


pembantuan. Kedua, Untuk pemerintah daerah kabupaten konsep hubungan kewenangan
yang diberikan yaitu asas otonomi seluas-luasnya. Untuk menerapkan hal tersebut
tentunya dibutuhkan suatu regulasi yang baru untuk mengatur konsep hubungan
kewenangan tersebut. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan diterapkannya Otonomi Daerah dan daerah diberikan kewenangan untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Diharapkan akan memancing Potensi local yang ada.
Potensi local adalah potensi yang dimiliki daerah untuk melaksanakan pembangunan
terhadap daerah yang bersangkutan. Selain itu untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah, sehingga mampu memajukan kesejahteraan daerah. Adanya otonomi desa akan
membantu desa untuk berkembang dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk
kepentingan masyarakat desa. Karena sebuah Negara berdiri atas keberadaan desa,
sehingga bila terdapat peningkatan ekonomi ditingkat desa maka meningkat pula
pendapatan Negara. Dalam pelaksanaan otonomi daerah tentu masih terdapat masalahmasalah yang akibatnya merugikan masyarakat, masalah yang sering terjadi adalah
pemekaran wilayah yang tidak merata, serta korupsi di daerah yang persentasinya
cenderung tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Sarundajang, 2002,Arus Balik Kekuasaan dari Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan :
Jakarta.
Sumaryadi, I Nyoman, 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah,Citra
Utama : Jakarta.
https://www.academia.edu/16106903/Otonomi_Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
10

Anda mungkin juga menyukai