PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Status Epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui
meningkat akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat. Ini berhubungan
dengan mortalitas yang tinggi dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap
tahunnya di USA mengakibatkan kematian.Secara definisi, SE adalah bangkitan
epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa
diselingi oleh masa sadar.1
Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab
paling sering adalah penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba.
Sedangkan penyebab lainnya adalah kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini
dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai
akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak,
cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan
metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria), defisiensi vitamin
B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan
sirkulasi, dan neoplasma. 2
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi
terus-menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat,
kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar dapat
terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan kematian.1
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena
SE juga berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada
penelitian
secara
epidemiologi. Sedangkan
data
secara
global
sendiri
menunjukkan bahwa SE terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan
paling sering terjadi pada anak-anak.2
Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode
SE. Risiko lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda,
genetik serta kelainan pada otak. Angka kematian pada penderita status
epileptikus pada dewasa sebesar 15%-20% dan 3%-15% pada anak-anak.
Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi akut berupa hipertermia, edema
paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular. Sedangkan untuk komplikasi
jangka panjangdari SE yaitu epilepsi (20% - 40%), ensefalopati (6% -15%) dan
defisit neurologis fokal (9%-11%).3
1.2.
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap
kasus status epileptikus secara menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan kasus status epileptikus ini dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus status epileptikus, terkait
pada kegiatan kepaniteraan.
1.3.
Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu tentang
kasus status epileptikus.
1.3.2. Manfaat Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang status epileptikus.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identifikasi
Nama Pasien
Umur
: An. NJ
: 7 tahun
: 50.91.58
MRS tanggal
: 14 November 2015
Ibu
Nama
Pendidikan
Umur
Pekerjaan
Agama
Penghasilan
: Ny. A
: SMP
: 31 tahun
: Buruh Lepas
: Islam
: < Rp.300.000 per bulan
Ayah
Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Penghasilan
: Tn. I
: 34 tahun
: Tukang Becak
: Islam
: 500.000/bulan
2.2. Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu os. 15 November 2015 pukul 09.00 WIB, rawat
hari ke 1 dengan perbaikan klinis.
A. Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
: Kejang
: Demam.
Jenis Imunisasi
Ya/Tidak
Hb0
Ya
BCG
Tidak
Polio 1
Polio 2
Tidak
Tidak
DPT1-HB1
Polio 3
Tidak
Tidak
DPT1-HB2
Polio 4
Tidak
Tidak
DPT3-HB3
Campak
Tidak
Tidak
6 bulan
: Merangkak
8 bulan
: Duduk
9 bulan
Kesan
H. Riwayat Gizi
Asi Eksklusif
: Sampai 6 bulan.
Asi
: Sampai 11 bulan.
Bubur Susu
Bubur Tim
Telur
Ayam , dagimg
Susu
Kesan
I. Riwayat Keluarga
Pendidikan orang tua
: SD dan SMP
Jumlah Saudara
:1
Pekerjaan orang tua :Buruh harian
Riwayat Penyakit
: Kakak os menderita epilepsi
Ket : Kakak os
Os
Kesadaran
Nadi
: 96 x/m
Pernafasan
: 22 x/m
Suhu
: 37,5 oC
Berat Badan
: 17 kg
Tinggi Badan
: 69,5 cm
BB/U
: 70%
TB/U
: 72,18%
BB/TB
: 90,47% SD
BBI
: 25 kg
Status gizi
: Gizi Baik
Lingkar Kepala
: 51 cm (0-2 SD)
B. Pemeriksaan Spesifik
Kepala
Leher
Thoraks
Jantung
Pulmo
Abdomen
Ekstremitas
Status Neurologis
Rangsang Meningeal :Kaku kuduk (-), Brudzinski I,II (-), Kernigs
sign (-), Lasegue sign (-)
2.4. Pemeriksaan Penunjang (Tanggal 14 November 2015)
PARAMETER
Hemoglobin
HASIL
NILAI NORMAL
11,8 g/dl
12 - 14 g/dl
Hematokrit
35 %
37 - 43 %
Leukosit
18.100/mm3
5.000 10.000/mm3
Trombosit
438.000/mm3
150.000 400.000/mm3
Diffcount
0/2/1/82/12/3
Basofil : 0-1%
Eosinofil :1-3%
Batang : 2-6%
Segmen : 50-70%
Limfosit : 20-40%
Monosit : 2-8%
HASIL
NILAI NORMAL
Leukosit
HASIL
NILAI NORMAL
8.500/mm3
5.000 10.000/mm3
2.8. Prognosis
Quo ad vitam
: Bonam
Quo ad functionam
: Bonam
2.9. Follow Up
Tanggal
15 November
2015
(Rawat hari 1)
Pemeriksaan Fisik
S:
Demam (-), Kejang (-)
O:
KU: baik
- HR : 102 x/m
- RR : 24 x/m
- Temp : 36,6 oC
Kepala :
CA(-/-), SI(-/-), NCH (+), bibir
sianosis (-)
Tindakan
P:
- IVFD D5 1/2 NS
gtt 15 x/m
(makro)
- Inj. Tirdicef
2x850 mg
- Inj. Diazepam
3x5,1 mg
- PCT oral 3x1cth
(bila demam)
Thorak :
Simetris, retraksi intercostal (-),
vesikuler (+) meningkat, rhonki
(-/-),wheezing (-/-), bunyi jantung
1-2 (+) normal, murmur sistolik (-),
gallop (-).
Abdomen :
Datar, lemas, BU (+) normal, turgor
kembali cepat, hepar lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Akral hangat , CRT < 2
16 November
2015
(Rawat hari 2)
A:
Status epileptikus pada epilepsi +
sepsis
S:
P:
Demam (-), Kejang (-)
- IVFD D5 1/2 NS
gtt 15 x/m
O:
(makro) (stop)
KU: baik
- Inj. Tirdicef
- HR : 94 x/m
2x850 mg (stop)
- RR : 22 x/m
- Inj. Diazepam
- Temp : 36,6 oC
3x5,1 mg (stop)
- PCT oral 3x1cth
Kepala :
CA(-/-), SI(-/-), NCH (+), bibir
sianosis (-)
Thorak :
Simetris, retraksi intercostal (-),
vesikuler (+) meningkat, rhonki
(-/-),wheezing (-/-), bunyi jantung
1-2 (+) normal, murmur sistolik (-),
gallop (-).
(bila demam)
As. Valproat oral
2x100 mg
Cek ulang
leukosit
Rencana EEG
Besok pulang
Abdomen :
Datar, lemas, BU (+) normal, turgor
kembali cepat, hepar lien tidak
teraba, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Akral hangat , CRT < 2
Laboratorium :
CRP Kuantitaif : <5 mg/l
17 November
2015
(Rawat hari 5)
A:
Status epileptikus pada epilepsi +
sepsis
S:
P:
Demam (-), Kejang (-)
- PCT oral 3x1cth
O:
(bila demam)
KU: Baik
- As. Valproat oral
- HR : 104 x/m
2x100 mg
- RR : 22 x/m
- EEG batal,alat
- Temp : 36,5 oC
rusak
- Boleh pulang
Kepala :
CA(-/-), SI(-/-), NCH (+), bibir
sianosis (-)
Thorak :
Simetris, retraksi intercostal (-),
vesikuler (+) meningkat, rhonki
(-/-),wheezing (-/-), bunyi jantung
1-2 (+) normal, murmur sistolik (-),
gallop (-).
Abdomen :
Datar, lemas, BU (+) normal, turgor
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.1
Etiologi 1,4
1.2.
11
berulang
serta
ketidakteraturan
dalam
meminum
obat
antikonvulsan.
1.3.
Patofisiologi 1,4,5,6
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk
Hipertensi, hiperpireksia
12
Depresi pernafasan
Hipoglikemia, hiponatremia
Manifestasi Klinis1,2,4,6
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
1.4.
13
14
Benzodiazepin
intravena didapati.
f
sadar,
dijumpai
perubahan
kepribadian
dengan
terganggu.
Pada
menunjukkan periodic
EEG
lateralized
15
sering
tetapi
epileptiform
tidak
selalu
discharges pada
frontalis
di
satu
sisi,
tetapi
bangkitan
epilepsi
sering
Pre status
Early status
Established status
Refractory status
Subtle
Diagnosis 2,7,8
Anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang,
sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara
kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga,
demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang
diderita.
16
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan
dan pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema
akibat peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem
motorik yaitu parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi
ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi,
maka dilakukan kultur darah dan
b. imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural
di otak
c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat
mungkin jika pasien mengalami gangguan mental
d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS
atau perdarahan subarachnoid.
1.6.
Penatalaksanaan5,6,9
Tatalaksana pada status epileptikus adalah memanajemen jalan napas dan
17
18
1.7.
Komplikasi
1. Status epilektikus refrakter
2. Asidosis
3. Hipoglikemia
4. Hiperkarbia
5. Hipertensi pulmonal
6. Edema paru
7. Hipertermia
19
1.8
Prognosis6
Luaran pasien anak dengan SE sangat ditentukan oleh kecacatan dan
kematian yang ditimbulkan. Angka kematian SE pada anak masih tinggi, dengan
penyebab utama kematian adalah infeksi intrakranial dan gangguan neurologi
berat sebagai penyakit yang mendasarinya. Waslon (2010) melaporkan bahwa SE
refrakter yang bertahan hidup memiliki banyak kecacatan di bidang neurologi
termasuk salah satunya adalah epilepsy. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
faktor umur, status neurologi sebelumnya dan etiologi SE yang mendasari
merupakan faktor resiko kematian pada SE. Resiko berulangnya SE dalam 1 tahun
pertama adalah 11-16%, sementara pada 2 tahun pertama sebesar 18%.
Angka kematian bayi dan anak akibat SE saat ini cenderung mengalami
penurunan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh penanganan yang lebih baik dan
ketersediaan fasilitas ruang intensif yang semakin memadai.
BAB IV
ANALISA KASUS
Anak perempuan, 7 tahun, BB 17 kg, datang ke IGD RSUD Palembang
BARI dengan keluhan kejang sejak 2 jam SMRS. Kejang dirasakan tiba-tiba.
20
Kejang terlihat kelonjotan separuh badan sebelah kiri, mata mendelik keatas.
Kejang dirasakan satu kali selama 30 menit. Sebelum dan saat kejang os tidak
sadarkan diri. Os dibawa ke prakter dokter spesialis anak dan diobati dengan
diazepam supositoria satu kali, kejang berhenti. Setelah kejang os tidak sadarkan
diri. Lidah os berdarah karena tergigit.
Berdasarkan umurnya, anak diatas 7 tahun dapat dipikirkan kejang lain
selain kejang kejang demam. Karena kejang demam sebagian besar terjadi pada
umur 2 bulan - 5 tahun namun tidak menutup kemungkinan terjadi lebih dari usia
tersebut. Sehingga dapat dipikirkan bahwa kejang yang terjadi tidak terjadi karena
faktor pencetus demam.
Berdasarkan definisinya, status epileptikus adalah sebagai keadaan dimana
terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran
diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Dari
anamnesis didapatkan kejang yang terjadi secara tiba-tiba. Kejang terjadi selama
kurang lebih 30 menit. Sehingga hal ini sudah dapat dikatakan sebagai status
epileptikus. Pada pasien ini status epileptikus masih termasuk dalam fase
terkompensasi atau early status.
Pada pemeriksaan fisik, pasien sudah kembali ke kesadaran normalnya
kembali. Pasien sudah tidak kejang lagi karena sudah ditatalaksana kejang yaitu
pemberian diazepam perrectal. Pada 4 hari SMRS os memang mengalami demam
namun keluhannya sudah berkurang setelah minum obat dari puskesmas namun
pada saat os datang suhu tubuh os sedikit meningkat.
Pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan defisit neurologi, baik yang
nyata maupun tidak nyata. Rangsangan meningeal pun tidak didapatkan pada os.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi meningitis pada pasien ini.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Leukosit 18.100/mm 3,
CRP Kuantitatif <5 mg/l. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan terjadi
leukositosis dan CRP (+) berarti terjadi proses respon infeksi atau inflamasi.
Dari pemeriksaan fisik (suhu tubuh meningkat) serta konfirmasi dari
laboratorium (leukositosis dan CRP(+) 110) sehingga dapat disimpulkan bahwa os
mengalami sepsis.
21
Gambaran EEG pada pasien ini mungkin akan seperti gambaran EEG diatas.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD D5 1/2 NS, ini
digunakan untuk cairan maintenance. Pemberian paracetamol juga diperlukan
untuk menghilangkan keluhan simptomatisnya yaitu demam dengan dosis 3x250
mg yang mana dosis paracetamol pada anak ialah 10-15cc/kgBB. Terapi etiologik
berupa antibiotik sefalosporin, Tirdicef (Cefotaxim) 3x850 mg. Menurut penyaji
hal ini sesuai untuk pasien dengan teori dimana pasien sepsis ditatalaksana dengan
sefalosporin generasi IV. Pemberian diazepam dengan dosis 2x5,1mg IV sudah
tepat, dosisnya yaitu 0,3-0,5 mg/kgBB. Hal ini diberikan untuk mencegah kejang
terjadi kembali.
Setelah pasien stabil diberikan Asam Valproat, hal ini sudah sesuai dengan
teori, bahwa pasien dengan epilepsi ataupun kejang demam diberikan obat
maintence. Obat maintence diberikan dengan dosis rendah. Obat-obat yang dapat
diberikan antara lain Karbamazepin, Asam Valproat, Difenilhidantoin dan
Fenobarbital. Pemilihan Asam Valproat sudah benar, bukan hanya karena asam
valproat dapat menatalaksana seluruh jenis kejang namun juga efek samping obat
22
yang tidak begitu berarti pada anak. Pada obat selain asam valproat dapat
mengakibatkan mengantuk pada pasien yang akan berujung pada prestasi belajar
yang menurun. Obat ini diberhentikan secara perlahan-lahan setelah 2 tahun bebas
kejang.
Selain tatalaksana pada os, keluarga os juga sudah diberikan edukasi
antara lain memberitahu cara penanganan kejang dirumah, memberikan infomasi
bahwa kejang mungkin akan berulang dan durasi pemberian obat.
Prognosis pada pasien ini bonam, karena tidak ada infeksi berat yang
mendasarinya dan tidak adanya defisit neurologis.
23