Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN TAKHRIJ HADITS

A. GAMBARAN UMUM HADITS


1. Latar Belakang
Kerasulan nabi Muhammad SAW. telah diakui dan dibenarkan oleh umat
Islam. Didalam mengemban misinya itu, kadangkala atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad
beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menaskhkan. Secara logika,
kepercayaan kepada Muhammad SAW. sebagai Rasul mengharuskan umatnya
menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.1
Oleh karena itu, kita wajib untuk berpegang teguh dan melaksanakan semua
ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Beliau meninggalkan kepada umatnya dua
pedoman yang apabila kita berpegang teguh pada kedua pedoman tersebut maka akan
selamat dunia dan akhirat. Kedua pedoman tersebut adalah al-Quran dan Hadits.
Maka, dalam kehidupan kita sehari-hari kita harus berpedoman terhadap
semua yang diperintahkan oleh Allah lewat Rasulullah SAW. Apalagi kita sebagai
seorang calon dai dan pendidik yang mengemban tugas seperti misi para nabi dan
rasul harus berdakwah dengan sumber yang pasti yaitu al-Quran dan Sunnah.
Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa kemujizatan al-Quran dijadikan sebagai
rujukan utama bagi kita selaku umat Islam dan hadits sebagai bayan (penjelas) utama
al-Quran dan salah satu dari materi dakwah yang memuat gambaran tentang
kehidupan Rasulullah sendiri, yaitu manusia pilihan yang dinobatkan oleh Allah
selaku uswatun hasanah sebagaimana firman Allah SWT.(Q.S al-Ahzab: 21).
Oleh karena itu, al-Quran mempunyai peranan yang sangat penting sekali
dan sudah sepatutnya bagi para pendidik dan pendakwah untuk berhati-hati dalam
menjadikan hadits sebagai rujukan dalam berdakwah.
1

Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 74

Dalam menjadikan hadits sebagai rujukan dakwah, memanglah dibutuhkan


suatu kehati-hatian dalam menyampaikannya karena seperti yang kita ketahui tidak
semua hadits itu shahi dan berasal dari nabi. Juga tidak semua hadits bisa dijadikan
rujukan karena ada hadits yang dikategorikan lemah dan bahkan hadits tersebut
ditolak dan tidak bisa dijadikan dasar atau hujjah dalam berdakwah.
2. Tinjauan Redaksional Hadits
Sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Bapak Yusrizal Effendi, S. Ag., M.
Ag., dan Ibu Salmah S. Ag., M. A., dosen mata kuliah Ulumul Hadits, ketika penulis
membaca sebuah buku fiqh yang dikarang oleh Sri Suyanti, S. Ag., dan Sugiono, S.
Ag yang ditulis pada tahun 2008 dan diterbitkan oleh C.V. Al-Fath, Solo, tepatnya
pada halaman 42 ditulis ada sebuah hadits pada buku tersebut diriwayatkan oleh
jamaah, yaitu bersama-sama imam ulama hadits meeriwayatkan hadits tersebut.
Redaksi hadits tersebut adalah:

( )
3. Potongan Lafal yang Digunakan dan Informasi Mujam Hadits


a. Kosa kata yang digunakan untuk menulusuri keberadaan riwayat tersebut
melalui Mujam al-Hadits

/
/
/

b. Informasi Mujam al-Hadits


Kosa Kata yang
Dipakai
Kata

Bentuk
Dasar

Mujam alHadits: Jilid

Keterangan yang Diperoleh

& Hal
Juz 6, hal.

[ ])( ][

43
Shahih Bukhari, Kitab , Bab 44, Kitab , Bab
48, Kitab , Bab 26
Shahih Muslim, Kitab , Hadits no 1

Sunan Abu Daud , Kitab , Bab 10

Sunan at-Tirmidzi, Kitab , Bab 15


Sunan Ibnu Majah, Kitab , Bab 6
Sunan ad-Darimi, Kitab , Bab 29
Al-Muwatha Malik ibn Anas, Kitab , Bab 10
Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 5, halaman 200-

Juz 7, hal.
182

202, 208, 209



Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 5, halaman 201,
202, 209
)( ][
Shahih Bukhari, Kitab , Bab 44, Kitab ,
Bab 48, Kitab , Bab 26
Shahih Muslim, Kitab , Hadits no 1
Sunan Abu Daud , Kitab , Bab 10
Sunan at-Tirmidzi, Kitab , Bab 15
Sunan Ibnu Majah, Kitab , Bab 6
Sunan ad-Darimi, Kitab , Bab 29
Al-Muwatha Malik ibn Anas, Kitab , Bab 10

Juz 6

Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 2, hal. 200, 208


...
Sunan Ibnu Majah, Kitab , Bab 6

c. Rangkuman Informasi Mujam Al-Hadits Dari Berbagai Kosa Kata:


1. Shahih Bukhari, Kitab , Bab 44, Kitab , Bab 48, Kitab , Bab 26
2. Shahih Muslim, Kitab , Hadits no 1
3. Sunan Abu Daud , Kitab , Bab 10
4. Sunan al-Tirmidzi, Kitab , Bab 15
5. Sunan Ibnu Majah, Kitab , Bab 6
6. Sunan ad-Darimi, Kitab , Bab 29
7. Al-Muwatha Malik ibn Anas, Kitab , Bab 10
8. Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 2, halaman 200, 208 dan Juz 5, halaman
200-202, 208, 209
d. Klarifikasi Informasi Mujam al-Hadits ke Kitab Sumber Hadits
Setelah dirujuk ke kitab-kitab hadits yang dimaksud, terdapat sepuluh jalur
periwayatan yang benar-benar sesuai dengan dan relevan dengan hadits yang
penulis teliti. Adapun lokus pemuatannya adalah:
1. Shahih Bukhari, memuat dua periwayatan, yaitu dalam kitab , Bab 48,
halaman 1167, dan juz 7 kitab , bab 26 halaman 11
2. Shahih Muslim, memuat satu periwayatan yaitu Kitab , Hadits no 1,
halaman 757,
3. Sunan Abu Daud , memuat satu periwayatan yaitu pada Kitab , Bab 10,
halaman 517,
4. Sunan al-Tirmidzi, memuat satu periwayatan yaitu pada Kitab , Bab
15, halaman 35,
5. Sunan Ibnu Majah, memuat satu periwayatan yaitu pada Kitab , Bab 6,
halaman 321,

, 6. Sunan ad-Darimi, memuat tiga periwayatan yaitu pada Juz 2 Kitab


Bab 29, halaman 370-371
7. Al-Muwatha Malik ibn Anas, memuat satu periwayatan yaitu pada Kitab
, Bab 10, halaman 327
8. Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 5 tidak ditemukan kitab haditsnya dan Juz 2
halaman 200 dan 208 tidak ditemukan hadits yang dimaksud.
e. Kutipan Hadits dari Kitab Sumber
Al Muwatha Malik ibn Anas:

1.


: . : .

Muslim:

2.

) ( ) :
: (
: . > : <

Sunan Tirmidzi

3.

:
:
. > : <

Shahih Bukhari

4.

Malik ibn Anas ibn Malik ibn Amr, al- Imam Abu Abdillah al-Humyari al Asbahi alMadani, Al-Muwatha, hlm.
3
Abdul Hussain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, hal.
4
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa ain ad-Dakhak as-Sulami at-Tirmidzi
5
Abu Abdullah Muhammad

5.

Sunan Ad-Darimi
)(
:

6.

Sunan Ibnu Majah


:
:
7

7.

Sunan Abi Daud


) (
[ ] : . :

8.

Musnad Ahmad bin Hambal


Tidak ditemukan kitab hadits yang dicari

B. TEMUAN PENELITIAN
1. Skema Sanad Hadits dan Itibar
Dari sepuluh jalur sanad yang ada sebagaimana terlihat pada skema sanad
secara keseluruhan (yang dilampirkan pada bagian akhir laporan ini), maka penulis
melakukan itibar. Dalam hal ini, dapat diartikan dengan menyertakan sanad-sanad
yang lain untuk suatu hadits tertentu yang pada bagian sanadnya hanya tampak
seorang periwayat saja.
Dengan menyertakan sanad-sanad yang lain akan dapat diketahui, apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak pada bagian sanad hadits tersebut. Dan melalui
kegiatan ini akan dapat diketahui jalur sanad hadits yang diteliti secara lengkap
6
7
8

beserta nama-nama seluruh periwayatnya beserta metode periwayatan yang


digunakan.
Melalui cara ini, dapat pula diketahui asal-usul seluruh riwayat yang dijadikan
sebagai objek kajian, apakan ada muttabi dan syahid yang dapat memperkuat
kualitas hadits yang diteliti.
a. Muttabi
Muttabi sangat berkaitan dengan perbedaan sanad dalam suatu riwayat
hadits. Muttabi yang dimaksud disini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang sahabat, namun pada jalur periwayatan berikutnya terdapat perbedaan
nama masing-masing jalur. Jadi, perbedaan tersebut terjadi pada lapisan kedua
dan seterusnya. Dalam hal ini, jalur sanad yang berasal dari Usamah bin Zaid
(sahabat) mempunyai 10 muttabi, yaitu:
1. Haddatsana Musaddad na Sofyan ibn Uyainah an Az Zuhri an Ali ibn
Husain an Amru ibn Usman an Utsamah ibn Zaid (H.R. Abi daud)
2. Haddatsana Yahya ibn Yahya wa Abu Bakr ibn Abi Syihab wa Ishak ibn
Ibrahim qala Yahya: akhbarana wa qala akharaani: haddatsana Ibn Uyainah
an Az Zuhri an Ali ibn Husain an Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid
(H.R. Muslim)
3. Haddatsana Said ibn Abdirrahman Maghzumi haddatsana Sofyan an Az
Zuhri wa Haddatsana Ali ibn Hujri akhbarana Hisyam an Az Zuhri an Ali
ibn Husain an Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid (H.R. At-Tirmidzi)
4. Haddatsana Nasir ibn Ali tsana Abdul Ala an Mumar an Az Zuhri an Ali
ibn Husain an Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid (H.R. Ad-Darimi)
5. Akhbarana Muhammad ibn Yusuf tsana Sofyan an Abdullah ibn Isa an Az
Zuhri an ali ibn Husain an Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid (H.R.
Ad-Darimi)
6. Haddatsana Amru ibn Aun tsana Sofyan an Az Zuhri an ali ibn Husain
an Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid (H.R. Ad-Darimi)
7. Haddatsana Abu Asim an Ibn Juraiji an Ibn Syihab an Ali ibn Husain
an Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid (H.R. Bukhari)

8. Haddatsana Sulaiman ibn Abdirrahman haddatsana Sadan ibn Yahya


haddatsana Muhammad ibn Abi Hafsah an Az Zuhri an Ali ibn Husain an
Amru ibn Utsman an Usamah ibn Zaid (H.R. Bukhari)
9. Haddatsana Hisyam ibn Ammar wa Muhammad ibn Sabbah tsana Sofyan
ibn Uyainah an Az Zuhri an Ali ibn Husain an Amru ibn Utsman an
Usamah ibn Zaid (H.R. Ibnu Majah)
10. Haddatsani Yahya an Malik an Ibn Syihab an ali ibn Husain ibn Ali an
Amru ibn Utsman ibn Affan an Usamah ibn Zaid (H.R. Imam Malik)
b. Syahid
Syahid yang dimaksud disini adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang
sahabat yang secara lafal atau makna sesuai dengan yang diriwayatkan oleh
sahabat lain. Setelah penulis teliti lebih lanjut, ternyata hadits ini tidak ada
syahidnya karena hanya diriwayatkan oleh sahabat tunggal, yaitu Usamah ibn
Zaid.
Bahkan dapat dikatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara ahad hingga
ketingkatan tabi at-tabiin. Baru generasi selanjutnya diriwayatkan secara
masyhur sampai ketangan para mukharrij.
2. Kandungan (Syarh) Hadits


Artinya:
Tidak berhak seorang mulim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi orang muslim
Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik. Di zaman yang serba
modern ini, lebih-lebih ketika terjadi yang berhak menerima warisan adalah orang
Muslim dari orang tua atau kerabat yang masih kafir. Keterangan yang menafikan
kewarisan ini, dengan menggunakan huruf La Nafyiyah yang diartikan tidak, bukan

la nahyi, yang berarti larangan. Huruf la nafyiyah ini mengandung faidah tidak dan
dengan kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum.9
Yang dimaksud dengan perbedaan agama menurut hadits diatas adalah
perbedaan agama yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang
diwarisi. Misalnya, agama orang yang mewarisi itu kafir, sedang yang diwarisi itu
adalah Islam, maka orang kafir tidak mewarisi harta peninggalan orang Islam.10
Berdasarkan hadits tersebut, semua imam mazhab (yang empat) berpendapat
sama. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa orang Islam boleh mewarisi harta
orang kafir, akan tetapi sebaliknya, orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang
Islam. Pendapat semacam ini dikemukakan dengan argumentasi bahwa kedudukan
orang Islam itu lebih tinggi dari siapa pun, tidak ada satu pun yang dapat
mengunggulinya.
Dari semua pendapat tersebut, pendapat yang pertamalah yang benar yang
merupakan pendapat jumhur, yang secara jelas telah mengamalkan nash nabawi
dalam hadits tersebut. Lagi pula masalah waris-mewarisi adalah saling menolong dan
membantu sesamanya. Hal ini tidak terdapat diantara orang muslim dengan orang
kafir karena dilarang syara.11
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak
mewarisi, yaitu murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang
yang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk
kedalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi
orang Islam.
Kemudian, permasalahan yang muncul adalah bolehkah seorang muslim
mewarisi harta kerabatnya yang murtad?
Menurut Mazhab Maliki, Syafii dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim
tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka
orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam. Jadi secara otomatis telah

Http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/#respond
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 34
11
Ibid., hlm 35
10

menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya, bahwa
antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi
harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan mazhab Hanafi sepakat mengatakan:
Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang
muslim.12
Kemudian ada lagi pendapat Sufyan Ats-Tsaury dan juga Imam Abu Hanifah
bahwa harta pusaka orang murtad dibagi dua. Harta yang diperoleh sebelum murtad
dapat diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim. Sedangkan harta yang didapat
seseorang sesudah murtad sampai ia meninggal dunia, tidak dapat diwarisi, dan harta
itu menjadi harta fai, dimasukkan dalam baitul mal.13
Hal ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 141:

Artinya:
Allah tidak akan menjadikan jalan (wilayah) bagi orang kafir terhadap orang
Islam.
Nabi Muhammad sendiri mempraktekkan pembagan warisan, dimana
perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang mewaris. Ketika pamannya Abu
Thalib meninggal sebelum masuk Islam harta warisannya hanya dibagikan kepada
anak-anaknya yang masih kafir, yaitu Uqail dan Thalib. Sementara anak-anaknya
yang telah masuk Islam, yaitu Ali dan Jafar oleh nabi tidak diberi bagian warisan.14
3. Penentuan Kualitas Hadits
Setelah penulis melakukan penelitian, maka dapat penulis simpulkan kualitas
hadits ini dipandang dari:
a. Penisbahan atau penyandarannya, hadits ini termasuk hadits Nabawi karena
makna, redaksi dan penyampaiannya disampaikan oleh nabi.
12

Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 43
Asymuni, dkk., Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Proyek Pembinaan dan Sarana PTAI/IAIN Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986), hlm. 174
14
Http://meetabied.wordpress.con/2009/12/25/hak-kewarisan-dalam-perkawinan-beda-agama/
13

10

b. Sampainya kepada Nabi / sanadnya, hadits ini termasuk hadits marfu karena
sanadnya bersambung sampai kepada nabi melalui sahabat besar, yaitu
Usamah ibn Zaid.
c. Menurut sifat-sifat sanad dan cara penyampaiannya, hadits ini termasuk hadits
muanan karena memakai lafaz an, baru menjelang mudawwin hadits ini
menjadi Hadits Musasal, karena memakai lafal haddatsana. Hadits ini juga
termasuk hadits Nazil (hadits yang jumlah sanad/ periwayatannya banyak)
karena jumlah sanadnya mencapai tujuh orang bahkan ada yang lebih.
d. Menurut kuantitas periwayatnya, hadits ini termasuk hadits ahad karena hanya
diriwayatkan oleh seorang sahabat saja sampai pada tingkatan tabi tabiin
e. Dari kualitas matan dan sanad, hadits ini tergolong shahih atau minimal hasan
karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan
termasuk hadits maqbul (dapat diterima sebagai hujjah).
f. Menurut penerapan kandungannya, hadits ini termasuk hadits Mabulbih
karena kandungan isi matannya dilaksanakan.

11

BAB III
PENUTUP

A.

KESIMPULAN
Setelah penulis mencoba meneliti hadits ini, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa kriteria hadits tersebut berdasarkan:
1. Penisbahan atau penyandarannya, hadits ini termasuk hadits Nabawi karena
makna, redaksi dan penyampaiannya disampaikan oleh nabi.
2. Sampainya kepada Nabi / sanadnya, hadits ini termasuk hadits marfu karena
sanadnya bersambung sampai kepada nabi melalui sahabat besar, yaitu
Usamah ibn Zaid.
3. Menurut sifat-sifat sanad dan cara penyampaiannya, hadits ini termasuk hadits
muanan karena memakai lafaz an, baru menjelang mudawwin hadits ini
menjadi Hadits Musasal, karena memakai lafal haddatsana. Hadits ini juga
termasuk hadits Nazil (hadits yang jumlah sanad/ periwayatannya banyak)
karena jumlah sanadnya mencapai tujuh orang bahkan ada yang lebih.
4. Menurut kuantitas periwayatnya, hadits ini termasuk hadits ahad karena hanya
diriwayatkan oleh seorang sahabat saja sampai pada tingkatan tabi tabiin,
5. Dari kualitas matan dan sanad, hadits ini tergolong shahih atau minimal hasan
karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan
termasuk hadits maqbul (dapat diterima sebagai hujjah).
6. Menurut penerapan kandungannya, hadits ini termasuk hadits Mabulbih
karena kandungan isi matannya dilaksanakan.
B.

SARAN
Seorang pendakwah harus mempunyai banyak ilmu pengetahuan tentang

seluk beluk Islam dan harus mengetahui ilmu-ilmu tentang al-Quran dan Hadits.
Apabila ingin menyampaikan suatu ayat dari ayat-ayat al-Quran, maka terlebih

12

dahulu di-cross check kedalam al-Quran apakah ayat tersebut memang termasuk ayat
al-Quran atau bukan.
Begitu juga jika ingin menyampaikan sebuah hadits, maka harus di-cross
check kembali kedalam

kitab-kitab hadits, jangan kedalam buku tempat hadits

tersebut ditemukan, karena bisa jadi buku tersebut juga salah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hlm. 43
Asymuni, dkk., Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Proyek Pembinaan dan Sarana PTAI/IAIN
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1986),
hlm. 174
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 34
Http://meetabied.wordpress.con/2009/12/25/hak-kewarisan-dalam-perkawinan-bedaagama/
Http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/kedudukan-waris-beda-agama/#respond
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 74
Wensinck, A. J., dan Y. J. Mansink. 1967. Mujam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits anNabawi, terjemahan oleh Muhammad Fuad al-Baqi, judul asli A Handbook
of Early

13

Anda mungkin juga menyukai