TUJUAN
Melakukan estimasi curah hujan dari data penginderaan jauh dengan menggunakan teknik penggabungan
antara citra inframerah thermal dari satelit geostationer (MTSAT) dan citra gelombang mikro dari satelit
TRM M.
DASAR TEORI
Karakteristik Penginderaan Jauh untuk estimasi curah hujan
Estimasi curah hujan dengan menggunakan penginderaan jauh sudah dikembangkan sejak tahun 60-an
dan bertujuan untuk mendapatkan gambaran global mengenai distribusi hujan di seluruh permukaan bumi.
Sejak pertama kali dikembangkan, berbagai macam upaya sudah dilakukan untuk dapat mengukur curah
hujan dari antariksa tersebut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Obyek-obyek di permukaan bumi yang yang tergambar pada citra penginderaan jauh pada dasarnya bisa
terdeteksi oleh sensor dikarenakan karakteristik dari obyek-obyek tersebut yaitu sebagai berikut: (i)
pantulan gelobang pendek dari pancaran sinar matahari; (ii) pancaran dari gelombang inframerah thermal
yang mengindikasikan temperature fisik dari obyek yang besangkutan atau (iii) pancaran dari gelombang
mikro (Carleton, 1991). Untuk penginderaan jauh yang khusus diaplikasikan untuk estimasi hujan, focus
utamanya terutama adalah pada interaksi antara obyek butiran hujan (hydrometeor) dengan gelombang
elektromagnetik dengan memperhatikan karakteristik pantulan atau pancaran dari spectrum panjang
gelombang seperti tersebut diatas.
Satu istilah penting yang sering digunakan dalam pengideraan jauh adalah jendela atmorfir yaitu bagian
dari spectrum gelombang elektromagnetik yang tidak diserap (dalam arti diloloskan) oleh atmosfir.
Spektrum tampak dan inframerah adalah contoh dari jendela atmosfir. Jendela atmosfir sangat penting
untuk penginderaan jauh yang digunakan untuk mendeteksi obyek di permukaan bumi seperti penggunaan
lahan, geologi atau geomorfologi. Namun untuk penginderaan jauh terapan hidrometeorologis, spectrum
yang bukan merupakan jendela atmofir juga memegang peranan yang penting dikarenakan spektrum
panjang gelombang yang diserap oleh atmosfir tersebut dapat mengungkapkan obyek-obyek atmosfir atau
fenomena yang terjadi antara permukaan bumi dan sensor, seperti profil suhu dan uap air yang bisa
terdeteksi oleh sounder atau profiler (Strangeways 2007).
Gelombang pendek pantulan khususnya pada gelombang tampak (0.4 0.75m) dan kadang-kadang juga
diperluas sampai dengan inframerah dekat (0.75 1.1m), memiliki peranan yang sangat pentung dalam
pengideraan jauh hidrometeorologi dikarenakan interaksinya dengan butiran hujan, yaitu: (i) pantulan oleh
awan, uap air, aerosol dan udara; (ii) hamburan baik hamburan Rayleigh (hamburan yang disebabkan oleh
molekul udara yang memiliki ukuran yang lebih kecil dari panjang gelombang) atau hamburan Mie
(hamburan yang disebabkan oleh molekul udara yang memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan
panjang gelombang). Karakteristik awan seperti tektur, kecerahan, formasi dan pola pada umumnya
diinterpretasi secara visual berdasarkan persentase pantulan (albedo) dari gelombang tampak ini.
Untuk gelombang inframerah thermal (10.5 12.5 m), suhu kecerahan dari butiran hujan diukur
berdasarkan pancarannya (Strangeways, 2007). Dikarenakan awan bersifat opak (tidak dapat tertembus
oleh spectrum tampak atau inframerah), maka suhu kecerahan yang terdeteksi adalah suhu kecerahan
permukaan awan bagian atas (cloud top temperature). Untuk awan dengan suhu kecerahan yang lebih
dingin pada umumnya bersosisasi dengan semakin lebatnya hujan (konvektif) yang terjadi
(Carleton 1991; Kuligowski 2003).
Gambar 1. Interaksi yang kompleks antara gelombang mikro dengan permukaan tanah dan hidrometeor
(Strangeways 2007)
Spektrum gelombang mikro memiliki karakteristik yang berbeda dengan panjang gelombang tampak atau
inframerah, yaitu memiliki kemampuan untuk menembus lapisan awan pada berbagai ketebalan, sehingga
panjang gelombang ini bisa berinteraksi secara fisik dengan butiran hujan. Dalam hal ini butiran hujan tidak
hanya memancarakan gelombang mikro namun sekaligus juga bisa menyerap atau menghamburkannya
(Strangeways, 2007). Pada dasarnya setiap obyek yang ada di atmosfir memiliki karakteristik yang berbedabeda dalam interaksinya dengan gelombang mikro. Menurut Saw, 2005 karakteristik itu adalah sebagai
berikut: (i) es pada umumnya tidak menyerap gelombang mikro, namun menghamburkannya; (ii) butiran
hujan yang cair pada umumnya lebih bersifat menyerap, walaupun juga bisa menghamburkan; (iii)
hamburan dan serapan pada umumnya meningkat seiring dengan semakin besarnya frekuensi dan
semakin besarnya intensitas hujan. Berbagai interkasi antara hydrometeor dengan berbagai frekuensi
gelombang mikro tersebut adalah seperti yang tersaji pada Gambar 1.
MTSAT
MTSAT merupakan generasi penerus dari GMS/Himawari yang mencakup separuh belahan bumi
(hemisphere) meliputi Asia timur, Pasifik barat dan Australia. MTSAT mengorbit pada ketinggian 35.800 km
diatas khatulistiwa pada 140 BT (kurang lebih diatas P. Biak, Papua). Karakterisik dari MTSAT adalah
seperti yang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Resolusi Spektral, spasial, dan radiometri dari MTSAT.
Spatial resolution
Radiometric resolution
Spectral Resolution
Temporal Resolution
Keunggulan dari satelit geostationer seperti MTSAT adalah resolusi temporalnya yang tinggi yaitu 1 jam
untuk liputan satu belahan bumi dan 30 menit untuk liputan belahan bumi utara. Namun kelemahannya
adalah pada resulusi spasialnya, sebagai konsekuensi dari sedemikian tingginya orbit satelit ini.
Citra MTSAT untuk satu liputan penuh memiliki ukuran 11000 baris x 11000 kolom untuk saluran Tampak
dan 2750 baris x 2750 kolom untuk saluran Inframerah (JMA 2003) . Waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan satu kali liputan penuh citra kurang lebih adalah 27 menit (JMA 1999) . Area liputan efektif
yang bisa digunakan adalah dalam julat lintang dari 60LU sampai dengan 60LS (Saw 2005).
TRMM
Satelit TRMM dibangun melalui kerjsama antara NASA (badan antariksa nasional AS) dan JAXA (badan
antariksa Jepang) yang dirancang untuk memonitor dan mengkaji hujan di daerah tropis. Karakteristik
satelit TRMM adalah seperti yang tersaji pada Tabel 2. Satelit TRMM membawa 5 macam sensor yaitu:
Precipitation radar (PR), TRMM Microwave Imager (TMI), Visible and Infrared Scanner (VISR), Clouds and
the Earth's Radiant Energy System (CERES) dan Lightning Imaging Sensor (LIS).
Table 2.Karakteristik satelit TRMM (JAXA 2002) .
Tanggal Peluncuran
Orbit
Ketinggian orbit
TMI merupakan sensor gelombang mikro yang digunakan untuk mendeteksi hujan. Sensor ini merupakan
pengembangan dari sensor SSM/I (Special Sensor Microwave/Imager) yang sudah dibawa dalam
beberapa kali misi peluncuran satelit DMSP (Defense Meteorological Satelitte Programme). Karakteristik
yang cukup unik dari TMI adalah model penyiamannya yang berbentuk konikal (conical scanning), seperti
yang terlihat pada Gambar 2.
Center
Freq
(GHz)
10.65
36.8
Very
strong
rain
10.65
36.8
Very
strong
rain
19.35
18.4
strong
rain
19.35
18.4
strong
rain
21.3
18.4
vapor
37
9.2
Light rain
37
9.2
Light rain
85.5
4.6
strong
rain,
Light rain
85.5
4.6
strong
rain,
Light rain
Gambar 3. (a) Karakteristik cakupan satelit geostationer dan (b) satelit orbit kutub
Metode Perolehan Data
Salah satu kelebihan penggunaan teknik penginderaan jauh adalah ketersediaan data yang relatif
bisa diakses dimana saja dan kapan saja, karena data citra satelit yang digunakan tersedia secara gratis di
internet.
Data satelit MTSAT diperoleh dari website Tokyo University yang memiliki alamat:
http://webgms.iis.u-tokyo.ac.jp/. Data yang diperoleh berupa file citra yang menggambarkan suhu
kecerahan awan bagian atas dengan format HDR.
Untuk citra TRMM datanya dapat diunduh dari alamat web sebagai berikut:
http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/data/datapool/TRMM_DP/01_Data_Products/01_Orbital/05_Tmi_Prof_2A_12/.
Format data yang tersedia untuk citra TRMM ini adalah HDF yang menyajikan citra estimasi intensitas
hujan. Untuk membuka citra TRMM ini adalah dengan menggunakan perangkat lunak Orbit View yang
disediakan secara gratis oleh NASA.
modifikasi yaitu dengan digunakannya citra MTSAT sebagai pengganti MSG untuk mendapatkan data
inframerah thermal (dengan julat gelombang yang mendekati sama dengan yang digunakan dalam MSG).
Dalam metode ini secara umum terdapat tiga tahapan utama yang dilakukan yaitu:
1.
Penentuan kolokasi ruang dan waktu antara MTSAT dan TRMM.
2.
Membuat hubungan statistik antara intensitas hujan yang dideteksi oleh TRMM dan suhu kecerahan
permukaan awan bagian atas yang dideteksi oleh MTSAT.
3.
Transformasi data MTSAT runtun waktu.
Secara garis besar alur kerja yang dilakukan dalam proses penggabungan data MTSAT dan TRMM adalah
seperti yang dipresentasikan dalam Gambar 4.
Tahap pertama yaitu penentuan kolokasi ruang dan waktu antara MTSAT dan TRMM pada intinya adalah
memperoleh sepasang citra MTSAT dan TRMM yang meliput area yang sama dengan waktu peliputan
yang sedekat mungkin. Tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan liputan obyek awan yang terekam dari
kedua citra tersebut yang semirip mungkin. Seperti diketahui bahwa awan merupakan obyek atmosfir yang
sangat dinamis. Perbedaan waktu peliputan yang sedikit saja akan sangat mengaruhi gambaran liputan
awan yang dihasilkan. Sehingga dalam hal ini diupayakan untuk mendapatkan waktu peliputan MTSAT dan
TRMM yang sedekat mungkin.
Tahap kedua adalah, berdasarkan pasangan citra MTSAT dan TRMM yang berkolokasi ini dibangun suatu
hubungan statistik antara suhu kecerahan permukaan awan bagian atas yang diperoleh dari MTSAT
dengan intensitas hujan yang diperoleh dari TRMM. Hubungan statistik ini diimplementasikan dalam bentuk
persamaan regresi. Dari berbagai macam model persamaan regresi, dalam hal ini dipilih model persamaan
eksponensial modifikasi yang secara matematis ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
Dimana:
y = estimasi hujan
x = suhu kecerahan permukaan awan bagian atas dari MTSAT
a dan b = koefisien persamaan regresi
e = bilangan natural
Garis hitam putus-putus menggambarkan serangkaian citra MTSAT runtun waktu. Diantara serangkaian
citra tersebut terdapat citra-citra yang berkolokasi ruang dan waktu dengan TRMM. Ini digambarkan dengan
bentuk lingkaran. Persamaan regresi dihasilkan dari pasangan-pasangan citra yang berkolokasi tersebut
dimana persamaan tersebut valid hanya untuk serangkaian citra MTSAT diatara dua kolokasi yang
berurutan (digambarkan sebagai panah abu-abu). Dengan demikian dalam implementasinya harus
dilakukan proses transformasi berdasarkan persamaan regresi terhadap serangkaian citra MTSAT runtun
waktu yang dianggap valid untuk persamaan yang bersangkutan.