PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
demikian pelaksanaan otonomi tetap dalam batas koridor yang tidak melampaui
wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah.
Jadi pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak,
yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana
untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab. Dengan demikan suatu daerah otonom adalah daerah yang self suffiency,
self authority, dan self regulation to its laws and affairs dari daerah lainnya baik secara
vertikal maupun horizontal karena daerah otonom memiliki actual independence.
Istilah otonomi daerah lebih cenderung pada political aspect
kekuasaan),
sedangkan
desentralisasi
lebih
cenderung
pada
(aspek politik
administrative
aspect (aspek administrasi negara). Namun demikian dilihat dari konteks sharing
of power (pembagian kekuasaan), dalam prakteknya di lapangan, kedua istilah tersebut
berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pernyataan seberapa besar
wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai
wewenang rumah tangga daerah.Sesuai dengan pendapat Sumaryadi (2005 : 16) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang saling menentukan dan bergantung antara
desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasilah yang melandasi suatu daerah dapat
dikatakan otonom. Otonomi daerah tidak akan ada jika tidak menimbulkan kesulitan
dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan didaerah. Jadi teori desentralisasi
merupakan dasar pijakan otonomi.Untuk konteks Indonesia, maka otonomi daerah
menjadi pilihan yang tepat.
Di sisi lain, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi
(Sarundajang, 2005 : 34). Dari berbagai pemahaman tentang otonomi daerah
tersebut beliau menyimpulkan sebagai :
a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom;
b. Daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar batas
wilayahnya;
c. Daerah tidak boleh mencanpuri urusan rumah tangga daerah lain sesuai dengan
wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya;
d. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain.Otonomi daerah sebagai salah satu
bentuk desentralisasi pemerintahan, pada dasarnya memiliki tujuan dalam memenuhi
kepentingan bangsa secara keseluruhan.
2.2 Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penerapan Otonomi Daerah.
Menurut Clarke dan Stewart model hubungan pemerintah pusat dan daerah secara
teoritis dapat dibedakan menjadi tiga model yaitu :
1. The Relative Autonomy Model. Model ini memberikan kebebasan yang relatif besar
kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat
serta tetap berpegang teguh pada urusan-urusan pembantuan dalm konteks negara
kesatuan.
2. The Agency Model. Pada model ini pemerintah daerah tidak memiliki kekuasaan
yang cukup berarti sehingga keberadaannya hanya terlihat sebagai agen pemerintah
pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakasanaan pemerintah pusatnya.
3. The Interaction Model. Model ini merupakan suatu model di mana keberadaan dan
peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah
pusat dan daerah.
Pengaturan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terutama dalam
hal hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Regulasi mengenai hubungan
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan
merupakan suatu yang sangat penting untuk dikaji dan di analisis agar tidak terdapat
kendala serta menghindari terjadinya permasalahan dalam penyelenggaraan dan
pelakasanaan pemerintahan secara keseluruhan (pusat-daerah). Dengan adanya satuan
pemerintahan daerah tentu telah menimbulkan dan melahirkan sebuah konsekuensi akan
lahirnya sebuah konsep pembatasan dan pembagian kekuasaan sebagai salah satu unsur
dalam konteks negara hukum yang di tuangkan dalam bentuk undang-undang. Pembatasan
dan pembagian kekuasaan dalam hal hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan
daerah dibagi dalam dua bentuk yaitu pembatasan dan pembagian kekuasaan secara
horisontal dan vertikal. Pertama, pembatasan dan pembagian kekusaan secara horizontal
yaitu suatu pembagian kekuasaan yang mana kekuasaan dalam suatu negara dibagi dan
diserahkan kepada tiga badan yang mempunyai kedudukan yang sejajar (trias politika)
yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua, pembatasan dan pembagian
kekuasaan secara vertikal yaitu pembagian kekuasaan antara pemerintahan nasional
(pusat) dengan pemerintahan yang lebih rendah (daerah).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang sangat luas, maka alat administrasi
Negara sebagai pelaksana pemerintahan diberi kewenagan yang bebas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah
dapat mengambil tindakan yang cepat dan tepat dalam menjalankan tugas pemerintahan
dan kenegaraan. Kepentingan pengurusan Negara dan masyarakat, pemerintah yang dalam
hal ini diwakili oleh alat administrasi Negara diberi kekuasaan oleh Undang-Undang
Dasar dan undang-undang untuk melaksanakan tugasnya.
yang dapat membuat konflik antar daerah. Dikatakan demikian, karena dalam otonomi
daerah dianggap masih memunculkan egoisme daerah. Sistem pemerintahan ini justru
melemahkan negara akibat munculnya egoisme kedaerahan. Praktik KKN terus terjadi
sedangkan kesejahteraan tak kunjung tercapai. Dalam kasus ini, pemerintah pusat
dianggap membiarkan masalah tersebut. Selain itu, pemerintah daerah sering mengabaikan
instruksi dari pemerintah pusat.
Otonomi Daerah juga dikatakan sebagai Pemekaran Wilayah yang Kebablasan.
Dikatakan seperti itu karena, dapat kita ketahui bahwa perimbangan keuangan antara Pusat
dan Daerah yang mengikuti ketentuan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan telah memungkinkan munculnya ketimpangan fiskal antar daerah. Daerah kaya
akan mendapatkan dana fiskal yang semakin besar sedangkan daerah yang miskin akan
mendapatkan bagian yang semakin kecil. Daerah kaya akan melakukan pemekaran yang
drastis, sedangkan daerah terpencil akan terus tertinggal. Seperti yang tertulis diatas,
bahwa daerah yang mendapat dana lebih besar akan merasa daerahnya lebih baik
dibanding dengan daerah lain yang pendanaannya lebih sedikit, hal tersebut dapat
menyulut konflik horizontal. Jika otonomi daerah terus berjalan seperti ini, otonomi
daerah bukanlah otonomi daerah lagi melainkan otonomi daerah yang berbasis sentralisasi,
karena pemekaran wilayah dapat terjadi secara pesat hanya di suatu daerah. Banyaknya
wilayah yang merasa menjadi penyumbang besar pendapatan Negara, sementara fasilitas
yang diterima dirasakan tidak sebanding menjadi pemicu banyaknya tuntutan pemekaran
wilayah yang mencuat.
Dari beberapa uraian masalah diatas, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah belum
berjalan baik di daerah-daerah terpencil. Padahal yang kita ketahui otonomi daerah
bertujuan untuk mensejahterakan rakyat di setiap daerah dengan pembangunan daerah
serta menggali potensi yang dimiliki setiap daerah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa
selama adanya otonomi daerah, daerah-daerah yang belum mampu melakukan pemekaran
daerahnya akan termotivasi untuk melakukan pemekaran daerahnya saat melihat daerah
lain yang berhasil melakukan pemekaran wilayah yang baik.
Titik berat desentralisasi pada daerah kabupaten/kota menyisakan persoalan antara lain
yaitu:
1.
2.
3.
mengumpulkan PAD.
Perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat versus daerah.
Banyaknya birokrat daerah yang pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif
4.
menjalankan pekerjaannya.
DPRD menjadi sangat lamban dalam bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji
sendiri untuk kepentingan pengembalian dana ke kas partai dan juga memperbesar
5.
6.
7.
8.
9.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam desentralisasi terdapat beberapa konsep hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pertama, Untuk Pemerintah Provinsi konsep
9
DAFTAR PUSTAKA
Sarundajang, 2002,Arus Balik Kekuasaan dari Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan :
Jakarta.
Sumaryadi, I Nyoman, 2005. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah,Citra
Utama : Jakarta.
https://www.academia.edu/16106903/Otonomi_Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
10