Anda di halaman 1dari 68

A.

Pendahuluan
Sindroma nefrotik idiopatik (SNI) merupakan manifestasi glomerulopati yang paling

sering ditemukan pada anak dengan ditandai edema, hipoalbuminemia (albumin serum <2,5
g/dL), proteinuria massif (ekskresi albumin >40 mg/m2/jam atau > 1 g/m 2/hari atau rasio
protein/kreatinin urin lebih >2 mg/mg), dengan atau tanpa hiperkolesterolemia (serum
kolesterol > 200 mg/dl).1 Insiden SN di negara berkembang termasuk Indonesia 6 per 100.000
per tahun.2 Usia pada saat onset serangan pertama SNI berkorelasi dengan gambaran
histopatologi dan variasi perubahan genetik yang mendasari patogenesis SNI. Aspek
imunologi dan stress oksidatif berperan pula dalam patogenesis SNI. Proses patogenesis pada
struktur glomerulus menyebabkan perubahan fungsional dari glomerulus sehingga
mengakibatkan proteinuria massif yang diikuti dengan serangkaian patofisiologi dan berbagai
mekanisme kompensasi serta komplikasi.
Glucocorticoid merupakan terapi pilihan pertama pada SN bedasarkan rekomendasi
dari International Study of Kidney Diseases in Children (ISKDC), walaupun telah banyak
pula dilakukan penelitian tentang terapi inisial pada SN serangan pertama dengan
memperpanjang durasi terapi kortikosteroid maupun pemilihan terapi immunosupresif lain
yang memberikan berbagai variasi hasil signifikasi berkaitan dengan pemanjangan waktu
remisi dan efek samping yang terjadi. International Study of Kidney Diseases in Children
(ISKDC) menyebutkan bahwa

sekitar 94% SNI serangan pertama dengan gambaran

histopatologi Minimal change nephrotic syndrome (MCNS) akan mengalami remisi total
(responsif steroid) sedangkan pada Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) 80-85% tidak
memberikan respon terhadap steroid (resisten steroid). Bukti epidemiologi menunjukkan
bahwa gambaran biopsi ginjal MCNS ditemukan hampir 80-90% pada anak dengan SNI,
sedangkan hanya sebesar 7-8% akan menunjukkan FSGS. Respons terhadap pengobatan
steroid merupakan prediktor yang lebih baik dalam menentukan prognosis fungsi ginjal
dibandingkan dengan gambaran histologi ginjal.3 Penanganan SNI secara profesional dan
komprehensif terhadap upaya pencapaian remisi dengan obat immunosupressi, tatalaksana
komplikasi yang terjadi sebagai perubahan patofisiologi pada SNI maupun efek samping
pengobatan dan terapi suportif akan memperbaiki prognosis serta reversibilitas kerusakan
ginjal sehingga tidak terjadi progresifitas menjadi gagal ginjal.
Pada makalah sari pustaka ini akan dibahas mengenai SNI serangan pertama dengan
memperhatikan aspek patogenesis, patofisiologi, tatalaksana secara komprehensif dan
prognosis berdasarkan penelusuran pustaka dari sumber yang relevan.
B.

Epidemiologi
1

SN yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut SN primer, dan ditemukan 90%
pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau
berhubungan dengan obat atau toksin disebut SN sekunder.2 SN yang terjadi sebelum bayi
berumur 3 bulan disebut SN kongenital (SNK) sedangkan apabila gejala SN muncul dalam
tahun pertama kehidupan (4 -12 bulan) disebut SN infantil. 2 SN idiopatik diderita oleh
16/100.000 anak, sehingga merupakan salah satu penyakit ginjal pada anak yang umum
dijumpai. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 24 kasus baru per 100.000 anak per tahun, namun demikian insiden lebih tinggi di negara
berkembang. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. 3 Perbandingan insiden SN
pada anak laki-laki dan perempuan 2:1.2 Penelitian kohort prospektif yang dilakukan oleh
Hiraoka M dkk menunjukkan onset usia > 4 tahun dengan jenis kelamin laki-laki
memberikan respon signifikan terhadap intesifikasi terapi prednisolon yang berkorelasi
dengan penurunan kejadian relaps.4 Ethnic kemungkinan berpengaruh pada variasi histologi
dan respon terhadap pengobatan immunosupressif. Pasien dari ras Hispanic dan kulit hitam
lebih sering mengalami SN yang tidak memberikan respon terhadap steroid dibandingkan
pasien dari ras kulit putih. Hal tersebut menggambarkan peranan penting faktor predisposisi
genetic dan lingkungan dalam menentukan penyebaran penyakit SN.
Onset usia terjadinya SN di negara Asian sekitar 3,4 tahun dan Eropa sekitar 4,2 tahun.
Usia saat onset terjadinya SN berperan dalam distribusi frekuensi dari penyakit, dimana 70%
pasien dengan MCNS berusia kurang dari 5 tahun (antara 2-6 tahun), sedangkan 20-30%
pasien SN dewasa memberikan gambaran histologi MCNS. FSGS terjadi pada anak dengan
median usia 6 tahun. MCNS dan FSGS jarang terjadi pada tahun pertama kehidupan dan
sangat jarang pada usia kurang dari 6 bulan. Guys Hospital and International Study of
Kidney Disease in Children menyebutkan bahwa prevalensi gambaran lesi glomerulus MCNS
tinggi

pada

anak-anak

sedangkan

terjadi

peningkatan

prevalensi

Membranous

glomerulopathies pada kelompok umur 16 60 tahun. (Gambar.1)5, dimana 65% dari pasien
MPGN berjenis kelamin perempuan.6 Onset usia SN serangan pertama dapat pula
memperkirakan defek genetik yang terjadi apabila mutasi genetik dipertimbangkan sebagai
patogenesis SNI (Gambar 2). Frekuensi relatif pola gambaran histopatologis MCNS dan
FSGS berbeda pada SN sensitif steroid (SNSS) dan SN resisten steroid (SNRS), dimana
insiden SNRS meningkat pada pasien dengan FSGS. ISKDC menyebutkan 29,7% pasien
dengan FSGS respon terhadap steroid sedangkan 70,3% akan resisten terhadap steroid.7

Gambar 1. Hubungan antara usia dan prevalensi berbagai lesi


glomerulus pada sindroma nefrotik pada anak dan dewasa
melalui hasil evaluasi biopsy ginjal. 5
Dikutip dari Cohen H Arthur et al. Atlas Disease of The Kidneys: The
primary glomerulopathies. 2008

Gambar 2. Onset usia SN menurut defek genetik8

C.

FISOLOGI

FILTRASI

Dikutip dari :Machuca Eduardo et al. Human Molecular Genetics 2009

GLOMERULUS
Kapiler glomerulus menerima supplai
darah dari arteriole afferent dalam sirkulasi ginjal dan merupakan komponen filter awal dari
fungsi nephron. Fungsi utama dari glomerulus ginjal adalah melakukan filtrat plasma dengan
berat molekul kecil ke dalam urin namun menghalangi aliran albumin dan makromolekul
besar lain yang berperan dalam mempertahankan homeostasis normal. Dinding kapiler
glomerulus terdiri atas inner endothelial cell cytoplasm dengan fenestra, membran basal
glomerulus (MBG) dan dikelilingi oleh sel epitel luar glomerulus (podocyte) dengan ujung
distal dari foot processes (FP) terikat pada MBG. Filtrat glomerulus merupakan hasil
ultrafiltrasi plasma yang menembus dinding kapiler glomerulus. Pada kondisi normal maka
molekul dengan diameter berukuran lebih dari 42 A ataupun lebih dari 200 kDa tidak dapat
melewati barrier filtrasi tersebut.9 Muatan elektrik mempunyai peranan sebagai faktor
deskriminan pada lewatnya molekul protein melalui barrier filtrasi glomerulus. Ketiga lapisan
penyusun dinding kapiler glomerulus mempunyai muatan negatif yaitu adanya sialic acid
pada glycocalyx yang melingkupi sel epitel dan endotel serta collagen IV, komplek Lamininentactin/nidogen dan proteoglikan heparin sulfat (Heparan Sulphate Proteoglycans, HSPGs)
yang terdiri atas agrin dan perlecan pada seluruh MBG.6
INTERAKSI PODOSIT DAN SLIT DIAPHRAGM (SD)

Podocyte merupakan sel epitel khusus dengan mengandung beberapa FP yang saling
berhubungan satu dengan yang lain melalui inter-podocyte connection yang disebut sebagai
slit diaphragm (SD). Foot processes (FP) membentuk sebagian besar bagian perifer dari
podocyte. Cytoskeleton dari FP terutama tersusun oleh actin-microfilaments dan berinteraksi
dengan berbagai protein seperti myosin, synaptopodin dan -actinin 4.10
Telah banyak diketahui mengenai beberapa differensiasi struktur SD yang mempunyai
fungsi unik dan memiliki electron dense zipper like untuk menyusun beberapa komponen
yaitu komponen ekstraseluler ( nephrin ) dan komponen intraseluler (misalnya podocin,
CD2AP dll).11

Struktur elemen dari SD (nephrin, podocin dan CD2AP) dan Actin

cytoskeleton (a-actinin 4) mempunyai peranan dalam mengontrol diferensiasi dan survival


podocyte, polaritas sel dan dinamik cytoskeletal. Podocyte dan perkembangan glomerulus
diatur oleh transkipsi signal dari faktor WT-1 dan phospholipase C 11 (PLC11). Calcium
channel TRPC6 yang berlokasi pada membran lipid sepanjang podocin mengatur
mechanosensation SD, namun demikian komponen struktural dari MBG yaitu Laminin 2
berperanan penting dalam interaksi cell-matrix dari podocyte. Integritas podocyte juga
terpengaruh oleh gangguan pada protein yang terlibat dalam berbagai proses subseluler
meliputi rantai respirasi mitokondria, perbaikan dan restricturing DNA serta fungsi lisosom.8

Gambar 3. Interaksi Podocyte-Slit Diaphragm (Intact Podocyte-Podocyte)12


Dikutip dari : Chiang Kang Chih et al. Nat Rev Nephrol 2010

Pada SD, signal yang berasal dari nephrin akan mengatur remodelling actincytoskeleton (NCK1/2, WASp), polaritas sel (Par1/6,aPKC) dan survival (P13K,AKT).
Interaksi TRCP6-podocin akan mengatur mechanosensation sedangkan reseptor Angiotensin
II tipe 1 (AT1) akan meningkatkan pengaturan influx calcium oleh TRCP6 melalui stimulasi
oleh angiotensin II (AGT II). Aktivasi PLC11 akan mendegradasi Phosphatigylinositolbiphosphate(PIP2) menjadi Diacylglycerol (DAG) dan Inositol-Bihosphate (IP3) yang akan
menyebabkan aktivasi protein kinase C (PKC) dan Efflux Ca2+ dari Endoplasmic Reticulum
(ER). Komponen utama dari struktur interaksi Podocyte-matrix meliputi Integrin 31
4

Laminin 52 dan komplek Dystroglycan Uthropin yang menghubungkan komponen MBG


(Proteoglycans, Niogen, Perlecan, Agrin, dan Type-IV Collagen) pada actin-cytoskeleton sel.
Jalur tambahan yang mengatur remodelling actin-cytoskeleton meliputi podocalyxin, NHERF
, komplek Ezrin (EZR). Molekul dan jalur-jalur yang terlibat diatas berkaitan dengan
fungsi filtrasi dari glomerulus dan apabila terdapat defek akan menyebabkan fenotif penyakit
glomerulus pada manusia.8
Dikutip dari : Chiang Kang Chih et al. Nat Rev Nephrol 2010

Gambar 4. Molekuler dari Slit-Diaphragm dan Interaksi


cell-matric podosit, Foot-Process (FP), Membran Basal
Glomerulus (MBG) dan Fenestrated endothelium (EF).8

Gambar 5. Interaksi
Podocyte dengan Membran
Basal Glomerulus (MBG)12

Protein-protein yang berhubungan dengan SD (seperti nephrin, podocin, actinin, CD2AP dan
TRCP6) dan yang membentuk sirkuit dari FP ke MBG (seperti integrin, actinin, ILK,
vinculin, talin dan tetraspanin CD151) dihubungkan ke actin cytoskeleton. Organisasi
jaringan Collagen IV memperlihatkan peran 2 molekul menyatukan Noncollagenous domain
dan 4 molekul menyatukan melalui domain 7S.12
SEL ENDOTEL KAPILER GLOMERULUS
Sel endotel kapiler glomerulus mengandung fenestrae tinggi yang melapisi kapiler
glomerulus. Fenestrae sel endotel berdiameter 70-100 nm baik pada sisi yang berhadapan
dengan MBG maupun daerah mesangium. Fenestrae dan sisi luminal seluruh sel endotel
dilingkupi oleh glycocalyx dengan muatan negatif oleh karena cyalic acid yang mengandung
5

glycoprotein dan lipid. Sel endotel memiliki peran aktif dalam mengontrol koagulasi,
inflamasi dan proses imun dalam glomerulus. Komponen plasma lewat dengan bebas melalui
fenestrae endotel, sedangkan sel-sel darah dan makromolekul besar tetap dipertahankan
dalam kapiler karena barrier ukuran selektif dan muatan negatif dari sel endotel.
SEL MESANGIAL
Sel mesangial berperan dalam memberikan dukungan struktural loop kapiler
glomerulus. Kapiler-kapiler glemerulus saling bertautan dengan perantara Glomerular
mesangium. Matriks mesangial mengadung kolagen, laminin, entactin, nidogen, fibronektin
dan proteoglycan heparan sulfat. Sel mesangial mengandung banyak filamen myosin dan
aktin serta memiliki sifat kontraktil. Sel mesangial menunjukkan aktifitas fagositosis seperti
makrofag. Lapisan sel endotel yang berhadapan dengan mesangium lebih longgar dan bocor
yang memungkinkan aliran plasma menuju mesangium. Sel mesangial berperan dalam
pengaturan filtrasi glomerulus oleh karena mekanisme kontraktil yang dikendalikan oleh
peptida vasoaktif, growth factors dan sitokin.
REGULASI PROTEINURIA NORMAL
Urin terbentuk sebagai hasil dari filtrasi dari cairan plasma yang melewati barrier
glomerulus, dimana Glomerular Filtration Rate (GFR) berkisar 125 mL/menit dengan
ekskresi protein secara normal di dalam urin rata-rata 4 mg/m 2/hari atau 100 mg/m2/hari
(0,1% konsentrasi albumin plasma).13 Albumin normalnya akan menetap di dalam glomerulus
dan tidak bergerak ke dalam ruang Bowman. Albumin mempunyai berat molekul kecil (70150 kd) namun tidak dapat melewati MBG oleh karena mekanisme sawar muatan yang
bersifat negative. Albumin plasma bermuatan negatif pada pH fisiologis dan terdapat
beberapa bukti peranan dari barrier ukuran spesifik dan muatan spesifik terhadap aliran
molekul albumin dari lumen kapiler menuju ruang Bowmans.6 Setelah melalui ruang
Bowmans maka filtrat akan dialirkan ke tubulus proksimal. Pada bagian tubulus proksimal,
albumin secara fisiologi mengalami filtrasi pada kadar hasil filtrasi glomerulus ke dalam urin
yang ambil oleh reseptor megalin/cubulin pada brush border dari tubulus proksimal. Albumin
mengalami uptake oleh vesicles dan aksi Lysosome sehingga menghasilkan fragmen yang
nantinya akan direabsorbsi maupun disekresikan kembali pada lumen tubulus sebagai
fragmen albumin.

Gambar 6. Skema Barrier


Glomerulus
Dikutip dari: Haraldsson et al, Physiol
Rev 88: 451-487, 2008, and by
permission of the American
Physiological Society

D.

Gambar 3. Regulasi normal ginjal terhadap albumin13


Gambar 7. Mekanisme Regulasi Protein Normal oleh Ginjal13
Dikutip dari : Jefferson JA et al. Kidney International.2009

PATOGENESIS SINDROMA NEFROTIK


Patogenesis SN Idiopatik pada anak masih belum jelas, namun beberapa faktor-faktor

penting telah teridentifikasi sebagai mediator penyebab defek struktur kapiler glomerulus
primer dan perubahan fisologis komponen barrier filtrasi lain seperti perubahan pada muatan
negative struktur kapiler glomerulus yaitu adanya peran imunologis, faktor permeabilitas
sirkulasi, reactive oxygen spesies (ROS) dan reactive nitrogen spesies (RNS) serta mutasi
genetik pada gen yang secara fungsional berperan penting dalam ekspresi protein pada
podocyte. Pada SN terjadi perubahan yang signifikan muatan negatif komponen filtrasi
glomerulus dan struktur glomerulus antara lain perubahan struktur podocyte berupa
pembengkakan, retraksi dan penyatuan podocyte yang menyebabkan pendataran FP
podocyte membentuk lembaran cytoplasma di sepanjang MBG; pembentukan vacuole;
terjadinya occluding junction dengan perpindahan SD dan pelepasan podocyte dari MBG.9
Pewarisan Mendelian klasik sangat jarang terjadi pada SNI anak yaitu sekitar 0,3% SNI
anak bersifat familial. Mutasi beberapa protein podocyte pada SN yang bersifat herediter
memegang peranan dalam perubahan struktur podocyte. Nephrin sebagai protein yang dikode
oleh gen pada kromosom 19q13.1 merupakan protein pada SD barrier glomerulus yang
berperan dalam organisasi dan fungsi SD, dimana apabila mengalami mutasi menyebabkan
SN congenital (Finnish Type). Nephrin diekspresikan dalam jumlah normal pada MCNS.
Mutasi pada gen yang mengkode protein-protein pada podocyte selain Nephrin yang
diwariskan dan berhubungan dengan SN adalah podocin, cytoskeleton ( actinin-4, CD-2AP,
Nonmuscle myosin heavy chain 9 (MYH9)), extracelluler matrix adhesion molecules (4
Integrin), Syalilated aniaonic surface protein, nuclear proteins (WT1, LMX1B,
7

SMARCAL1), protein MBG ( 5 chain collagen IV) dan protein pada komplek SD (PAdherin, FAT dan ZO-I). Slit diapragm (SD) berfungsi menghalangi aliran tinggi molekul
hydraulic seperti albumin. Nephrin dihubungkan pada membrane prodocyte oleh podocin dan
CD2AP. Peranan struktural dari komplek SD dalam hubungannya dengan TRPC-6 ( epitel
channel calcium) melalui sinyal a phosphoinositide 3-OH kinase dependent ATP pathway
berfungsi untuk menciptakan proses seluler seperti remodeling actin cytoskeletal dan
survival sel.14 Autosomal recessive nephrotic syndrome type 3 (NPHS3) yang disebabkan oleh
mutasi pada phospholipase gen PLCE1 merupakan salah satu mutasi yang teridentifikasi pada
SN masa kanak-kanak yang bersifat Herediter.14,15 Pada ginjal, PLCE1 banyak ditemukan
pada glomerulus dan berlokasi pada cytoplasma dari sel podocyte. Hal ini berbeda dengan
podocin (NPHS2) dan nephrin (NPHS2) yang secara langsung berperan sebagai bagian dari
SD. Secara histologi, kekurangan dari aktvitas PLCE1 menghasilkan penghentian
perkembangan dari keseleruluhan glomerulus yang dikenal sebagai Diffuse mesangial
sclerosis.

Hal tersebut merupakan kombinasi dari blokade terhadap maturasi dari loop

kapiler glomerulus yang sebanding dengan diferensiasi fetus sehat pada usia gestasi 23
minggu dengan proliferasi mesangial. Namun demikian mutasi missense pada PLCE1
memberikan gambaran histologi FSGS. Efek downstream dari PLCE1 kemungkinan telah
diaktifkan secara langsung oleh glucocorticoid.
Tabel 1. Sindrom Nefrotik pada Anak Berdasarkan Gangguan Genetik pada Podocyte11
Gen
Nama
Sindroma nefrotik resistan steroid
NPHS1
Nephrin

Lokasi

Pewarisan

Penyakit Ginjal

19q13.1

Resesif

NPHS2
FSGS1
FSGS2
WT1

1q25
19Q13
11q21-22
11p13

Resesif
Dominan
Dominan
Dominan

9q34
2q35

Dominan
Resesif

Sindrom nefrotik kongenital tipe


Finnish
FSGS
FSGS
FSGS
Sindrom Denys-Drash dengan
sklerosis mesangial luas
Sindrom Frasiers dengan FSGS
Sindrom nail-patella
Schimke
immuno-osseous
dysplasia dengan FSGS*

Tidak
diketahui

Resesif

Podocin
-Aktin-4 (actn4)
Tidak diketahui
Gen supresor wilms tumor

LMX1B
SMARCAL1

Protein LIM-hemoedomain
SW1/SNF2-related, matrixassociated, actin-dependent
regulator
of
chromatin,
subfamily alike 1
Sindrom nefrotik responsif steroid
Tidak
Tidak diketahui
diketahui

MCNS

Dikutip dari: Vats N Abhay. Indian J Pediatr 2005

Sindroma Nefrotik terutama MCNS merupakan konsekuensi primer adanya kelainan


fungsi sel T dan dihubungkan dengan berbagai variasi antigen HLA kelas 1 dan 2 pada
populasi berbeda-beda. Shalhoub pertama kali mengemukakan bahwa patogenesis pada SNI
kemungkinan disebabkan kelainan fungsi sel Limfosit T.9 Hipotesis yang diungkapkan oleh
8

Shalhoub adalah pada populasi clonal sel T kemungkinan akan memproduksi lymphokine
yang berperan dalam peningkatan permeabilitas barrier filtrasi glomerulus glomerulus.
Beberapa penemuan yang mendukung pandangan tersebut adalah adanya bukti bahwa
penyakit SN memberikan respon terhadap terapi kortikosteroid dan alkylating agent; adanya
infeksi seperti campak akan menurunkan cell mediated immunity dan seringkali
mengakibatkan remisi, dan MCNS pada pasien Hodgkin.
Ekspansi populasi sel T CD4+ dan CD8+ teridentifikasi melalui immunophenotyping
pada limfosit perifer yang terekspresikan selama fase nefrotik pada semua kasus namun
demikian peran regulasi sel T CD4+ dan CD25+ pada MCNS masih tetap membutuhkan
klarifikasi. Sel T CD4+ diklasifikasikan menjadi sel T helper 1(Th1) dan T Helper 2 (Th2)
berdasarkan cytokine yang disekresikan dan fungsi efektor. T Helper 1 (Th1) memperantarai
beberapa fungsi yang berhubungan dengan cytotoxicity dan reaksi inflamasi lokal, sedangkan
sel Th2 menstimulasi sel B memproduksi Immunoglobulin (IgE, IgA dan IgG4), mendukung
proliferasi eosinofil dan perkembangan respon alergi. Sel Th1 mensekresikan IL-2, IFN- dan
TNF- sedangkan Th2 memproduksi IL-4,IL-5,IL-6, IL-9, IL-10 dan IL-13. Telah diketahui
pula bahwa SNI merupakan penyakit glomerulus dengan Th-2 dependent dan berhubungan
dengan atopi dan alergi.
Valanciute dkk menunjukkan bahwa terdapat peningkatan produksi cytokine IL-13
Th2 selama relaps. IL-13 meregulasi Swithching produksi immunoglobulin membentuk IgE
yang seringkali meningkat pada serum pasien dengan MCNS. Polimorfisme genetic pada gen
IL-13 berkorelasi dengan outcome jangka panjang dari MNCS. Halotype GCC dihubungkan
dengan remisi jangka panjang sedangakan halotype AAT ditemukan tinggi pada pasien
dengan relaps persisten setelah 5 tahun dari onset.7 Reseptor IL-13 ditemukan pada podocyte
yang akan berefek langsung melalui jalur pensinyalan dengan hasil adanya ekspresi 2 elemen
respon NFkB dan menetap selama relaps.
Sahali dkk dan Cao dkk menyatakan terdapat aktivitas abnormal faktor transkripsi
pada MCNS. Aktivasi NFkB pada sel T CD4+ terdeteksi selama relaps. Das dkk
mengidentifikasi 2 elemen I-kB pada kenaikkan IL-13 yang kemudian merupakan target
downstream potensial oleh NFkB. Aktivasi transkripsional dari NFkB diatur oleh protein
inhibitor yang disebut protein IkB dengan I- kB merupakan yang paling penting. Dengan
adanya aktivasi sel T oleh NFkB yang menginduksi TNF- maka I-kB secara cepat akan di
phosphorilasi dan di degradasi oleh proteosome menyebabkan translokasi nukleus dari NFkB

sebagai target tepat peran inhibitor I-kB. Kemudian I-kB secara cepat disintesis kembali dan
sekuestrasi NFkB dalam sitoplasma serta akan menghentikan aktivitas NFkB.
Aktivasi NFkB menetap selama periode relaps sebelum inisiasi terapi kortikosteroid,
memperlihatkan pemecahan NFkB feedback loop pada fase aktif MCNS. Upregulation dari
ekspresi I-kB pada sel T dan monosit pada pengobatan glucocorticoid kemungkinan berperan
dalam penghambatan aktivitas NFkB dan menyebabkan down regulation dari cytokines
selama periode remisi. Meskipun terdapat hubungan erat antara aktivitas NF kB dan relaps
pada MCNS namun masih terdapat fakta aktivitas NF kB tetap meningkat meskipun telah
diberikan terapi steroid, dimana hal tersebut menunjukkan adanya faktor tambahan yang
terlibat pada perubahan transkripsional dan kemungkinan memberikan peran dalam resisten
terhadap steroid. Data tersebut menunjukkan bahwa mekanisme glukokortikoid dan
cyclosporin dalam menginduksi remisi pada MCNS tidak sama namun lebih pada saling
melengkapi. Hipotesis ini didasarkan pada hasil penelitian bahwa aktivasi NF kB pada PBMC
dan sel T dari MCNS relaps dihambat secara exvivo dengan penambahan inhibitor MG132
proteasomal yang mencegah degradasi phosphorilasi dari I-kB. Cyclospoin A mempunyai
pengaruh berlebihan serupa dengan MG132. Sebaliknya, glukokortikoid menginduksi
transaktivasi dari gen I-kB yang kemungkinan berkontribusi pada peningkatan ekspresi I-kB
pada remisi, kadar yang tinggi didapatkan pada pasien yang mendapatkan pengobatan steroid.
Oleh karena itu, glukokortikoid dan cyclosporin mempunyai mekanisme yang berbeda dalam
stabilisasi I-kB dan inhibisi aktivitas NFkB16
Dengan adanya fakta bahwa TNF mengaktifkan NF-kB dan angiotensinogen serta
sifat steroid sebagai imunosupresif tergantung pada inhibisi NF-kB, maka Ascher dkk
melakukan penelitian dengan tujuan mengukur ekspresi gen intra graft dari sub unit NF- kB
65 sebagai inhibitor alami dari NF-KB (IKB) dalam penelitian cohort dari pasien anak

dengan SN resisten steroid (SNRS). Peneliti menunjukkan bahwa NF-KB; rasio IKB lebih
tinggi pada SNRS vs NON-SN dan secara signifikan dipengaruhi oleh diagnosis (NON SN vs
SNRS p -0,05) dan status penolakan (p-0,01). 17
Ho dkk memperlihatkan bahwa c-maf meningkatkan Th2 dan melemahkan
differensiasi sel Th1. Pasien dengan MCNS sering mengalami respon hipersensitivitas tipe
lambat disebabkan adanya penghambatan pada imunitas seluler Th1 dependen.16,18 Printza
dkk, pada penelitian terhadap 30 anak SNSS dan 7 anak SNRS, menunjukkan hasil adanya
peningkatan secara signifikan presentase CD23+ dan CD19+ Sel B, CD3+/CD69+/IL4 sel T
serta kadar IL-13 dan IL-8 serum pada fase aktif dibandingkan fase remisi anak dengan SNSS
10

namun tidak demikian pada SNRS. Hal ini menggambarkan peran respon imun tipe 2 yang
ditemukan selama fase aktif SN merupakan salah satu predictor adanya respon yang baik
terhadap terapi steroid.37 Peran cytokine IL-18 dalam patogenesis SN adalah melalui
peningkatan katabolisme heparan sulfate MBG dan menurunkan muatan negatif heparan
sulfate. Peningkatan IL-2 ditemukan pada percobaan di ginjal tikus yang akan menginduksi
proteinuria dan penurunan lokasi anionic dari MBG.
Disfungsi imun tidak hanya terbatas pada sel T CD4+ namun diperhatikan pula
adanya pengaruh dari sub Sel T yang lain, monosit dan bahkan sel B. Penurunan kadar
immunoglobulin G (IgG) dan peningkatan IgM telah ditemukan pada MCNS. 67 Perubahan ini
mengindikasikan adanya kelainan pada fungsi sel B. Deteksi adanya aktivasi NFkB selama
relaps dapat pula oleh induksi fraksi sel monomuclear non-CD4+.Mekanisme transcriptional
dan post-trancriptional terlibat secara bersama dalam immunopathogenesis MCNS sebagai
penyakit komplek dengan kontribusi beberapa gen dalam kelainan imunologis tersebut.
Faktor permeabilitas sirkulasi yang diproduksi oleh sel mononuclear dan hilangnya
inhibitor seperti apolipoprotein melalui urin diketahui berperan dalam patogenesis SN. Faktor
permeabilitas sirkulasi seperti hemopexin menyebabkan penurunan sialoglycoproteins dari
glomerulus, ekspresi berlebihan dari heparanase menyebabkan degradasi Heparan sulphate
glycosaminaglycan (HSGAG) dan ditemukan pada pasien dengan SNSS. Galectin juga
diyakini sebagai salah satu faktor permeabilitas sirkulasi dengan perannya dalam
differensiasi, apoptosis dan menekan fungsi immunoregulasi yang terdeteksi pada podocyte
ginjal dengan histopatologis FSGS sedangkan negatif pada MNCS. Osteopntin(Opn)
menyebabkan aktivasi NF-KB dan pengobatan Opn akan menimbulkan phosphorilasi I-kB,
upregulation Matrix metalloproteinase (MMP-2) dan MMP-9 serta meningkatkan motilitas
podocyte. Ketidakseimbangan antara faktor permeabilitas dan inhibitor alaminya merupakan
patogenesis potensial peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap albumin pada FSGS
Reactive Oxygen Spesies dan Raeactive Nitrogen Spesies
Keseimbangan homeostatis antara reactive oxygen species (ROS) dan pemusnahannya
oleh antioksidan endogen terjadi pada kondisi fisiologis. Ginjal akan membentuk ROS
meliputi free radical superoxide anion (O2-), non-radical hydrogen peroxide (H2O2),
hydroxyl free radical (OH) dan peroxynitrite (ONOO-) yang secara efisien akan dibersihkan
oleh enzymatic superoxide dismutase (SOD), catalase, gluthatione peroxidase (GPX) dan
non-Enzymatic(gluthatione, vitamin C dan E). Stress oksidatif akan terjadi apabila produksi
11

ROS melebihi kapasitas metabolik dari sistem pertahanan antioksidan yang akan
mengakibatkan kerusakan jaringan.
Peningkatan produksi ROS akan mengakibatkan kerusakan langsung pada membran
lemak yang telah dibuktikan terlibat dalam kerusakan glomerulus dengan didukung fakta
injeksi PAN intavena mengakibatkan proteinuria oleh karena ROS. Gambaran histologis pada
percobaan tersebut sama seperti MNCS sehingga mendukung gagasan peran radikal oksigen
bebas dalam peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus.18 Radikal bebas dapat
mengakibatkan degradasi Heparin sulphate pada glomerulus sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas filtrasi glomerulus. ROS yang berlebihan akan meningkatkan lipid
peroxidation pada MBG yang dapat menginduksi oksidasi protein dan kerusakan sel/jaringan.
ROS yang berpengaruh pada barrier filtrasi makromolekul dapat terbentuk dalam sirkulasi
maupun lokal oleh sel glomerulus. Mekanisme pencetus ROS berhubungan dengan infeksi,
alergi dan rangsang imun.
Ghodake (2010),menyebutkan adanya peningkatan lipid peroxide dan penurunan tocopherol, aktifitas erythrocyte SOD, serta kapasitas total antioksidan dalam plasma secara
signifikan pada SN dibandingkan kontrol.20 Droga dkk menggambarkan stress oksidatif pada
SN dengan membandingkan F2-Isoprostanes (radikal bebas sebagai hasil oksidasi dari
Arachidonic Acid) dan potensial antioksidan plasma yang memberikan kesimpulan bahwa
terjadi penurunan kapasitas pengikatan radikal bebas dalam plasma yang berkorelasi terbalik
dengan hipoalbuminemia tetapi tidak terdapat peningkatan F2-Isoprostanes plasma dan urin.
Fydryk dkk (1998) mendukung hipotesis adanya penurunan status antioksidan pada anak
SNSS berdasarkan hasil penurunan kapasitas Gluthatione peroxidase (GPX).
Nitric Oxide (NO) adalah radikal bebas yang khas disintesis oleh L-arginine dengan
mempunyai fungsi yang komplek dan kontradiktif oleh karena disamping NO berperan dalam
cytotoxic namun berfungsi juga melindungi sel dari insult toksik. Nitric Oxide (NO) akan
bereaksi dengan radikal hidroksil dan menghasilkan peroxynitrite dengan toksisitas kimia
yang lebih luas dibandingkan dengan NO itu sendiri. Aksi Nitric Oxide (NO) dalam kondisi
patologis harus dengan memperhatikan konteks derajat, durasi dan waktu sintesisnya. Nitric
Oxide (NO) berperan secara fisiologis pada ginjal seperti regulasi pada tonus vaskular,
hemodinamik ginjal, modulasi cairan dan elektrolit. Produksi NO berlebihan akan
menginduksi pembentukan NOS yang hampir selalu dikaitkan dengan peningkatan kerusakan
ginjal, namun demikian NO yang berasal dari endothelial NO akan membatasi kerusakan
glomerulus dengan mempertahankan integritas sel endotel. NOS memainkan peran dalam
proteinuria pada SN, namun demikian masih didapatkan penelitian pada binatang yang
12

bertentangan dengan hal tersebut. Studi pada SNI menujukkan produksi NO oleh sel CD3+
(sel T) dan sel CD19+ (Sel B) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada pasien dengan
penyakit ginjal lain, kontrol maupun saat SN remisi.19
Human Leucocyte Antigen (HLA)
Beberapa antigen HLA baik tunggal maupun kombinasi ditemukan dalam ekspresi
berlebihan pada populasi yang berbeda-beda dari pasien dengan SN dibandingkan kontrol.
HLA DR7 merupakan antigen yang paling sering teridentifikasi sedangkan Halotype HLAB8,-Dr3,-DR7 diprediksikan memiliki resiko relatif sebesar 21,5. 6 Gulati Sanjeeev dkk dalam
penelitian mengenai HLA Class II berkaiatan dengan prognosis pada anak SN melalui
pemerikasaan allel HLA Class II pada lokus DR dan DQ mendapatkan hasil bahwa pemetaan
HLA pada anak SN di India membantu memperkirakan frekuensi relaps dan resistensi
terhadap steroid. Allel DQ-1*020X didapatkan lebih tinggi secara signifikan pada anak SN
relaps sering dibandingkan kontrol. Allel DQ-1*150X dan allel DQ-1*030X didapatkan
lebih rendah secara signifikan pada SNRS. Pada analisa distribusi Holotype, telah diketahui
bahwa kejadian halotype DR-1*070X- DQ-1*020X secara signifikan didapatkan pada
SNSS dibandingkan kontrol. Halotype DR-1*150X- DQ-1*060X lebih sering didapatkan
secara signifikan pada kelompok SNRS dibandingkan SNSS.21 Frekuensi SN idiopatik
dengan HLA-DR7 sebanyak 3-4 kali. SNSS berhubungan dengan HLA-B8 dan gen DQ1
dari HLA-DQW2. Selain itu, insiden besar SN idiopatik juga ditemukan pada anak dengan
atopi dan HLA-B12.
Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)22
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi antigen
antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan sistem
komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC
membentuk deposit yang kemudian terperangkap dibawah epitel kapsula Bowman yang
secara imunoflouresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang MBG
berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang
menyebabkan permeabilitas MBG terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat
melewati MBG sehingga dapat dijumpai dalam urin.
Perubahan Muatan Negatif

13

Karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung tipe kelainan


glomerulus pada SN. Pada MCNS terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua
berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada MCNS ini ialah hilangnya sawar
muatan negatif selektif. Peningkatan filtrasi protein yang berlebihan tersebut melebihi
kemampuan reabsorbsi protein oleh tubulus. Wijnhoven T dkk yang melakukan penelitian
pada anak dengan MCNS, mendapatkan kesimpulan bahwa pasien dengan MCNS yang
mengalami proteinuria tidak berhubungan dengan perubahan utama dalam ekspresi
glomerulus dari domain heparan sulphat.23 Sialoprotein glomerulus berperan sebagai muatan
negatif dalam mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan FP, dimana banyak
ditemukan podocalyxin yang mengandung asam sialat. Pada MCNS, kandungan sialoprotein
kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya
proteinuria.23 Namun pada SN dengan MPGN ditemukan klirens molekul kecil menurun
sedangkan klirens rmolekul besar meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping
hilangnya sawar muatan negative (proteoglikan sulfat) juga terdapat perubahan pada sawar
ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya. Analisa mengenai ukuran dan muatan
negative pada 12 anak SN baik MCNS maupun FSGS tidak menujukkan perbedaan dalam
nilai selektivitas muatan negative yang terjadi.9
E. PATOFISIOLOGI PROTEINURIA PADA SINDROMA NEFROTIK
Klirens albumin pada individu normal sekitar 1% dari protein muatan netral dengan
berat molekul yang hampir sama seperti polyvinylpyrrolidone atau dextran. Klirens dextran
netral juga lebih tinggi dibandingkan dextran sulfate anionic dengan berat molekul yang
sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa permeabilitas MBG tidak hanya berdasarkan ukuran
tetapi juga muatan protein. Muatan negatif MBG akan bertolakan dengan muatan negatif
albumin, dimana poin isoelektrik adalah 4,6.7,24
Peningkatan ekskresi protein pada urin terjadi karena peningkatan beban filtrasinya,
perubahan pada selektivitas dinding kapiler glomerulus, atau dari defek pada uptake oleh sel
epitel tubulusnya. Tingkat kerusakan pada integritas struktur dinding kapiler glomerulus
berkorelasi dengan area permeable terhadap protein. Pasien dengan SN yang mengalami
eksresi protein High Molecular Weight (Ig G dan Ig M) serta beberapa protein Low molecular
weight (LMW) seperti 1 microglobulin dan 2 microglobulin berkorelasi dengan tingkat
keparahan lesi histologis dan mempunyai nilai prognosis lebih baik dibandingkan dengan
14

kuantitas proteinuria, perjalanan penyakit serta outcome dan respon pengobatan. Dinding
kapiler glomerulus sangat efisien menghalangi alairan protein dari darah ke dalam ruang
bowman berdasarkan pada ukuran molekul, muatan elektrik, dan konfigurasi. Molekul besar
dan muatan negative sedikit difiltrasi dibandingkan molekul kecil dan muatan netral atau
positif.
Proteinuria pada SN terutama merupakan tipe glomerular. Pada MCNS, proteinuria
umumnya murni tipe glomerular, sedangkan pada SN yang disertai dengan penurunan fungsi
ginjal, umumnya merupakan campuran proteinuria tipe glomerular dan tipe tubular. Mixed
type proteinuria biasanya merupakan tipikal dari SNRS dengan histopatologi FSGS. 6
Proteinuria glomerular patologis pada SN dapat bersifat selective (kehilangan protein dengan
berat molekul kecil seperti albumin) ataupun non-selective (dengan kehilangan protein
molekul besar seperti globulin). Pada perjalanan penyakit SN dapat dimulai dengan
proteinuria selective dengan kehilangan albumin namun oleh karena progresivitas
penyakitnya akan terjadi gangguan pada barrier filtrasi glomerulus yang berdampak
terjadinya proteinuria non-selective.
Mayoritas penelitian eksperimental menunjukkan bahwa perubahan selektivitas dinding
kapiler glomerulus merupakan kombinasi hilangnya batasan muatan dan batasan ukuran.
Tidak terdapat peningkatan pada rerata radius populasi porus restriktif kecil, tetapi terdapat
sebaran distribusi karena munculnya jalur porus besar yang lebih banyak dan lebih luas (baik
yang diskriminatif maupun yang serupa shunt). Menurut Tencer dkk bahkan untuk porus yang
besar, terdapat sebuah pembatasan muatan pada keadaan fisiologis, sehingga pada nefropati
menbranosa, rasio antara konsentrasi IgG2 netral urin dan IgG4 bermuatan negatif berkurang
secara signifikan, menunjukkan berkurangnya pembatasan muatan untuk IgG4.
Pengurangan pada sifat restriktif dari barier glomerulus menyebabkan peningkatan
yang lebih besar pada beban filtrasi albumin dan protein HMW daripada protein LMW;
permebilitas glomerulus LMW sudah cukup tinggi dan tidak dapat meningkat lebih jauh lagi,
dimana bahkan sebuah peningkatan kecil pada permeabilitas glomerulus terhadap
makromolekul menyebabkan peningkatan yang sangat signifikan pada beban filtrasi protein
yang lebih besar. Sebuah peningkatan sedang pada permeabilitas dinding kapiler glomerulus
secara khas ditemukan pada nefropati dengan perubahan minimal dan pada beberapa stadium
awal penyakit glomerulus lainnya (glomeruloslerosis segmental fokal primer, nefropati
membranosa, nefropati diabetik). Meningkatnya jalur transglomerular pada lumen tubulus
protein dengan berat molekul sedang, terutama albumin, tidak disertai dengan lewatnya
protein HMW, seperti IgG, 2-makroglobulin, atau IgM. Walaupun dengan adanya reabsorbsi
15

parsial mereka oleh sel tubulus, sebuah fraksi albumin dan protein dengan berat molekul
sedang lolos dari proses reabsorbsi dan muncul di urin. Proteinuria yang terjadi diindikasikan
sebagai selective. Pada tahun 1964 telah ditemukan Indeks selektivitas (SI) Cameron
berdasarkan pada perbandingan klirens IgG, sebagai marker protein HMW, dan transferin,
sebagai marker protein dengan ukuran sedang, dengan interpretasi apabila SI IgG sebesar 0.2
atau lebih telah dianggap telah mengalami proteinuria nonselektif, sementara pasien dengan
rasio dibawah 0.2 telah dianggap mengalami proteinuria selektif. Rasio yang rendah
umumnya berkaitan dengan MCNS dan responsif terhadap steroid. 7,23 Walaupun adanya kritik
mengenai teori pembatasan muatan namun mayoritas peneliti masih percaya bahwa pada
keadaan patologis yang ditandai oleh proteinuria selektif, gangguan selektivitas muatan filter
glomerulus lazim ditemui dibandingkan dengan kelainan pada ukuran. Cedera pada struktur
dinding kapiler glomerulus akan mengganggu fungsi mereka sebagai barier elektrostatik
bermuatan negatif sehingga memungkinkan jalur transglomerulus albumin yang tidak
terbatas, sementara kerusakan yang menyebabkan meningkatnya porus nonselektif besar yang
menembus dinding kapiler tidak terlalu jelas terlihat.
Proteinuria tipe glomerular, merupakan ungkapan kehilangan protein selective
(termasuk albumin), maupun non selective (seperti albumin dan protein dengan berat molekul
besar seperti IgG). Pada MCNS dengan patogenesis adanya disfungsi sel T yang
menyebabkan perubahan sitokin dan mengakibatkan dinding kapiler glomerulus kehilangan
muatan negatifnya sedangkan pada FSGS terdapat faktor plasma yang merupakan produk
limfosit sebagai penyebab peningkatan permeabilitas kapiler pada glomerulus. Kehilangan
bagian anion pada dasar membran glomerulus telah didokumentasikan pada nefropati dengan
perubahan minimal.
Korelasi antara tingkat selektivitas dan diagnosis SN secara histologi masih lemah,
namun kombinasi pengukuran dari proteinuria selective dengan tingkat ekskresi fraksional
dari protein dengan berat molekul rendah (2 microglobulin) meningkatkan baik sensitivitas
maupun spesifisitas dari prediksi terhadap respon sensitivitas pada terapi steroid. Beberapa
pasien dengan SNRS serta adanya keterlibatan lesi pada tubulointerstitiil akan menujukkan
proteinuria tipe glomerular dan tubular dengan ditandai peningkatan ekskresi -2
microglobulin, retinol binding protein dan lyzozyme oleh karena kegagalan reabsorbsi
protein di tubulus proksimalis.7

16

Gambar 8. Patofisologi Proteinuria24


Dikutip dari : DAmico G, Bazzi C. Kidney International. 2003

F.
study

PERAN PROTEINURIA PADA KERUSAKAN GINJAL


The Angiotensin-Converting-Enzyme Inhibition and Progression of Renal Disease
mengkonfirmasi bahwa proteinuria merupakan faktor resiko yang kuat untuk

berkembang menjadi penyakit ginjal kronik. Pada Monolayer dari sel tubulus proksimal,
beban dari protein plasma (albumin, IgG dan transferrin) menginduksi sintesis vasokontriktor
peptide endothelin-1 (ET-1) yang merupakan mediator dari kerusakan ginjal progresif oleh
karena menstimulasi proliferasi sel ginjal dan produksi matriks ekstraseluler serta menarik
monosit. Monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan RANTES diekspresikan
berlebihan pda sel tubulus proksimal sebagai konsekuensi protein overload diantara molekulmolekul yang menarik monosit/makrofag dan limfosit T. Albumin meningkatkan regulasi
ekspresi gen tubulus dan produksi IL-8 sebagai agen kemotatik yang poten untuk limfosit dan
neutrofil. Beban protein berlebihan pada sel tubulus proksimalis menginduksi sintesis
Fractalkine, yang membentuk endapan pada membran sehingga meningkatkan adhesi sel
mononuklear melalui reseptor CX3CR1. Pengobatan pada tikus dengan antibody yang
melawan CX3CR1 akan mengurangi akumulasi monosit/makrofag intrestitiil.25,26
Penelitian tentang mekanisme molekuler yang didasari oleh upregulasi kemokin
dalam sel tubular proksimal terhadap protein memiliki fokus awal dalam aktivasi
transkripsional NF-. Penelitian lain menyatakan oksigen reaktif merupakan second
messenger. Beban protein berlebihan menimbulkan generasi cepat dari hidrogen peroksida
dalam sel tubulus proksimal manusia, dan pengaruhnya bersama dengan aktivasi NF-
dapat dicegah dengan antioksidan. Inhibitor spesifik dari protein kinase C (PKC) mencegah
pembentukan hidrogen peroksida, aktifasi NF-, upregulasi gene MCP-1 dan IL-8 yang
diinduksi oleh protein overload, menunjukkan cascade sinyal dari pembentukan radikal
17

oksigen yang tergantung PKC terhadap translokasi NF- dan upregulasi gen berikutnya.
Hubungan antara induksi aktivitas NF-k oleh beban protein berlebihan dan aktivasi protein
kinase oleh mitogen terbentuk melalui sintesis chemokine yang melibatkan p38 dan
extracellular signal-regulated kinase 1 amd 2 (ERK1/ERK2). Albumin mengaktivasi protein
signal transducer and activator of transcription (STAT) dalam kultur sel tubulus proksimalis.
Jalur STAT merupakan mekanisme utama dalam konversi sinyal dari berbagai cytokine dan
growth factors pada program ekspresi gen yang mengatur proliferasi sel, diferensiasi, survival
dan apoptosis sehingga memberikan dukungan pada pandangan bahwa albumin kemungkinan
menstimulasi perubahan pada sel tubulus proksimal melalui perantara cytokine.
Berbagai produk yang berikatan dengan albumin seperti free fatty acids (FFA), telah
diimplikasikan sebagai penyebab aktivasi proinflamasi atau kerusakan pada kultur sel tubulus
proksimal. Kees-Folts dkk, mempelajari respon spesifik dari kultur sel tubulus terhadap
molekul yang berikatan dengan albumin, menemukan bahwa metabolisme tubulus dari asam
lemak yang berikatan dengan albumin dapat menimbulkan aktivitas kemotaktik makrofag,
namun demikian delipidated albumin hanya akan mengaktivasi dalam jumlah kecil. Asam
lemak dapat dilepaskan selama degradasi dari albumin, HDL atau LDL. Penelitian Arici dkk
menujukkan bahwa berbagai asam lemak, asam oleat dan asam linoleat memberikan
pengaruk toksik dan profibrogenik pada kultur sel tubulus proksimal. Penelitian lebih lanjut
dibutuhkan untuk memperkirakan pengaruh dari perubahan dalam ekspresi gen lain dalam sel
tubulus proksimalis seperti integrin V5 dan pertukaran Na+/H+ sebagai respon terhadap
albumin. Penghambatan endositosis dalam sel tubulus proksimal mencegah peningkatan
aktivitas ikatan NF- DNA dan sekresi kolagen yang disebabkan overload albumin.
Hubungan antara proteinuria dan akumulasi sel mononuklear pada interstitial melalui
aktivasi faktor transkripsi dan ekspresi berlebihan kemokin mendapatkan dukungan yang
konsisten dari beberapa penelitian eksperimental. Pada tikus dengan overload proteinuria,
upregulation MCP-1 dan osteopontin dalam sel epitel tubulus dihubungkan dengan reaksi
inflamasi interstitial. Aktivitas NF- juga meningkat pada sel epitel tubulus. Dalam model
ini, terapi gen anti-MCP-1 mengurangi inflamasi interstisial, fibrosis dan kerusakan tubulus.
ACE inhibitor berperan sebagai antiproteinuria melalui penghambatan upregulation MCP-,
aktivitas NF-, membatasi akumulasi sel mononuclear pada interstitial, upregulation
osteopontin, dan infiltrasi makrofag interstitiil. Upregulation yang bersamaan dari MCP-1,
RANTES, dan osteopontin ditemukan pada sel epitel tubulus, dengan ekspresi kuat pada
pasien dengan nefropati progresif.
18

Aktivasi komplemen merupakan mekanisme kuat yang mendasari kerusakan tubulus


dan interstitial melalui efek sitotoksik, proinflamasi dan fibrinogen. Adanya C3 dan C5b-9
abnormal pada sel tubulus proksimal dan sepanjang brush border telah diketahui sebagai ciri
khas pada penyakit proteinuri kronis pada manusia. Telah diketahui secara in vitro bahwa sel
tubulus proksimal mengaktivasi serum komplemen melalui jalur alternatif, menyebabkan
fiksasi C5b-9 pada permukaan sel seperti perubahan cytoskeletal dan produksi anion
superoksida, hidrogen peroksidase serta cytokine (IL-6 dan TNF-). Terapi dengan ACE
inhibitor membatasi muatan yang berlebihan pada C3 dan protein plasma pada sel tubulus
proksimal yang secara signifikan menarik sel inflamasi. Efek protektif karena defisiensi C6
menyatakan peran dari aktivasi komplemen sebagai kunci mediator dari kerusakan
tubulointerstitial.
Pengerahan lokal makrofag oleh sel tubulus dalam respon terhadap ultrafiltrasi protein
plasma mungkin menyebabkan fibrosis interstitial dengan melibatkan miofibroblas interstitial
yang memproduksi matrix. Makrofag juga meregulasi akumulasi matrix melalui lepasnya
faktor pertumbuhan seperti TGF dan PDFG, ET-1 dan PAI-1. TGF menstimulasi
transformasi dari sel interstisial menjadi miofibroblas. Sel epitel tubulus proksimal memberi
sinyal pada fibroblas interstisial untuk meningkatkan fibrogenesis melalui pelepasan parakrin
dari TGF. Percobaan pada ginjal tikus setelah mengalami proteinuria 14 hari dari onset
menujukkan pengaturan oleh TGF- mRNA pada sel tubulus proksimal secara pararel
dengan akumulasi awal dari -smooth muscle actin (-SMA) myofibroblas yang berlokasi di
interstitial peritubular sehingga hal tersebut memperlihatkan bahwa fibroblas intestitial
merupakan target awal sinyal profibrogenic yang ditimbul akibat reabsorbsi berlebihan dari
protein.
Albumin dari kultur sel tubulus proksimalis menghasilkan peningkatan ekspresi gen
dan produksi dari TGF-. Albumin akan meregulasi transkripsional, sintesis dan ekspresi
permukaan dari reseptor TGF- tipe II pada sel tubulus proksimal, yang menunjukkan peran
aksi stimulasi pembentukan matrik oleh TGF- sehingga terjadi fibrosis tubulointerstitial.
Asam lemak yang tidak terikat pada albumin akan menstimulasi akumulasi kolagen
ekstraseluler tipe IV, laminin dan fibronektin oleh sel tubulus proksimal melalui mekanisme
posttranskripsi. Albumin menyebabkan peningkatan level dari Tissue inhibitor of
metalloproteinase 1 (TIMP-1) dan TIMP-2 memperkirakan bahwa penurunan degradasi
dibanding peningkatan dalam ekspresi protein dapat berperan dalam kenaikan akumulasi
komponen protein matriks ekstraseluler sebagai respon terhadap albumin. Dose dependent
19

dari sekresi TGF- oleh sel tubulus proksimal yang terpapar albumin membutuhkan aktivasi
jalur signalling aktivasi protein kinase oleh mitogen pada albumin yang terikat di reseptor
permukaan. Respon ini tidak tergantung pada endositosis dari albumin, oleh karena terbukti
bahwa inhibitor endositosis seperti simvastatin, megalin ligand gagal dalam menghambat
sekresi TGF- yang diinduksi oleh albumin. Albumin menyebabkan apoptosis tubulus yang
tergantung pada dosis dan durasi paparan melalui fenomena yang dihubungkan dengan
aktivasi dari jalur Fas-FADD caspase 8. Peroxisome proliferator activated receptor- (PPAR-

) memegang peran dalam respon apoptosis terhadap konsentrasi tinggi dari ikatan albumin
dengan asam lemak pda sel tubulus proksimal.

Gambar 9. Mekanisme yang mendasari aktivasi jalur inflamasi dan fibrogenik pada sel epitel tubulus
proksimal oleh ultrafiltrasi beban protein. Konsekuensi dari proteinuria25
Dikutip dari : Abbate M et al. J Am Soc Nephrol.2006

Tabel 2. Aktivasi faktor-faktor dan jalur molekuler yang mendasari disfungsi sel epitel tubulus dan
inflamasi interstitiil serta fibrosis pada progresif nephropathy akibat proteinuria 25

20

Dikutip dari : Abbate M et al. J Am Soc Nephrol.2006

G.

GAMBARAN KLINIS SINDROMA NEFROTIK


Gambaran klinis yang sering terlihat pada anak dengan SN adalah edema dengan onset

mendadak yang akan muncul pertama kali pada tempat dengan resistensi jaringan yang
rendah seperti periorbital, scrotal dan labial.7 Edema akan secara klinis terdeteksi apabila
telah terjadi retensi cairan melebihi 3-5% berat badan. Perjalanan klinis edema terdistribusi
berdasarkan gravitasi sehingga pada wajah terutama regio periorbital mengalami bengkak
pada pagi hari dan ektremitas (pretibia) mengalami bengkak pada waktu selanjutnya. Pada
posisi terlentang maka ascites akan lebih nampak namun tidak didapatkan edema tungkai
bawah. Orang tua sering mengeluhkan berat badan anak tidak mau naik namun kemudian
mendadak berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti dengan nafsu
makan yang meningkat. Pola timbulnya edema bervariasi pada pasien dengan berbagai
kelainan glomerulus. Pada anak dengan MCNS edema timbul secara lebih cepat dan progresif
dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan serta intermiten pada kelainan
glomerulus jenis lainnya, terutama pada MPGN. Bila lebih berat akan disertai asites, edema
pulmonum, efusi pleura, dan edema skrotum. Anak-anak yang tidak mendapatkan pengobatan
maupun gagal dalam respon terapi akan berkembang menjadi edema anasarka.2,7,16
Anamnesis mengenai gejala klinis sebelum onset SN dapat ditemukan adanya riwayat
infeksi seperti infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, dll. Riwayat alergi juga
ditemukan sekitar 30% anak SN. Reaksi hipersensitivitas seperti sengatan lebah dan racun
21

dari tumbuhan menjalar telah dilaporkan mendahului onset SN. Muncul gejala diare yang
disebabkan oleh edema usus. Anak sering merasa mudah lelah dan iritabel. Gangguan fungsi
psikososial akibat stress non spesifik dimana anak dapat mengalami kecemasan dan merasa
bersalah.27
Tekanan darah biasanya normal atau rendah namun dapat secara parodoksikal
meningkat pada 21% terutama pada anak dengan volume contracted yang berat oleh karena
sekresi berlebihan dari renin, aldosteron dan kemungkinan hormon vasokonstriktor yang lain
sebagai respon terhadap hipovolemia. Hipertensi yang persisten jarang terjadi pada MCNS
dan

FSGS

namun

harus

lebih

dicurigai

adanya

kelainan

glomerulus

seperti

Membranoproliferatif glomerulonephritis. Etiologi hipertensi pada anak SN diperkirakan


multifaktorial. Volume sirkulasi pada anak dengan SN harus diperhatikan dengan cermat.
Hipovolemia ditandai dengan gejala akral dingin, perlambatan cappilary refill, nyeri
abdomen (yang harus dicurigai pula sebagai peritonitis) dan penurunan tekanan vena
jugularis.
Pemeriksaan terhadap berat badan serta tinggi badan diperlukan sebagai monitoring
terhadap derajat edema serta status gizi. Pada anak dengan SN beresiko terjadi malnutrisi
kalori protein yang disebabkan oleh nafsu makan berkurang, terbuangnya protein melalui urin
dan malabsorbsi akibat edema mukosa saluran cerna. Anoreksia yang terjadi berhubungan
dengan beratnya edema. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik mungkin
disebabkan oleh sintesis albumin yang meningkat atau edema atau keduanya. Apabila disertai
dengan sakit perut maka perlu dipikirkan terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis,
thrombosis dan pancreatitis.7
Proteinuria terutama albumin didapatkan melalui pemeriksaan kualitatif urin rutin
maupun protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari yang mempunyai nilai validitas tinggi oleh karena tanpa peranan
peningkatan benign orthostatic pada ekskresi protein dalam urin. Dalam laporan ISKDC
(Internasional Study of Kidney Diseases in Children), pada MCNS ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Adanya hematuria mikroskopis bukan
merupakan kontraindikasi untuk memulai memberikan terapi empiris steroid. Hematuria
makroskopik merupakan salah satu tanda bentuk kelainan glomerulonefritis seperti pula
dengan ditemukannya casts sel maupun granuler.2,28 Sedimen pasien dengan SN sering
mengandung fat bodies, dimana apabila terjadi proteinuria massif maka dapat ditemukan
Hyaline casts sedangkan granular casts berkaitan dengan gagal ginjal akut dan nekrosis
22

tubular akut.7 Jumlah sel darah merah < 5 LPB dalam urin masih dalam batas normal, namun
silinder sel darah merah dan sel darah putih meningkatkan kecurigaan nephritis. Frekuensi
terjadinya gross hematuria tergantung tipe histologi ginjal SN, dimana gross hematuria lebih
sering terjadi pada MPGN sedangkan pada MCNS hanya sekitar 3-4%. Pasien dengan FSGS
menunjukkan mikrohematuria dengan presentasi tinggi secara statistik dibandingkan MCNS
namun demikian perbedaan ini tidak membantu dalam differensiasi dari kedua tipe histologi
tersebut. Trombosis vena renalis juga dipertimbangkan pada keadaan hematuria. Kejang
sebagai gejala sekunder trombosis cerebral jarang dijumpai pada anak-anak. Konsentrasi
natrium dalam urin berharga dalam mendiagnosis kecurigaan terhadap hipovolemia. U Na
kurang dari 10 mmol/L didiagnosis terjadi penurunan volume sirkulasi efektif. Namun hukum
ini tidak berlaku pada pasien yang mendapatkan terapi diuretik seperti Furosemide.2
Kaliuresis biasanya lebih tinggi dibandingkan natriuresis akan tetapi kemungkinan terdapat
penurunan pada pasien dengan oliguria.7
Kadar protein total menurun dibawah normal terutama albumin < 2,5 g/dL serta rasio
albumin dan globulin yang terbalik. Gupta dkk dalam penelitian mengenai hubungan antara
albumin serum dengan distribusi diagnosis gambaran histopatologi pada saat biopsi dengan
membagi derajat hipoalbuminemia menjadi albumin serum < 30 g/L, 30-35 g/L dan 35 g/L
mendapatkan bahwa pasien dengan albumin serum > 35 g/L mempunyai gambaran FSGS,
nephrosclerosis dan mempunyai tingkat survival ginjal lebih rendah.31 Hipoalbuminemia akan
menurunkan total calcium serum oleh karena hilangnya fraksi ikatan albumin-calcium.
Namun demikian proporsi total calcium ionisasi normal dimana calcium terionisasi secara
klinis lebih signifikan berguna untuk sel. Konsentrasi kolesterol plasma total, LDL, VLDL
akan meningkat dengan HDL normal. Diperlukan pula pemeriksaan darah tepi lengkap
(Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit dan LED), kadar komplemen C3
dan bila dicurigai Lupus eritematosus sistemik (LES) maka pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA (Anti nuclear antibody) dan anti ds-DNA.2 Hypocomplementemia
dapat pula merupakan tanda histologis dari MPGN. Anemia ringan hanya kadang-kadang
ditemukan pada pasien SN dengan morfologi hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi
yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan besi. Konsentrasi ureum dan creatinin pada
plasma biasanya normal pada MCNS dan FSGS onset pertama namun dapat sedikit
meningkat pada beberapa kasus dengan hipovolemia dan perfusi ginjal yang kurang
(Prerenal azotemia). Kadar elektrolit plasma dalam batas normal kecuali apabila terjadi
keadaan hipovolemia. Hiponatremia sering pula ditemukan pada anak dengan SN.
Peningkatan yang tinggi pada BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin, hiperkalemia serta
23

asidosis menunjukkan adanya insufisiensi ginjal. Manifestasi gangguan tubulus proksimal


lain yang agak jarang ditemukan adalah glikosuria renal, gangguan pembuangan kalium,
fosfaturia dan hipofosfatemia serta aminoasiduria. Umumnya pasien dengan kelainan ini
timbul pada usia muda dengan jenis SN berat yang resisten steroid awal atau terlambat.
Dengan meningkatnya tekanan tubulus proksimal mengakibatkan penurunan LFG sehingga
terjadi komplikasi gagal ginjal akut.23 Pada MPGN terjadi perubahan progresifitas sacara
cepat menuju gagal ginjal terminal pada beberapa minggu atau bulan, yang tercermin dari
peningkatan kadar kreatinin dalam plasma secara progresif yang menggambarkan perubahan
dari GFR.6
Dengan bukti adanya etiologi terbanyak SN pada anak merupakan MCNS maka usaha
awal ditujukan pada deteksi dari gambaran-gambaran klinis yang atipikal dari MCNS.
Perjalanan pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid tanpa adanya biopsi ginjal
diindikasikan pada pasien dengan MCNS tanpa adanya gejala klinis atipikal sejak respons
terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis jangka panjang
dari fungsi ginjal dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi.29
Tabel 3. Gambaran yang menunjukkan diagnosa selain MNCS 29,30
Umur < 1 tahun atau umur > 8 tahun
Riwayat keluarga positif
Penyakit lain (misalnya artritis, rash, anemia)
Penyakit kronis
Gejala berdasarkan ekspansi volume intravaskuler (hipertensi, edem
pulmoner)
Gagal ginjal
Sedimen aktif urin (red blood cell casts) persisten hematuria
Hypocomplementemia (penurunan kadar C3)
Gambaran Tipikal
Usia antara 1 10 tahun
Normotensi
Fungsi Adrenal Normal
Hematuria mikroskopis +/-

Gambaran Atipikal

Usia < 1 tahun dan > 10 tahun

Hipertensi

Peningkatan creatinin

Hematuria Makroskopis
C3 plasma rendah
Hepatitis B atau C positif
Dikutip dari :
Sebagian besar anak dengan SNSS mempunyai gambaran histopatologi kelainan
Eddy AA, Symons JM. Lancet.2003
Vogtpada
BA, Avner
ED.Saunders
minimal
biopsi
ginjal Elsevier.2007
dengan tidak adanya perubahan struktur pada dinding kapiler

glomerulus kecuali Fusion dari FP epitel. Sel epitel yang mengalami perubahan bentuk
dengan kehilangan FP sehingga saling berbatasan satu dengan yang lain seperti skuama
mengakibatkan kehilangan muatan elektrik negatif dari MBG dan kemungkinan pada sel
epitel juga, sehingga menyebabkan kegagalan barier filtrasi komponen muatan spesifik.6
24

H.

EVALUASI DIAGNOSTIK PADA SINDROMA NEFROTIK


Dalam mendiagnosis pasien dengan SN maka diperlukan riwayat anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang secara komprehensif yang ditujukan dalam
mengevaluasi penegakkan diagnosis, mencari kemungkinan penyebab, pengukuran fungsi
ginjal, identifikasi kelainan biokimiawi yang berhuungan dengan onset nefrotik serta
komplikasi yang mungkin terjadi. Pada setiap pasien SN maka perlu dilakukan anamnesis
riwayat secara terperinci mengenai onset usia, progresivitas gejala, tanda adanya oliguria
ataupun hematuria, riwayat infeksi saluran pernafasan atas atau eksantema oleh karena virus
yang kemungkinan mempercepat episode awal serta riwayat alergi yang didapatkan pada
hampir 30-50% pasien. Pemeriksaan fisik meliputi pengukuran anthropometri (berat badan
dan tinggi badan), tekanan darah, frekuensi nafas, frekuensi denyut jantung, waktu pengisian
kapiler, lingkar perut, pemeriksaan adanya ascites, efusi pleura, derajat edema dan
komplikasi, focus infeksi gigi, telinga atau adanya rash, arthralgia/arthritis. Limfadenopati
atau adanya purpura sebagai kemungkinan terdapat penyebab sekunder. Apabila didapatkan
adanya tanda infeksi maka perlu dilakukan eradikasi dahulu sebelum pengobatan steroid
dimulai.2.3
Urinalisis dengan pemeriksaan mikroskop direkomendasikan untuk mengidentifikasi
differensial nefritis dengan SN primer. Protein urin kuantitatif yang dapat berupa urin 24 jam
atau rasio kadar Up/c pada kencing pertama di pagi hari akan menunjukkan derajat
proteinuria tanpa adanya kontribusi peningkatan ortostatik yang ringan dalam ekskresi
protein urin sehingga menghindari kenaikan false positif. Pada SN terjadi proteinuria masif,
yaitu lebih dari 40 mg/m/jam, atau rasio protein dan kreatinin lebih dari 2-3 mg per mg
dalam urin sewaktu, atau dengan dipstik lebih dari 2+. Pada urinalisis diperlukan pula
evaluasi dari peningkatan berat jenis (BJ), pH urin, leukosituria, double refractile lipoid
bodies dan silinder hialin. Kultur urin dilakukan apabila didapatkan hasil kecurigaan ke arah
infeksi saluran kemih pada urinalisis.
Tabel 4. Metode Test Proteinuria 32

25

Dikutip dari : Hogg J Ronald et al. Pediatrics.2000

Darah rutin lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED),
kadar albumin (Hipoalbuminemia < 2,5 mg/dL dengan rasio albumin dan globulin terbalik),
profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, VLDL dan Trigliserida) disertai pemeriksaan kadar
elektrolit serum, nitrogen urea serum, ureum, serta perhitungan clearance creatinin atau
GFR. Akurasi pengukuran GFR dari kreatinin serum pada pasien anak dapat dengan
menggunakan persamaan-persamaan dalam prediksi GFR yang melibatkan perhitungan
tinggi badan, usia dan jenis kelamin. 2 Formula prediksi GFR yang telah berkembang adalah
Schwartz Formula dan Counahan-Barratt Formula.
Tabel 5. Estimasi GFR Anak menggunakan Serum Creatinin dan Tinggi Badan33
Peneliti, Tahun
Rumus
(Jumlah Sampel)
Schwartz dkk
CCr (mL/min/1,73 m2) = 0,55 x TB (cm)
(N=186)
SCr (mg/dL)
2
Counahan dkk
GFR (mL/min/1,73 m ) =0,43 x TB (cm)
(N=108)
SCr (mg/dL)
CCr mengindikasikan creatinin clearance; SCr, serum creatinin.
Pada rumus Schwartz, konstanta yang digunakan pada anak (umur < 1 tahun) adalah 0,45,
pada anak laki-laki nilai konstanta berupa menjadi 0,7. Untuk merubah serum creatinin dalam
mol/L menjadi mg/dL, nilai dikalikan 0,0113.
Dikutip dari : Hogg RJ et al..Pediatrics.2003

Sindroma nefrotik dapat termasuk dalam klasifikasi Chronic kidney disease (CKD),
dimana klasifikasi CKD menurut National Kidnet Foundation Kidney Diasease and Outcome
Quality Initiative (KDOQI) adalah semua pasien yang mengalami kerusakan ginjal sedikitnya
selama 3 bulan dengan atau tanpa penurunan GFR ataupun pasien yang mempunyai nilai
GFR < 60 ml/min/1,73 m2 sedikitnya selama 3 bulan dengan ataupun tanpa kerusakan ginjal.
KDOQI mengklasifikasikan CKD menjadi 5 kelompok :
26

Pada populasi yang beresiko tinggi maka diperlukan pemeriksaan skrinning Hepatitis
B, Hepatitis C dan serologi HIV. Test tuberculin (Mantoux test) dan X-foto dada (untuk
menyingkirkan tuberculosis) dilakukan sebelum terapi kortikosteroid diberikan. Apabila hasil
tes tuberculin positif maka diberikan profilaksis INH selama 6 bulan dan apabila didapatkan
anak menderita tuberculosis maka diberikan pengobatan anti tuberculosis (OAT) bersamaan
dengan pemberian steroid.22
Skrining komplemen 3 (C3) dan antibodi antinuklear (ANA) (untuk anak 10 tahun
atau dengan tanda lupus eritematosus sistemik yang lain), Anti ds-DNA, dan biopsi ginjal
diperlukan untuk penyakit-penyakit terkait proteinuria yang disertai hipokomplementemia,
antara lain glomerulonefritis membranoproliferatif dan lupus eritematosus sistemik (LES).
Malar rash, adenopathy, arthritis, demam dan penurunan berat badan menunjukkan
kecurigaan LES sedangkan adanya diffuse lymphadenipathy dan hepatosplenomegali
dicuriagai suatu kelainan lymphoma. Kedua kelainan tersebut membutuhkan pendekatan
tatalaksana yang berbeda. ASTO dan C3 juga diindikasikan pada keadaan SN dengan
hamaturia persisten.
Biopsi ginjal anak dengan umur lebih dari 12 tahun, direkomendasikan karena
frekuensi diagnosis selain minimal-change-disease yang lebih tinggi.
Indikasi Biopsi ginjal pada anak dengan SN serangan pertama (Presentasi Awal):
Onset terjadinya SN pada usia < 1 tahun atau > 16 tahun
Hematuria makroskopik
Hematuria mikroskopik persisten
Kadar komplemen 3 (C3) serum yang rendah
Hipertensi menetap
Penurunan fungsi ginjal bukan karena keadaan hipovolemia (Insufisensi ginjal
persisten)
Kecurigaan sindroma nefrotik sekunder (adanya gambaran klinis diluar ginjal seperti
arthritis, rash dan limfadenopati)
Perawatan di Rumah Sakit disarankan pada anak SN serangan pertama untuk
mempercepat penegakkan diagnosis, tatalaksana medis dan keperawatan, evaluasi pengaturan
diet, penanggulangan edema, dan menyediakan edukasi secara intensif kepada keluarga
mengenai SN dan perawatan jangka panjang selama di rumah.2
I.

TERAPI AWAL PADA SINDROMA NEFROTIK

27

Kortikosteroid telah digunakan sebagai pengobatan empiris awal pada SNI sejak tahun
1950. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti peran steroid pada SNI baik sebagai
antiinflamasi, immunosupressi ataupun keduanya. Tujuan terapi setroid adalah menginduksi
remisi dan mempertahankan remisi dengan efek samping minimal.
Pengobatan dengan Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan SN idiopatik pilihan pertama pada semua kasus
tanpa memandang status histopatologi bahkan pada FSGS, kecuali bila ada kontraindikasi.
Dapat diberikan prednisone atau prednisolon. Infeksi harus segera diterapi sebelum memulai
pengobatan steroid bukan hanya mencegah sepsis namun juga olehkarena infeksi yang
tersembunyi bertanggungjawab sebagai faktor resisten steroid. Demam dan gejala infeksi
dapat dijumpai pada anak dengan SN antara lain infeksi kulit, peritonitis serta infeksi saluran
kemih yang dapat merupakan penyebab gagalnya pengobatan pada SN. Pada SNSS akan
tetap memberikan respon terhadap steroid pada kejadian relaps berikutnya dan hanya 1-3%
pasien SNSS initial akan menjadi SNRS. Terapi steroid dimulai apabila diagnosis SNI pada
anak usia > 1 tahun dan < 11 tahun, tanpa hipertensi, tanpa gross hematuria maupun gejala
ekstra renal lain serta level komplemen normal.7
Pengobatan inisial
Sesuai dengan rekomendasi ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial SN dimulai dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60
mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednisone dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah
pemberian steroid 2 minggu pertama (biasanya hari 7-14 sejak terapi dimulai) , remisi telah
terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila
terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari (3
hari dalam 1 minggu), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar
10). Normalisasi kadar protein urin dalam waktu 8 minggu dengan terapi glucocorticoid
mempunyai nilai predictor histopatologi MCNS dengan sensitivitas 93,1% dan spesifisitas
72,2%.3

28

4 minggu

4 minggu

Remisi (+)
Proteinuria (-)

Dosis
Alternating
(AD)
Remisi (-) : Resisten
Steroid

Prednison FD 60
mg/m2/Hari
Prednison AD 40
mg/m2/Hari

Imunosupressan Lain
Gambar 10. Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid2
Dikutip dari : Konsensus tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Unit kerja koordinasi nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta; 2005

Seri studi evaluasi paparan prednisone awal pada terapi SN memiliki rentang periode
4-28 minggu. Durasi terapi steroid inisial berpengaruh pada resiko relaps. APN
(Arbeitgemeinshaft fiir Pediatrische Nephrology) Jerman melaporkan bahwa dengan
pemberian prednisone full dose (2 mg/KgBB/hari (maksimum 60 mg)) selama 6 minggu
dilanjutkan dengan alternate dose (1,5 mg/KgBB (maksimum 40 mg)) selama 6 minggu dan
tidak dilakukan tappering off steroid pada saat terapi awal ini, dapat memperpanjang remisi
dibandingkan dengan dosis standar 8 minggu. Pada pengamatan 12 bulan pasca terapi,
kejadian relaps menurun menjadi 36,2% vs 81 % (dosis standar). Hasil dari beberapa studi di
India, Eropa, dan Jepang telah menguji metode terapi ini dengan tappering jangka panjang,
tambahan siklosporin, dan dosis awal prednison yang lebih rendah dari 40 mg/m2 per hari
namun tidak menunjukkan adanya perbaikan signifikan pada remisi lanjutan selama 12
minggu pemberian regimen. Penghentian prednison setelah 12 minggu tanpa tappering
memberikan keuntungan dan mungkin membatasi efek negatif terapi prednison jangka
panjang. Remisi yang bertahan selama 24 bulan sejumlah 49% sementara tingkat relaps
sering tidak lebih dari 29% diharapkan dapat tercapai dengan regimen ini.
Lama waktu pemberian pengobatan steroid sebagai terapi awal masih dalam proses
evaluasi. Metaanalysis Cochrane terkini secara Randomized controlled trial mengkonfirmasi
bahwa perpanjangan durasi terapi kortikosteroid awal pada SN secara signifikan menurunkan
resiko serta angka relaps pada 12 dan 24 bulan tanpa peningkatan efek samping. Analisis
tersebut juga menyatakan durasi terapi awal steroid untuk episode inisial seharusnya minimal
3 bulan.2,34 Angka relaps akan lebih rendah apabila pengobatan alternate day tidak dihentikan
29

tepat 12 minggu namun dilakukan tapering off (penurunan dosis 5-10 mg/m2 tiap minggu)
selama 2-4 bulan selanjutnya. 35 Pemberian terapi awal dengan lama pemberian yang
diperpanjang lebih menghasilkan remisi dalam jangka waktu lama dan relaps sedikit tanpa
peningkatan efek samping.34 Pengaruh dari terapi steroid inisial pada perjalanan penyakit SN
terutama yang berhubungan dengan penurunan resiko relative relaps telah banyak
didiskusikan. Cochrane menyebutkan bahwa pemberian terapi steroid inisial yang
diperpanjang lebih dari 3 bulan kemungkinan menghasilkan penurunan resiko relaps. Namun
demikian, beberapa studi yang memiliki power penelitian lemah dan belum adanya publikasi
penelitian dari wilayah geografis yang berbeda diinklusikan dalam analisis yang dilakukan
Cohcrane.1
Arbeitsgemeinschaft fur Padiatrische Nephrologie (APN) melakukan penelitian
mengenai penambahan cyclosporine pada 3 bulan terapi steroid inisial menujukkan bukti
bahwa intensifikasi pemberian immunosupresi pada saat onset awal tidak menghasilkan
tingkat remisi jangka panjang yang lebih tinggi pada keseluruhan kohort pasien dengan
SNSS. Namun demikian, dalam sub analisis dibuktikan bahwa pasien yang berusia kurang
dari 6 tahun mempunyai nilai yang signifikan tinggi terhadap adanya remisi yang menetap
selama 2 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hiraoka bahwa
dengan pemanjangan terapi steroid menguntungkan pada anak yang berusia kurang dari 3
tahun saat diagnosis ditegakkan.1
Karakteristik studi populasi dan intervensi Prednisone secara Randomized controlled
trial sebagai terapi awal SNSS ditunjukkan pada table 6. Penelitian tunggal yang
menunjukkan bahwa terapi prednisone yang diberikan selama 8 minggu lebih efektif
dibandingkan dengan durasi yang lebih singkat (60 pasien: Relative risk (RR) 1,46, 95% CI
(1.01-2.12). Metaanalisis dari 6 penelitian secara RCT mengenai terapi prednison jangka
panjang selama 3-7 bulan yang dapat menurunkan 70% resiko relaps dalam 12-24 bulan
dibandingkan kelompok kontrol setelah terapi 2 bulan menunjukkan penurunan resiko relaps
sebesar 30% pada 12-24 bulan. Penurunan yang signifikan juga ditunjukkan pada jumlah
anak yang mengalami relaps sering (6 penelitian; RR 0,63; 95% CI 0,46 0,84) dan rerata
jumlah relaps per tahun ( 4 penelitian Wighted mean difference (WMD), -0,65 ; 95% CI -1,29
0,00). Tidak ada perbedaan signifikan pada dosis prednisone kumulatif (3 penelitian WMD
0,71; 95% CI , -0,67 2,09), namun terdapat heterogenitas yang signifikan antara penelitian.
(Tabel 6)36
Metanalisis penelitian yang membandingkan terapi prednisone selama 6 bulan
dibandingkan dengan 3 bulan menujukkan penurunan signifikan resiko relaps. Penurunan
30

yang signifikan pada jumlah anak yang mengalami relaps sering ( 4 penelitian; RR 0.55;95%
CI, 0,39-0,80) dan rerata relaps per tahun ( 3 penelitian; WMD, -0,44; 95% CI . -0,82 -0,07). Tidak ada keuntungan tambahan ditunjukkan oleh 1 penelitian mengenai
perbandingan terapi 12 bulan dibandingkan 5 bulan.(Gambar 11)36
6 penelitian membandingkan terapi prednisone 2 bulan dibandingkan 3-7 bulan,
menunjukkan bahwa resiko individual mengenai adverse effects yang berhubungan dengan
prednisone tidak berbeda signifikan antara eksprerimen dan control pada RCT, walaupun
terdapat heterogenisitas antara penelitian.(Gambar 12) Peningkatan durasi kortikositeroid
mengakibatkan peningkatan total dosis kortikosteroid sehingga terlihat pengaruh dari durasi
dan dosis sulit untuk dipisahkan.36
Dibandingkan dengan induksi standar dosis prednisone 2240 mg/m2, pemberian dosis
2922-5235 mg/m2 secara signifikan menurunkan resiko relaps pada 12-24 bulan (7 penelitian,
481 anak; RR 0,69; 95% CI 0,59-0,81). Plotting RR dalam resiko relaps dibandingkan rasio
dosis/durasi memperlihatkan bahwa durasi lebih berperanan dibandingkan dosis. Metaanalisis
dari 2 peneilitian mengenai perbedaan total dosis prednisone dengan durasi yang sama ( 3- 6
bulan) menujukkan penurunan resiko relaps 40% dibandingkan dengan dosis kortikostreoid
yang lebih tinggi ( 2 penelitian; RR, 0,59; 95% CI, 0,42 0,84) memperlihatkan bahwa
peningkatan dosis dan pemanjangan durasi kortikosteroid berperan penting dalam
determinan resiko relaps.36
Terdapat hubungan linear terbalik antara resiko relaps dan durasi terapi induksi yang
menunjukkan adanya keuntungan dengan terapi sampai dengan 7 bulan (RR 1,26 0,112
durasi; r2=0,56; p=0,03), dengan peningkatan 1 bulan dan pada terapi melebihi 2 bulan, RR
untuk relaps turun sampai 11%. Dengan rerata angka relaps 70% dengan terapi selama 2
bulan, total jumlah anak yang mengalami relaps dalam 12-24 bulan menurun sampai 8%
untuk setiap peningkatan 1 bulan dalam durasi terapi, sehingga pengobatan selama 6 bulan
akan menurunkan resiko relaps 32% (4x8%) 38%. Dalam populasi dengan angka relaps
rendah setelah terapi 2 bulan, keuntungan dari pemanjangan durasi prednisone akan semakin
kecil.36
Data RCT dari survey Pediatric Nephrologist di Amerika utara menujukkan
pertimbangan diantara responden dalam pendekatan terapi episode pertama pada SNI, namun
hampir 70% menggunakan durasi yang diperpanjang dari rekomendasi regimen ISKDC.
Penelitian secara RCT menunjukkan hasil yang konsisten dalam peran peningkatan durasi
dan dosis kortikosteroid dalam menurunkan relaps tanpa meningkatkan efek yang merugikan.
Hasil yang didapatkan pada penelitian dengan design, power adekuat dan RCT yang
31

membandingkan 2 bulan dengan 6 bulan terapi prednisone dengan perhatian besar pada efek
samping masih membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.36
Sebagian besar SN pada anak akan memberikan respon terhadap pemberian
kortikosteroid. Respon terhadap terapi inisial dengan kortikosteroid merupakan indicator
penting dalam menentukan prognosis SN. Walaupun secara keseluruhan insiden SN konstan,
namun laporan beberapa penelitian dalam 20 tahun terakhir didapatkan adanya peningkatan
FSGS dan penurunan insiden MCNS. Adanya kecenderungan peningkatan insiden SN pada
anak dengan gambaran histopatologi FSGS merupakan kecenderungan menjadi resisten
steroid.7 Diantara 25 dan 50% anak-anak dengan MPGN dan FSGS memberikan respon
terhadap pengobatan prednisone.36

Gambar 11. Metaanalisis RR (95% CI) terhadap relaps pada SN dalam waktu 12-24 bulan setelah episode awal SNSS.
Test statistic Z menujukkan peningkatan durasi prednisone signifikan lebih efektif dibandingkan terapi selama 2 atau 3
bulan.36
Dikutip dari : Hodson EM et al. Evidence-based Nephrology. Willey-Blackwell.2009

32

Tabel 6. Karakteristik populasi dan intervensi pada penelitian randomized prednisone dalam episode
awal SNSS36

Dikutip dari : Hodson EM et al. Evidence-based Nephrology. Willey-Blackwell.2009

33

Gambar 12. Risk difference (RD) (95% CI) metaanalisis untuk efek samping kortikosteroid dari 6
penelitian dengan pemanjangan durasi prednisone (3-7 bulan) dibandingkan 2 bulan. 36
Dikutip dari : Hodson EM et al. Evidence-based Nephrology. Willey-Blackwell.2009

34

J.

MEKANISME KERJA GLUCORTICOID PADA SINDROMA NEFROTIK


Hipotesis patogenesis pada SN adalah adanya disfungsi sel T dengan keterlibatan

berbagai macam sitokin seperti IL-2, IL-4, IL-12 IFN- dan Platelet Activating Factor (PAF)
serta peran dari aktivasi NF-KB sebagai faktor transkripsi ikatan DNA dengan protein. NF- kB
adalah heterodimer subunit p50 dan p65 sebagai bentuk inaktif dalam sitoplasma yang
mempunyai inhibitor IkB dengan aksinya melalui translokasi dari heterodimer masuk ke
nukleus selanjutnya berikatan dengan DNA spesifik dan mengaktivasi transkripsi. Regulasi
dan fungsi NF-KB dalam inflamasi berperan penting pada ekspresi cytokine. Amer (1993)
membuktikan aktivasi NF-KB pada SN melalui peran fosforilasi dan hilangnya I kB dan
adanya mekanisme autoregulatori fungsi NF-KB oleh karena proses resintesis IkB secara
cepat setelah hilang dari siklus.38 Sahali (2001) dalam penelitiannya terhadap pasien SN
menunjukkan level aktivitas ikatan NF-kB DNA yang tinggi terutama terdiri atas kompleks
p50/65 dan rendahnya ekspresi IkB. Penelitian ini menyimpulkan pula adanya perubahan
NF-kB/IkB Regulatory Feedback Loop mungkin mempunyai kontribusi pada abnormalitas
imunologis pada MCNS yang sensitive steroid. Pada SNRS yang mengalami remisi akan
didapatkan peningkatan beberapa kali lipat kadar IkB dan akumulasi bentuk fosforilasi
IkB berperan sebagai stabilisasi serta tidak terdeteksi aktivasi NF-kB pada eksperimen
supershift ekstrak nuclear.39
Antagonisme Glucocorticoid receptor / NF-kB
Glucocorticoid berperan dalam menginduksi transkripsi gen. Pengaruh utama anti
inflamasi dari glukokortikoid adalah melalui represi berbagai gen inflamasi dan imun. Efek
inhibisi dari glucocorticoid melalui peran interaksi protein antara Glucocorticoid receptor
(GR) aktif dan faktor transkripsi seperti NF-kB dan Activating protein (AP-1) yang dimediasi
oleh ekspresi dari gen-gen inflamasi.39 Ikatan langsung antara GR dan AP-1 serta p65 dari
NF-kB dan GR mengakibatkan perubahan ikatan maupun aktivasi dari faktor transkripsi
tersebut sehingga mengubah ekspresi gen inflamasi termasuk pada sel T limfosit.
Peran glucocorticoid melalui hambatan ekspresi NF-kB disertai pula penekanan pada
Tumor Necrosis Factor yang akan menginduksi ekspresi gen IL-6 melalui mekanisme nuclear
yang bergantung pada NF-kB tanpa mengubah kapasitas ikatan DNA dari NF-kB atau tingkat
ekspresi IkB. Glucocorticoid receptor (GR) menekan aktivitas transkipsi NF-kB melalui
interaksi fisik dengan sub unit p65, selain itu NF-kB juga mengalami regulasi transkripsi
35

negatif melalui perantara GR. Disamping melalui mekanisme pengambilalihan tempat NF- kB
yang akan mengakibatkan hambatan dengan ikatan DNA, terdapat alur antagonisme mutual
antara GR dan NF-kB melalui kompetisi dengan kofaktor mutual seperti cAMP response
element binding protein (CREB)-binding protein (CBP) yang mampu memfasilitasi interaksi
antara GR dan NF-kB. Glucocorticoid receptor (GR)

juga akan menekan gen yang

diperantarai NF-kB melalui pengaruh Histone acetylation/deacetylation. Hal tersebut dapat


terjadi melalui beberapa mekanisme aksi glucocorticoid antara lain kompetisi antara GR dan
tempat ikatan pada CBP untuk faktor transkripsi lain seperti AP-1 dan NF- kB. Jalur alternatif
lain adalah GR aktif mungkin berikatan dengan satu diantara molekul co-reperssor
transkripsi seperti Receptor Interacting Protein 140 (RIP140) dan NcoRI sehingga terjadi
perubahan aktivitas Histone deacetylase (HDAC). Glucocorticoid dapat merepresi stimulasi
Histone acetylation oleh IL-1 yang terjadi inhibisi langsung pada CBP yang berhubungan
dengan aktivitas HAT serta recruitment aktif protein HDAC. Keseluruhan mekanisme
tersebut menghasilkan deacetylase dari histone, peningkatan ikatan DNA disekeliling
Histone dan repressi gen inflamasi. Modifikasi histone diperkirakan memegang peranan pada
GR/NF-B cross-talk pada tingkat kromatin.
Glucocorticoid akan merepresi downstream target terhadap aktivasi faktor transkripsi
(downstream ikatan NF-B-DNA) sehingga terjadi penurunan ekspresi gen inflamasi seperti
pada penurunan phosphorylation dari residu RNA polymerase II serine yang diinduksi oleh
NF-B pada sel IL-18. GR juga akan menganggu hubungan p65 dengan lingkungan TATA
sehingga terjadi penghambatan aksi p65.
Aktivasi NF-kB oleh cytokine seperti IL-1 menyebabkan ikatan DNA dan perekrutan
HATs seperti CBP/p300 dan PCAF pada sisi NF-kB dalam promoter dari gen yang terinduksi.
Hal ini akan menyebabkan acetylation residu histone dalam nucleosome dekat NF-kB serta
recruitmen komplek protein meliputi TATA binding protein (TBP) dan RNA Polymerase II
RNA pol II). Proses tersebut akan dilanjutkan dengan peningkatan transkripsi gen.
Phosphorylation CBP oleh IL-1 yang mengiduksi kinase kemungkinan juga meningkatkan
ikatan dari NF-kB pada DNA dan aktivitas transkripsional. Glucocorticoid kemungkinan juga
akan meningkatkan ekspressi gen melalui proses yang serupa. Aktivasi dari GR oleh ligand
akan menyebabkan ikatan pada sisi DNA yang spesifik pada gen yang berespon (GRE s) dan
perekrutan kofaktor yang serupa dengan yang digunakan oleh NF-kB mengiduksi modifikasi
kromatin dan menstimulasi GR dalam menginduksi ekspresi gen. Jalur alternative lain dari
GR dalam menghambat induksi gen yang dilakukan oleh NF-kB adalah melalui kompetisi
36

dengan kemampuan NF-kB dalam menstimulasi modifikasi kromatin baik melalui pengaruh
langsung pada CBP dalam hubungannya dengan aktivitas HAT ataupun melalui perekrutan
HDACs. Pengerahan dan aktivasi RNA pol II kemungkinan juga merupakan target dari aksi
GR.(Gambar.13)

Gambar 13. NF-kB merekrut HATs, membentuk PIC dan dihambat oleh Glucocorticoid.40
Dikutip dari : Kagoshima M et al. Biochemical Society Transactions .2003

Faktor sistem imun yang berkaitan dengan Steroid Resistance Nephrotic Syndrome
Bentuk heterodimer P65/P50 merupakan bentuk teraktivasi NF-kB yang sering
didapatkan pada SN dibandingkan P50/50, dimana Aviles dkk membuktikan bahwa
penurunan komplek p65/p50 heterodimer NF-kB ditemukan pada sel T pasien SNRS
sehingga pada SNRS hanya ada homodimer p50/50. 39 Berkurangnya NFkB p65 protein
berhubungan dengan resisten steroid. Ray (2004) dalam penelitian dengan menggunakan sel
Cos-1-Transfected Glucocorticoid Receptor dan dimer-dimer NF-kB berbeda, menyimpulkan
pentingnya sub unit p65 dalam transrepresi oleh reseptor glukokortikoid. Hanya sel-sel
transefected dengan heterodimer p65/p50 atau homodimer 65 yang sensitive terhadap steroid.
Tidak adanya sub unit p65 akan merusak kemampuan reseptor glukokortikoid dalam
merepresi fungsi imun melalui hambatan aktivitas transkripsi NF- kB, dimana keterlibatan
fungsional glukokortikoid pada NF-kB diperantarai interaksi dengan transaktivasi domain
p65. Mekanisme kegagalan supresi aktivasi NF-kB akibat tidak adanya sub unit p65 adalah
pencegahan interaksi fisik reseptor glukokortikoid dan NF-kB; eksport nuclear dari dimer NFB menjadi rusak sehingga lebih banyak dimer yang tersedia untuk ikatan dengan DNA;

37

menurunkan afinitas NF-kB untuk Glucocorticoid-induced leucine zipper (GILZ) yang


normalnya menghambat translokasi NF-kB melalui ikatan sub unit p65.
Peningkatan kadar IL-2 ditemukan pada serum anak dengan SNSS dan SNRS.
Zachwieja et al menunjukkan adanya peningkatan ekspresi IL-2 intraseluler limfosit pada
pasien SNRS. Ekspresi berlebihan IL-2 telah dilaporkan menyebabkan resistensi steroid pada
limfosit.41
Peran Glucocorticoid pada Podosit
Reseptor glukokortikoid terdapat pada sel glomerulus termasuk pada podosit.
Glukokortikoid meningkatkan stabilitas filamen aktin dan polimerisasi aktin serta
mengaktifkan cytoskeleton dalam hubungannya dengan kinase pada sel mesangial
glomerulus. Richard F dkk dalam penelitiannya mengenai kemampuan glukokortikoid dalam
memberikan proteksi langsung dan meningkatkan recovery podosit dari injury dengan
menggunakan kultur podosit yang diinduksi Puromycine aminomucleoside (PAN) kemudian
diberikan

pengobatan

dengan

glucocorticoid,

menyimpulkan

bahwa

pemberian

glucocorticoid meningkatkan stabilitas filament actin. Kesimpulan penelitian tersebut


menunjukkan paradigm baru bahwa glucocorticoid pada SN tidak hanya menyebabkan
penurunan pada mediator yang dilepaskan oleh lomfosit dalam sirkulasi.42 Selain
meningkatkan stabilitas filament actin, glucocorticoid akan meningkatkan polimerisasi aktin,
mengaktifkan cytoskeleton-associated kinases dalam sel mesangial glomerulus, melindungi
podosit dan meningkatkan meningkatkan proses penyembuhan setelah kerusakan oleh karena
glukokortikoid berpengaruh pada polimerasi actin. Pengaruh genomic langsung dari
glukocorticoid antara lain upregulation dari protein glomeruloprotective, upregulation dari
nephrin, supresi terhadap produksi sitokin yang berbahaya dan mencegah apoptosis podosit.
Akhirnya, glucocorticoid mungkin secara positif akan mempengaruhi sintesis proteoglycan
podosit yang penting untk morfologi podosit dan muatan anion pada filter glomerulus.
K.

KLASIFIKASI BERDASARKAN RESPON TERHADAP STEROID

DEFINISI2
Berdasarkan pada respon terhadap pemberian steroid selama 28 hari :

Remisi : Proteinuria negative atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam waktu 1 minggu

38

Dependen steroid: relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednisone dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

K.1

SINDROMA NEFROTIK DEPENDEN STEROID (SNDS) 2


SN dependen steroid terjadi pada 24% anak dengan SN. Glukokortikoid tetap dipilih

sebagai terapi pertama dalam tatalaksana SNDS karena toksisitas steroid yang signifikan
tidak ditemukan. Penelitian secara uji terkontrol dan random mengenai protocol tatalaksana
pada SNDS tanpa penggunaan steroid belum pernah dilaporkan di dalam literatur.
Beberapa alternative pilihan terapi pada SNDS adalah sebagai berikut :

Cyclosporin A 3-5 mg/kg per hari 2 kali sehari (100-150 mg/m2 luas permukaan tubuh)
selama 12-24 bulan. Prednisolone diberikan pada dosis 1,5 mg/KgBB alternate day
selama 2-4 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap 0,15-0,25 mg/KgBB tiap 4
minggu untuk mendapatkan dosis maintanance 0,25-0,5 mg/KgBB yang dipertahankan
sampai 6 bulan atau lebih.37

Tacrolimus 0.05-0.1 mg/kg per hari diberikan dua kali sehari selama 12-24 bulan 37

Mycophenolate Mofetil (MMF) 25-30 mg/kg per hari atau 800- 1200 mg/m2 per hari
diberikan dua kali sehari (maksimum 2 g/hari) bersamaan dengan penurunan dosis
steroid selama 12-24 bulan.

Cyclophosphamide. Cyclophosphamide merupakan agen sitotoksik pilihan ketiga pada


terapi

SNDS

oleh

karena

pertimbangan

efek

samping

yang

dapat

terjadi.

Cyclophosphamide diberikan dengan dosis 2-2,3 mg/KgBB/Hari selama 12 minggu


dengan prednisolon yang diberikan bersamaan pada dosis 1,5 mg/KgBB alternate day
selama 4 minggu diikuti dengan dosis 1 mg/KgBB 8 minggu selanjutnya diikuti
tappering off steroid lebih dari 2-3 bulan.37 Cyclophosphamide yang diberikan secara per
oral 2-3 mg/kg per hari selama 8-12 minggu pada SNDS menginduksi remisi pada 40%
pasien selama 2 tahun, 24% pasien selama 5 tahun, dan 17% pada follow up jangka
panjang. Cyclophosphamide dapat pula diiberikan secara pulse dengan dosis 500-700
mg/m2 luas permukaan tubuh.

Chlorambucil dengan dosis 0,2-0,3 mg/KgBB/hari selama 8 minggu.


Dalam

sebuah

studi

control

double

blind,

levamisol

dilaporkan

dapat

mempertahankan remisi sampai 50%. Penelitian multisenter oleh British Association for
39

Peadiatric Nephology pada 61 anak secara randomisasi mendapatkan pada 14 anak yang
diberi levamisol selama 112 hari dan 4 kontrol masih menunjukkan remisi meskipun
prednison sudah dihentikan, tetapi 3 bulan setelah obat dihentikan semua anak mengalami
relaps. Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sehari, selama 412 bulan.2 Pemberian Levamisol dapat dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB pada alternate days
selama 12-24 bulan. Cotreatment dengan prednisolone pada dosis 1,5 mg/KgBB alternate
day selama 2-4 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap 0,15-0,25 mg/KgBB tiap 4
minggu dan dipertahankan pada dosis 0,25-0,5 mg/KgBB yang dilanjutkan sampai 6 bulan
atau lebih.

Steroid jangka panjang


Pada SNDS setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis penuh, diteruskan
dengan prednisone dosis alternate (1,5 mg/KgBB/hari) dengan dosis yang diturunkan
perlahan/bertahap 0.2 mg/kgBB setiap 2 minggu sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya
anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone 0,5 mg/kgBB dan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgBB secara alternate. Apabila terjadi relaps pada dosis prednison 0,1-0,5
mg/kgbb alternate, maka diberikan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, setiap hari
sampai remisi. Setelah remisi, prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb alternate,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.6
Bila terjadi relaps pada dosis prednisone rumat > 0,5 mg/kgBB alternate, tetapi < 1,0
mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasi dengan
levamisol dosis 2,5 mg/kgBB, selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
40

Cyclophosphamide. Bila ditemukan keadaan terjadi relaps pada dosis rumat > 1mg/kgBB
dosis alternating atau dosis rumat < 1 mg tetapi disertai efek samping steroid yang berat atau
pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis maka diberikan
Cyclophosphamide dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 8-12 minggu.
K.2.

SINDROMA NEFROTIK RESISTEN STEROID (SNRS)


Pengobatan anak dengan SNRS masih belum memuaskan baik dalam pencapaian

resolusi lengkap dari proteinuria yang terjadi maupun preservasi fungsi ginjal. SNRS
mempunyai resiko tinggi terhadap berbagai komplikasi dan progresivitas menjadi gagal ginjal
kronik (GGK) ataupun gagal ginjal terminal (GGT). Sebelum memulai penatalaksanaan
SNRS harus dilakukan biopsi ginjal untuk mengetahui gambaran histopatologi ginjal yang
sangat mempengaruhi prognosis. Panduan yang berbasis studi mengenai terapi SNRS tidak
mungkin dengan kurangnya uji terkontrol dan random yang cukup. Terdapat 3 kategori besar
terapi sindrom nefrotik resisten steroid: (1) immunosupresif, (2) immunostimulator, (3) nonimmunosupresif
Tabel 7 . Regimen Pengobatan Sindroma Nefrotik Resisten Steroid42

Cyclophosphamide
Terapi SNRS dengan CPA oral (2-3 mg/KgBB/hari) dan Prednison (1 mg/KgBB/hari
secara alternating day) selama 8-12 minggu mampu memberikan remisi pada 69% pasien.
Apabila pasien SNRS kembali relaps setelah pernah mengalami remisi dengan CPA oral,
41

maka dapat diberikan pengobatan dengan prednisone FD oleh karena terdapat kemungkinan
SN yang resisten menjadi sensitive lagi. Namun demikian apabila terjadi resisten atau
dependen steroid kembali maka dapat diberikan Cyclosporin.
Terapi SNRS dengan CPA puls secara intravena sebulan sekali mempunyai tingkat
efektivitas yang sama namun oleh karena dosis kumulatif dengan CPA puls lebih kecil
daripada CPA oral, maka efek samping lebih minimal.

Gambar 14 . Pengobatan Sindroma Nefrotik Resisten Steroid dengan Cyclophosphamide (CPA)


Dikutip dari : Konsensus tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Unit kerja koordinasi nefrologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta; 2005

Methylprednisolone pulse
Protokol pengobatan dengan Methylprednisolone pulse bersama dengan prednisone
atau CPA oral dapat memberikan remisi total pasien dengan SNRS kelainan minimal ataupun
FSGS. Protokol pengobatan dengan Methylprednisolon pulse dikenal sebagai Protokol
Mendoza.
Tabel 8. Protokol Pengobatan Mendoza dengan Methylprednisolone pulse42

42

L.

Dikutip dari : Subandiyah K. Dalam : Simposium Nasional Nefrologi. Bali.2009

KOMPLIKASI SINDROMA NEFROTIK DAN PENATALAKSANAAN

L.1 HIPOALBUMINEMIA
Proteinuria massif sebagai akibat perubahan barrier filtrasi glomerulus mengakibatkan
hipoalbuminemia dengan berbagai komplikasinya sehingga meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pada SN. Hipoalbuminemia yang terjadi disebabkan tingkat kehilangan albumin
oleh karena peningkatan permeabilitas selektif glomerulus yang jauh melebihi kemampuan
terbaik tubulus untuk melakukan reabsorbsi dan ketidakmampuan kompensasi peningkatan
sintesis albumin oleh hati.2
Koreksi terhadap Hipoalbuminemia
Pada SN mempunyai hemodinamik yang sangat heterogen sebagai akibat pengaruh
perubahan tekanan onkotik plasma oleh karena penurunan kosentrasi albumin serum.
Pengaruh osmotik dari albumin paling besar dalam mempertahankan tekanan onkotik
intravascular dibandingkan globulin, walaupun berat molekul albumin (66,5 kDa) sedikit
lebih kecil daripada globulin (sekitar 147 kDa). Muatan listrik negatif dari albumin juga
menyumbangkan sekitar 40% efek osmotik dan turut membantu mempertahankan zat-zat
terlarut lain yang bermuatan listrik positif untuk tetap berada didalam intravaskuler (The
Gibbs-Donnan effect).43 Tekanan onkotik koloid plasma sangat diperlukan untuk
mempertahankan fungsi organ yang normal. Pada studi terhadap pengaruh kosentrasi albumin
< 34 g/L, didapatkan hasil bahwa dengan kadar albumin tersebut dihubungkan dengan tingkat
mortalitas dalam 30 hari sebesar 23,6% dan meningkat menjadi 62% apabila konsentrasi
albumin serum < 20 g/L.44

43

Pemberian albumin melalui intravena SN merupakan prosedur yang mahal dan


meningkatkan klirens albumin ginjal serta menaikkan konsentrasi albumin plasma hanya
sedikit dan bersifat sementara.28 Sjostrom dkk menemukan bahwa pemberian 40 gram
albumin akan menyebabkan ekspansi volume sebesar 20%, dan meningkatkan konsentrasi
albumin plasma dari 28 menjadi 33 g/l. Tetapi pemberian albumin ini juga meningkatkan
ekskresi albumin urin sampai 70%. LFG tidak mengalami perubahan setelah pemberian infus
albumin. Ekspansi volume tersebut dapat meningkatkan kecepatan aliran urin tetapi tidak
meningkatkan kecepatan ekskresi natrium. Sensitivitas ginjal terhadap furosemid dengan atau
tanpa pemberian albumin adalah sama. Setelah 24 jam, volume plasma dan konsentrasi
albumin plasma akan kembali ke nilai semula sehingga efektifitas terapi secara klinis dapat
diabaikan.45 Zelal bircan dkk (2001), membuktikan pada penelitian terhadap 14 anak dengan
MCNS yang mengalami edema berat melalui evaluasi standar klinis (denyut jantung, tekanan
darah, berat badan, edema pritibial, lingkar perut) dan echocardiografi (Inferior vena cava
index (ICVI) dan Inferior vena cava collapsibility index (IVCCI)) sebelum, 1 jam dan 24 jam
pasca pemberian infus albumin 20% 0,5 g/KgBB selama 1 jam dan Furosemide (2 mg/KgBB,
iv) didapatkan hasil peningkatan plasma volume yang bersifat transient dan akan kembali
pada nilai awal setelah 24 jam.46 Indikasi pemberian tranfusi albumin pada SN tidak
berdasarkan pada nilai kadar albumin serum yang rendah. Hipoalbuminemia berat (kadar
albumin serum < 1g/dL) dan adanya bukti deplesi volume intravaskular merupakan indikasi
tranfusi albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. 2
Bukti klinis adanya hipovolemia dengan atau tanpa syok, natrium urin < 10 mmol/L, edema
anasarka yang mengakibatkan imobilisasi disertai gambaran pengelupasan kulit sebagai
akibat sekunder edema merupakan indikasi pemberian tranfusi albumin pada SN. Terapi
albumin pada SN dapat menggunakan albumin konsentrasi 5%, 20% dan 25% diberikan
secara infus dengan perhitungan dosis yang berbeda-beda tergantung pada nilai awal kadar
albumin serum, berat badan dan respon pasien. Apabila terdapat anemia berat, gagal jantung
kongestif, nefritis kronis dan alergi terhadap albumin merupakan kontraindikasi absolut
tranfusi albumin.
L.2

EDEMA
Edema adalah salah satu gejala utama dari SN terdapat kira-kira 95% penderita SN,

tidak tergantung pada jenis kelainan histopatologinya. Edema yang berat dapat menyebabkan
distress respirasi berkaitan dengan terjadinya efusi pleura ataupun edema pulmonum,
44

disamping itu berdampak pula pada kemungkinan terjadinya infeksi sekunder. Intervensi
farmakologis dengan menggunakan terapi Loop diuretic, thiazide dan infus albumin
dibutuhkan dalam tatalaksana edema pada SN.
Proteinuria masif menginduksi infiltrat inflamasi tubulointerstisial dengan stimulasi
dari mediator vasokonstriksi (angiotensin II) dan hambatan vasodilator (misal nitric oxide).
Pada glomerulus, proteinuria menyebabkan reduksi pada koefisien ultrafiltrasi glomerulus
(Kf) dan Single nephron glomerular filtration rate (SNGFR) dengan konsekuensi terdapat
peningkatan dalam reabsorpsi tubulus dan pengurangan filtrasi natrium yang menyebabkan
retensi natrium primer dan kecenderungan overfilled volume intravaskuler serta
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler (Pc). Penurunan tekanan onkotik plasma (PCOP)
mengakibatkan gerakan cairan dari vaskuler dan dengan demikian mendukung perubahan
volume darah yang disebabkan oleh retensi natrium primer. Apabila hipoalbuminemia berat
dan infiltrat inflamasi ginjal minimal atau tidak ada, seperti pada sebagian besar anak dengan
MCNS, maka reduksi pada PCOP dapat menyebabkan underfilled volume intravaskuler dan
retensi natrium sekunder (kompensasi).47
Teori klasik underfilled mengenai pembentukan edema adalah menurunnya tekanan
onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan
meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan albuminuria
dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular sehingga terjadi peningkatan cairan transudat melewati dinding kapiler
dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema. 28
Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe
nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar
renin plasma dan aldosteron yang tinggi. GFR masih baik dengan kadar albumin yang rendah
dan biasanya terdapat pada MCNS. Karakteristik patofisiologis kelompok ini sesuai dengan
teori tradisional underfilled dengan retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder.
Retensi air dan natrium timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan
intravaskular tetap normal.
Pada tipe nefritik maka ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi
serta kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium
habis. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan GFR yang relatif
lebih rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama. Karakteristik
patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan retensi air
dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal yang tidak tergantung pada
45

rangsangan sistemik perifer.28 Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume
plasma dan cairan ekstraselular. Hipervolemia yang terjadi akan mengakibatkan peningkatan
tekanan hidrostatik, sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial. 28
Pemeriksaan renin dapat membantu sebagai petanda menilai seorang anak SNSS atau bukan
olehkarena sebagian besar pasien MNCS dengan hipovolemia disertai kadar renin dan
aldosteron yang tinggi.

EDEMA
Gambar 15. Gambaran patofisiologi pembentukan edema pada sindrom nefrotik.47
Dikutip dari : Iturbe RB et al.. Kidney International.2002

Diuretika dan Infus Albumin


Tatalaksana edema merupakan bagian integral dari terapi suportif pada SN. Sebagian
besar pasien dengan edema yang ringan tidak membutuhkan terapi diuretik. Terapi dengan
diuretika dapat dihindari pada pasien dengan edema yang tidak signifikan sejak pengobatan
steroid memberikan dampak pada terjadinya diuresis dalam waktu 5-10 hari. 37 Namun
demikian pada pasien dengan edema yang signifikan, edema persisten ataupun penambahan
berat badan 7-10% tanpa adanya kejadian deplesi volume intravascular diawali dengan
pemberian furosemide 1-3 mg/KgBB/hari PO. Apabila pemberian furosemide pada dosis
tersebut kurang dari 1 minggu maka tidak dibutuhkan potassium sparing diuretic. Namun
demikian apabila respon klinis yang kurang memuaskan maka dosis furosemide dapat
dinaikkan

menjadi 4-6 mg/KgBB/hari dengan spironolakton 2-3 mg/KgBB PO sebagai

potassium sparing agent.37 Adanya manifestasi klinis diare, muntah serta hipovolemia
46

merupakan kontraindikasi terapi diuretika. Pada pasien yang edema dan gagal berespon
terhadap terapi diatas maka dapat direkomendasikan penambahan diuretika thiazide
(Hydrochlorothiazide atau Metolazone) dengan tetap diberikan bolus intravena ataupun infus
furosemide. Pasien yang mengalami edema refrakter yang tidak responsive terhadap
pengobatan tersebut maka dapat dilakukan venovenous (atau arteriovenous) ultrafiltration.6
Penggunaan diuretika dosis tinggi dalam jangka waktu lama (lebih dari 1-2 minggu)
seharusnya disertai dengan monitoring ketat status volume intravaskular dan elektrolit darah
(kalium dan natrium) oleh karena dapat menyebabkan deplesi volume intravaskular
(hipovolemia), hipokalemia, hiponatremia, alkalosis metabolik dan meningkatkan resiko
gagal ginjal akut. Intake cairan tidak dibatasi kecuali pada keadaan edema berat maka intake
cairan harus dibatasi dengan memperhitungkan kebutuhan cairan berdasarkan insensible
water loss ditambah dengan total output urin 24 jam sebelumnya. Restriksi diet garam
sebesar 1 2 gram/hari direkomendasikan selama anak mengalami edema.
Bila pemberian diuretic tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya
disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin 1g/dL) dapat
diberikan infuse albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstisial, dan diakhiri dengan pemberikan furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. 2
Infus albumin 20% intravena dengan furosemide menghasilkan diuresis dan penurunan
edema. Pengaruh tersebut tidak selalu dapat bertahan dan dibutuhkan infuse albumin
multiple. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan albumin atau plasma dapat diberikan selang-sehari
untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.2 Pemberian
plasma berpotensi menyebabkan penularan infeksi hepatitis, HIV, dan lain-lain. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan fungsi asites
(paracentesis) dengan hati-hati.2 Infus albumin dapat menyebabkan ekspansi akut volume
intravaskular yang akhirnya menimbulkan hipertensi, edema pulmonal, dan gagal jantung
kongestif. Diperlukan monitoring tekanan darah serta diharapkan terjadi penurunan berat
badan bertahap lebih dari 1 minggu.
Penelitian-penelitian mengenai bukti efikasi kombinasi terapi infus albumin dan
furosemide dalam tatalaksana edema pada anak SN telah banyak dipublikasikan. Akcicek F
dkk dalam penelitiannya membandingkan pemberian albumin, furosemid dan kombinasi
albumin dan furosemid pada 8 pasien SN, yaitu 6 dengan MCNS, 1 dengan amyloidosis dan
47

1 pasien dengan membranoproliferatif. Penelitian menunjukkan bahwa selama pemberian


infus albumin, konsentrasi albumin plasma meningkat dari 17,3 menjadi 23,6 g/l dengan
peningkatan volume plasma sebesar 30%. Efek natriuresis albumin sendiri tanpa furosemid
sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Di lain pihak furosemid tanpa albumin menyebabkan
peningkatan volume urin sampai 10 kali lipat dan peningkatan ekskresi natrium sampai 60
kali lipat. Efek kombinasi albumin dan furosemid ternyata tidak berbeda dibanding
pemberian furosemid tanpa albumin. 47 Albumin berikatan dengan afinitas tinggi terhadap
furosemide dan menunjukkan peran yang signifikan pada sekresi furosemide di tubulus
proksimal ginjal melalui jalur transport anion organic. Diperlukan pula monitoring elektrolit
dalam serum serta fungsi ginjal pasca tranfusi albumin dengan furosemide.
Haws M Robert et al (1993) dalam penelitian mengenai efikasi terapi albumin dan
diuretik pada anak 21 anak dengan SN secara retrospektif, mendapatkan hasil bahwa peran
kombinasi tersebut dalam perpindahan cairan dan penurunan berat badan walaupun
penurunan berat badan pada anak dengan proteinuria persisten bersifat transient dan akan
kembali pada berat badan sebelum diberikan intervensi yang diukur setelah 2 minggu
pengamatan. Albumin 25% diberikan secara infus selama 1-4 jam dengan diawali pemberian
furosemide intravena setelah infus albumin 1 jam. Konsentrasi albumin serum tidak berubah
secara signifikan setelah 1 kali pemberian infus albumin, namun demikian didapatkan
peningkatan konsentrasi albumin serum pada pasien yang mendapatkan 3 kali infus
albumin.49

Furosemide 1-3 mg/KgBB/hari


Dapat ditambahkan Spironolakton 2-4 mg/KgBB/hari PO

Pada edema refrakter dengan efusi pleura berat dan ascites permagna

membutuhkan tindakan pungsi.

Respon (-)

Tidak ada penurunan berat badan ataupun dieresis dalam 48 jam

Dosis Furosemide dinaikkan 2 kali lipat sampai tercapai


dieresis maupun dosis maksimal mencapai 4-6
mg/KgBB/Hari
Respon (-)
Ditambahkan Metalazone 0,1-0,3 mg/KgBB/hari
ataupun Hydrochlorothiazide 1-4 mg/KgBB
Respon (-)
Respon (-)
Furosemide IV bolus 1-3 mg/KgBB per dosis
Atau per infuse dengan kecepatan 0,1-1 mg/KgBB/jam
Respon (-)
Albumin 20% 1 gr/KgBB IV diikuti dengan Furosemide IV

Gambar . Manajemen Edema Pada Sindroma Nefrotik 6,37

48

L.3

HIPOVOLEMIA
Hipovolemia pada anak SN dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan diuretika
Dikutip dari : Bagga Arvind.. Indian journal of nephrology.2008

dosis tinggi ataupun terjadi dengan faktor pencetus sepsis, muntah, diare dan pungsi asites
(paracenthesis) yang terlampau cepat. Gejala klinis hipovolemia pada SN berupa gejala rasa
pusing, sakit perut berat, paradoxical hypertension (> persentil 95), hipotensi (< persentil 50)
(tanda lanjut), takikardia persisten, perbedaan suhu core-peripheral > 20 celcius, perfusi yang
buruk, cappilary refill memanjang serta ekstremitas dingin. Hasil pemeriksaan darah dapat
menunjukkan peningkatan hematokrit, kadar urea dan asam urat. Acute tubular necrosis,
thrombosis dan adanya relative polycytemia kemungkinan dapat ditemukan pada keadaan
hipovolemia.8,37 Pengukuran konsentrasi natrium dalam urin dan fractional excretion (FENa)
dibutuhkan dalam mengukur status cairan. Kadar natrium dalam urin < 10 mmol/L atau FENa
dibawah 1% (yang dinilai pada saat anak tidak mendapatkan diuretika setidaknya dalam 6-8
jam terakhir) dikategorikan terdapat hipovolemia. Rasio kalium urin dibandingkan total
natrium dan kalium dalam urin (Uk/(Uk+ UNa) lebih dari 60% menujukkkan keadaan
hipovolemia.33 Dalam keadaan hipovolemia maka harus segera diberikan infus NaCl 0,9%
15-20 mL/KgBB dalam 20-30 menit diikuti dengan pemberian albumin 20% 1 gr/KgBB atau
albumin 5% (10-15 ml/KgBB) atau plasma 20 ml/KgBB (tetesan lambat 10 per menit)
selama lebih 1-2 jam. Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan
furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.2 Selama pemberian albumin harus dilakukan monitoring
secara ketat terhadap komplikasi adanya edema pulmonum50
Konsensus tentang SN dari The British Association for Paediatric Nephrology
merekomendasikan pemberian albumin 20% intravena untuk mengatasi hipovolemia dengan
dosis 1g/KgBB selama 1-2 jam dapat diberikan 1-2 kali perhari, namun untuk mengurangi
resiko overload maka pemberiannya minimal selama 4 jam.51 Setelah kondisi normovolemik
maka albumin harus segera dihentikan. Indikasi nomovolemia adalah tekanan darah stabil,
nadi teraba kuat, frekuensi jantung normal sesuai dengan umur serta diuresis normal. Pada
SN dengan hipovolemia berat dan syok, dianjurkan pemberian ekspansi volume intravaskuler
yang cepat dengan larutan albumin 5% 10-20 cc/KgBB selama 30-60 menit atau kecepatan
tetesan infus antara 5-10 cc/menit sedangkan bila volume plasma mendekati normal maka
tetesan diturunkan menjadi 2-4 cc/menit.
49

PEMANTAUAN PROSES TRANFUSI ALBUMIN


Selama proses tranfusi albumin, maka harus dilakukan monitoring secara ketat terhadap
tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi nafas, pelebaran vena jugularis dan tanda-tanda
distress respirasi. Pemantauan harus dilakukan sampai 2 jam pasca tranfusi oleh karena
masih terdapat fase pergeseran cairan meliputi pula monitoring tekanan darah dan saturasi
oksigen. Perhitungan balance cairan dilakukan secara tepat. Furosemide 1-2 mg/KgBB
bolus intravena segera setelah diberikan infus albumin selesai akan menyebabkan efek
optimal dari furosemide oleh karena konsentrasi puncak Loopdiuretik akan terjadi
bersamaan dengan ekspansi maksimal dari volume intravaskular pada akhir pemberian
albumin.
Larutan albumin yang diberikan dengan indikasi, dosis dan kecepatan pemberian yang
tepat dengan kualitas produk yang optimal akan aman dan efektif serta menghasilkan
outcome yang baik. Tetapi pada keadaan dimana terdapat alternatif terapi selain albumin atau
dimana ada keraguan apakah albumin merupakan terapi yang optimal, keputusan pemakaian
albumin harus dipertimbangkan berdasarkan evidense base yang ada.
Kontroversi pemakaian albumin pada hipoalbuminemi masih terus berlanjut. Yang pro
berpendapat bahwa albumin paling baik untuk ekspansi volume intravaskuler dan
mempertahankan tekanan onkotik, karena pada orang yang sehat albumin merupakan protein
utama penunjang tekanan onkotik plasma. Akan tetapi beberapa penelitian menyatakan
bahwa hanya ada sedikit korelasi antara kadar albumin plasma dengan tekanan onkotik
plasma. Meskipun demikian bila terdapat pengumpulan cairan di ruang ketiga (misalnya
asites) atau pasien mengalami kehilangan volume intravaskuler berat, albumin tetap lebih
dipilih dibanding kristaloid karena albumin akan meningkatkan volume intravaskuler dengan
cara menarik cairan dari ruang ketiga dan membawanya kembali ke intravaskuler. Terapi
harus dilakukan secara hati-hati dengan pemantauan ketat karena akan menimbulkan resiko
terjadinya gagal jantung kongestif dan hipervolemia. Pada penderita dengan gangguan
dinding pembuluh darah, pemantauan terapi albumin ditujukan untuk mencegah akibat
kebocoran kapiler, akumulasi cairan dalam ruang ketiga dan terjadinya edema pulmonum.
Adanya komplikasi peningkatan tekanan darah sistolik secara akut serta gagal jantung
diakibatkan oleh ekspansi volume intravaskuler yang terlalu cepat terjadi apabila terapi
albumin parenteral diberikan secara infus cepat.30 Adanya peningkatan volume plasma secara
linear sesuai dengan dosis albumin parenteral dapat pula menyebabkan depresi miokardium
yang kemungkinan berhubungan terhadap ikatan ion calcium. Reaksi alergi dari albumin
50

akibat kontaminan dalam cairan serta polymer jarang terjadi. Selain itu dapat terjadi reaksi
hipersensitivitas dan transmisi virus.
L.4

DISLIPIDEMIA
Pada pasien SN primer timbul hiperlipidemia dengan komponen profil lipid utama

adanya hiperkolesterolemia (kadar kolesterol 250 mg/dL) yang tampak lebih nyata pada
pasien dengan MCNS. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum
dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan
hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN di dapatkan peningkatan Apolipoprotein (apo) B
meliputi konsentrasi very low-density lipoprotein (VLDL), intermediate-density lipoprotein
(IDL), dan low-density lipoprotein (LDL) sehingga didapatkan peningkatan kolesterol total.
High density lipoprotein (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN
walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah sedangkan rasio
LDL/HDL meningkat. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik. Keadaan
hiperkolesterolemia akan mengakibatkan peningkatan produksi F2-isoprostane sehingga
terjadi kerusakan peroksidatif. Patogenesis terjadinya kenaikan lipid dan lipoprotein pada SN
sangat kompleks, oleh karena pengaruh timbal balik proses metabolism lipoprotein melalui
mekanisme adanya produksi berlebihan akibat hipoalbuminemia, penurunan tekanan onkotik
ataupun gangguan katabolisme apoliprotein B dan VLDL chylomicrons. Penurunan tekanan
onkotik plasma memegang peranan dalam peningkatan sintesis lipoprotein di hepar seperti
yang ditunjukkan adanya penurunan hiperlipidemia pada SN yang menerima infus albumin
dan dextran.
Hipoalbuminemia/hiperproteinemia akan menyebabkan kompensasi terpacunya
sintesis albumin di hepar sebanyak-banyaknya diikuti dengan pembentukan LDL, VLDL dan
lipoprotein. Klirens lemak juga akan berkurang dan menyebabkan peningkatan deposit lemak
dalam darah. Aktifitas enzim lipoprotein lipase yang berfungsi mengubah VLDL menjadi
LDL terhambat oleh karena hipoalbuminemia dan tingginya kadar lemak bebas pada SN.
Penurunan kuantitatif apolipoprotein plasma juga didapatkan pada SN sebagai akibat
keluarnya protein tersebut ke dalam urin. -glikoprotein yang berfungsi sebagai perangsang
lipase juga terbuang melalui urin pada SN sehingga terjadi penurunan aktivitas degradasi
lemak. Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan katabolisme fosfolipid berperan sebagai
etiologi hiperkolesterolemia pada SN selain akibat produksi yang berlebihan. 32 Biasanya
kadar kolestrol total, LDL, VLDL meningkat, sedang kadar HDL normal atau menurun oleh
51

karena HDL (protein kecil) terbuang melalui urin. Abnormalitas metabolisma HDL
mengakibatkan

peningkatan

trigliserida

dan

menurunkan

sintesis

HDL.

Hal

ini

mengakibatkan peningkatan sintesa dan katabolisme fraksi lipid. Adanya difusi secara
konstan dari dekstrosa akan meningkatkan kadar trigliserida yang terjadi seiring dengan
kenaikan kolesterol total dan LDL. Hiperlipidemia akan mengalami perbaikan setelah pasien
berada dalam masa resolusi.
Persisten hiperlipidemia merupakan faktor resiko atherosclerosis dan memegang
peran dalam progresivitas menjadi glomerulosklerosis dan gagal ginjal kronik. Pada SNSS
maka keadaan dislipidemia bersifat sementara sehingga dapat dipertimbangkan diet rendah
lemak dengan membatasi lemak dari diet <30% kalori, lemak tersaturasi <10% kalori, dan
diet kolesterol <300 mg/hari. Terapi dengan inhibitor 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A
(HMG-CoA) reductase pada dewasa dengan SN telah terbukti memiliki efek yang
menguntungkan sebagai terapi dislipidemia dan berdampak menghambat perkembangan
penyakit ginjal kornik. Terapi inhibitor HMG-CoA reduktase untuk anak dengan SNRS dan
dislipidemia persisten telah disarankan pada panduan dislipidemia pada anak, namun studi
random masih kurang.3

Statin merupakan inhibitor HMG-CoA reduktase yang telah

digunakan pada anak dengan dislipidemia. Simvastatin dan atorvastatin menurunkan


kolesterol total, LDL dan trigliserida dengan peningkatan HDL. Terapi obat penurun
kolesterol lipoprotein densitas rendah diperlukan saat puasa oleh karena kadar kolesterol LDL
menetap diatas 160-190 mg/dL.2 Monitoring terhadap rhabdomyolisis diperlukan pada anak
yang mendapat terapi statin dengan pemeriksaan Creatine kinase sebelum memulai terapi dan
setiap 6-12 minggu setelah pengobatan dimulai. Orang tua pasien diminta untuk mencatat
rasa sakit otot, tenderness dan nyeri. Kadar Aspartate aminotransferase (AST) dan Alanine
aminotransferase (ALT) seharusnya diperiksa sebelum memulai terapi dan tiap 3 bulan untuk
menilai toksisitas pada hati. Aspek dietetik dengan menggunakan diet rendah lemak jenuh
serta monitoring berat badan merupakan faktor penting dalam tatalaksana dislipidemia pada
anak.
L.5

ANEMIA
Anemia pada SN berhubungan dengan hilangnya eritropoetin (protein berukuran 30

kDa) dan siderophilin melalui urin yang bersifat resisten terhadap transferin dan besi
sehingga menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.7 Apabila hasil pemeriksaan kadar
eritropoetin rendah maka merupakan indikasi pemberian agen sintesa eritropoesis dengan
target pencapaian hemoglobin sebesar 11-12 gr/dL.6 Pedoman KDOQI menyarankan untuk
52

mempertahankan hematokrit pada kadar 33%-36% dan hemoglobin 11-12 gr/dL pada anak
dengan CKD. Anemia juga dapat diakibatkan defisiensi besi akibat penurunan nafsu makan
sehingga pada keadaan tersebut dapat diberikan terapi 2-3 mg/KgBB/hari besi elemental yang
terbagi menjadi 2-3 dosis. Preparat besi seharusnya dikonsumsi pada saat perut kosong dan
tidak bersamaan dengan pengikat fosfat oleh karena besi akan berikatan dengan pengikat
fosfat. Dosis erythropoetin secara subcutan diberikan satu, dua atau tiga kali seminggu
dengan rentang dosis awal 30 300 Unit/KgBB/minggu dengan dosis pemeliharaan antara
60-600 unit/KgBB/minggu yang dihitung berdasarkan pertimbangan kadar hemoglobin tiap
bulan. Dengan perbaikan pada anemia maka akan terjadi perubahan dalam perkembangan
kognitif, fungsi jantung dan toleransi latihan.
L.6

HIPERCOAGULABILITY DAN TROMBOEMBOLI


Beberapa kelainan koagulasi dan sistem fibrinolitik banyak ditemukan pada pasien

SN. Angka kejadian terjadinya komplikasi tromboemboli pada anak diperkirakan sebesar
1,8%, namun lebih jarang daripada orang dewasa. Perbedaan frekuensi antara anak dan
dewasa dapat dijelaskan, karena perbedaan penyakit glomerulus yang mendasari. Pada orang
dewasa umumnya kelainannya adalah glomerulopati membranosa (GM) suatu kelainan yang
sering menimbulkan trombosis. Sebaliknya kelainan MCNS tidak sering menimbulkan
komplikasi trombosis. Resiko meningkat pada anak dengan resistensi steroid jika
dibandingkan dengan yang sensitif steroid. Lokasi potensial timbulnya tromboemboli adalah
vena dalam (ekstremitas bawah dan pelvis), sinus sentral, trombosis vena ginjal, emboli
pulmonal (sekitar 28% berdasarkan scintigraphic pulmonary ventilation dan perfusion) ,
lokasi-lokasi pembuluh darah arteri, dan thrombosis vena superficialis yang luas dan
menyebabkan gangren.3,6 Trombosis vena kortikolis cerebralis dan sinus sagitalis merupakan
komplikasi terburuk yang mungkin terjadi dengan klinis adanya kejang, muntah, perubahan
sensorik serta defisit neurologis dengan konfirmasi diagnosis menggunakan Ultrasonography
Dopller dan MRI cranial. Trombosis pada anak SN lebih sering terjadi pada vena
dibandingkan arteri. Cameron tidak menemukan trombosis vena renalis pada 90 pasien
dengan MCNS sedangkan pada FSGS dan MPGN frekuensinya lebih sedikit. Trombosis
vascular pada vena renalis dicurigai apabila terdapat oliguria/anuria, hematuria makroskopis
berat dengan onset mendadak, flank pain disertai gagal ginjal akut terutama setelah episode
dehidrasi. Trombosis dapat dideteksi dengan menggunakan Doppler Ultrasonografi dengan
ditemukannya pembesaran ukuran ginjal dan tidak adanya aliran darah pada vena ginjal.3,7
53

Pada SNI ditemukan peningkatan faktor I, II, V, VII, VIII,

X dan XIII yang

disebabkan kenaikan sintesisnya di hati seiring dengan proses kompensasi peningkatan


sintesis albumin dan lipoprotein. Antithrombin III sebagai faktor penghambat pembentukan
clot dan kadar plasminogen plasma menurun pada SN oleh karena hilang melalui urin. Kadar
kofaktor heparin, protein C, protein S, faktor XI dan XII menurun sedangkan fibrinogen,
aktivitas aktivator plasminogen jaringan dan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1)
meningkat pada SN. Pada SNI akan didapatkan pula adanya peningkatan aktivasi dan
aggregasi platelet serta akselerasi pembentukan thromboplastin. Trombositosis dan
hiperagregabilitas platelet umum dijumpai pada SN.
Trombosis terjadi karena adanya hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, factor
VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin III. Deplesi volume yang disebabkan oleh
dehidrasi atau terapi diuretik, infeksi, imobilisasi serta pungsi vena dalam merupakan faktor
predisposisi yang dapat meningkatkan resiko pembentukan klot. 2,3 Insiden tromboemboli
sebagai komplikasi pada SN terjadi sebesar 3%. Emboli pulmonum seharusnya dicurigai
terjadi apabila didapatkan gejala pulmonum ataupun kardiovaskular yang dikonfirmasi
dengan angiography ataupun angioscintigraphy.7 Pada SNDS terjadi 28% emboli pulmonum.
Faktor prediktor resiko insiden tromboemboli pada SN dengan hiperkoagulabilitas
masih sedikit. Kadar albumin serum rendah (< 25 g/L), nilai eksresi protein yang tinggi
(>10g/24jam), kadar fibrinogen yang tinggi, kadar AT rendah (<75%) dan hipovolemia
berhubungan dengan bertambah besarnya resiko terhadap komplikasi tromboemboli.
Albumin mempunyai Heparin-like activity dengan mekanisme memperkuat aktivitas
antithrombin III. F.Goubran dkk, penelitian pada anak dengan SN mendapatkan bahwa level
beta thromboglobulin (B-TG) tinggi pada semua subyek dan menunjukkan hubungan terbalik
dengan kadar serum albumin, sedangkan level circulating platelet aggregation ratio (PAR)
secara signifikan menurun dibandingkan kontrol dan menunjukkan hubungan positif dengan
konsentrasi albumin serum.52 Resiko insiden Cardiovascular disease (CVD) pada keadaan
penyakit ginjal kronik dengan kondisi hipoalbuminemia terjadi oleh karena peningkatan
kadar Lipoprotein (a) plasma, fibrinogen dan metabolik asam arachionic yang juga akan
meningkatkan agregasi platelet dan viskositas darah. Pengaruh dari penyebab tersebut
berhubungan secara dependent. Soem Bae Kim et al, membuktikan korelasi negatif antara
serum albumin dan c-reactive protein, D-Dimer (Indek intravaskular trombogenesis) dan
faktor Von willebrand (marker untuk kerusakan sel endotel) namun infus albumin tidak
berpengaruh pada kadar parameter-paremeter tersebut.43 Mutasi dari faktor V Leiden juga
akan meningkatkan resiko trombotik. Sirkulasi di dalam vena melambat, viskositas darah
54

yang meningkat akibat hemokonsentrasi serta hipovolemia yang terjadi pada SN


meningkatkan insiden trombotik.
Pengobatan awal tromboemboli pada SN adalah menggunakan agen trombolitik
(seperti Heparin) dan atau agen fibrinolitik (Tissue plasminogen factor, streptokinase, dan
urokinase). Heparin intravena dan Low molecular weight heparin secara subkutan dan diikuti
dengan anti koagulan oral seperti warfarin selama 6 bulan atau lebih merupakan pilihan terapi
efektif pada anak SN yang secara klinis maupun radiologis terbukti adanya trombosis. 6 Dosis
heparin yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek terapeutik lebih besar dari normal
olehkarena adanya penurunan kadar antithrombin III.7 Terapi fibrinolitik telah terbukti efektif
digunakan pada beberapa anak namun belum terdapat publikasi bukti peran pengobatan
dengan trombolitik maupun bedah Thrombectomy. Selama periode sakit dan peningkatan
resiko tromboemboli, anak harus disarankan terus melakukan aktifitas fisik dan menghindari
tirah baring yang terlalu lama
Terapi warfarin sebagai profilaksis diindikasikan pada pasien dengan faktor resiko
tinggi hiperkoagulabilitas yaitu kadar albumin serum < 2 gr/dl, kadar fibrinogen > 6 gr/dL
atau kadar antitrombin III dibawah 70% dari kadar normal. 6 Peran efektifitas pengobatan
profilaksis antikoagulan seperti aspirin dosis rendah (80 mg) dan dipiridamol masih belum
jelas, namun pada pasien dengan resiko tinggi sebaiknya diberikan kedua obat tersebut.
Antikoagulan profilaksis dapat diindikasikan apabila terdapat riwayat tromboemboli, kondisi
hiperkoagulabilitas yang mendasari di luar SN, SNDS, SNRS dan penggunaan kateter vena
sental. Keuntungan potensial dan resiko dari terapi semacam ini harus dievaluasi secara
individual per pasien.
L.7

GANGGUAN HORMON DAN ELEKTROLIT


Pada pasien SN berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon

hilang dalam urin. Hilangnya Thyroid Binding Globulin (TBG) dalam urin pada beberapa
pasien SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. Pada
penelitian mengenai fungsi tiroid anak SN menunjukkan nilai dalam batas normal namun
nilai mean T3 dan TBG, lebih rendah dari kontrol. Terdapat juga peningkatan ekskresi T3
urin dan T4. Walaupun ditemukan hasil yang demikian, TSH normal dan pasien secara klinis
eutiroid.28 Subtitusi Thyroxine diindikasikan pada anak yang menujukkan hipotiroidisme
akibat kehilangan protein iodine melalui urin.7
Renal Osteodystrophy
55

Evaluasi terhadap kadar kalsium, fosfat, magnesium, vitamin D dan hormone


paratiroid dalam serum diperlukan pada pasien SN. Hiperparatiroid sekunder dan
hipoavitaminosis vitamin D dapat terjadi pada SN berkaitan dengan hilangnya albumin dan
globulin dalam urin yang merupakan agen pembawa vitamin D (Vitamin D Transporter).
Protein pengikat vitamin D (Vitamin D Binding Protein) merupakan protein berukuran kecil
dan difiltrasi serta dieksresi melalui urin sehingga 25-Hydroxyvitamin D yang berikatan
dengan Vitamin D binding Protein juga akan dieksresikan melalui urin dan menyebabkan
terjadinya defisiensi vitamin D dan hipokalsemia. Kalsium serum secara konsisten rendah
sebagai akibat hipoproteinemia. Ionized calcium biasanya normal namun kemungkinan
menurun oleh karena kehilangan 25-Hydroxyvitamin D melalui urin dan ketidaksesuaian
kadar calcitriol.7
Pertumbuhan linear juga dipengaruhi oleh hiperparatiroidisme sekunder dengan
osteodistrofi ginjal kemungkinan menyebabkan perubahan pada arsitektur lempeng kartilogo
pertumbuhan normal oleh karena terjadi mineralisasi tulang abnormal dan fibrosis
endochondral tulang. Disamping itu, penggunaan kortikosteroid jangka panjang juga
mengakibatkan penurunan densitas tulang antara lain osteoporosis dan osteopenia sehingga
pada pasien SN dibutuhkan suplementasi calcium dan vitamin D. 31 Dosis suplementasi
kalsium yang dianjurkan adalah 250-500 mg/hari atau kalsium gluconas 50 mg/KgBB
intravena dan vitamin D sebesar 125-250IU.2,6
Hiponatremia
Kadar natrium yang rendah kemungkinan berkaitan dengan dilusi dari retensi air oleh
ginjal yang disebabkan oleh adanya hipovolemia dan ketidaksesuaian sekresi hormone
antidiuretik. Penurunan konsentrasi natrium plasma berhubungan pula dengan hiperlipidemia
merupakan pseudohyponatremia, dimana kondisi tersebut dapat terjadi tergantung dari
metode pengukuran natrium apabila lipid dipisahkan terlebih dahulu. Restriksi cairan
direkomendasikan pada keadaan hiponatremia sedang sampai berat (kadar natrium dalam
serum kurang dari 125 meq/L).7 Pada keadaan kadar hiponatremia 130-135 mmol/L maka
tidak diperlukan koreksi.

Hiperkalemia
56

Kalium secara normal akan mengalami reabsorbsi pada tubulus proksimalis dan loop
henle serta 90% intake kalium mengalami sekresi di tubulus distal. Dengan adanya
progresivitas gangguan ginjal maka tubulus distal mengalami sekresi kalium secara terus
menerus. Peningkatan aldosteron juga meningkatkan sekresi kalium dengan stimulasi
pertukaran kalium dalam ginjal dan kolon. Hiperkalemia juga dapat disebabkan penggunaan
obat yang mengubah fisiologi sekresi kalium seperti penggunaan spironolakton, amiloride,
ataupun ACE-inhibitor. Kadar kalium kemungkinan tinggi pada pasien dengan oliguria. Pada
keadaan ditemukan hiperkalemia maka dapat dipertimbangkan pemberian natrium
bicarbonate, calcium gluconate, glukosa dan insulin serta beta agonis.
L.8

GANGGUAN PERTUMBUHAN
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien dengan SN tanpa diberikan

kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan sekunder, hilangnya
protein dalam urin, dan malabsorpsi karena edema saluran gastrointestinal. Proteinuria yang
berlangsung lama dan massif akan mengakibatkan malnutrisi akibat keseimbangan/
kehilangan Balance negative nitrogen serta kehilangan massa tubuh.
Pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi
tulang dan terhentinya pertumbuhan linier, terutama apabila dosis melampaui 5 mg/m2/hari.
Selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat berkurangnya produksi atau sekresi hormon
pertumbuhan. Kortikosteroid bersifat antagonis hormon pertumbuhan endogen atau eksogen
pada tingkat jaringan perifer melalui efeknya terhadap somatomedin. Pencegahan gangguan
pertumbuhan pada anak SN yang mendapatkan terapi kortikosteroid adalah dengan
melakukan pemberian secara rasional melalui durasi singkat, menghindari pemberian tanpa
indikasi jelas, mengurangi stress psikologis serta diupayakan meningkatkan pemberian kalori
dan protein secukupnya.28 Onset terjadinya SN berkorelasi dengan derajat retardasi
pertumbuhan olehkarena anak dengan fungsi ginjal normal mencapai 1/3 tinggi dewasa akhir
selama 2 tahun pertama setelah lahir. Hambatan pada pertumbuhan juga berkaitan dengan
hilangnya beberapa hormone yang berperan dalam pertumbuhan melalui urin seperti
hilangnya protein iodine melalui urin yang menyebabkan hipotiroidisme dan kehilangan
protein pembawa IgF1 dan IgF2 melalui urin.7

L.9

INFEKSI
57

Meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pada SN disebabkan oleh karena kadar


imunoglobulin yang rendah, defisiensi protein secara umum, gangguan opsonisasi terhadap
bakteri, hipofungsi limpa, dan akibat pengobatan immunosupresif. Pengobatan dengan
kortikosteroid dan agen imunosupresif lainnya merupakan faktor resiko infeksi virus
( misalnya campak atau varicella). Gangguan fungsi sel T sebagai salah satu patogenesis
dalam SN memberikan kontribusi dalam kerentanan anak SN terhadap infeksi.
Kadar IgG serum sering sangat menurun yaitu pada suatu penelitian rata-rata 18%
dari normal. Sedangkan kadar IgM meningkat, menunjukkan bahwa kemungkinan adanya
kelainan pada konversi yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dn IgM. Gangguan
opsonisasi terhadap bakteri mungkin disebabkan oleh menurunnya konsentrasi faktor B
dalam serum (C3 proaktivator) yang merupakan bagian dari jalur komplemen alternatif dan
berperanan penting pada opsonisasi terhadap organisme berkapsul seperti pneumococcus dan
beberapa jenis E. coli. Menurunnya faktor B (BM 8.000) mungkin karena hilang dalam urin
dan derajat penurunan faktor ini berkaitan dengan derajat hipoalbuminemia. Menurunnya
opsonisasi terhadap E.coli telah dibuktikan pada pasien SN dengan faktor B yang rendah dan
pada penambahan faktor B terjadi peningkatan fagositosis. Tidak terjadi gangguan opsonisasi
pada stafilokokus aureus, suatu kuman tanpa kapsul.28 Faktor B merupakan kofaktor C3b dari
jalur alternatif komplemen yang penting dalam opsonisasi bakteri seperti Streptococcus
pneumonia.
Peritonitis bakteri spontan, disertai demam, nyeri abdomen berat, dan tanda-tanda
peritoneal, dan terkadang disertai sepsis, merupakan komplikasi terkait morbiditas dan
mortalitas. Strepkokokus pneumonia merupakan patogen utama yaitu 38%, 27% lainnya
menunjukkan kultur negatif dan kasus dengan hasil E.Coli pada biakan cairan peritoneum
namun memberi respons klinik dengan penisilin. Kuman pathogen lain sebagai penyebab
peritonitis adalah Haemophilus influenza dan organism gram negative lain. Pada sebagian
anak dengan peritonitis dapat berkembang menjadi meningitis, pneumonitis dan selulitis.
Pemberian

vaksin

konjugat

pneumococcal

23-valent

dan

heptavalent

direkomendasikan untuk memberikan imunitas terhadap strain pneumococcal yang beragam.


Terapi antibiotika empiris harus segera diberikan pada keadaan peritonitis sambil menunggu
diagnosis definitif peritonitis berdasarkan hasil biakan kultur cairan peritoneal. Bila terjadi
peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negative dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral, dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson, selama 10-14 hari2
58

Edema yang terkait dengan supurasi jaringan sebaiknya dipantau dengan hati-hati
mengenai kemungkinan timbulnya komplikasi infeksi sekunder, termasuk selulitis. Selulitis
diakibatkan adanya kulit yang teregang dan edema subkutan. Erupsi erisipeloid pada kulit
perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini berbatas tegas, tetapi kurang
menonjol seperti pada erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan
kulit ini dibiakan.
Antibiotik profilaksis
Krensky dkk tidak menemukan perbedaan insidens peritonitis pada pemberian
penisilin profilaksis atau tidak sehingga disimpulkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis
tidak bermanfaat untuk mencegah infeksi. Keuntungan potensial harus diseimbangkan
dengan resiko reaksi alergi dan perkembangan organisme resisten. Di beberapa negara, pasien
SN dengan edema dan asites diberikan antibiotik profilaksis menggunakan penisilin oral 125250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang dan terjadi resolusi ascites. 2 Penisilin V juga
dapat diberikan pada saat masih terjadi proteinuria dan dihentikan apabila anak mengalami
remisi.48 Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau
secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. Biasanya
diberikan antibiotik jenis amoksisilin eritromisin, atau sefaleksin.2
Pada penelitian di Cina terhadap 54 pasien SN secara Randomized yang mendapatkan
terapi standar dengan atau tanpa immunoglobulin IV (dosis 200-300 mg/KgBB/hari) selama
2-3 hari didapatkan hasil bahwa resiko infeksi nosokomial lebih rendah pada kelompok
intervensi dibandingkan control (13,6% vs 46,8%, p<0,05).42
VARICELLA
Infeksi varicella merupakan infeksi virus yang sering ditemukan pada anak SN usia
muda dan akan mengalami progresivitas cepat apabila terapi acyclovir tidak segera diberikan.
Pada orangtua dipesankan agar anak menghindari kontak dengan pasien Varicella. Bila terjadi
kontak dengan pasien Varicella, diberikan profilaksis dengan immunoglobulin variecellazoster (125 IU/I0 kg) dosis tunggal dalam waktu kurang dari 72 jam dan apabila pasien
sedang diberikan terapi steroid maka glucocorticoid seharusnya di tappering dengan dosis
tidak melebihi 1 mg/KgBB/hari sampai masa periode inkubasi terlampaui. Immunoglobulin
post paparan diberikan pada saat pasien sedang immunocompromise non imun. Oleh karena
preparat immunoglobulin Varicella-zoster mahal dan sulit didapatkan maka dapat diberikan
59

immunoglobulin intravena (400 mg/KgBB), namun demikian belum terdapat bukti efektifitas
klinis yang adekuat.37
Pertimbangkan pemberian acyclovir intravena (1500 mg/m 2/hari terbagi dalam 3
dosis) atau acyclovir oral (acyclovir 40-60 mg/KgBB/hari PO terbagi dalam 4 dosis selama 57 hari) untuk anak dengan immunosupresi pada saat onset chicken pox lesions. Bila terjadi
infeksi varicella maka pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara2 atau pengobatan
prednisolon ditappering sampai dosis 0,5 mg/KgBB/hari selama infeksi berlangsung.37
Tabel 9. Infeksi yang terjadi pada Sindroma Nefrotik dan Penatalaksanaannya34,37
INFEKSI
Peritonitis

GAMBARAN KLINIS
Nyeri abdomen, diare dan
muntah

ORGANISME
Pneumococci,
E.Coli H.Influenza

Pneumonia

Demam, Takipneu dan


batuk

Pneumococci,
H.Influenza, S
Aureus

Selulitis

Kemerahan kulit,
tenderness dan indurasi

Infeksi Jamur

Infiltrat pulmonal, demam


persisten yang tidak
berespon terhadap terapi
antibakteri, sputum atau
urin menunjukkan septate
hyphae

Streptococcus Beta
Haemoliticus,
H.Influenza,
Pneumococci,
Staphylococci
Candida,
Aspergillus spp

TERAPI
Ceftriaxone (atau Cefotaxime
IV atau Amphicillin dengan
Aminoglycoside selama 1014 hari
Amoxcicilin
oral/Cephalexin/Coamoxiclav
untuk penyakit ringan.
Ceftriaxone atau Amphicilin
IV dengan Aminoglycoside
selama 7-10 hari untuk sakit
berat
IV Cloxacillin dengan
ceftriaxone sampai resolusi
dari indurasi diikuti dengan
cloxacillin oral dan cefixime
selama 10 hari
Kulit dan Mukosa
Fluconazole selama 10-14
hari
Sistemik Amphotericin B
selama 14-21 hari

TUBERKULOSIS34
Tingginya prevalensi tuberculosis dilaporkan pada anak dengan SN terutama di negara
berkembang. Pasien dengan SN yang menunjukkan hasil tuberculin positif dengan tanpa
bukti adanya penyakit tersebut maka diberikan profilaksis hanya dengan Isoniazid 5
mg/KgBB/Hari PO atau Rifampicin 10 mg/KgBB/hari PO selama 6 bulan. Pengobatan
standard tuberculosis diberikan apabila pasien dengan tuberculosis aktif, dan terapi diberikan
seharusnya mendahului 2 minggu pengobatan dengan kortikosteroid.
L.10

GAGAL GINJAL AKUT (GGA)

60

Penurunan GFR pada SN merupakan akibat sekunder dari hipovolemia, infeksi dan
trombosis yang kemungkinan dapat terjadi pada aliran plasma efektif normal. Bohman dkk
menunjukkan adanya kaitan erat antara penyatuan podocyte dan GFR serta fraksi filtrasi,
dimana penyatuan podocyte akan mengakibatkan pengurangan GFR maupun permeabilitas
ginjal terhadap air dan material berukuran kecil. 7 Proses reduksi ini bersifat sementara dan
dengan cepat akan kembali normal setelah remisi. Van de walle dkk menemukan bahwa
perubahan permeabilitas glomerulus kemungkinan memegang peranan utama pada GGA
dengan manifestasi adanya oliguria.7 Gross Hematuria, Flank pain, dan trombositopenia
merupakan tanda adanya trombosis vena renalis.
GGA dapat merupakan komplikasi sekunder dari timbulnya thrombosis vena renalis
secara bilateral yang dapat terdeteksi dengan sonography. Acute Interstititial Nephritis (AIN)
juga merupakan salah satu faktor penyebab GGA. Etiologi GGA pada SN dapat
mencerminkan progresifitas cepat dari penyakit yang mendasari (SN selain MCNS), terapi
pengobatan (antibiotik, Nonsteroid anti-inflammatory agents(AINS), diuretic), Acute Tubular
Necrosis (ATN) akibat hipovolemia dan sepsis. Penggunaan ACE inhibitor dan ARB pada
keadaan deplesi volume plasma akan mencetuskan GGA. GGA bersifat reversibel seiring
dengan keadaan remisi SN dan penghentian obat-obatan yang dapat mencetuskan AIN.
Adanya demam, rash, arthralgia, eosinofilia dengan Bland urinalisis (Minimal celluler
element) pada keadaan GGA merupakan gambaran tipikal untuk AIN. Hemokonsentrasi pada
pasien dengan edema anasarka mengindikasikan adanya deplesi volume intravascular.
L.11

HIPERTENSI
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sebagai awitan penyakit atau dalam perjalanan

pada SN akibat efek samping steroid. Prevalensi hipertensi pada SN sebesar 13-51%.
Pengobatan hipertensi dengan ACE inhibitor, ARB ataupun antagonis adrenergic sampai
tekanan darah dibawah persentil 90.6,37 Direkomendasikan pula diet rendah garam, latihan
dan penurunan berat badan pada pasien SN dengan obesitas. Tekanan darah secara umum
dapat kembali normal apabila telah terjadi remisi. 3 Hipertensi pada SN kemungkinan
berhubungan pula dengan kegagalan sistem Nitric oxide (NO). Pemantauan fungsi dan status
ventrikel kiri setiap tahun direkomendasikan pada pasien SN dengan hipertensi.

M.

EFEK SAMPING PENGOBATAN


61

Glucocorticoid merupakan terapi pilihan pertama pada SNI serangan pertama dengan
berbagai konsekuensi efek samping. Tipe efek samping yang terjadi tergantung pada
keparahan penyakit dan durasi penggunaan terapi steroid, dimana efek samping tersebut
dapat menghilang apabila terapi steroid dihentikan. Retardasi pertumbuhan didapatkan pada
pemanjangan durasi penggunaan terapi steroid setiap hari sedangkan penggunaan alternate
day akan mempertahankan pertumbuhan. Pada saat dibutuhkan steroid dosis tinggi untuk
mempertahankan remisi maka akan terjadi gangguan pertumbuhan. Kejadian osteoporosis
dilaporkan ditemukan pada dewasa yang menderita SN sejak masa kanak-kanak. 7 Biyiki dkk
mengemukakan bahwa pengobatan steroid mengakibatkan penurunan pembentukan tulang
secara dose dependet yang ditunjukkan dengan adanya perubahan osteocalcin dan kadar
alkaline phosphatase serta rendahnya kadar 25-hydroxyviyamin D. Penelitian RCT yang
membandingkan vitamin D dan suplemetasi calcium dengan kontrol tanpa profilaksis pada
anak yang mendapatkan terapi steroid dosis tinggi selama relaps menujukkan penurunan
susunan mineral tulang pada kedua kelompok namun lebih rendah pada kelompok perlakuan
(4,6 2,1% vs 134% secara berurutan dengan P<0,001). Penelitian lain menujukkan
efektivitas Biphosphanates dalam mencegah osteoporosis pada anak yang mendapatkan
terapi steroid jangka panjang. Efek samping lain terapi steroid meliputi peningkatan nafsu
makan, penambahan berat badan, hipertensi, iritasi gaster, katarak, perubahan tingkah laku
(gangguan mood),depressi, retensi cairan, hipertensi, steroid induced bone disease (avascular
necrosis dan demineralisasi tulang), acne, hirsutism, penurunan fungsi imunitas, retardasi
pertumbuhan serta pubertas terlambat.7 Apabila ditemukan efek samping penggunaan steroid
maka sebaiknya diberikan agen immunospuresif alternatif lain. Pada penggunaan steroid
jangka panjang maka harus dilakukan monitor pertumbuhan dan tekanan darah setiap 3
bulan, pemeriksaan berkala ke dokter mata untuk evaluasi katarak serta status pubertas
seharusnya dimonitor disertai dengan pemeriksaan Boneage pada saat keterlambatan
ditemukan.
Cyclophosphamide merupakan alkylating agent yang bekerja mengikat basa purin dan
menggagalkan transkripsi DNA. Efek samping cyclophosphamide harus dijelaskan secara
terperinci kepada keluarga sebelum memulai terapi yaitu menyebabkan supresi sumsum
tulang, rambut rontok, abdominal dyscomfort, haemorrhagic cystitis, gangguan fertilitas dan
keganasan. Darah rutin lengkap seharusnya diperiksa setiap minggu dan apabila neutropenia
ditemukan maka dosis diturunkan atau dihentikan sampai tercapai neutrofil normal.
Cyclosprorine memberikan efek samping lebih awal dibandingkan cyclophosphamide pada
efek toksisitas gonada anak laki-laki peripubertas. Efek samping cyclosporine lain adalah
62

tremor, hiperplasia ginggiva, serta berpotensi sebagai obat nefrotoksik sehingga diwajibkan
melakukan biopsi ginjal apabila ditemukan microalbuminuria setelah 18-24 jam terapi. Kadar
cyclosporine harus dievaluasi setiap 2 bulan walaupun sampai saat ini belum ada kesepakatan
tentang level terapeutik untuk cyclosporine. Mycophenolate mofetil sebagai agen sitotoksik
yang berperan kuat dalam menghambat proliferasi sel T dan sel B mempunyai beberapa efek
samping yaitu gastrointestinal dyscomfort, malaise, diare, acne dan leukopenia.
N.

NUTRISI PADA SINDROMA NEFROTIK


Strategi dalam mengendalikan proteinuria meliputi pula adanya kontrol terhadap

tekanan darah, pengendalian terhadap intake protein dan cairan serta garam. Pada penyakit
ginjal proteinuria, penurunan intake protein dari 1-1,5 g/KgBB/Hari menjadi 0,7 g/KgBB/hari
dapat menurunkan proteinuria sekitar 50% bahkan pada rentang proteinuria tipe nephrotic.
Penurunan intake protein dapat menurunkan kadar fibrinogen dan resiko kardiovascular. Diet
rendah garam (1-2g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema dan hipertensi. 2
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sclerosis glomerulus. Peningkatan eksresi asam
amino akan menstimuli prostaglandin yang memicu perubahan tonus vaskular (penurunan
resistensi arteriol affarent) sehingga meningkatkan GFR diikuti proses hiperfiltrasi.
Pemberian diit protein direkomendasikan normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances)yaitu 1,5 - 2 g/kgBB/hari. Diit rendah protein akan menyebabkan malnutrisi
energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. 2 Anak dengan proteinuria persisten
dapat diberikan protein 2 2,5 gr/KgBB/hari. 37 Intake protein yang optimal diperuntukan
dalam mempertahankan keseimbangan nitrogen dan Lean body mass. Pemberian lemak jenuh
tidak melebihi 30 % dari total kalori. Karbohidrat yang dianjurkan sebaiknya berupa tajin,
dextrin-maltose dan menghindari sukrose.50 Kortikosteroid menstimulasi nafsu makan yang
besar, oleh karena itu diperlukan edukasi makanan rendah lemak dan snack

serta

peningkatan aktifitas fisik sehingga dapat menurunkan potensi penambahan berat lemak
selama pengobatan.

O.

IMUNISASI PADA SINDROMA NEFROTIK


Vaksinasi penting khususnya untuk anak dengan SN olehkarena besarnya resiko

menderita infeksi berat sebagai dampak SN dan efek dari immunosupresi. Anak SN
seharusnya dijaga supaya stabil secara medis untuk mempersiapkan transplantasi ginjal.
63

Vaksinasi penting untuk menurunkan resiko morbiditas dan mortalitas dari vacciinepreventable infections. Semua anak dengan CKD seharusnya menerima imunisasi terhadap
difteri, tetanus, polio, Haemophilus influenza type B, dan Measlesmumps-rubella. Vaksin
hidup seharusnya tidak diberikan apabila pasien sedang menerima Intravenous immune
globulin, steroid dosis tinggi dan obat immunosupressive lain.9
Pasien SN yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid 2 mg/kgbb/hari atau total
20mg/hari (untuk berat badan lebih dari 10 Kg) selama lebih dari 14 hari atau dalam 6
minggu setelah steroid dihentikan, hanya boleh mendapatkan vaksin mati seperti IPV
(inactivated polio vaccine). Vaksin poliomyelitis inaktif dianjurkan diberikan kepada saudara
sekandung ataupun individu yang hidup bersama dengan pasien dimana pasien tersebut masih
menerima prednisone dosis tinggi atau agen immunosupresi jangka panjang, sedangkan untuk
vaksin Varicella ataupun MMR diberikan apabila terdapat indikasi.
Vaksin hidup (seperti polio oral, campak, MMR dan Varicella) mulai dapat diberikan
pada saat dosis prednisone mencapai < 2 mg/KgBB/Hari (Maksimum 20 mg), pada saat
alternate day (prednison < 0,5 mg/KgBB) setelah lebih dari 6 minggu penghentian steroid,
dan setelah 3 bulan menyelesaikan terapi dengan agen sitotoksik. 2,3 Semua anak SN
dianjurkan untuk diberikan imunisasi terhadap Pneumoccocal dan Varicella sekali pada saat
remisi atau pengobatan steroid dihentikan.
Anak SN mempunyai kerentanan terhadap penyakit pneumococcal. Pemberian
imunisasi terhadap Streptococcus pneumoniae pada beberapa negara dianjurkan, tetapi karena
belum ada laporan efektivitasnya yang jelas, di Indonesia belum dianjurkan. Jenis imunisasi
yang dapat diberikan adalah vaksin Conjugate pneumococcal 23- valent dan Heptavalent.
Vaksin Pneumococcal direkomendasikan pada semua anak SN yang berusia lebih dari 2
tahun yang diberikan selama pasien mengalami remisi dan lebih baik setelah steroid
dihentikan. Indian Academy of Pediatrics merekomendasikan 2-4 dosis vaksin Heptavalent
conjugate pneumoccoccal pada anak < 2 tahun. Booster pada anak SN berusia 2-5 tahun yang
sebelumnya tidak mendapatkan imunisasi tersebut seharusnya diberikan 8 minggu setelah
dosis awal.37 Anak yang berusia lebih dari 5 tahun hanya diberikan dosis tunggal. Booster
vaksin Pneumococcal diberikan setiap 5 tahun pada anak yang mendapatkan vaksin awal
sebelum berusia 5 tahun dan tetap diteruskan pada keadaan relaps.34 Revaccination setelah 5
tahun tersebut dipertimbangkan pada anak (<10 tahun) dengan SN aktif.
Vaksin influenza non aktif diberikan setiap tahun selain pada anaknya sendiri juga
diperuntukkan pada anggota keluarga yang sering melakukan kontak dengan pasien. 3 Dosis
pemberian vaksin influenza antara lain :
64

Usia 6 35 bulan : 0,25-0,5 mL, dengan dosis ulangan setelah 4-6 minggu apabila
anak baru pertama kali mendapatkan vaksinasi

Usia 3 12 tahun : 0,5 mL, dengan dosis ulangan setelah 4-6 minggu apabila anak
baru pertama kali mendapatkan vaksinasi

Usia > 13 tahun

: dosis tunggal 0,5 mL

Imunisasi varicella diberikan pada pasien non imun dari riwayat imunisasinya, belum
pernah menderita varicella sebelumnya, serta evaluasi serologis. Dosis tunggal vaksin
varicella direkomendasikan untuk anak SN berusia 12 bulan 12 tahun dan 2 dosis dengan
selang waktu 4 minggu untuk usia 13 tahun atau lebih dengan status non imun pada saat
mereka mengalami remisi atau setelah penghentian kortikosteroid.34,37 Vaksin Varicella telah
terbukti aman dan efektif diberikan pada anak dengan SN pada saat remisi bahkan ketika
anak sedang mendapatkan terapi steroid low dose alternate day sesuai dengan rekomendasi
pemberian berdasarkan pedoman pemberian vaksin hidup pada SN.
Pada anak yang sebelumnya belum pernah mendapatkan imunisasi campak maka
seharusnya menerima profilaksis dengan human immunoglobulin pada saat kontak dengan
pasien campak.34 Vaksin Hepatitis B diberikan sekali pada pasien saat mengalami remisi
meskipun respon serologis yang diharapkan belum terlihat. Antibodi hepatitis B dapat hilang
selama proses dialisis, sehingga anak yang membutuhkan dialisis membutuhkan pengukuran
titer antibodi hepatitis B.
Pasien SN yang mengalami remisi dan terapi steroid telah dihentikan selama 2-4
idealnya diberikan seluruh jenis vaksin yang direkomendasikan.
P.

PROGNOSIS
Respon terhadap terapi inisial dengan kortikosteroid merupakan indikator prognosis

pada SNI sehingga biopsi ginjal bukan merupakan standar diagnosis awal pada SNI kecuali
dengan indikasi tertentu untuk mengetahui gambaran histopatologi ginjal. MCNS dan FSGS
merupakan gambaran histopatologis dengan proporsi tinggi pada anak SNI serangan pertama
dengan prognosis jangka panjang yang berbeda. Prognosis jangka panjang MCNS selama
pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan
pada FSGS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada sebagian besar
lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
M.1 Prognosis Pada Sindroma Nefrotik Sensitif Steroid (SNSS)
65

ISKDC menyebutkan bahwa 93% anak dengan SN idiopatik yang memberikan respon
terhadap steroid mempunyai gambaran biopsi ginjal MCNS. 90% anak dengan MCNS akan
mengalami remisi dengan 60% diantaranya akan mengalami relaps, dimana pada hampir
lebih dari setengah anak mengalami relaps sering maupun dependen steroid. Faktor resiko
relaps yaitu usia onset kurang dari 3 tahun dan onset remisi yang terlambat pada episode
pertama (setelah 7-9 hari) dan apabila dalam waktu kurang dari 6 bulan pada pengobatan
awal telah mengalami relaps maka merupakan faktor resiko untuk terjadinya relaps sering.34
Sebanyak 44% akan mengalami relaps 1 tahun setelah diagnosis, 69% setelah 5 tahun dan
84% setelah 10 tahun. Studi pada 42 pasien dewasa dengan riwayat SN idiopatik pada masa
kanak-kanak menunjukkan relaps menjelang dewasa dengan keseluruhan morbiditas
(penyakit tulang, infeksi, keganasan, komplikasi kardiovascular) rendah serta pasien
mempunyai tinggi badan, Body mass index (BMI) dan fungsi ginjal normal. Faktor prediktor
relaps pada saat dewasa antara lain usia muda saat onset, jumlah relaps selama masa kanakkanak dan penggunaan pengobatan immunospuressor selain steroid (Cyclophosphamide,
Chlorambucil dan Cyclosporine).
Pengobatan Initial steroid dengan durasi lebih lama (12 minggu dibandingkan protokol
awal ISKDC selama 8 minggu) menurunkan tingkat relaps sebesar 36%.

Pemberian

Cyclophosphamide dan Cyclosporin akan mengurangi kemungkinan relaps pada SN.


Mortalitas anak MCNS sekitar 2% yang umumnya disebabkan peritonitis ataupun thrombus.
Pada SNI serangan pertama dengan klasifikasi SNDS akan mempunyai prognosis resiko
minimal terhadap GGK apabila anak memberikan remisi dengan terapi steroid yang
diperpanjang.7
P.2

Prognosis Pada Sindroma Nefrotik Non Responsif Steroid


10 % dari keseluruhan pasien SN idiopatik tidak memberikan respon terhadap

pengobatan awal dengan steroid ( 2% pasien MCNS tidak berespon steroid). 1-3% anak SN
yang memberikan respon lambat pada pengobatan initial dengan steroid akan menjadi SNRS
(Late Non-Responder). Lebih dari 60% anak SN dengan FSGS yang gagal mencapai remisi
dengan berbagai regimen pengobatan akan mengalami End-Stage Kidney Disease (ESKD),
sebaliknya hanya 15% pasien yang menjadi ESKD pada FSGS yang mencapai remisi.
Gipson melaporkan penurunan resiko ESKD sebesar 90 % pada pasien SN idiopatik yang
mengalami remisi.
SNRS memiliki prognosis yang baik apabila tercapai remisi dengan pengobatan
selain steroid. Kegagalan pengobatan, insufisiensi ginjal pada presentasi klinis awal dan
66

proporsi tinggi jumlah glomerulus dengan segmental sclerosis merupakan prediktor outcome
yang buruk dan progresifitas mengalami ESKD. Pasien SN dari keturunan ras African
ataupun Hispanic mempunyai kecenderungan progresifitas mengalami gagal ginjal terminal
lebih cepat dibandingkan ras Caucasians, dimana 50% dari mereka akan mencapai GGT
dalam waktu 3 tahun dan 95% setelah 6 tahun.
Dialisis dan transplantasi ginjal akan memperbaiki prognosis jangka panjang pada
pasien yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir, termasuk SN congenital. Pada keadaan
glomerulopathy seperti FSGS, MPGN dan SN congenital akan tetap timbul fase nefrotik
walaupun dilakukan transplantasi ginjal. Terapi dengan Plasmapharesis dan Imunosupresif
efektif hanya pada 30% pasien.
Q.

EDUKASI ORANG TUA


Motivasi dan keterlibatan orang tua penting dalam tatalaksana jangka panjang SN.

Orang tua diberikan edukasi mengenai pentingnya tingkat kepatuhan serta keteraturan
pengobatan tanpa menghentikan pengobatan secara sepihak dan memberikan diet sesuai
dengan anjuran tatalaksana dietetic pada SN.6 Permasalahan psycososial yang dapat terjadi
antara lain perubahan tingkah laku, asuransi kesehatan, absensi kerja dan sekolah karena
perawatan di rumah sakit menuntut partisipasi orang tua dan pendekatan dokter dalam
menyampaikan permasalahan tersebut secara terperinci.
Monitoring protein urin, berat badan dan dosis steroid/immunosupresif yang lain secara
tepat merupakan bagian penting dalam manajemen SN. Pemeriksaan urin di rumah juga
berguna dalam evaluasi respon terapi steroid. Apabila telah terjadi remisi maka pemeriksaan
urin pagi hari dianjurkan satu atau dua kali seminggu selanjutnya setiap minggu setelah onset
pertama
Orang tua diharapkan mendeteksi gejala klinis edema, penambahan berat badan dan
proteinuria +2 atau lebih selama lebih dari 2 hari serta anak kontak dengan pasien infeksi
varicella dimana anak bersifat non-immune maka diharapkan untuk segera datang ke dokter.
Klinis edema dapat terdeteksi dengan ditemukannya penambahan berat badan yang
mendadak, edema pada mata di pagi hari, ankle swelling, dan edema pada kaki, tangan, perut
serta genetalia. Pemeriksaan proteinuria dan berat badan dilakukan setiap pagi hari disertai
restriksi garam sampai anak mengalami remisi, selama muncul edema periorbital dan infeksi
interrecurrent . Deteksi cepat adanya relaps proteinuria menyebabkan inisiasi terapi steroid
lebih awal sebelum perkembangan edema dan komplikasi lain.
67

R.

RINGKASAN
Sindroma nefrotik idiopatik (SNI) merupakan prevalensi tertinggi glomerulopathi

yang terjadi pada masa kanak-kanak. Minimal change disease (MCD) merupakan gambaran
histopatologi yang paling sering ditemukan pada SNI dengan tingkat responsive terhadap
terapi steroid mencapai 94%. Tingkat keparahan penyakit pada saat onset nefrotik berkorelasi
dengan berbagai komplikasi perubahan patofisiologi selama episode proteinuria massif
seperti hipoalbuminemia berat, hipovolemia, edema, dislipidemia, hiperkoagulabilitas,
infeksi, anemia, hipertensi, dan gagal ginjal akut. Tatalaksana pada SNI serangan pertama
tidak hanya terfokus pada upaya pencapaian remisi namun disertai dengan penatalaksanaan
berbagai komplikasi lain yang terjadi.
Nutrisi selama fase nefrotik memegang peranan pula sebagai terapi suportif dalam
mencegah progresivitas komplikasi berkaitan dengan malnutrisi, edema, dislipidemia, edema
serta hipertensi yang mungkin terjadi. Vaksinasi penting pada anak dengan SN olehkarena
besarnya resiko menderita infeksi berat sebagai dampak SN maupun pengaruh
immunosupresi sehingga diperlukan upaya untuk dapat segera melengkapi imunisasi sesuai
usia dengan memperhatikan faktor resiko dan kontraindikasi.
Angka kejadian relaps mencapai hampir lebih 50% dari keseluruhan anak yang
mengalami remisi dengan steroid pada SNI serangan pertama. Pemahaman yang lebih baik
mengenai pencetus nefrotik (infeksi virus berhubungan dengan presentasi awal dan induksi
relaps), identifikasi faktor-faktor pencetus nefrotik selain infeksi, dan memperbaiki respon
imun host akan memperbaiki prognosis selanjutnya berkaitan dengan tingkat relaps yang
akan terjadi. Peran serta orang tua sangat diperlukan selama monitoring pasca remisi melalui
pemeriksaan urin maupun tanda klinis awal seperti edema sehingga proteinuria awal dapat
terdeteksi dan segera diberikan tatalaksana untuk mencegah progresivitas menjadi onset
nefrotik selanjutnya.

68

Anda mungkin juga menyukai