Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS INFEKSI

BAB I
ANALISIS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Nn. FP

Umur

: 20 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Bangsa/suku

: Bugis

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Mahasiswa

Alamat

: Komp. UMI, Jl. Racing Centre Blok F no. 10

Tanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2015


ANAMNESIS
Keluhan utama

: Demam

Anamnesis Terpimpin

: Dialami sejak 6 hari yang lalu, tidak terus menerus

dan dirasakan memberat pada sore hari. Sebelumnya. Menggigil (+), berkeringat (-),
batuk (-), lendir (-), sakit kepala (-), pusing (+), mual (-), muntah (-), nafsu makan
menurun. BAB lancar, BAK biasa. OSI juga mengeluh seluruh persendiannya terasa
nyeri. Riwayat menderita keluhan yang sama (+), riwayat keluarga/tetangga
menderita keluhan yang sama (-).
Riw. Penyakit Sebelumnya :
Riwayat malaria (-)
Riwayat demam berdarah (+)
Riwayat demam thypoid (+), dirawat di RS. Ibnu Sina selama 6 hari tahun lalu.
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat hiperkolesterol/ hiperlipidemia (-)

Riwayat diabetes melitus (-)


Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat hiperkolesterol/ Hiperlipidemia (-)
Riwayat diabetes melitus (+) yaitu ayahnya.
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)
Riwayat penyakit asam urat (-)
PEMERIKSAAN FISIS
Tinggi Badan

: 168 cm

Berat Badan

: 65 kg

Tanda Vital :
Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 60 x/menit

Pernapasan

: 20 x/menit

Suhu

: 37,0 oC

Mulut
Lidah kotor

(+), tremor (+)

Bibir kering

(+)

Tonsil

T1-T1

Faring

granula hipertrofi (-)

Dada
Inspeksi : dada = simetris kiri-kanan
Palpasi

: sela iga normal

Perkusi : Sonor
Auskultasi : ronkhi kiri-kanan (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto thoraks
Darah rutin
DIAGNOSIS
DEMAM TIFOID
PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologi yang diberikan adalah:
-

Cefadroxil

2 x 500 mg

Alpara (paracetamol) 3 x 500 mg

Lexavit

2 x 1 tab.

Pengobatan non farmakologi yang dianjurkan kepada pasien antara lain :

Istirahat absolut.

Makan makanan yang bersih, sehat, dan bergizi.

Kontrol kesehatan secara teratur dan minum obat teratur.

HASIL KUNJUNGAN RUMAH


Kunjungan rumah dilaksanakan untuk melihat keadaan lingkungan sekitar
pasien dan hubungan antara lingkungan dengan penyakit yang diderita. Dengan
demikian pasien dan keluarga dapat memahami bagaimana pengaruh lingkungan
terhadap suatu penyakit dan sebaliknya bagaimana suatu penyakit dapat
mempengaruhi lingkungan.

Hasil kunjungan (8 Mei 2015)


Profil Keluarga :
Pasien tersebut (Nn.FP) adalah seorang perempuan, anak pertama dari 3
bersaudara yang tinggal bersama kedua orang tuanya dan kedua saudaranya.
Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga
Pasien adalah seorang Mahasiswi Fakultas Ekonomi di Universitas Muslim
Indonesia. Pasien tinggal di rumah sendiri di Komp. UMI, Jl. Racing Center blok F
no.10. Pasien tinggal di rumah tersebut sejak lahir. Rumah terdiri dari 3 kamar dan 1
kamar mandi. Ventilasi di rumah kurang baik, sirkulasi udara kurang baik. Peralatan
rumah tangga lengkap. Pasien sekamar dengan adiknya yang kembar. Adalah
pegawai negeri swasta, Ibunya seorang dosen di Fakultas Ekonomi UMI. Pasien
adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien menderita diabetel mellitus yang dialaminya sejak 3 tahun yang
lalu, dan ayah pasien rutin memeriksakan diri ke dokter. Ibu pasien dalam keadaan
sehat, begitu juga dengan saudara pasien yang lain. Riwayat keluhan yang sama
dalam keluarga tidak ada.
Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Pola konsumsi keluarga tersebut cukup baik sesuai dengan apa yang
dibutuhkan, yaitu dengan mengkonsumsi makanan bergizi seperti nasi, telur, ikan,
tahu, tempe dan sayur secara rutin. Walaupun demikian, pasien sering mengonsumsi
makanan yang dijual di luar rumah oleh karena kesibukan pasien semenjak praktek di
Rumah Sakit dan Puskesmas.
Psikologi Dalam Hubungan Antar Anggota Keluarga
Pasien memiliki hubungan yang baik, rukun dan harmonis dengan anggota
keluarga lainnya.

Lingkungan
Lingkungan pemukiman keluarga bersih dan tertata dengan baik. Sampah
tersimpan pada tempatnya, demikian juga dengan tata letak peralatan dan
perlengkapan rumah. Hubungan dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggal
belum terbina dengan baik oleh karena pasien tinggal di perumahan tersebut sekitar 2
bulan yang lalu.
Keadaan Pasien
Pasien masih demam dan merasa tidak nyaman pada perut. Rasa pusing dan
lemah badan masih dirasakan. Pasien baru meminum obatnya 1 kali semenjak
kembali dari poliklinik. Dari hasil pemeriksaan darah diketahui bahwa tes Widal (+)
untuk thypoid dengan titer O 1/160 dan H 1/320.
Hasil kunjungan kedua ( 9 Mei 2010)
Pasien dalam keadaan lebih baik dari kunjungan pertama. Demam dan rasa
tidak nyaman pada perut serta bibir kering dan lidah kotor sudah tidak ada. Pasien
masih merasakan lemah pada badan. Pasien disarankan untuk tirah baring sampai
kondisinya sehat dan memungkinkan untuk beraktivitas lagi.
Tanda Vital :
Tekanan Darah

; 120/70 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Pernapasan

: 24 x/menit

Suhu

: 36,5 oC

Gambar 1. Keadaan rumah Pasien

Gambar 2. Keadaan kamar pasien

Gambar 3. Keadaan dapur

Gambar 4. Keadaan kamar mandi

Gambar 5. Keadaan ruang tamu

Gambar 6. Tempat sampah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis Salmonella tertentu yaitu S. Typhi, S.
Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis Salmonella yang lain.
Demam yang disebabkan oleh S. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada
bentuk infeksi salmonella yang lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa,
manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan
laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh
secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resisten terhadap agen fisik namun
dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4 C (130 F) selama 1 jam atau 60 C
(140 F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu
yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama bermingguminggu dalam sampah, bahan makannan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen
H adalah protein labil panas.

Patogenesis
S. typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus
halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh
sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah
bakteriemi II
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator.
Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala
panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dan
lain-lain.
Imunulogi Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi
mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi
IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler
berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler.
Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala
seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem
organ.

Secara

klinis

gambaran

penyakit

Demam

Tifoid

berupa

demam

berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan demam yang makin hari makin
meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama
pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma.
Diagnosa
1. Amanesis
2. Tanda klinik
3. Laboratorik
1. Leukopenia, anesonofilia
2. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin
sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III
3. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II,
pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi
4. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF
cukup akurat
5. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
Diagnosa Banding
1. Influenza

6. Malaria

2. Bronchitis

7. Sepsis

3. Bronchopneumonia

8. I.S.K

4. Gastroenteritis

9. Keganasan : Leukemia

10

5. Tuberculosa Lymphoma
Penatalaksanaan
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien.
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan
pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat
kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk
mendukung keadaan umum pasien.
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi
beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid
perlu diberikan pada renjatan septik.
Pengobatan Medakamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan
ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

11

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4


kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi
kontra pemberian kloramfenikol diberi:

Ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.


Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau

Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.


Pemberian, oral/intravena selama 21 hari

Kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali


pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi Seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7
hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi

kardiovaskular:

kegagalan

sirkulasi

perifer

(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.


2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

12

5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.


6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,
bila perawatan pasien kurang sempurna.
Penatalaksanaan Penyulit
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan
manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal
3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian
dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian.
Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.
(Darmowandowo, 2006)
Pencegahan
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah. Menjaga
kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak
tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu
pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.

13

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua
adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian
vaksin

tifoid

secara

rutin

tidak

direkomendasikan,

vaksin

tifoid

hanta

direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam


tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja
laboratorium.
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena
itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua
tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anakanak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah
diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu
minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.
Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki
resiko terjangkit.
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang
yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah :
orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak
boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah
maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin

14

tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit
lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan
dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid
selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan
perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan
yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3
orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang
per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah
demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah
atau ruam-ruam (jarang terjadi).

15

BAB III
DISKUSI

Pasien perempuan umur 20 tahun tahun datang ke Poliklinik Ibnu Sina dengan
keluhan utama demam yang dialami sejak 6 hari yang lalu, tidak terus menerus dan
dirasakan memberat menjelang malam hari, menggigil (-), berkeringat (-). OSI juga
mengeluh seluruh persendiannya terasa nyeri khususnya pada daerah pinggang
sampai tungkai bawah dan badan juga terasa lemah. Sejak 3 hari yang lalu kepala OSI
sering pusing dan rasa tidak nyaman pada perut.

Akhirnya pasien datang ke

poliklinik Ibnu Sina untuk berobat setelah dirasakan demamnya tidak turun. Batuk
dan sesak tidak ada. Mual (+), nafsu makan menurun. BAB lancar, BAK biasa.
Riwayat menderita keluhan yang sama (-), riwayat keluarga/tetangga menderita
keluhan yang sama (-).
Obat yang diminum oleh Nn.FP adalah adalah Cefadroxil, Paracetamol, dan
lexavit. Cefadroxil adalah obat antibiotik golongan sefalosporin, pemberian antibiotik
ini untuk mengatasi penyebab dari penyakit ini, yaitu bakteri, pemberian cefadroxil
juga dikarenakan penggunaan kloramfenikol efeknya sangat besar terhadap depresi
sum-sum tulang . Pemberian paracetamol untuk demamnya dan bisa juga digunakan
untuk sakit-sakit persendiannya. Kemudian lexavit merupakan vitamin. Selain terapi
medikamentosa pasien juga diberi edukasi agar bmelakukan istirahat total berbaring
ditempat tidur hingga pasien bebas demam selama 5 hari, namun untuk menghindari
luka akibat baring terlalu lama, pasien hanya diperbolehkan merubah posisi miring
kiri dan miring kanan, selain itu pasien juga dihimbau agar menjaga sanitasi,
higienitas makanannya, karena penyebaran penyakit ini berasal dari makanan dan
minuman yang kurang bersih yang terkontaminasi, selain itu pasien juga tidak boleh
terlalu capek, karena kalau pasien terlalu capek makanya penyakitnya dapat timbul
kembali.

16

Hubungan psikologi pasien dengan anggota keluarga lainnya baik, rukun dan
harmonis. Lingkungan rumah bersih dan kurang tertata dengan baik. Sampah
tersimpan pada tempatnya.
Setelah melakukan kunjungan rumah dan dilakukan anamnesis serta
pemeriksaan fisis untuk kedua kalinya, didapatkan keluhan pasien sudah berkurang.
Walaupun demikian pasien masih dalam kondisi agak lemah. Demam dan rasa tidak
nyaman pada perut sudah berkurang. Pasien masih beristirahat di rumah.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Soeparman, Sukaton U. Demam Tifoid Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2.
Jilid I. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 1994.hal.32-38.
2. Salma, Ummu. Demam Tifoid [online] 2009 [Accessed Agustus 21, 2009];
Available from URL: http://www.journal.fkUNS.ac.id

18

Anda mungkin juga menyukai