Anda di halaman 1dari 9

ESTIMASI CURAH HUJAN MENGGUNAKAN CITRA

MTSAT DAN TRMM 2A12 (bagian 1)


dwiprab.blogspot.co.id /2014/11/estimasi-curah-hujan-menggunakan-citra.html
ESTIMASI CURAH HUJAN MENGGUNAKAN
CITRA MTSAT DAN TRMM 2A12 (Bagian 1)

TUJUAN
Melakukan estimasi curah hujan dari data penginderaan jauh dengan menggunakan teknik penggabungan
antara citra inframerah thermal dari satelit geostationer (MTSAT) dan citra gelombang mikro dari satelit
TRM M.
DASAR TEORI
Karakteristik Penginderaan Jauh untuk estimasi curah hujan
Estimasi curah hujan dengan menggunakan penginderaan jauh sudah dikembangkan sejak tahun 60-an
dan bertujuan untuk mendapatkan gambaran global mengenai distribusi hujan di seluruh permukaan bumi.
Sejak pertama kali dikembangkan, berbagai macam upaya sudah dilakukan untuk dapat mengukur curah
hujan dari antariksa tersebut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Obyek-obyek di permukaan bumi yang yang tergambar pada citra penginderaan jauh pada dasarnya bisa
terdeteksi oleh sensor dikarenakan karakteristik dari obyek-obyek tersebut yaitu sebagai berikut: (i)
pantulan gelobang pendek dari pancaran sinar matahari; (ii) pancaran dari gelombang inframerah thermal
yang mengindikasikan temperature fisik dari obyek yang besangkutan atau (iii) pancaran dari gelombang
mikro (Carleton, 1991). Untuk penginderaan jauh yang khusus diaplikasikan untuk estimasi hujan, focus
utamanya terutama adalah pada interaksi antara obyek butiran hujan (hydrometeor) dengan gelombang
elektromagnetik dengan memperhatikan karakteristik pantulan atau pancaran dari spectrum panjang
gelombang seperti tersebut diatas.
Satu istilah penting yang sering digunakan dalam pengideraan jauh adalah jendela atmorfir yaitu bagian
dari spectrum gelombang elektromagnetik yang tidak diserap (dalam arti diloloskan) oleh atmosfir.
Spektrum tampak dan inframerah adalah contoh dari jendela atmosfir. Jendela atmosfir sangat penting
untuk penginderaan jauh yang digunakan untuk mendeteksi obyek di permukaan bumi seperti penggunaan
lahan, geologi atau geomorfologi. Namun untuk penginderaan jauh terapan hidrometeorologis, spectrum
yang bukan merupakan jendela atmofir juga memegang peranan yang penting dikarenakan spektrum
panjang gelombang yang diserap oleh atmosfir tersebut dapat mengungkapkan obyek-obyek atmosfir atau
fenomena yang terjadi antara permukaan bumi dan sensor, seperti profil suhu dan uap air yang bisa
terdeteksi oleh sounder atau profiler (Strangeways 2007).
Gelombang pendek pantulan khususnya pada gelombang tampak (0.4 0.75m) dan kadang-kadang juga
diperluas sampai dengan inframerah dekat (0.75 1.1m), memiliki peranan yang sangat pentung dalam
pengideraan jauh hidrometeorologi dikarenakan interaksinya dengan butiran hujan, yaitu: (i) pantulan oleh
awan, uap air, aerosol dan udara; (ii) hamburan baik hamburan Rayleigh (hamburan yang disebabkan oleh
molekul udara yang memiliki ukuran yang lebih kecil dari panjang gelombang) atau hamburan Mie
(hamburan yang disebabkan oleh molekul udara yang memiliki ukuran yang kurang lebih sama dengan
panjang gelombang). Karakteristik awan seperti tektur, kecerahan, formasi dan pola pada umumnya
diinterpretasi secara visual berdasarkan persentase pantulan (albedo) dari gelombang tampak ini.
Untuk gelombang inframerah thermal (10.5 12.5 m), suhu kecerahan dari butiran hujan diukur
berdasarkan pancarannya (Strangeways, 2007). Dikarenakan awan bersifat opak (tidak dapat tertembus
oleh spectrum tampak atau inframerah), maka suhu kecerahan yang terdeteksi adalah suhu kecerahan

permukaan awan bagian atas (cloud top temperature). Untuk awan dengan suhu kecerahan yang lebih
dingin pada umumnya bersosisasi dengan semakin lebatnya hujan (konvektif) yang terjadi
(Carleton 1991; Kuligowski 2003).

Gambar 1. Interaksi yang kompleks antara gelombang mikro dengan permukaan tanah dan hidrometeor
(Strangeways 2007)
Spektrum gelombang mikro memiliki karakteristik yang berbeda dengan panjang gelombang tampak atau
inframerah, yaitu memiliki kemampuan untuk menembus lapisan awan pada berbagai ketebalan, sehingga
panjang gelombang ini bisa berinteraksi secara fisik dengan butiran hujan. Dalam hal ini butiran hujan tidak
hanya memancarakan gelombang mikro namun sekaligus juga bisa menyerap atau menghamburkannya
(Strangeways, 2007). Pada dasarnya setiap obyek yang ada di atmosfir memiliki karakteristik yang berbedabeda dalam interaksinya dengan gelombang mikro. Menurut Saw, 2005 karakteristik itu adalah sebagai
berikut: (i) es pada umumnya tidak menyerap gelombang mikro, namun menghamburkannya; (ii) butiran
hujan yang cair pada umumnya lebih bersifat menyerap, walaupun juga bisa menghamburkan; (iii)
hamburan dan serapan pada umumnya meningkat seiring dengan semakin besarnya frekuensi dan
semakin besarnya intensitas hujan. Berbagai interkasi antara hydrometeor dengan berbagai frekuensi
gelombang mikro tersebut adalah seperti yang tersaji pada Gambar 1.

Gambaran umum satelit meteorologi


Sebagai gambaran umum mengenai satelit meteorologi berikut ini disajikan karaketeristik dua satelit
meteorologi, dimana data dari kedua satelit tersebut digunakan dalam praktikum ini. Satelit yang pertama
adalah sebuah satelit geostationer milik Jepang yaitu MTSAT (Multi Transport Satellite) yang membawa
sensor gelombang tampak dan inframerah, sedangkan yang kedua adalah sebuah satelit orbit kutub hasil
kerjasama Amerika Serikat dan Jepang yaitu TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) yang membawa
berbagai sensor untuk mendeteksi obyek dan fenomena atmosfir. Satelit meteorology yang lain yang saat
ini beroperasi antara lain: GOES milik Amerika Serikat, Metosat Second Generation (MSG) milik Uni Eropa,
Fen Yung milik China, GOMS miliki Rusia, dimana kesemuanya adalah satelit geostationer. Satelit
meteorologi yang lain adalah NOAA, DMSP, dll.

MTSAT
MTSAT merupakan generasi penerus dari GMS/Himawari yang mencakup separuh belahan bumi
(hemisphere) meliputi Asia timur, Pasifik barat dan Australia. MTSAT mengorbit pada ketinggian 35.800 km
diatas khatulistiwa pada 140 BT (kurang lebih diatas P. Biak, Papua). Karakterisik dari MTSAT adalah
seperti yang tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Resolusi Spektral, spasial, dan radiometri dari MTSAT.
Spatial resolution

1 km for Visible channel and 4 km for IR channels at the sub-satellite point

Radiometric resolution

10 bits (1,024 gradations)

Spectral Resolution

Visible: 0.55 0.9 m


IR1 : 10.3 11.3 m
IR2 : 11.5 12.5 m
IR3 : 6.5 7.0 m
IR4 : 3.5 4.0 m

Temporal Resolution

1 hour for whole hemisphere and 30 minutes for northern hemisphere

Keunggulan dari satelit geostationer seperti MTSAT adalah resolusi temporalnya yang tinggi yaitu 1 jam
untuk liputan satu belahan bumi dan 30 menit untuk liputan belahan bumi utara. Namun kelemahannya
adalah pada resulusi spasialnya, sebagai konsekuensi dari sedemikian tingginya orbit satelit ini.
Citra MTSAT untuk satu liputan penuh memiliki ukuran 11000 baris x 11000 kolom untuk saluran Tampak
dan 2750 baris x 2750 kolom untuk saluran Inframerah (JMA 2003) . Waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan satu kali liputan penuh citra kurang lebih adalah 27 menit (JMA 1999) . Area liputan efektif
yang bisa digunakan adalah dalam julat lintang dari 60LU sampai dengan 60LS (Saw 2005).
TRMM
Satelit TRMM dibangun melalui kerjsama antara NASA (badan antariksa nasional AS) dan JAXA (badan
antariksa Jepang) yang dirancang untuk memonitor dan mengkaji hujan di daerah tropis. Karakteristik
satelit TRMM adalah seperti yang tersaji pada Tabel 2. Satelit TRMM membawa 5 macam sensor yaitu:
Precipitation radar (PR), TRMM Microwave Imager (TMI), Visible and Infrared Scanner (VISR), Clouds and
the Earth's Radiant Energy System (CERES) dan Lightning Imaging Sensor (LIS).
Table 2.Karakteristik satelit TRMM (JAXA 2002) .

Tanggal Peluncuran

November 28, 1997

Orbit

Circular, non-sun-synchronous, with an inclination of 35 degrees to the Equator.

Ketinggian orbit

350 km (1997/11/27 - 2001/08/08)


403 km (2001/08/24 - sekarang)

TMI merupakan sensor gelombang mikro yang digunakan untuk mendeteksi hujan. Sensor ini merupakan
pengembangan dari sensor SSM/I (Special Sensor Microwave/Imager) yang sudah dibawa dalam
beberapa kali misi peluncuran satelit DMSP (Defense Meteorological Satelitte Programme). Karakteristik
yang cukup unik dari TMI adalah model penyiamannya yang berbentuk konikal (conical scanning), seperti
yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Model penyiaman konikal yang digunakan


oleh TMI dibandingkan dengan model penyiaman
sensor-sensor lain yang dibawa oleh satelit TRMM
(Strangeways 2007)
Keuntungan penggunaan model penyiaman ini adalah
adalah bahwa sudut penyiaman dapat dipertahankan
tetap sama sehingga tenaga pancaran yang
diterimapun adalah sama untuk semua sudut
penyiaman (Strangeways 2007). Resolusi spasial yang
dihasilkan tergantung dari frekuensi yang digunakan
yang bervariasi antara 5 km pada frekuensi 85.5 GHz
sampai dengan 45 km pada frekuensi 10.65GHz
(Strangeways 2007). Karakterisitik sensor TMI adalah
seperti yang tersaji pada Tabel 3.
Table 3. Karakteristik sensor TMI (JAXA 2002) .
Band

Center
Freq
(GHz)

Polarization Horizontal Objective


Resolution
(km)

10.65

36.8

Very
strong
rain

10.65

36.8

Very
strong
rain

19.35

18.4

strong
rain

19.35

18.4

strong
rain

21.3

18.4

vapor

37

9.2

Light rain

37

9.2

Light rain

85.5

4.6

strong
rain,
Light rain

85.5

4.6

strong
rain,
Light rain

Metode estimasi curah hujan menggunakan teknik Penginderaan Jauh


Berdasarkan spektrum panjang gelombang yang digunakan, metode estimasi curah hujan pada
dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu (Levizzani, 2002; Kuligowski, 2003; Strangeways, 2007):
(i) metode gelombang tampak (visible)/gelombang inframerah; (ii) metode gelombang mikro pasif ( passive

microwave) dan (iii) metode gabungan.


Metode gelombang tampak (visible)/gelombang inframerah
Metode ini dikelompokan manjadi satu dikerenakan baik panjang gelombang tampak (0.4 0.75m)
maupun inframerah (10.5 12.5 m untuk inframerah thermal) memiliki karakteristik yang sama yaitu tidak
memiliki kemampuan untuk menembus awan. Sehingga informasi yang tersaji pada citra yang
menggunakan panjang gelombang ini adalah gambaran kondisi permukaan awan. Citra gelombang tampak
pada umumnya digunakan untuk mengidentifikasi awan secara fisik seperti bentuk, tekstur, rona dll. Untuk
keperluan estimasi hujan secara kuantitatif digunakan citra inframerah thermal yang dapat memberikan
informasi suhu permukaan awan bagian atas (cloud top temperature). Asumsi yang digunakan dalam
estimasi curah hujan menggunakan citra inframerah thermal adalah semakin dingin suhunya dan semakin
cerah ronanya maka akan berasosiasi dengan semakin lebatnya hujan (umumnya tipe hujan konvektif).
Sebaliknya semakin panas suhu permukaan awan bagian atas dan kurang cerah ronanya maka tidak
berasosiasi dengan hujan yang lebih ringan atau tidak ada hujan (Carleton, 1991, . Kuligowski, 2003).
Metode gelombang mikro pasif
Gelombang mikro memiliki karakateristik yang berbeda dengan gelombang tampak/IR yaitu memiliki
kemampuan untuk menembus awan. Kemampuan menembus awan ini menjadikan gelombang mikro bisa
langsung berinteraksi dengan butiran-butiran air hujan yang membentuk awan. Bentuk pancaran atau
hamburan gelombang mikro akibat interaksi dengan butiran air ataupun es ini bisa terdeteksi pada berbagai
panjang gelombang mikro dan juga bentuk polarisasi yang digunakan. Pendekatan estimasi hujan
menggunakan gelombang tampak/IR pada umumnya disebut dengan, pendekatan tidak langsung
dikarenakan curah hujan diestimasi berdasarkan suhu permukaan awan bagian atas. Sebaliknya metode
gelombang mikro pasif ini disebut dengan pendekatan yang lebih langsung dikarenakan menggunakan
proses fisika interaksi panjang gelombang dengan butiran hujan.
Metode gabungan.
Berdasarkan karakteristik orbit satelitnya, citra Visible/IR untuk keperluan deteksi cuaca pada
umumnya diperoleh dari satelit geostationer seperti satelit MTSAT, GOES, Metosat, GOMS dan FenYung.
Satelit geostationer memiliki kemampuan untuk merekam satu belahan bumi (hemishpere) dalam satu kali
perekaman dengan resolusi temporal yang cukup tinggi (15 menit sampai dengan 1 jam) (lihat Gambar 3a).
Namun karena cakupannya global, citra ini memiliki resolusi spasial yang rendah (1 km atau 4 km).
Sebaliknya citra gelombang mikro pasif pada umumnya diperoleh dari satelit dengan orbit kutub (lihat
Gambar 3b). Contoh satelit orbit kutub yang memiliki sensor gelombang mikro yang didedikasikan untuk
esitmasi hujan adalah DMSP (Defense Meteorological Satelit Programme) dengan sensor SSM/I ( Special
Sensor Microwage/Imager) dan satelit TRMM dengan sensor TMI ( TRMM Microwave Imager). Data satelit
ini memiliki kemampuan untuk mengestimasi hujan dengan lebih akurat namun memiliki resolusi temporal
yang rendah, sehingga kurang bagus untuk keperluan monitoring yang intensif.
Metode gabungan merupakan suatu teknik untuk menggabungkan kedua jenis data dari satelit
geostationer dan satelit orbit kutub untuk keperluan estimasi hujan. Pada prinsipnya metode gabungan
adalah memanfaatkan korelasi yang tinggi antara suhu permukaan awan yang terdeteksi oleh gelombang
IR dari satelit geostationer dengan estimasi intensitas hujan dari satelit orbit kutub, pada lokasi dan waktu
perekaman yang sama atau mendekati (space and time collocation).

Gambar 3. (a) Karakteristik cakupan satelit geostationer dan (b) satelit orbit kutub
Metode Perolehan Data
Salah satu kelebihan penggunaan teknik penginderaan jauh adalah ketersediaan data yang relatif
bisa diakses dimana saja dan kapan saja, karena data citra satelit yang digunakan tersedia secara gratis di
internet.
Data satelit MTSAT diperoleh dari website Tokyo University yang memiliki alamat:
http://webgms.iis.u-tokyo.ac.jp/. Data yang diperoleh berupa file citra yang menggambarkan suhu
kecerahan awan bagian atas dengan format HDR.
Untuk citra TRMM datanya dapat diunduh dari alamat web sebagai berikut:
http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/data/datapool/TRMM_DP/01_Data_Products/01_Orbital/05_Tmi_Prof_2A_12/.
Format data yang tersedia untuk citra TRMM ini adalah HDF yang menyajikan citra estimasi intensitas
hujan. Untuk membuka citra TRMM ini adalah dengan menggunakan perangkat lunak Orbit View yang
disediakan secara gratis oleh NASA.

Metode Pemrosesan dan Analisa Data


Metode penggabungan data MTSAT dan TRMM 2A12 yang digunakan dalam praktikum ini adalah
metode yang dikembangkan oleh (Maathuis, 2006). Mathuis (2006) menggabungkan data inframerah
termal dari citra satelit geostationer MSG (Meteosat Second Generation) dan intensitas hujan dari TRMM
untuk memperoleh informasi curah hujan secara runtun waktu (time series). Dalam hal ini dilakukan sedikit

modifikasi yaitu dengan digunakannya citra MTSAT sebagai pengganti MSG untuk mendapatkan data
inframerah thermal (dengan julat gelombang yang mendekati sama dengan yang digunakan dalam MSG).
Dalam metode ini secara umum terdapat tiga tahapan utama yang dilakukan yaitu:
1.
Penentuan kolokasi ruang dan waktu antara MTSAT dan TRMM.
2.
Membuat hubungan statistik antara intensitas hujan yang dideteksi oleh TRMM dan suhu kecerahan
permukaan awan bagian atas yang dideteksi oleh MTSAT.
3.
Transformasi data MTSAT runtun waktu.
Secara garis besar alur kerja yang dilakukan dalam proses penggabungan data MTSAT dan TRMM adalah
seperti yang dipresentasikan dalam Gambar 4.
Tahap pertama yaitu penentuan kolokasi ruang dan waktu antara MTSAT dan TRMM pada intinya adalah
memperoleh sepasang citra MTSAT dan TRMM yang meliput area yang sama dengan waktu peliputan
yang sedekat mungkin. Tujuan proses ini adalah untuk mendapatkan liputan obyek awan yang terekam dari
kedua citra tersebut yang semirip mungkin. Seperti diketahui bahwa awan merupakan obyek atmosfir yang
sangat dinamis. Perbedaan waktu peliputan yang sedikit saja akan sangat mengaruhi gambaran liputan
awan yang dihasilkan. Sehingga dalam hal ini diupayakan untuk mendapatkan waktu peliputan MTSAT dan
TRMM yang sedekat mungkin.
Tahap kedua adalah, berdasarkan pasangan citra MTSAT dan TRMM yang berkolokasi ini dibangun suatu
hubungan statistik antara suhu kecerahan permukaan awan bagian atas yang diperoleh dari MTSAT
dengan intensitas hujan yang diperoleh dari TRMM. Hubungan statistik ini diimplementasikan dalam bentuk
persamaan regresi. Dari berbagai macam model persamaan regresi, dalam hal ini dipilih model persamaan
eksponensial modifikasi yang secara matematis ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

Dimana:
y = estimasi hujan
x = suhu kecerahan permukaan awan bagian atas dari MTSAT
a dan b = koefisien persamaan regresi
e = bilangan natural

Gambar 4. Proses penggabungan data MTSAT dan TRMM


Tahap terakhir adalah proses transformasi data MTSAT runtun waktu. Yang dimaksud dengan data MTSAT
runtun waktu adalah serangkaian citra MTSAT yang dianggap valid untuk satu persamaan regresi tertentu.
Persamaan regresi yang dianggap valid untuk serangkaian citra MTSAT dapat dijelaskan dalam bentuk
diagram kolokasi seperti yang tersaji pada gambar 5.

Garis hitam putus-putus menggambarkan serangkaian citra MTSAT runtun waktu. Diantara serangkaian

citra tersebut terdapat citra-citra yang berkolokasi ruang dan waktu dengan TRMM. Ini digambarkan dengan
bentuk lingkaran. Persamaan regresi dihasilkan dari pasangan-pasangan citra yang berkolokasi tersebut
dimana persamaan tersebut valid hanya untuk serangkaian citra MTSAT diatara dua kolokasi yang
berurutan (digambarkan sebagai panah abu-abu). Dengan demikian dalam implementasinya harus
dilakukan proses transformasi berdasarkan persamaan regresi terhadap serangkaian citra MTSAT runtun
waktu yang dianggap valid untuk persamaan yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai