Anda di halaman 1dari 6

A.

POSISI KASUS
Indonesia merupakan negara yang berdaulat mempunyai kewajiban untuk melindungi
seluruh warga negaranya yang disebut juga dengan Asas Nasionalitas. Asas Nasionalitas ini
terdapat dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan
bahwa Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Pemegang Hak Milik
tersebut memiliki hak untuk mempergunakan tanah miliknya, artinya pemegang hak tersebut
dapat secara bebas memindahtangankan tanahnya dengan cara menjualnya kepada orang lain,
mewariskan, menghibahkan, dan menukarkan, karena hak milik memiliki sifat kebendaan.
Kota Bali menjadi salah satu tujuan pariwisata bagi mancanegara, telah memiliki
rencana induk pembangunan ekonomi dan konsep dasar pengembangan pariwisata. Semakin
meningkatnya pembangunan ekonomi dan pengembangan pariwisata berupa pembangunan
fisik sangat memerlukan penyediaan dan pengadaan tanah seperti misalnya untuk
pembangunan hotel-hotel, penginapan-penginapan, tempat-tempat rekreasi dan sarana
penunjang lainnya.
Secara Yuridis Formil Warga Negara Asing (WNA) tidak dapat memiliki tanah yang
berstatus Hak Milik di Indonesia, dalam praktiknya banyak terjadi di Bali selama ini bahwa
orang asing dapat melakukan pembelian tanah yang berstatus Hak Milik dengan meminjam
nama seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia (warga Bali) dan dibuat perjanjian
utang piutang yang seolah-olah orang yang dipinjam namanya tersebut telah berhutang
kepada orang asing dengan menjadikan tanah yang dibeli tersebut sebagai jaminan utangnya.
Peranan notaris/PPAT menjadi sangat penting, terutama adanya kemungkinan
penggunaan akta-akta otentik tersebut sebagai sarana yang dilakukan oleh para pihak (orang
asing dan orang berkewarganegaraan Indonesia yang dipinjam namanya) untuk melakukan
penyelundupan hukum mengenai pemilikan/penguasaan tanah. Sebagaimana diketahui bahwa
jika orang asing bermaksud untuk memiliki tanah di Bali maka jalan pintas yang ditempuh
adalah dengan memakai nama warga negara Indonesia (warga Bali) untuk tercatat sebagai
pemilik/pemegang hak atas tanah berdasarkan sertipikat.
Notaris membuatkan surat-surat lainnya sebagai pegangan bagi warga negara asing
selaku pembeli yang sebenarnya yaitu berupa akta Pengakuan Utang, Surat Kuasa Menjual,
akta Pengikatan Jual Beli, Surat Pernyataan dan lain-lain. Perjanjian-perjanjian (Notariil)

tersebut di atas secara yuridis formil tidak melanggar aturan namun secara materiil
sebenarnya telah terjadi pemindahan hak milik secara terselubung, yang jelas merupakan
penyeludupan hukum.
Adanya kecenderungan seseorang untuk memiliki hak atas tanah yang berstatus hak
milik karena merupakan hak yang terkuat dan terpenuh serta tidak ada kedaluwarsanya. Hal
inilah yang menyebabkan seseorang akan berupaya mengambil jalan pintas agar dapat
menguasai hak milik atas tanah dengan suatu perbuatan hukum yang bersifat penyamaran
atau pura-pura dan dikualifikasikan sebagai penyelundupan hukum. Hal ini jelas
mengabaikan asas itikad baik dan nasionalitas yang terkandung di dalam UUPA. Ada
kecenderungan pemahaman bahwa yang dilarang adalah memiliki sedangkan menguasai
tidak ada larangan. Sehingga dibuatlah suatu perjanjian pinjam nama yang dikenal dengan
istilah perjanjian nominee.
Perjanjian Nominee yang dibuat oleh Notaris, bisa dikatakan perjanjian simulasi
(Perjanjian pura-pura) yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam hal ini Warga Negara Asing
(WNA) dengan Warga Negara Indonesia (WNI) ataupun WNI dengan WNI yaitu, seolah-olah
terjadi perjanjian, namun sebenarnya secara rahasia setuju perjanjian itu tidak berlaku, ini
dapat terjadi dalam hubungan hukum antara mereka tidak ada perbuatan apa-apa atau dengan
perjanjian pura-pura itu akan berlaku hal lain.
Jadi ada pertentangan antara kehendak dari para pihak dengan kenyataan, sehingga
perjanjian itu dapat batal demi hukum berdasarkan pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab yang
terlarang,dan pihak ketiga yang dirugikan dapat membatalkan hal ini.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENYELUNDUPAN HUKUM YANG DILAKUKAN


OLEH NOTARIS
Pembuatan akta otentik yang dilakukan oleh notaris dapat dijadikan sebagai alat
pembuktian dimuka persidangan apabila terjadi sengketa diantara para pihak. Dalam
persengketaan tersebut tidak menutup kemungkinan melibatkan notaris yang membuat akta
otentik dan atas keterlibatannya itu notaris harus ikut bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya. Hal demikian juga berpotensi menjadikan seorang notaris berposisi sebagai
tergugat, turut tergugat atau sebagai terdakwa dalam suatu perkara di sidang pengadilan.

Salah satu akibat hukum yang timbul terhadap perbuatan yang menggunakan
perjanjian nominee ini adalah batal demi hukum dan selanjutnya tanah tersebut jatuh menjadi
tanah yang
langsung dikuasai oleh negara. Hal ini tentu sangat merugikan orang asing yang telah
mengeluarkan dananya untuk berinvestasi. Disisi lain, kedudukan hukum orang asing juga
dapat dipersoalkan sendiri oleh pihak WNI yang dipinjam namanya. Meskipun secara nyata
WNI tersebut tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk melakukan pembelian tanah
tersebut, namun secara yuridis formil tanda bukti hak berupa sertipikat adalah tercatat atas
nama WNI. Sehingga WNI yang dipakai namanyalah yang diakui sebagai pemilik/pemegang
hak atas tanah hak milik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan hukum yang terjadi diantara para pihak (WNI dan WNA) tersebut dapat
terjadi jika salah satu pihak mengajukan tuntutan hukum terkait dengan pembuatan akta-akta
yang melandasi hubungan hukum diantara mereka. Namun jika diantara WNI dan WNA tidak
ada yang saling mempersoalkan maka konstruksi hukum yang dibuat akan berjalan dengan
aman sebagaimana tujuan dari orang asing tersebut yaitu untuk menguasai atau memiliki
tanah hak milik.
Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah memberikan
kemungkinan bagi warganegara asing memiliki tanah yang dilarang UUPA adalah dengan
jalan Meminjam nama (Nominee) warga negara Indonesia dalam melakukan jual beli,
sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan.
Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut mengenai pasal 1320 KUH Perdata mengenai
sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan bahwa suatu sebab yang terlarang maka
dilihat dari pasal 26 ayat (2) UUPA yangmenyatakan bahwa

Mengapa Notaris melakukan penyelundupan hukum tersebut?


Karena notaris yang membuat akta nominee tersebut berpendapat bahwa notaris
sebagai pejabat umum sesuai dengan praktiknya sekarang, hanya mempunyai wajib
untuk mencatat apa yang secara formal diajukan oleh para pihak atau dengan kata lain
seorang notaris tidak perlu mengetahui kebenaran materiil dari hal-hal yang diajukan
oleh para pihak. Padahal kalau diperhatikan bahwa suatu akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, maka hal ini tidak lagi dapat dibenarkan.

faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan WNA memilih menguasai tanah di


Indonesia dengan jalan Pinjam nama (Nominee) dapat dibagi menjadi 2 diantaranya adalah:
1. Faktor Hukum
Adapun faktor hukum ini ialah segala penyebab terjadinya kecenderungan dari WNA
untuk menguasai tanah di Indonesia dengan tanpa melalui prosedur hukum atau ketentuan
yang berlaku di indonesia. Faktor- faktor tersebut diantaranya ialah:
a. Faktor Kurangnya kesadaran dan Pengetahuan hukum.
Tidak semua warganegara tahu dan faham tentang semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku di indonesia namun seluruh warga negara di anggap harus tahu atau namun
realitanya di masyarakat hanya segelintir orang saja yang faham hukum. Tentang
kesadaran hukum dan nasionalisme, tentunya itu personal masing-masing orang namun
ketika kesadaran hukum dan nasionalisme telah di sandingkan dengan kepentingan lebihlebih lagi kepentingan itu adalah kepentingan financial maka tak bisa di jamin lagi
kesadaran dan nasionalismenya masih dipegang teguh.
2. Faktor Non Hukum
Faktor Non hukum ialah segala hal penyebab kecenderungan WNA ingin menguasai
tanah di Indonesia dengan pinjam nama (nominee) dengan alasanalasan yang diluar dari
ketentuan hukum. Adapun faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Ekonomi.
Pada setiap perjanjian pinjam nama (nominee), para pihak yang di antaranya adalah
WNI, WNA dan Notaris sama-sama di untungkan dari segi ekonomi. WNI di untungkan
dengan imbalan yang di terima atas jasa pinjam nama yang di berikan serta pada setiap
transaksi penjualan tanah tersebut akan mendapatkan bonus atau fee penjualan. Begitupula
pihak WNA yang dengan mudah mendapatkan legalitas penguasaan tanah yang tidak ada
batas waktunya dengan biaya relatif murah dan tidak perlu membayar uang pemasukan bagi
negara.
Notaris dalam hal ini sudah jelas mendapatkan keuntungan secara financial dengan
telah menerbitkan perjanjian pinjam nama antara para pihak. Tidak berfungsi Notaris secara
baik sebagai konsultan hukum yang menjelaskan serta mengarahkan Warga Negara indonesia
untuk mengikuti peraturan yang berlaku atas dasar ketidaktahuan, azas kebebasan berkontrak
dan berorientasikan bisnis jual beli legalisasi kontrak yang melanggar hukum.
b. Faktor Administratif

Setiap pengajuan Hak Pakai atas tanah harus melalui pembuatan akta di Notaris dan
pendaftaran melalui Badan pertanahan Nasional (BPN) sehingga secara pengurusan
administratif agak lebih rumit daripada perjanjian pinjam nama (Nominee). Belum lagi
kebiasaan aparatur pemerintah kita yang sering melakukan pungutan-pungutan liar di luar
dari ketentuan yang berlaku sehingga membuat warga negara asing akan mengeluarkan uang
extra untuk pengurusan dukument dan persyaratan-persyaratan hak pakai tersebut.
c. Faktor Lemahnya Aparatur Pemerintah
Pemerintah selaku pelaksana dan pengawas peraturan tidak menjalankan perannya
secara baik. Peran pencegahan dan pengawasan tidak dilakukan. Misalnya pengecekan
tentang kepemilikan dan penguasaan tanah di setiap wilayah dan apabila ditemukan gejalagejala penyelundupan hukum maka seharusnya segera di beri tidakan dan sanksi tegas
sehingga hukum kita tidak menjadi bahan permainan dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Sengketa pertanahan di indonesia bukanlah hal yang baru dan masih
terjadihingga kini.
Pada awalnya sengketa pertanahan hanya terjadi antara pihak perseorangan, tetapi
saat ini sengketa pertanahan sudah terjadi disemua sektor kehidupan masyarakat dan kasuskasusnya pun sangat bervariasi satu dengan yang lainnya.
Adapun sengketa-sengketa yang terjadi diantara para pihak yang merasa dirugikan dalam
kasus kasus seperti diatas dapat menuntut keadilan dengan ganti rugi sesuai dengan kerugian
yang dideritanya. Penelesaian sengketa tanah dapat di lakukan melalui 2 (dua) cara yaitu
Litigasi dan Non Litigasi:
Adapun cara-cara penyelesaian sengketa tersebut ialah:
1. Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak
tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihakdari Kepala Badan Pertanahan
Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya
harus melalui pengadilan.
2. Solusi melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat
(perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan
Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telahditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha
Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
3. Mediasi Dan Negosiasi

Mediasi dan Negosiasi pada intinya adalah a process of negotiations facilitated by a third
person who assist disputens to pursue a mutually agreeable settlement of their conlict.
Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni
waktunya singkat, terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi
yang melibatkan peras serta para pihak secara aktif.
Mediasi dan Negosiasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan
upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa
tekanan atau paksaan. Dengan demikian,solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win
solution. Upaya untuk mencapai win-win solution ditentukan oleh beberapa faktor di
antaranya proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima
oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan dengan catatan bahwa
pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik.

Anda mungkin juga menyukai