TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
PEDOMAN DIAGNOSIS
&
PENATALAKSANAAN
DI INDONESIA
1. PENDAHULUAN
2. PATOGENESIS
3. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
4. DIAGNOSIS
5. PENGOBATAN TUBERKULOSIS
6. RESISTEN
GANDA / MULTI DRUG RESISTANCE (MDR)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8
juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti
terlihat pada tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat
di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002
Jumlah kasus
(Ribu)
Pembagian daerah WHO Semua kasus (%)
Sputum positif
Afrika
Amerika
Mediteranian timur
2354 (26)
370 (4)
622 (7)
1000
165
279
Sputum positif
350
43
124
Eropa
472 (5)
211
54
Asia Tenggara
2890 (33)
1294
182
Pasifik Barat
2090 (24)
939
122
Global
8797 (100)
2887
141
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB.
Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
B.
C.
DEFINISI
Tuberkulosis
adalah
tuberculosis complex
penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi Mycobacterium
BIOMOLEKULER M.Tuberculosis
Morfologi
dan
Struktur
Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak
berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosisbersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan
larutan
asam
alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan
menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat
molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan
spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigenM.
tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).
Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein
MTP
40
dan
lain
lain.
Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin
(G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen
dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan
sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II
merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah
sikuen
DNA
ulangan
seperti
elemen
sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat misalnya
protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG
menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12
sedangkan
gen
rpoB
menyandi
RNA
polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam
mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen
tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP (dikutip dari 11).
BAB II
PATOGENESIS
A.
TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution
1.
ad integrum)
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
2.
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a
. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi
pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal
sebagai epituberkulosis.
b
. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya atau tertelan
c
. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis
pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :
B.
TUBERKULOSIS POSTPRIMER
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama
yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni
kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1.
Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2.
Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya
akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3.
Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
BAB III
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A.
TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1.
pengobatan
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e
. Kasus kronik
BAB IV
DIAGNOSIS
A.
GAMBARAN KLINIK
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1.
Gejala respiratorik
2.
3.
- batuk 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar.
Gejala sistemik
- Demam
- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia
dan berat badan menurun
Gejala tuberkulosis ekstraparu
c.
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman
tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada
beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak
yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth
indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu
alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan (dikutip dari
13)
Bentuk lain teknik ini adalah dengan
menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah
uji
serologi
untuk
mendeteksi
antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang
berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya
antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam
bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis
kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan
ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan
positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal
satu
dari
empat
garis
antigen
pada
membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik.
Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan
bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM
dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit,
maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat
dideteksi
dengan
mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena
banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi.
e. Uji
serologi
yang
baru
/
IgG
TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara
mendeteksi
antibodi
IgG
dengan
antigen
spesifik
untuk Mycobacterium tuberculosis.Uji IgG berdasarkan antigen
mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan
kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan
spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri,
metode imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk
mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk
diagnosis
TB
pada
anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura
perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan
kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
4. Uji tuberkulin
BAB V
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4
atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
A.
2.
INH
Rifampisin
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
o
o
o
o
o
Kapreomisin
Sikloserino
PAS (dulu tersedia)
Derivat rifampisin dan INH
Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
- Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol.
- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu
tablet
Dosis OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Ob
at
Dosis
(Mg/K
g
BB/Ha
ri)
Dosis yg dianjurkan
Harian (
mg/
kgBB / h
ari)
Intermitten (mg/Kg/B
B/kali)
DosisM
aks
(mg)
Dosis (mg) /
berat badan (kg)
< 40 40- >6
60
0
8-12
10
10
600
300
4-6
10
300
150
20-30
25
35
750
15-20
15
30
750
15-18
15
15
1000
Sesu
ai
BB
45
0
30
0
10
00
10
00
60
0
45
0
15
00
15
00
75
0
10
00
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap
berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara
lain:
1.
Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2.
Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3.
Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4.
Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5.
Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif
Fase lanjutan
2 bulan
4 bulan
BB
B.
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3x/minggu
RHZE
RHZ
RHZ
RH
RH
150/75/400/27
150/75/40
150/150/50
150/7
150/150
5
0
0
5
30-37
2
2
2
2
2
38-54
3
3
3
3
3
55-70
4
4
4
4
4
>71
5
5
5
5
5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu
menanganinya.
PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH
atau
: 2 RHZE/ 6HE
atau
2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
: 6 RHE atau
2 RHZE/ 4R3H3
TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.
TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan
2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil
uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji
resistensi terhadap OAT.
TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.
Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Kasus
- TB paru BTA +,
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
BTA - , lesi
luas
II
C.
Keterangan
- Kambuh
Gagal
pengobatan
Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2.
Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis
ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini
terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini
harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3.
Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4.
Etambutol
Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat
pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan
diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi)
seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
Efek samping
Kemun
gkinan
Penye
bab
Minor
Tatalaksan
a
OAT
diteruskan
Rifampisin
Nyeri sendi
Pyrazinami
d
INH
Rifampisin
Mayor
Gatal dan
kemerahan pada
kulit
Tuli
Streptomisin
Gangguan
keseimbangan
(vertigo dan
nistagmus)
Ikterik / Hepatitis
Imbas Obat
(penyebab lain
disingkirkan)
Streptomisin
Muntah dan
confusion
Obat
diminum
malam
sebelum
tidur
Beri
aspirin
/allopurinol
Beri vitamin
B6
(piridoksin)
1 x 100 mg
perhari
Beri
penjelasan,
tidak perlu
diberi apaapa
Hentikan
obat
Beri
antihistamin
dan
dievaluasi
ketat
Streptomisi
n dihentikan
Streptomisi
n dihentikan
Hentikan
semua OAT
sampai
ikterik
menghilang
dan boleh
diberikan
hepatoprote
ktor
Hentikan
semua OAT
D.
Etambutol
Rifampisin
dan lakukan
uji fungsi
hati
Hentikan
etambutol
Hentikan
rifampisin
D.
E.
TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a.
Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b.
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a.
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b.
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c.
Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
BAB VI
RESISTEN GANDA (Multi Drug Resistance/ MDR)
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan
atau tanpa OAT lainnya
Secara
umum
resistensi
terhadap
obat
tuberkulosis
dibagi
menjadi
:
- Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
- Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada
riwayat
pengobatan
sebelumnya
atau
tidak
- Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% 90% dalam waktu hanya 4
sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta
orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis.
TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
- Pemakaian
obat
tunggal
dalam
pengobatan
tuberkulosis
- Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di
lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap
kedua
obat
tersebut
sudah
cukup
tinggi
- Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali
selama
dua
atau
tiga
bulan
lalu
stop
lagi,
demikian
seterusnya
- Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB
telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat
hanya
akan
menambah
panjang
daftar
obat
yang
resisten
- Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu
bioavailabiliti
obat
- Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya
sampai
berbulan-bulan
- Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan
- Pengetahuan
pasien
kurang
tentang
penyakit
TB
- Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan
Tuberkulosis
Resisten
Ganda
(MDR)
Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
1.
Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang
bekerja pada pH asam
2.
Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
3.
Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat
digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
Pada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis
OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang
berpotensi
terjadi
resistensi
silang.
- Tionamid
dan
tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara
tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya
masih sensitif terhadap etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid
dan proteonamid biasanya juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70%
kasus.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan
amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang
terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan
resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin,
amikasin
biasanya
masih
sensitif
terhadap
kapreomisin.
. Resisten
terhadap
streptomisin
gunakan
kanamisin
atau
amikasin
. Resisten
terhadap
kanamisin
atau
amikasin
gunakan
kapreomisin
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa
kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di
masa
datang.
- Sikloserin
dan
terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan
obat
golongan
lain.
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR-TB.
Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi
dengan
menggunakan
minimal
4
OAT
masih
sensitif
- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon, aminoglikosida, etionamid,
sikloserin,
klofazimin,
amoksilin+
as.klavulanat
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT lini 1
ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau
ofloksasin 600 800 mg (obat dapat diberikansingle dose atau 2 kali sehari)
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu
yang
lama
yaitu
minimal
18
bulan
- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien
non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat
pada
65%
kasus
dan
kesembuhan
pada
56%
kasus.
- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah
satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short
Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.
- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB
Tabel 6. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB
Tingkatan
Obat
Dosis
harian
Aktiviti antibakteri
Aminoglikosid
a. Streptomisin
b. Kanamisin atau
amikasin
c. Kapreomisin
15 mg/kg
Bakterisid
menghambat
organisme yang
multiplikasi aktif
Thiomides
(Etionamid
protionamid)
10-20
mg/kg
Bakterisid
Pirazinamid
20-30
Bakterisid pada pH
20-30
5-7.5
10-15
4-8
7.5-10
mg/kg
asam
Ofloksasin
7.5-15
mg/kg
Bakterisid mingguan
Etambutol
15-20
mg/kg
Bakteriostatik
2-3
Sikloserin
10-20
mg/kg
Bakteriostatik
2-4
PAS asam
10-12 g
Bakteriostatik
100
2.5-5
BAB VII
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
Tanda / gejala meningitis
Sesak napas
Tanda / gejala toksik
Demam tinggi
B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat: 2RHZE/4RH.
- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat
diberikan kortikosteroid
- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
C. TB
PARU
DENGAN
DIABETES
MELITUS
(DM)
- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula
darah
terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan
sampai
9
bulan
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata;
sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektiviti obat oral
antidiabetes
(sulfonil
urea),
sehingga
dosisnya
perlu
ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi
dini
bila
terjadi
kekambuhan
D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan
koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB
pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang
rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan
dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan
riwayat
risiko
tinggi
terpajan
HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja yang
memerlukan
uji
HIV,
misalnya:
a. Ada
riwayat
perilaku
risiko
tinggi
tertular
HIV
b. Hasil
pengobatan
OAT
tidak
memuaskan
c. MDR
TB
/
TB
kronik
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah
pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4.
Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Sputum mikroskopis
TB ekstra pulmonal
Mikobakterimia
Tuberkulin
Foto toraks
Adenopati hilus/
mediastinum
Efusi pleura
Infeksi dini
(CD4>200/mm3)
Sering positif
Jarang
Tidak ada
Positif
Reaktivasi TB, kaviti di puncak
Tidak ada
Infeksi lanjut
(CD4<200/mm3)
Sering negatif
Umum/ banyak
Ada
Negatif
Tipikal primer TB milier / interstisial
Ada
Tidak ada
Ada
Rejimen yang
dianjurkan
Mulai terapi TB
Mulai ART segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 2 bulan)
Paduan yang
mengandung EFVb,c.d
CD4 200-350/mm3
Mulai terapi TB
CD4>350 mm3
CD4 tidak
mungkin diperiksa
Mulai terapi TB
Mulai terapi TB
Keterangan
Dianjurkan ART:
EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau perempuan
usia subur tanpa kontrasepsi efektif.
EFV dapat diganti dengan:
- SQV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
- SQV/ r 1600/200 4 kali
sehari (dalam formula soft
gel-sgc) atau
- LPV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
ABC
Pertimbangan ART
- Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase
intensif (mulai lebih dini dan bila penyakit berat):
Paduan yang mengandung EFV:b
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari) atau
- Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan
tidak menggunakan rifampisin (AZT atau d4T) + 3TC+NVP
Tunda ART
Perimbangan ART
Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan dengan
adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART harus diberikan
secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau cgc 1600/200 1
kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300 mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari) sebagai
pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung NVP adalah
d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan perbaikan
setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1
jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan
bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan
kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar
nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
Jenis ART
Tabel 9. Obat ART
Golongan Obat
Nukleosida RTI (NsRTI)
Abakavir (ABC)
Didanosin (ddl)
Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)
Zidovudin (ZDV)
Nukleotida RTI
TDF
Non nukleosid RTI (NNRTI)
Efavirenz (EFV)
Nevirapine (NVP)
Protease inhibitor (PI)
Indinavir/ritonavir (IDV/r)
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
Nelfinavir (NFV)
Saquinavir/ritonavir (SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
Dosis
300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari
250 mg 1x/hari (BB<60 Kg)
150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari
40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 Kg)
300 mg 2x/hari
300 mg 1x/hari
600 mg 1x/hari
200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari
800 mg/100 mg 2x/hari
400 mg/100 mg 2x/hari
1250 mg 2x/hari
1000mg/ 100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1x/hari
Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml.
BAB VIII
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau
dalam
masa
pengobatan
maupun
setelah
selesai
pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
BAB IX
Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat jika timbul
Mencegah resistensi
B. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
Pasien
berobat
jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial
dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,
sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat
dengan
rumah
pasien
TB
untuk
pelaksanaan
DOT
ini
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO
1.
Petugas kesehatan
2.
Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3.
Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien
dirawat
:
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit,
selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
C.
Langkah
Pelaksanaan
DOT
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan
penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik
untuk mendapat penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama
pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS.
PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik
F.
Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan
secara
:
Peroranga/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit
rawat
jalan,
di
apotik
saat
mengambil
obat
dll
Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga
pasien,
masyarakat
pengunjung
rumah
sakit
dll
Cara
memberikan
penyuluhan
.
Sesuaikan
dengan
program
kesehatan
yang
sudah
ada
.
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya
sebagai
bahan
untuk
penatalaksanaan
selanjutnya
.
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
.
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu
dengan
alat
peraga
(brosur,
leaflet
dll)
PENCATATAN
DAN
PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam
sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan
dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang
sudah
baku
pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa
item/formulir
yaitu
:
1. Kartu
pengobatan
TB
(01)
2. Kartu
identiti
penderita
TB
(TB02)
3. Register
laboratorium
TB
(TB04)
4. Formulir
pindah
penderita
TB
(TB09)
5. Formulir
hasil
akhir
pengobatan
dari
penderita
TB
pindahan
(TB10)
Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional
(P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register
TB
(TB03).
Catatan
:
. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan
pasien
tersebut
harus
dicatat
sebagai
pasien
TB
paru.
. Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu
pada
organ
yang
penyakitnya
paling
berat
. Contoh formulir terlampir
LAMPIRAN
LAMPIRAN I
LAMPIRAN II
.INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang
melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang consisten
dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru
di launching pada bulan februari 2006 serta akan segera dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar yaitu 6 estndar untuk
diagnosis , 9 estndar untuk pengobatan dan 2 standar yang berhubungan dengan
kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar tersebut adalah :
1.
Setiap individu dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih
yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk
tuberkulosis
2.
Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan
anak anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani
pemeriksaan sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2
kali dan sebaiknya 3 kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali
pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3.
Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa,
remaja dan anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang
didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan
sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan
histopatologi
4.
Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB
harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5.
Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut :
negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1
kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan
TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb
sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada
kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien
denagn atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan.
6.
Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada
anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai
dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji
tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien
demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari
bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi
sputum.
7.
Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan
fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan
obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat
sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap
rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat
menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8.
Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati
harus diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara
internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah
diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan
12.
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi
dengan kemungkinan co infeksi TB-HIV, maka konseling dan
pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai
bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens
HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi
pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat
risiko tinggi terpajan HIV.
13.
Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah
mempunyai indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa
pemberian OAT.Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat
antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara
bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral
maka dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang
tersebut sebelum pengobatan dimulai, tanpa perlu
mempertimbangkan penyakit apa yang muncul lebih dahulu.
Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda.
Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai
profilaksis untuk infeksi lainnya.
14.
Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan
pada semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin
sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada
pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan
kultur dan uji sensitifity terhadap INH, rifampisin dan etambutol.
15.
Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus
terdiri atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam
obat yang diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama
paling kurang 18 bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan
pengukuran yang berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan
pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16.
Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan
bahwa individu yang punya kontak dengan pasien TB harus
dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang
HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya
kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk
pemeriksaan TB yang laten maupun yang aktif
17.
Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun
kasus pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada
kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum
dan kebijakan yang berlaku
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO Tuberculosis Fact Sheet no. 104. Available at:
http//www.who.Tuberculosis.htm. Accesed on March 3, 2004.
2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.
3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam:
Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan
diagnostik dan terapi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005.
5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan
laboratorium tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Laboratoirum
Mikrobiologi RS Persahabatan dan WHO Center for Tuberculosis,
2002.
6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial
disease. In: Murray JF, Nadel JA. Textbook of respiratory medicine
2nd ed. Philadelphia, WB Saunders Co, 1994;1095-100.
7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical
microbiology 3rd ed. New York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.
8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of
Mycobacterium tuberculosis. In: Bloom BR. Tuberculosis.
Washington DC, ASM Preess, 1994;285-301.
9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial
disease. Am Rev Respir Dis 1986;134:1062-71.
10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium
Tuberculosis. In: In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM
Preess, 1994;307-32.
11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi
berantai Polimerasa / Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis
Akhir Bidang Ilmu Kesehatan Ilmu Biomedik Program Pasca
Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.
12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba
colletion of medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company,
1979:189.
13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan
resistensi multi obat (MDR-TB). Kumpulan naskah ilmiah
tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional Tuberkulosis PDPI,
Palembang 1997.
14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14.
15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis
test in China, 1997;1-9.
16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical
evaluation of a rapid immunochromatographic assay based on the
38 kDa antigen of Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle
Lung Dis 1996;77:363-8.
17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap
Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB
aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis. PT. Enseval Putera
Megatrading.
18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan
dan pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS.
Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2003.
19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion.
Departemen of Respiratory Medicine, Faculty of Medicine,
University of Indonesia Persahabatan Hospital, Jakarta-Indonesia.
20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda
(Multi Drug Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu
14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis.
the ICT tuberculosis test in China, 1997;1-9. 16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun
AT. Clinical evaluation of a rapid immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of
Mycobacterium tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8. 17. Mycodot test kit untuk
mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat Bantu dalam mendiagnosis TB aktif.
Mycodot diagnosa cepat tuberculosis. PT. Enseval Putera Megatrading. 18. Kelompok Kerja TB-HIV
Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan tuberkulosis pada orang dengan HIV /
AIDS. Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 2003. 19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose
combinantion. Departemen of Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia
Persahabatan Hospital, Jakarta-Indonesia. 20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan
resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI, RS Persahabatan - Jakarta.
students. WHO, 2003.
Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998. 25. Strategic directions. The
global plan to stop TB 2006 2015. Available at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on
June 4, 2006.