Cedera medulla spinalis akibat trauma terjadi pada 10.000 pasien setiap tahun. Umumnya
terjadi pada remaja dan dewasa muda. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas
(50%), jatuh (25%), cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat
kekerasan dan kecelakaan kerja. Walaupun insidens pertahun relatif rendah , tapi biaya
perawatan dan rehabilitasi untuk cedera medulla spinalis sangat besar.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukannya anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis hingga
pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
Kata kunci: Penegakan Diagnosis, Paraparese Spastik, UMN dan LMN
KASUS
Seorang Laki-laki umur 58 tahun datang ke poliklinik saraf dengan keluhan, kelemahan pada
kedua ekstrimitas bawah, dan terasa sakit terutama setelah beraktivitas. OS juga mengeluh
kedua kakinya sering kesemutan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 5 tahun yang lalu. Mula
mula pasien selalu merasa kaki menebal lama kelamaan menjadi lemah. OS memeriksakan ke
puskesmas 3 tahun yang lalu, kemudian tidak sakit lagi setelah dari puskesmas sekitar 5
bulan kemudian kambuh dan keluhan meningkat sampai saat MRS.
Pemeriksaan neurologi yang dilakukan:
-
Tonus: meningkat
- Sensibilitas nyeri mulai menurun setinggi inguinal kanan dan kiri sampai ujung jari kedua
ekstrimitas bawah.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis: paraparese spastik
Diagnosis topik: Medulla spinalis
Diagnosis Etiologi: suspek trauma
TERAPI
Pasien masih disarankan untuk pemeriksaan lanjut, yaitu pemeriksaan radiologi foto polos
segmen thorakal hingga sacral dan MRI untuk pemilihan terapi yang lebih tepat.
Pasien juga disarankan untuk melakukan rehabilatasi medik berupa Fisioterapi.
DISKUSI
Cedera medulla spinalis akibat trauma terjadi pada 10.000 pasien setiap tahun. Umumnya
terjadi pada remaja dan dewasa muda. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas
(50%), jatuh (25%), cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat
kekerasan dan kecelakaan kerja. Walaupun insidens pertahun relatif rendah , tapi biaya
perawatan dan rehabilitasi untuk cedera medulla spinalis sangat besar.
Perbedaan antara UMN & LMN
Kekuatan
UMN
LMN
Perese Paralisis
Perese - Paralisis
Patogenesis paresis
spastik sentral yaitu:
ada fase akut suatu
lesi di traktus
Tonus
Meningkat/Spastik
Menurun kortikospinalis,
refleks tendon
Clonus (+)
Flaccid
profunda akan
bersifat hipoaktif
dan terdapat
Refleks Patologi
(+)
(-)
kelemahan flaksid
pada otot . Refleks
muncul kembali
beberapa hari atau
Refleks Fisiologi
Meningkat
Menurun beberapa minggu
kemudian dan
Hilang
menjadi hiperaktif,
karena spindel otot
berespons lebih
Atropi
Disuse Atropi
(+)
sensitif terhadap
regangan
dibandingkan dengan keadaan normal, terutama fleksor ekstremitas atas dan ekstensor
ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral
desendens pada sel-sel fusimotor (neuron motor ) yang mempersarafi spindel otot. Dengan
demikian, serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara permanen (prestretched) dan lebih
mudah berespons terhadap peregangan otot lebih lanjut dibandingkan normal.
Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medula spinalis)
dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial
sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum
dipahami, tetapiyaros motorik tambahan jelas memiliki peran penting, karena lesi kortikal
murni dan terisolasi tidak menyebabkan spastisitas.
Sindrom paresis spastik sentral. Sindrom ini terdiri dari:
-
Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh klonus
- Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks abdominal, refleks plantar,
dan refleks kremaster)
Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan Mendel-Bekhterev,
serta diinhibisi respons hindar (flight), dan (awalnya) Massa otot tetap baik
pada pasien ini diberikan edukasi antara lain adalah larangan-larangan seperti dilarang
melakukan peregangan yang mendadak pada punggung, jangan sekali-kali mengangkat benda
atau sesuatu dengan tubuh dalam keadaan fleksi atau dalam keadaan membungkuk, dan
menghindari kerja dan aktifitas fisik yang berat untuk mengurangi kambuhnya gejala
KESIMPULAN
Untuk menegakkan diagnosis diperlukannya anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis hingga
pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Pada pasien ini disarankan untuk melakukan
pemeriksaan radiologi Foto polos segmen thorakal hingga sacral dan MRI
A. Gejala Klinis
Tabel 1 Diagnosis Etiologi Kelumpuhan Berdasarkan Gejala Klinisnya
B. Epidemiologi
Kelemahan tungkai adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus gangguan
neuromuskular1. Guillain-Barre syndrome (GBS) merupakan penyebab utama nontraumatic,
non-stroke paralisis flaksid akut di negara-negara Barat , dengan angka kejadian 0,75-2,0
kasus per 100.000 orang1. Myasthenia gravis (MG) adalah penyebab paling umum transmisi
penyakit neuromuskuler, dengan prevalensi sebesar 14,2 kasus per 100.000 orang1.
Botulisme terjadi lebih jarang, di AS yang dilaporkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) dari tahun 1973 sampai 1996. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus
West Nile juga dapat menyebabkan paralisis flaksid1, , .
Penyebab paralisis flaksid akut lainnya termasuk poliomyelitis paralitik dan myelitis
transversal; etiologi yang jarang terjadi berupa neuritis traumatis, ensefalitis, meningitis dan
tumor .
Tabel 2 Perbedaan gejala klinis pada Lesi UMN dan LMN
LMN UMN
Atrofi Ada (atrofi neurogenik) Hanya atrofi karena tidak digunakan (disuse)
Fasikulasi Mungkin ada Tidak ada
Tonus Normal atau menurun (flaksiditas) Meningkat (spastisitas)
Kekuatan Kelemahan fokal, misalnya pada distribusi nervus/radiks saraf Berdasar gerakan
Postur - Penyimpangan gerakan tangan yang diluruskan (mata tertutup)
Refleks tendon Menurun atau tidak ada Meningkat
Klonus Tidak ada Mungkin ada
Respons plantar Ke bawah (plantarfleksi) atau tidak ada Ke atas (Babinski positif)
Respons abdomen superfisial Ada Mungkin tidak ada
Pola berjalan Mungkin melangkah tinggi-tinggi Spastik, langkah menggunting, sirkumduksi
C. Sindrom Klinis Lesi Sistem Motorik
1. Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Sentral
Patogenesis paresis spastik sentral. Pada fase akut suatu lesi di traktus kortikospinalis, refleks
tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan terdapat kelemahan flaksid pada otot . Refleks
muncul kembali beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif,
karena spindel otot berespons lebih sensitif terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan
normal, terutama fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas
ini terjadi akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor (neuron
motor ) yang mempersarafi spindel otot. Dengan demikian, serabut-serabut otot intrafusal
teraktivasi secara permanen (prestretched) dan lebih mudah berespons terhadap peregangan
otot lebih lanjut dibandingkan normal.
Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medula spinalis)
dan akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial
sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum
dipahami, tetapiyaros motorik tambahan jelas memiliki peran penting, karena lesi kortikal
murni dan terisolasi tidak menyebabkan spastisitas.
Sindrom paresis spastik sentral. Sindrom ini terdiri dari:
Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus
Peningkatan tonus spastik
Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh klonus
Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks abdominal, refleks plantar, dan
refleks kremaster)
Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan Mendel-Bekhterev, serta
diinhibisi respons hindar (flight), dan
(awalnya) Massa otot tetap baik
1.1. Lesi di korteks serebri
Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor, infark, atau cedera traumatik,
menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontra-lateral. Temuan klinis khas yang
berkaitan dengan lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas atas bagian distal yang
dominan, konsekuensi fungsional yang terberat adalah gangguan kontrol motorik halus.
Kelemahan tersebut tidak total (paresis, bukan plegia), dan lebih berupa gangguan flaksid,
bukan bentuk spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal) sebagian besar tidak
terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut (a) dapat menimbulkan kejang fokal.
Infeksi pada satu atau beberapa ganglia spinalia oleh virus neurotropik paling sering terjadi di
regio torakal dan menyebabkan eritema yang nyeri pada dermatom yang sesuai, diikuti oleh
pembentukan sejumlah vesikel kulit. Gambaran klinis ini, disebut herpes zoster, berkaitan
dengan rasa sangat tidak nyaman, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan parestesia di area yang
terkena. Infeksi dapat melewati ganglia spinalia ke medula spinalis itu sendiri, tetapi, jika hal
tersebut terjadi, biasanya tetap terbatas pada area kecil di medula spinalis Keterlibatan komu
anterius yang menyebabkan paresis flaksid jarang ditemukan, hemiparesis atau paraparesis
bahkan lebih jarang lagi. Elektromiografi dapat nunjukkan defisit motorik segmental pada
hingga 2/3 kasus, tetapi karena herpes zoster biasanya ditemukan di area torakal, defisitnya
cenderung tidak bermakna secg fungsional, dan dapat luput dari perhatian pasien. Pada
beberapa kasus, tidak terdapat lesi kulit (herpes sine herpete). Herpes zoster relatif sering,
dengan insidens 3-5 kasus per 1000 orang per tahun; individu dengan penurunan kekebalan
tubuh (misal, pas AIDS, keganasan, atau dalam imunosupresi) berisiko lebih tinggi. Terapi
dengan pengobatan kulit topikal serta asiklovir, atau agen virustatik lainnya, dianjurkan untuk
diberikan. Bahkan dengan terapi yang sesuai, neuralgia pasca-herpes di area yang terkena
bukan merupakan komplikasi yang jarang. Keadaan ini dapat diobati secara simptomatik
dengan berbagai terapi, termasuk karbamazepin dan gabapentin.
2.2. Sindrom substansia grisea7
Kerusakan pada substansia grisea sentral medula spinalis akibat siringomielia, hematomielia,
tumor medula spinalis intra-medular, atau proses-proses lain mengganggu semua jaras
serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling terpengaruh adalah serabut
yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan, raba
kasar, nyeri, dan suhu; serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan
kemudian berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi-cairan di
medula spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini,
disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdisitribusi
dengan pola karakteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme
pembentukannya.Siringomielia paling sering mengenai medula spinalis servikalis, umumnya
menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan ekstremitas atas. Siring yang
meluas secara progresif dapat merusak traktus medula spinalis yang panjang, menyebabkan
(para) paresis spastik, dan gangguan pada proses berkemih, defekasi, dan fungsi seksual.
Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada lidah, hiperalgesia atau analgesia
pada wajah, dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan lokasi dan konfigurasi siring.
2.3. Sindrom kornu anterius.
Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik memengaruhi
sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikalis dan lumbalis medula spinalis.
Pada poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan
ireversibel, terutama di regio lumbalis, menyebabkan paresis flaksid pada otot-otot di segmen
yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh daripada otot distal. Otot menjadi
atrofi dan pada kasus yang berat, dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak.
poliomielitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius tersusun
di kolumna vertikal yang panjang di dalam medula spinalis.
2.4. Sindrom transeksi medula spinalis
Ketika sindroma transeksi medula spinalis muncul perlahan-lahan bukan dengan tiba-tiba,
misalnya, karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom
transeksi pada kasus seperti ini biasanya parsial, dan bukan total. Paraparesis spastik yang
berat dan progresif terjadi di bawah tingkat lesi, disertai oleh defisit sensorik, disfungsi miksi,
defekasi, dan seksual, serta manifestasi otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang
abnormal, kecenderungan untuk terjadi ulkus dekubitus).
4.2. Miopati
Kebalikan dengan miastenia, miopati (gangguan primer otot) biasanya menimbulkan
kelemahan dengan progresivitas lambat dan tidak bergantung latihan. Atrofi otot aki-bat
miopati lebih ringan dibandingkan atrofi otot neurogenik dan sebagian disamarkan oleh
pergantian jaringan otot oleh lemak (liposis, disebut juga lipomatosis), sehingga terdapat
ketidaksesuaian antara penampakan otot yang normal atau pseudohipertofik dan derajat
kelemahan sesungguhnya. Tidak ada defisit sensorik atau otonom, atau fasikulasi, yang
menunjukkan lesi neurogenik. Mialgia dan spasme otot lebih sering terjadi pada miopati
metabolik dibandingkan pada miopati kongenital.
Berbagai jenis miopati meliputi distrofi muskular (resesif terkait-X, autosomal dorninan, dan
resesif), miopati metabolik, distrofi miotonik (dengan manifestasi tambahan seperti katarak,
kebotakan di bagian frontal, dan abnormalitas sistemik lain, seperti pada distrofi SteinertBatten-Curschmann), dan miositis. adekuat terlalu sedikit, sehingga otot tidak lagi tereksitasi
secara adekuat oleh saraf yang mempersaraflnya. Elektromiografi menunjukkan penurunan
ukuran (decrement) potensial aksi otot pada stimulasi elektrik berulang pada otot yang
terkena. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas,
penurunan elektromiografi, adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin di sirkulasi, dan
perbaikan kelemahan setelah pemberian penghambat asetilkolinesterase kerja-cepat, seperti
edrofonium klorida. Gangguan ini dapat diobati secara efektif dengan penghambat
asetilkolinesterase kerja-panjang, supresi imun, dan sebagai tambahan, dengan timektomi
(pada pasien muda).
Informasi terpenting untuk diagnosis banding miopati didapatkan dari riwayat keluarga
secara rinci, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium (terutama kreatin kinase), dan
elektromiografi, serta analisis genetik molekular, yang telah menjadi pemeriksaan yang
sangat canggih dalam beberapa tahun terakhir dan dapat memberikan diagnosis pasti pada
banyak kasus. Akibatnya, hal ini memungkinkan prognosis yang lebih sesuai dan konseling
genetik yang baik.
Kaitan dengan pemicu
Gejala yang dialami pasien pada pemicu, yakni berupa paralisis flaksid secara umum dapat
ditemukan pada lesi LMN dan NMJ. Kejadian yang hanya 3 hari (akut) umumnya ditemukan
pada polineuropati dan NMJ. Walaupun gejala teraparesis umumnya ditemukan pada lesi
UMN, namun juga khas ditemukan pada polineuropati, yaitu sindrom Guillain-Barre, dan
biasanya menjalar asendens. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan analisis cairan
serebrospinal. Pada pasien paralasis flasid juga sering disertai dengan ketidakmapuan
mempertahankan jalan nafas tetap terbuka, karena paralisis otot-otot pernapasan dan
diafragma. Oleh karena itu, diperlukan intubasi secepat mungkin terutama pada penyakit
yang onsetnya progresif, seperti sindrom Guillain-Barre.
A. Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan langsung dengan
tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan tempat terjadinya
perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
5. Perikranium
Tulang Tengkorak
Terdiri Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa :
1. Anterior tempat lobus frontalis
2. Media tempat lobus temporalis
3. Posterior tempat batang otak bawah dan serebelum
Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :
1. Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna atau bagian
dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat
ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada
cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan serta menyebabkan
perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena
ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus
sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior
berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri2 meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan
epidural.
2. Arachnoid
3. Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi
diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat
pecahnya aneurysma intra cranial..
D. Otak
1. Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan durameter
yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara.
2. Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior berhubungan
dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
3. Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan,
serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.
E. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar 500 mL per
24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel
lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel III pada orang sehat
sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL
Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel
lateralis, kemudian melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III ,
kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2
foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk
kedalam ruangan subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus
duramater kemudian masuk ke aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi jumlah yang
diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan,
peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus. Mekanisme
kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural absorption, nerve root
sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya
terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan
elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan
dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary
(menyebabkan pituitary disfunction)
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1. Supratentorial terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Infratentorial berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan
medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura tentorial.
Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau
edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil mata
berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan penekanan
mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata
kelateral dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi
tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil
yang berdilatasi meskipun tidak selalu.