Anda di halaman 1dari 46

PEDOMAN KONSELING

GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA


BAGI PETUGAS KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2010

DAFTAR ISI:

Kata Sambutan
Prakata
Kata Pengatar
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
1.2. Maksud dan Tujuan
1.3. Landasan Kebijakan & Hukum
1.4. Terminologi
Bab 2. Prinsip Dasar Konseling Gangguan Penggunaan NAPZA
2.1. Pengetahuan Dasar tentang Gangguan Penggunaan NAPZA
2.2. Pemahaman Proses Perubahan Perilaku pada Gangguan Penggunaan NAPZA
2.3. Asesmen dan Rencana Terapi
2.4. Kode Etik Konseling
Bab 3. Implementasi Konseling Gangguan Penggunaan NAPZA
3.1. Teknik Dasar Konseling
3.2. Meningkatkan Motivasi untuk Berubah
3.3. Melibatkan Keluarga/ Pasangan dalam Proses Konseling
3.4. Kambuh (relapses) dan Slips
Bab 4. Evaluasi Proses Konseling
4.1. Instrumen Evaluasi
4.2. Indikator Keberhasilan
Bab 5. Penutup
Daftar Referensi
Lampiran 1
Lampiran 2

KATA PENGANTAR
Buku pedoman ini disusun bagi petugas kesehatan yang memberikan layanan kepada
klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA, khususnya yang memberikan konseling.
Namun demikian pedoman ini juga dapat dimanfaatkan bagi orang lain yang mempunyai
minat untuk menolong sesama yang mengalami penderitaan akibat gangguan tersebut.
Sebagaimana dengan pedoman lain, dalam buku ini teori tidak dibahas secara luas dan
mendalam, melainkan hanya yang diperlukan untuk lebih dapat memahami klien dengan
Gangguan penggunaan NAPZA.
Beberapa modalitas seperti 12 langkah dari Alcohol Anonymous (AA), Motivational
Interviewing (MI) hanya dibahas secara singkat sebab sudah dibahas dalam Buku
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Ganggauan Penggunaan
NAPZA berbasis Rumah Sakit yang juga diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Contoh formulir catatan medis klien juga tidak diberikan dalam pedoman ini karena juga
sudah termuat dalam Buku Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan Penggunaan
NAPZA. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi duplikasi dan demi keseragaman. Oleh
karena itu, kedua buku pedoman tersebut saling melengkapi dan harus digunakan
bersama.
Dalam buku pedoman konseling ini dibahas tentang pengetahuan dasar Gangguan
penggunaan NAPZA, asesmen dan rencana terapi, prinsip dasar konseling pada
umumnya dan pada Gangguan penggunaan NAPZA, sebelum dibahas teknik dasar
konseling untuk klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA.
Akhirnya dalam buku pedoman ini juga dibahas tentang peran keluarga, pasangan, dan
orang signifikan lain, pencegahan terhadap kambuh (relapse) dan slips, evaluasi dan
indikator keberhasilan.

Bab 1. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang

Untuk memenuhi kebutuhan terapi dan rehabilitasi klien dengan Gangguan penggunaan
NAPZA, Direktorat Kesehatan Jiwa (namanya waktu itu) Kementerian Kesehatan RI
pada tahun 1972 telah memberikan instruksi kepada Rumah Sakit Jiwa Pemerintah di
seluruh Indonesia dan menganjurkan kepada semua Rumah Sakit Jiwa Swasta untuk
menyediakan 10% dari kapasitas tempat tidurnya untuk kasus-kasus dengan Gangguan
penggunaan NAPZA.
Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu masalah bio-psiko-sosio-kultural yang
sangat kompleks. Terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA harus bersifat
holistik dengan memperhatikan faktor biologis, psikologis dan kepribadian, serta faktor
sosio-kultural dalam arti yang luas ( termasuk spiritual, ekonomi, legal ).
Faktor biologis relatif mudah diatasi dengan pendekatan farmakologis, sedangkan faktor
sosio-kultural seringkali sulit untuk dijangkau oleh berbagai upaya terapi dan rehabilitasi,
sebab dibentuk oleh berbagai faktor, tidak saja klien itu sendiri, melainkan juga keluarga,
keluarga besar, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah/pekerjaan, dan masyarakat
secara lebih luas.
Oleh karena itu program terapi dan rehabilitasi terutama ditujukan kepada individu klien,
yaitu menjadikan klien menjadi lebih mampu menepis penggunaan NAPZA. Dalam
konteks ini, peran terapi psikologis termasuk konseling memegang peran penting.
Dari evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan ditemukan bahwa masyarakat
kurang memanfaatkan pelayanan untuk Gangguan penggunaan NAPZA yang tersedia di
Rumah Sakit Jiwa. Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan itu adalah antara lain:
Adanya stigma terhadap gangguan jiwa sehingga seorang klien dengan Gangguan
penggunaan NAPZA segan untuk berobat di Rumah Sakit Jiwa.
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Jiwa tidak memenuhi kebutuhan
klien. Beberapa Rumah Sakit Jiwa hanya memberikan pelayanan detoksifikasi
saja sedangkan modalitas terapi lainnya serta kemampuan sumber daya manusia
yang ada masih terbatas.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terkait dengan
layanan Gangguan penggunaan NAPZA, diterbitkan buku Pedoman Konseling Gangguan
penggunaan NAPZA bagi Petugas Kesehatan. Buku pedoman ini tak dapat dipisahkan
dari dua buku lainnya, yaitu Buku Pedoman Penatalaksanaan Medis Gangguan
Penggunaan NAPZA, serta Buku Modul Pelatihan Konseling Gangguan penggunaan
NAPZA bagi Petugas di Layanan Kesehatan Adiksi.
4

1.2.

Maksud dan Tujuan

Maksud
Sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam memberikan konseling kepada klien
dengan Gangguan penggunaan NAPZA
Tujuan
Meningkatkan kemampuan Petugas Kesehatan dalam memberikan konseling kepada
klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA
Sasaran
Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum, Puskesmas, Balkesmas,
Pusat Terapi Rumatan Metadon, LSM, Pusat Rehabilitasi, dan LAPAS.
Yang dimaksud dengan petugas kesehatan adalah: dokter, perawat, bidan, psikolog,
pekerja sosial profesional, sarjana kesehatan masyarakat, konselor adiksi non profesional
yang memenuhi syarat.
1.3. Landasan Hukum dan Kebijakan
Landasan Hukum
Penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA di Indonesia dilandasi oleh peraturan
perundang-undangan.
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
( Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209 );
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
( Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144 );
3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika ( LemBaran Negara Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3671 );
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika ( United Nations Convention Against Illicit Traffic in
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances ( Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 17, Tamnbahan Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3673 )
5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 143 )
6. Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3848 )
7. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika
Nasional

8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XI/2005 tentang Tata Kerja Kementerian Kesehatan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/
2007
Kebijakan
Kebijakan Kementerian Kesehatan RI dalam Penanggulangan Gangguan penggunaan
NAPZA adalah berdasarkan :
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 486/Menkes/SK/IV/ 2007 tentang Kebijakan dan
Rencana Strategis Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya (NAPZA)
1.3.
Asertif

Terminologi
: memperlihatkan sifat ( kepribadian ) yang kuat dan percaya
diri ( Oxford Advance Learners Dictionary ).

Aversi (Aversion) : rasa tidak suka yang sangat kuat (Oxford Advance Learners
Dictionary)
Gangguan Penggunaan NAPZA (Zat): penggunaan NAPZA (zat) yang bersifat patologis
paling sedikit telah berlangsung 1 bulan
sehingga menimbulkan hendaya fungsi
sosial dan / atau pekerjaan (PPDGJ II).
Intoksikasi Akut: suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan
NAPZA sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi
kognitif, persepsi, afektif atau perilaku, atau fungsi dan respon
psikofisiologis lainnya ( PPDGJ III )
Kognisi: proses mendapatkan, mengolah dan menggunakan pengetahuan atau informasi
yang diperoleh karena fungsi intelek (Synopsis of Psychiatry, Sadock & Sadock ).
Konselor adiksi non profesional: petugas dengan pendidikan minimal SMA,
berpengalaman kerja pada layanan adiksi NAPZA
selama minimal 1 tahun, memiliki latar belakang
pelatihan di bidang adiksi NAPZA serta mendapat
rekomendasi dari Pimpinan Lembaga.
Napza: akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain.
Narkotika: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan (UU RI


Narkotika).

No 35 tahun 2009 tentang

Pelatihan asertif : melatih klien menjadi individu yang mampu menanggapi situasi sosial secara memadai, mampu menyatakan
pendapatnya dengan cara yang sesuai dengan nilai dan
norma, serta mampu dalam usaha mencapai tujuan.
( Synopsis of Psychiatry, Saddock & Sadock ).
Pembanjiran (Flooding): suatu teknik terapi perilaku dengan cara klien dipaksa tanpa
dapat menghindar, untuk menghadapi situasi yang tidak
nyaman (kecemasan, ketakutan) secara bertubi-tubi (karena
itu disebut pembanjiran) dengan tujuan menghilangkan rasa
tidak nyaman itu karena sudah terbiasa secara terpaksa
mengalaminya secara bertubi-tubi (Terapi untuk mengubah
Tingkah Laku , W.M.Roan)
Petugas kesehatan: dokter, perawat, bidan, psikolog, pekerja sosial profesional, sarjana
kesehatan masyarakat, konselor adiksi non profesional yang
memenuhi syarat.
Psikotropika: zat atau obat alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (UU
RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika).

Reaksi Alergi : adalah suatu reaksi yang tak diinginkan sebagai akibat terjadinya sensitisasi ( menjadi sensitif ) sebelumnya terhadap suatu
jenis zat atau zat lain yang struktur kimiawinya mirip. Reaksi
alergi dimediasi oleh sistem imun ( kekebalan ). Contoh:
seorang pertama kalinya mendapat obat penisilin tidak terjadi
reaksi yang tak diinginkan, tetapi pada pemberian kedua atau
lebih kalinya timbul reaksi yang tak diinginkan. ( Goodman &
Gillman s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th.Ed. )
Reaksi Idiosinkratik : adalah suatu reaksi abnormal yang aneh ( peculiar ) pada
seseorang. Reaksi idiosinkratik dapat berupa reaksi sangat
peka. Contoh : orang yang mukanya menjadi merah
karena minum alkohol dalam jumlah sangat sedikit yang
mana pada kebanyakan orang tidak akan menimbulkan
reaksi demikian. Sebaliknya ada orang yang memerlukan
dosis obat bius sebelum dioperasi dalam jumlah yang lebih
besar daripada kebanyakan orang ( bukan karena toleransi )
7

( Goodman & Gillmans The Pharmacological Basis of


Therapeutics, 11th. Ed )
Teori belajar kognitif: berfokus pada pemahaman tentang hubungan sebab dan akibat,
antara perbuatan dan konsekuensi dari perbuatan itu, serta
pemahaman tentang dirinya dan lingkungannya (Synopsis of
Psychiatry, Sadock & Sadock).
Terapi aversif : suatu metode terapi behavioral dengan memberikan stimulus
yang menimbulkan rasa tidak menyenangkan yang kuat ( stimulus itu bisa fisikal, kemikal,elektrikal atau sosial )
( Synopasis of Psychiatry, Sadock & Sadock ).
Terapi Kognitif: berdasarkan teori bahwa perasaan dan perilaku seseorang terbentuk
sebagian besar
atas dasar bagaimana ia membentuk
dan
mempersepsi dunia sekitarnya (Synopsis of Psychiatry, Sadock &
Sadock).
Zat Adiktif: zat yang bila dipakai secara teratur, sering, dalam jumlah yang cukup banyak
dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi). Contoh : alkohol, nikotin,
kafein. (Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif , Satya Joewana, EGC, 2003 ).

Bab 2. PRINSIP DASAR KONSELING GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA


2.1.
Pengetahuan Dasar tentang Gangguan penggunaan NAPZA
Sepanjang tercatat dalam sejarah manusia, NAPZA dipuja karena manfaatnya bagi
manusia tetapi sekaligus dikutuk karena efek buruk yang diakibatkannya.
NAPZA alami sudah dikenal manusia sejak lebih dari lima ribu tahun Sebelum Masehi
( opium di Asia Kecil, ganja di China, daun koka di Amerika Selatan , alkohol di Mesir
dan Persia ). NAPZA sintetik dan semisintetik baru dikenal dalam sejarah sekitar satu
sampai dua abad yang lalu ( barbiturat, 1903; benzodiazepin, 1957).
Beberapa masalah yang dianggap berkaitan dengan penggunaan NAPZA lebih sering
didasarkan nilai-nilai atau norma-norma dan persepsi masyarakat tenang penggunaan
NAPZA dan pengguna NAPZA daripada atas dasar sifat-sfat farmakologis NAPZA.
Hanya dengan memahami cara kerja NAPZA dan manfaat NAPZA seseorang dapat
membedakan mana perilaku yang diakibatkan penngunaan NAPZA dan mana yang
disebabkan karena sebab lain misalnya adanya gangguan jiwa atau fakor etnik, kultural,
usia, atau faktor perkembangan.
Ada beberapa alasan mengapa seseorang yang bekerja dalam bidang yang terkait dengan
Gangguan penggunaan NAPZA harus paham tentang farmakologi, yaitu untuk
8

memfasilitasi komunikasi, menjalin rapport dan empati terhadap klien, memberikan


konsultasi dan merujuk ke profesi lain, serta supaya pengetahuannya selalu diperbarui
agar tidak tertinggal.
Faktor-faktor yang memengaruhi efek suatu NAPZA.
Efek suatu NAPZA adalah hasil interaksi yang sangat kompleks dari banyak faktor,
yaitu
1. sifat-sifat farmakologis yang khas dari NAPZA itu sendiri,
2. kondisi fisik pengguna,
3. kondisi psikologis pengguna,
4. lingkungan sosio-kultural di mana NAPZA itu dikonsumsi.
Sifat-sifat farmakologis yang khas setiap jenis NAPZA
NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh
orang yang mengonsumsinya ( Ray & Ksir, 1999 ).
Melihat batasan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa batasan tersebut berlaku juga
untuk obat-obat yang tidak termasuk NAPZA seperti antibiotika, antitoksin, vitamin,
mineral, bahkan air dan udara.
Air, udara dan makanan adalah esensial bagi manusia sehingga tidak digolongkan sebagai
obat. Namun dapat diingat bahwa oksigen dapat diberikan untuk revitalisasi kepada atlit
yang keletihan atau klien dengan gangguan pernafasan. Sebaliknya , bumbu masak dan
penyedap makanan dapat memengaruhi tekanan darah, faal jantung, retensi air dan reaksi
alergik.
Demikian pula dengan vitamin dan mineral yang dianggap sebagai mikronutrien yang
diperlukan manusia, dapat menimbulkan keracunan atau perubahan struktur atau faal
tubuh. Beberapa jenis obat yang tidak tergolong NAPZA dan tidak biasa disalahgunakan,
tetapi mengandung risiko bila digunakan secara berlebihan oleh orang yang rentan.
Kesimpulannya ialah bahwa NAPZA maupun obat yang tidak tergolong NAPZA bukan
sesuatu yang baik maupun buruk. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA dan obat
non-NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara menggunakannya,
dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain apa dikonsumsi.
Dosis
Pada umumnya, NAPZA mempunyai efek majemuk. Efek yang mana dan seberapa kuat
efek tersebut sebagian bergantung pada seberapa banyak NAPZA itu dikonsumsi. Pada
dosis rendah alkohol dapat menyebabkan santai dan disinhibisi, merangsang rasa lapar
sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan letih dan mual. Untuk setiap jenis
NAPZA terdapat dosis minimal ( ambang ) di mana di bawah dosis tersebut tidak akan
menimbulkan gejala atau efek yang dapat diamati. Makin tinggi di atas dosis minimal
makin kuat efek yang ditimbulkan oleh suatu NAPZA. Efek maksimal suatu NAPZA
ditentukan oleh kemampuan fisiologis pengguna.
Dosis minimal ( dosis ambang ) dan dosis maksimal bagi setiap efek dari satu jenis
NAPZA tidak sama. Dosis minimal efek A dan dosis minimal untuk efek B dari satu
NAPZA tidak selalu sama. Lamanya berlangsung efek A dan efek B juga tidak sama. Jadi
para pengguna NAPZA akan mengalami efek yang berbeda secara kualitatif maupun
kuantitatif dari jenis NAPZA yang sama
9

Kategori Efek- efek NAPZA


Efek majemuk NAPZA dapat dikategorikan menjadi
1. efek yang diinginkan, yaitu efek yang menjadi alasan NAPZA itu dikonsumsi. Untuk tujuan pengobatan, efek tersebut dinamakan efek terapeutik.
2. efek lainnya dinamakan reaksi yang tak diinginkan ( adverse drug reaction ). Reaksi yang tak diinginkan dan dapat dipastikan bakal terjadi, dapat diduga, dan sering terjadi disebut efek samping. Dari perspektif klien,
efek samping belum tentu dipandang sebagai efek yang tak diinginkan.
Ada obat yang mempunyai dua efek atau lebih secara bersamaan, misalnya
aspirin dapat menghilangkan rasa nyeri dan menurunkan demam.
Reaksi alergik berbeda dengan efek samping. Efek alergik lebih jarang terjadi
dibandingkan efek samping dan tidak bisa diduga terlebih dulu terjadinya.
Reaksi idiosinkratik sangat jarang terjadi, tak dapat diantisipasi sebelumnya dan tidak
dapat dipercaya pasti terjadi.
Efek toksik terjadi karena mengonsumsi obat dalam dosis yang mematikan ( dosis letal )
atau mendekati dosis yang mematikan, sering disebut sebagai keadaan kelebihan dosis.
Contoh: efek terapeutik morfin adalah menghilangkan rasa nyeri, efek sampingnya
adalah mual, efek alergiknya adalah gatal-gatal di kulit, reaksi idiosinkratiknya adalah
terjadi eksitasi atau stimulasi, dan efek toksiknya adalah hambatan pada pernafasan,
koma, dan kematian.
Potensi
Potensi adalah sejumlah obat yang diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu. Makin
poten suatu obat makin kecil jumlah yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu efek
tertentu. Alkohol adalah obat yang relatif kurang poten karena dibutuhkan beberapa gram
untuk menimbulkan gejala yang dapat diamati pada peminumnya. Sebaliknya LSD
adalah zat yang sangat poten sebab hanya dibutuhkan beberapa mikrogram untuk
menimbulkan gejala pada pemakainya.
Potensi obat ditentukan oleh afinitas dan efikasi obat tersebut. Afinitas adalah
kemampuan obat untuk melekatkan diri atau mengikatkan diri pada reseptor atau tempat
bekerjanya obat tersebut. Reseptor dapat diibaratkan sebagai lubang kunci yang terdapat
pada dinding sel ( dalam hal NAPZA adalah sel saraf atau neuron ). Reseptor menerima
dan memberi respon terhadap struktur kimiawi spesifik yang dapat diibaratkan sebagai
sebuah kunci. Obat dengan afinitas yang lebih tinggi akan terikat dengan baik dengan
reseptornya
Efikasi adalah kekuatan stimulasi obat terhadap reseptor. Obat dengan efikasi tinggi
menstiumulasi reseptor dengan kuat. Agar suatu obat berkhasiat, obat tersebut harus
mempunyai afinitas dan efikasi.

10

Rasio Terapeutik atau Batas Aman


Rasio terapeutik adalah hubungan antara dosis letal ( mematikan ) dan dosis efektif.
Dosis Efektif ( DE ) adalah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu
dalam proporsi tertentu dalam populasi. DE50 artinya dosis yang efektif pada 50%
populasi. DL50 adalah dosis yang menyebabkan kematian pada 50% populasi. Rasio DL
dan DE memberikan gambaran seberapa aman suatu obat. Rasio ini disebut Rasio
Terapeutik atau Batas Aman suatu obat. Dosis Letal beberapa jenis NAPZA belum dapat
ditentukan. Oleh karena itu belum dapat ditentukan rasio terapeutiknya.
Komposisi
Preparat obat biasanya mengandung beberapa bahan lain selain bahan obat itu sendiri
( yang berkhasiat ), yaitu bahan perekat, bahan pengisi sehingga volumenya cukup besar
sehingga pantas menjadi berbentuk obat, pelarut, pewarna, penyalut, dan pemberi rasa.
Bahan-baan inaktif ini biasanya tidak menimbulkan efek apapun kepada pengguna, akan
tetapi dapat saja terjadi reaksi alergik. Oleh karena itu obat yang sama yang diproduksi
oleh pembuat obat yang berbeda dengan bahan inaktif yang berbeda dapat memberi efek
yang berbeda. Obat yang beredar di pasar gelap ( ilegal ) sangat bervariasi dalam hal
kuantitas, kualitas maupun kemurniannya.
Ekuivalensi Obat
Ekuivalensi Obat adalah cara bagaimana dua atau lebih obat dapat dibandingkan satu
terhadap yang lain. Ada 3 cara untuk membandingkan ekuivalensi obat.
1. Ekuivalensi kimiawi : artinya bagian aktif dan / atau inaktif dua preparat obat
secara kimiawi identik
2. Ekuivalensi biologik : disebut juga bioavailabilitas, yaitu dua jenis preparat obat
memberikan bahan aktif dalam jumlah yang sama.
3. Ekuivalensi klinikal : yaitu bila efek klinis yang dapat diamati sama.
Frekuensi Penggunaan
Seberapa sering seseorang mengonsumsi obat sangat penting implikasinya terhadap efek
yang dihasilkan oleh obat tersebut.
Bila obat terlalu sering dikonsumsi maka akan terjadi perubahan fisiolgis maupun
psikologis yang lebih besar juga. Jadi kondisi pengguna yang telah berubah akibat
penggunaan yang sering dalam suatu kurun waktu akan mengalami efek obat yang
berubah juga.
Masalah lain akibat penggunaan obat yang terlalu sering ialah terjadi penumpukan
( kumulasi ) hasil sampingan metabolisme obat tersebut.
Cara Pemberian Obat
Ada banyak cara mengosumsi obat. Ada 3 cara yang sering yaitu ditelan, disuntikkan dan
dihirup ( inhalasi ).
Cara obat dikonsumsi akan memengaruhi kapan obat mulai memperlihatkan efeknya
( onset ), tercapainya puncak efek dan lamanya efek obat tersebut berlangsung ( durasi ).
Obat yang dikonsumsi melalui mulut membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 15 menit
sebelum efeknya terlihat. Bisa juga membutuhkan waktu lebih dari 15 menit bergantung

11

makanan yang ada dalam perut dan komposisi obat yang ditelan. Obat yang ditelan
biasanya lebih lambat mulai bekerja dibandingkan dengan cara suntikan atau inhalasi.
Interaksi Obat
Apabila dua atau lebih macam obat dikonsumsi dalam waktu yang berdekatan, dapat
terjadi efek kumulatif yaitu makin kuatnya efek obat tersebut dan lebih lama bekerjanya.
Ada 3 jenis interaksi obat
1. Tipe aditif : bila kombinasi dua macam obat atau lebih akan meningkatkan
intensitas dan durasi kerjanya dibandingkan intensitas dan durasi masingmasing obat, contoh: alkohol dan benzodiazepin.
2. Tipe sinergistik : bila interaksi obat tidak diharapkan. Pengetahuan tentang
masing-masing obat tidak dapat memprediksi efek resultan dari kombinasi obat
tersebut, contoh: amfetamin dan heroin.
3. Tipe antagonis: bila efek masing-masing obat dalam kombinasi saling
melemahkan efek masing masing obat, contoh: depresan dan stimulan.
Peran Faal Tubuh Pengguna Obat
Fungsi faal tubuh sering memengaruhi efek obat. Penting untuk memahami cara tubuh
manusia menanggapi dan memroses obat dalam tubuhnya.Tidak ada dua orang yang
merasakan efek obat yang persis sama. Setiap orang juga akan mengalami efek obat yang
berbeda dalam waktu yang berbeda.
Farmakokinetik mempelajari proses faal apa yang berlangsung dalam tubuh terhadap
adanya obat. Proses itu meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat
Farmakodinamik mempelajari bagaimana dan di mana obat bekerja dalam tubuh
sehingga memberikan efek tertentu. Dalam hal NAPZA bekerjanya adalah pada sistem
saraf
Faktor-faktor yang memengaruhi efek NAPZA
Efek NAPZA terhadap pengguna tidak hanya bergantung pada dosis, cara menggunakan
dan kemurnian NAPZA tersebut, tetapi juga bergantung pada banyak faktor yang terdapat
pada pengguna.
Umur. Berat badan bervariasi menurut umur. Bayi dan kanak-kanak serta lanjut usia
berat badan kurang dibandingkan dengan usia remaja dan dewasa. Kondisi berbagai
organ tubuh berbeda pada berbagai tingkatan umur. Pada bayi dan kanak-kanak beberpa
organ belum berfungsi penuh. Sebaliknya pada lanjut usia banyak organ telah mengalami
kemunduran fungsi seperti jantung, paru, ginjal. Fungsi susunan saraf juga berbeda pada
berbagai tingkatan umur.
Jender. Badan laki-laki pada umumnya lebih berat daripada badan perempuan. Proporsi
lemak pada perempuan relatif lebih besar sedangkan proporsi berat otot lebih besar pada
laki-laki. Demikian pula hormon kelamin laki-laki berbeda dengan hormon kelamin
perempuan.
Berat Badan. Berat badan sering sebagai indikator perbandingan banyaknya lemak dan
zat putih telur dalam tubuh seseorang, volume darah dan fungsi kardiovaskuler.
12

Etnis. Komposisi kimiawi darah sering berbeda pada etnis yang berbeda. Hal ini
mungkin disebabkan karena perbedaan susunan makanan sehari-hari.
Asupan Gizi. Agar tubuh dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan asupan makanan
seimbang yang mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin.
Metabolisme NAPZA atau obat lain dan makanan membutuhkan ensim yang terbentuk
dari asupan makanan tersebut. Kemampuan metabolisme setiap individu tidak sama.
Interaksi Makanan dan NAPZA. Ada beberapa jenis NAPZA yang dapat berinteraksi
dengan makanan sehingga mengurangi atau meningkatkan khasiat NAPZA tersebut,
contoh: alkohol akan mengurangi absorpsi Vitamin B1 dan B6, sehingga akan dibutuhkan
asupan yang lebih banyak.
Karakteristik Psikologis Pengguna NAPZA
Efek suatu NAPZA terhadap pengguna yang diakibatkan karena karakteristik kimiawi
NAPZA itu disebut efek spesifik. Efek NAPZA yang diakibatkan karena variabel
psikologis dan sosiokultural disebut efek non spesifik. Kadang-kadang efek non spesifik
lebih kuat daripada efek spesifik.
Ada 4 variabel psikologis yang utama: pengalaman sebelumnya dengan NAPZA, harapan
akan NAPZA tersebut, suasana perasaan, dan aktivitas yang akan dilakukan
Pengalaman sebelumnya dengan NAPZA.
Menggunakan NAPZA pertama kali sering menyebabkan panik, sebab pengguna belum
mengenal efek NAPZA tersebut. Orang yang baru pertama kali mengguna NAPZA sering
kali belum tahu efek apa sebenarnya yang ia cari atau kehendaki dan efek mana yang
menyenangkan. Pengguna yang sudah berpengalaman tahu bahwa efek itu hanya
sementara dan akan menghilang dengan sendirinya. Ia sudah dapat menyesuaikan dengan
sensasi, kognisi dan perasaan yang dialami sehingga ia tidak panik dan jarang
mengalami pengalaman yang tidak enak ( bad trip ). Keadaan ini disebut toleransi
behavioral.
Toleransi Silang terjadi bila seseorang sudah toleran terhadap satu jenis NAPZA juga
toleran terhadap NAPZA lain yang sejenis atau yang mempunyai khasiat farmakologis
mirip, misalnya toleransi silang antara alkohol dan barbiturat.
Reverse Tolerance terjadi bila penggunaan NAPZA makin lama makin sedikit untuk
memperoleh khasiat yang sama misalnya pada ganja. Hal ini disebabkan adanya kumulasi
zat aktif ganja ( tetrahidrokanabinol ).
Toleransi Cepat terjadi pada alkohol. Intoksikasi alkohol lebih cepat terjadi pada saat
BAL ( Blood Alcohol Level ) meningkat daripada saat BAL turun.
Harapan yang ingin dicapai
Harapan yang ingin dicapai terhadap efek suatu NAPZA bersumber dari beberapa faktor:
pengalaman menggunakan NAPZA tersebut, adanya teman-teman atau seorang diri, dan
informasi yang diketahui tentang NAPZA tersebut.
Hal tersebut mirip dengan pemberian plasebo. Efek plasebo bergantung dari cara
menggunakannya, informasi yang diberikan tentang plasebo itu,bahkan ujudnya ( warna,
ukuran, rasa ).

13

Suasana Perasaan
Hukum Wilder menyebutkan bahwa efek suatu obat tidak dapat melampaui kapabilitas
pengguna, baik ditinjau dari segi perilaku, emosi maupun kognisi.
Oleh karena itu efek NAPZA bergantung pada perasaan semula ( inisial ) sebelum
menggunakan NAPZA, bahkan menurut Hukum Wilder malah bisa terjadi efek
sebaliknya ( contoh: metilfenidat , suatu stimulan yang sangat efektif mengendalikan
anak hiperkinetik.
Aktivitas yang ingin dilakukan
Aktivitas apa yang ingin dilakukan oleh pengguna NAPZA saat di bawah pengaruh
NAPZA memengaruhi efek NAPZA. NAPZA lebih banyak mengganggu aktivitas yang
bersifat rumit, abstrak, dan yang baru saja dipelajari, atau perilaku bermotivasi lemah.
Contoh: Seorang pelajar yang menggunakan Napza akan mengalami kesulitan menyerap
pelajaran. Napza tidak banyak mengganggu aktivitas yang sederhana, konkret, telah
dipelajari dengan baik, atau perilaku dengan motivasi tinggi. Contoh: Seorang pengamen
pemalu memperoleh keberanian untuk mengamen setelah menggunakan Napza.
Lingkungan Sosiokultural
Efek NAPZA berbeda bila digunakan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain untuk
tujuan pengobatan dibandingkan bila digunakan di tempat hiburan dalam suasana pesta.
Kehadiran orang (-orang ) lain dan perilakunya memengaruhi efek NAPZA terhadap
penggunanya. Kehadiran orang-orang lain akan menentukan suasana apakah suasana
bahagia atau sedih. Jadi akan menentukan suasana perasaan dan irama emosi di tempat
itu. Pengguna belajar aturan dan ritual menggunakan NAPZA dari orang lain. Perilaku
orang-orang lain di sekitarnya akan menjadi standar perilaku yang akan menjadi
pembanding terhadap perilaku pengguna NAPZA itu. Orang-orang lain itu akan menjadi
pemandu dan intepreter untuk membantu seorang pengguna NAPZA mengidentifikasi,
menenetukan dan menilai efek-efek suatu NAPZA. Orang lain di sekitar pengguna
NAPZA akan mendukung atau mencela perilaku yang pantas atau tidak pantas akibat
menggunakan NAPZA.
2.2. Pemahaman Proses Perubahan Perilaku pada Gangguan Penggunaan NAPZA.
Perubahan perilaku akibat langsung penggunaan NAPZA.
NAPZA tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang bila dikonsumsi akan menimbulkan
perubahan perilaku, perasaan, kognisi, persepsi dan kesadaran pada orang yang
mengonsumsinya. Perubahan perilaku itu bergantung pada jenis NAPZA, tetapi juga
pada pengalaman menggunakan NAPZA sebelumnya, harapan pengguna akan efek obat
tersebut, suasana perasaan sebelum memakai, fungsi NAPZA tersebut serta lingkungan
sosio-kultural seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Perubahan perilaku akibat tak langsung penggunaan NAPZA.
Bila penggunaan NAPZA sampai pada taraf ketergantungan, maka kebutuhan NAPZA
harus dipenuhi sebab bila tidak dipenuhi akan timbul gejala putus NAPZA. Karena
terjadinya toleransi, maka kebutuhan NAPZA tersebut makin lama makin banyak
14

sehingga dibutuhkan biaya yang bertambah besar. Kebutuhan ini mendorong kepada
perbuatan kriminal. Karena sering mengalami intoksikasi akibat NAPZA , pengguna akan
mengalami kemunduran dalam studinya maupun prestasi di dalam pekerjaannya dengan
akibat dapat dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaannya. Oleh karena menganggur,
kemungkinan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma,nilai dan hukum bisa
terjadi.
Dual Diagnosis.
Menurut penelitian di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan banyak tempat lain,
Gangguan penggunaan NAPZA sering terdapat bersama gangguan jiwa lain seperti
Gangguan cemas, Gangguan suasana perasaan dan gangguan psikotik yang sudah ada
sebelum ia menggunakan NAPZA. Adanya gangguan-gangguan ini juga akan
menyebabkan perubahan perilaku pada pengguna NAPZA, bahkan sudah ada sebelum ia
menggunakan NAPZA.
Proses pemulihan
Pemulihan dari Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu proses yang panjang dan
bukannya suatu peristiwa yang terjadi seketika.
Pada penyakit asma bronkiale sesak nafas dapat sembuh seketika setelah klien diberi
pengobatan untuk asma bronkiale ( walaupun bisa kambuh ). Penyakit radang usus buntu
sembuh dalam waktu beberapa hari setelah menjalani operasi dan tidak akan kambuh
kembali.
Prochasca, Di Clemente & Norcross ( 1992 ) menyebutkan adanya 5 tahapan dalam
proses penyembuhan Gangguan penggunaan NAPZA:

15

Tahap 1 adalah tahap pra kontemplasi. Pada tahap ini pengguna NAPZA belum berniat
berhenti mengguanakan NAPZA. Merenungkan untuk berhenti sekalipun belum ada. Ia
masih bersikap tak peduli terhadap nasehat atau penyuluhan.
Tahap 2. adalah tahap kontemplasi. Pada tahap ini pengguna NAPZA mulai merenungkan
jalan hidupnya selama ini, sebelum maupun setelah mempunyai kebiasaan menggunakan
NAPZA. Ia mulai membandingkan
dirinya dengan teman-emannya yang sudah lebih berhasil dalam hidupnya maupun yang
telah meninggal dunia akibat kelebihan dosis maupun kecelakaan. Ia mulai menimbangnimbang untung dan ruginya bila terus menggunakan NAPZA atau berhenti
menggunakannya.
Tahap3 adalah tahap persiapan. Pada tahap ini pengguna NAPZA mulai mempersiapkan
diri untuk berhenti menggunakan NAPZA. Ia mulai bertanya teman-temannya yang
sudah pernah menjalani terapi. Fasilitas terapi mana yang baik, apa saja yang dilakukan
di fasilitas terapi, apakah dikurung, , apakah menngalami asa nyeri atau rasa tidak
nyaman lainnya.
Tahap 4 adalah tahap bertindak. Ia akan datang ke fasilitas terapi dan rehabilitasi serta
menjalani proses terapi dan rehabilitasi.
Tahap 5 adalah tahap rumatan. Pada tahap ini perhatian dipusatkan agar pengguna tidak
slips atau kambuh kembali.
Tahapan ini perlu diketahui oleh konselor sehingga pada saat konseling apa yang
dibicarakan sesuai dengan tahapan tersebut. Pada tahap prakontemplasi belum perlu
dibicarakan tentang fasilitas dan modalitas terapi. Pembahasan masih terbatas tentang
kondisi pengguna saat ini dan situasi yang dihadapi pengguna saat ini serta kondisi dan
situasi yang bagaimana yang ingin dicapai oleh pengguna.
Pada tahap kontemplasi dapat dibahas tentang untung dan ruginya bila pengguna terus
menggunakan atau berhenti menggunakan NAPZA dan belum saatnya bicara secara rinci
tenang modalitas terapi.
Pada tahap preparasi mulai dibicarakan tentang berbagai fasilitas terapi dan rehabiitasi
serta modalitas terapi yang ada.
Tahap bertindak. Pada tahap ini dilakukan evaluasi lengkap terhadap klien, diagnosis
ditetapkan dan rencana terapi dibuat dan dilaksanakan.
Pada tahap rumatan dibahas kondisi apa saja dan lingkungan yang mungkin bersifat
kondusif terjadinya kekambuhan.
2-3.Asesmen dan Rencana Terapi
Gangguan penggunaan NAPZA adalah masalah yang sangat kompleks dan penyebab
seseorang menggunakan NAPZA ditentukan oleh banyak faktor.
Masalahnya tidak sesederhana seperti pendapat bahwa abstinensia sama dengan sehat
dan tidak abstinensia sama dengan sakit. Abstinensia saja tidak akan membawa
perubahan dalam segi kehidupan yang lain dari klien.
Setiap klien harus mendapatkan terapi secara individual dan berbeda ( eklektik ) karena
mereka mempunyai masalah yang berbeda-beda. Ada beberapa pola penggunaan
NAPZA, yaitu penggunaan yang bersifat coba-coba untuk memenuhi rasa ingin tahu (
experimental use ), untuk bersosialisasi misalnya hanya menggunakan pada saat pesta
16

atau resepsi ( recreational or social use ), untuk mengatasi rasa tidak nyaman seperti
keadaan tertekan ( distress ),ansietas, depresi ( situational use ), atau salah-guna ( misuse
) misalnya untuk mengatasi sulit tidur dengan minuman alkohol, penggunaan yang begitu
berat sehngga terjadi dampak negatif terhadap kesehatan jasmani,mental dan kehidupan
sosialnya ( abuse ) bahkan sampai kepada ketergantungan ( compulsive use, dependent
).
Berdasarkan semua pertimbangan di atas, sebelum menetapkan diagnosis dan terapi serta
rehabilitasi, perlu dilakukan asesmen yang teliti dan menyeluruh.
Untuk memahami masalah penggunaan NAPZA, konselor perlu mengerti tentang klien,
untuk itu perlu dilakukan wawancara komprehensif dan bila mungkin tes psikologi.
Dengan demikian tidak memberikan kesan pada klien bahwa rencana terapi hanya
didasarkan pada wawancara awal yang hanya berlangsung sepintas.
Riwayat Penggunaan NAPZA
Pengumpulan data tentang klien diawali dengan wawancara yang komprehensif.
Wawancara itu meliputi:
1. Siapa yang merujuk
2. Keluhan utama klien
3. Riwayat masalah ( penyakit ) sekarang
4. Riwayat penggunaan dan penyalahgunaan NAPZA
5. Situasi Kehidupan
a. Lingkungan tempat tinggal
b. Perkawinan
c. Anak-anak
d. Kehidupan sosial
e. Peran saat ini dalam keluarga
6. Riwayat keluarga
a. Saudara kandung
b. Orangtua dan/atau anggota keluarga lain
c. Disiplin dalam keluarga
d. Bagaimana dan di mana klien dibesarkan
7. Latar belakang agama dan kehidupan beragama
8. Riwayat pekerjaan klien, saudara kandung, orangtua dan pasangan hidupnya
9. Riwayat berurusan dengan penegak hukum
10. Riwayat kehidupan seksual
11. Status mental (lihat buku pedoman penatalaksanaan medik)
12. Persepsi
(1) Halusinasi
(2)Ilusi
13. Daya ingat
(1) Daya ingat jangka panjang
(2) Daya ingat jangka pendek
(3) Daya ingat seketika
14. Fungsi intelektual umum
(1). Pengetahuan umum
(2). Kemampuan berpikir dan menilai (Reasoning dan Judgment)
(3). Berhitung
17

15. Tilikan
Contoh formulir riwayat penggunaan NAPZA dapat dilihat pada Lampiran 2.
Asesmen Perilaku
Setelah formulir riwayat penggunaan NAPZA dilengkapi, selanjutnya konselor
melakukan asesmen perilaku dan analisis fungsional.
Melalui asesmen perilaku konselor akan mengetahui penyebab dari dan konsekuensi
klien menggunakan NAPZA. Melalui asesmen perilaku dan analisis fungsional, konselor
juga akan mengetahui apa yang mendorong dan apa yang menjauhkan klien dari
penggunaan NAPZA. Melalui analisis fungsional, konselor juga akan mengetahui kapan,
dimana, dengan siapa, bagaimana dan mengapa klien menggunakan NAPZA. Dengan
asesmen perilaku dan analisis fungsional, konselor dapat merencanakan terapi sesuai
dengan yang dibutuhkan klien.
Asesmen perilaku dan analisis fungsional dilakukan secara verbal oleh konselor yang
harus sensitif dan terarah.
Instrumen untuk asesmen
Asesmen yang dibahas dalam buku pedoman ini adalah yang mudah diperoleh, dapat
dipercaya, sahih, mudah dilaksanakan dan diberi skor, praktis, sesuai untuk klinik, dan
sesuai dengan kebutuhan di negara kita saat ini.
Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk asesmen:
Addiction Severity Index (ASI)
Alcohol Smoking Substance Use Involvement Screening and Test (ASSIST)
Cutdown, Annoyed, Guilty, and Eye Opener (CAGE)
Informasi lebih lanjut tentang instrumen-instrumen di atas dapat diperoleh pada website
WHO International www.who.int
Diagnosis
Indonesia mempunyai buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
( PPDGJ ) edisi III. Oleh karena itu dianjurkan dalam menetapkan diagnosis Gangguan
penggunaan NAPZA supaya berpedoman pada PPDGJ III.
Dalam semua buku pedoman berkaitan dengan NAPZA yang diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan RI telah disepakati untuk secara konsisten menggunakan
termnologi Gangguan penggunaan NAPZA demi alasan praktis.
Di dalam PPDGJ III, gangguan jiwa yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA
dikelompokkan dalam satu kelompok dengan nama Gangguan Mental dan Perilaku
Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
Rencana Terapi
Rencana terapi merupakan salah satu bekal untuk berhasilnya suatu terapi
Rencana terapi sangat diperlukan karena:
1. memberikan satu struktur di mana konselor maupun klien berperan,
2. ekspektasi yang ingin dicapai oleh klien menjadi jelas,
3. bila terjadi kesalah fahaman dengan mudah dapat diselesaikan,
18

4. memungkinkan konselor maupun klien untuk menetapkan tujuan konseling secara


spesifik sesuai dengan tahapan perilaku klien
5. mempermudah monitoring dan evaluasi kemajuan terapi
Rencana terapi dapat digunakan untuk sasaran jangka pendek selama 3-6 bulan dan
sasaran jangka panjang ( untuk masalah yang dapat diselesaikan sampai waktu 1 tahun
dan mungkin perlu monitoring terus menerus selama hidup klien ).
Menetapkan sasaran jangka pendek dan jangka panjang dipengaruhi oleh
1. luasnya dan beratnya masalah yang dihadapi klien
2. motivasi klien
3. setting
4. proyeksi jangka waktu terapi
5. pilihan klien bersama konselor
6. kerja sama dengan figur signifikan (orang bermakna dalam hidup klien)
Pada konseling klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA seringkali kondisi gawat
perlu mendapatkan prioritas utama untuk diatasi, misalnya klien yang ketergantungan
alkohol harus mendapatkan terapi detoksifikasi lebih dulu sebelum mengikuti terapi yang
lain. Klien dengan percobaan bunuh diri harus diatasi terlebih dulu depresinya.Klien yang
psikotik harus diobati terlebih dulu sehingga gejala dapat dikuasai.
Klien yang motivasinya kurang untuk berhenti menggunakan NAPZA dan tidak patuh
dalam terapi sebaiknya diberi tugas yang sederhana sehingga dapat diselesaikan dengan
mudah dan dalam waktu singkat. Keberhasilan ini akan meningkatkan rasa percaya diri
klien. Hal ini dapat meningkatkan motivasi klien untuk meneruskan terapi dan
meningkatkan hasil terapi
Beberapa modalitas terapi hanya bisa diberikan dalam unit rawat inap ( misalnya
detoksifikasi alkohol ). Terapi desensitisasi dan klien yang harus bekerja dapat diberikan
di fasilitas rawat jalan.
Topik masalah yang akan dibahas dalam konseling harus dibicarakan bersama antara
klien dan konselor untuk disepakati. Keterlibatan keluarga atau orang lain yang
signifikan dalam kehidupan klien sangat penting karena dapat menjadi terapis naluriah
misalnya menolong klien, memberikan imbauan , memberi dukungan dan semangat, atau
sebaliknya bisa menjadi penghambat terapi misalnya menghukum klien.
2.4. Kode Etik Konseling & Konfidensialitas
Masalah Etik
Di dalam konseling klien diharapkan bersifat terbuka dan jujur terhadap konselor yang
akan memberi pertolongan psiklogis yang bersifat terapeutik.
Sebaliknya konselor harus bisa dipercaya dapat menyimpan semua informasi yang
diperoleh dari klien dalam konseling. Seorang konselor juga terikat pada etika konseling.
Konselor tidak boleh mengambil keuntungan semata-mata dari pekerjaannya sebagai
konselor. Etika tidak hanya berarti taat kepada aturan tetapi juga kepada suara hati nurani.
Konselor sering dalam posisi yang lebih berkuasa dan karenanya tidak boleh
menyalahgunakan kedudukannya demi prestasi, ambisi atau kepentingan pribadi.
Konselor juga harus berhati-hati dalam membicarakan klien dengan pihak ketiga

19

walaupun semata-mata untuk kebaikan klien. Konseling lewat media komunikasi


sebaiknya dihindarkan
Bila konselor menilai klien tidak memperoleh manfaat dari konseling atau terapi ia
harus mengakhiri konseling dan merujuk ke profesi lain atau konselor lain yang lebih
sesuai untuk klien. Bila ternyata klien yang diberi konseling di luar kompetensinya,
misalnya klien psikotik ( dual diagnosis ) konselor harus merujuk ke profesi lain yang
sesuai. Untuk merujuk klien harus dipilih profesi atau konselor lain yang lebih kompeten
atau ke fasilitas yang sesuai dengan yang diperlukan klien. Tidaklah etis merujuk ke
fasilitas berdasarkan kepentingan atau keuntungan pribadi. Kadang-kadang terjadi
ketidak-sesuaian atau bahkan bertentangan antara anjuran menurut peraturan perundangundangan dan pertimbangan etis. Perlu selalu dingat bahwa tanggung jawab utama
seorang konselor adalah menolong klien secara profesional.
Konfidensialitas
Menjaga konfidensialitas dalam bidang Gangguan penggunaan NAPZA sering
menimbulkan masalah sebab adanya undang-undang berkaitan dengan penggunaan
NAPZA yang sangat kompleks dan membingungkan.
Walaupun sudah terdapat pedoman etika profesi, sering kali di lapangan terdapat kasus
yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan pedoman etika profesi yang telah ada. Bila
terdapat kasus demikian, konselor sebaiknya membahasnya bersama konselor lain atau
profesi lain yang menjadi rekan kerja ( dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog ), atasan
langsung atau pimpinan institusi di mana konselor itu bekerja. Bila perlu, berkonsultasi
dengan pengacara yang ditetapkan oleh pimpinan institusi.
Surat Pernyataan Persetujuan ( Informed Consent )
Segala informasi yang diperoleh konselor tentang klien dalam konseling yang seharusnya
disimpan sebagai rahasia profesi dapat diungkapkan kepada pihak ketiga jika ada surat
pernyataan persetujuan ( informed Consent ) dari klien. Pihak yang sudah mendapat
informasi yang diungkapkan tersebut tidak boleh mengungkapkan kepada pihak lain
( pihak ke empat ).
Harus dipertimbangkan bahwa informasi yang telah diungkapkan bisa disalahgunakan
untuk tujuan lain baik oleh pihak ketiga maupun oleh klien sendiri. Hal yang harus di
tuliskan sedapat mungkin sesuai dengan tujuannya. Keterangan yang dibutuhkan oleh
atasan klien atau pihak yang menanggung biaya pengobatan biasanya hanya meliputi
diagnosis, perkiraan lama perawatan dan jenis layanan yang diterima klien, Konselor
harus mempertimbangkan bahwa pengungkapan tersebut dapat merugikan klien. Dalam
hal yang berkaitan dengan masalah hukum sebaiknya dimintakan pendapat pengacara.
Dalam surat persetujuan tersebut harus tercantum
1. nama institusi / program yang mengungkapkan rahasia
2. nama institusi /orang yang menerima informasi yang diungkapkan
3. nama dan identitas klien
4. maksud dan untuk keperluan apa pengungkapan
5. pernyataan klien boleh membatalkan persetujuan pengungkapan tersebut setiap
saat.
6. tanggal, kejadian atau kondisi di mana pengungkapan tersebut tidak berlaku lagi
20

7. tanda tangan klien atau orang yang diberi kuasa


8. tanggal surat pernyataan itu di tanda tangani

BAB 3. IMPLEMENTASI KONSELING GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA


Untuk mengimplementasikan konseling Gangguan penggunaan NAPZA seorang konselor
harus mempunyai kompetensi tertentu, baik dalam ranah pengetahuan ( knowledge ) ,
ketrampilan ( skill ) maupun sikap ( attitude ).
Konselor untuk Gangguan penggunaan NAPZA ( konselor adiksi ) bisa seorang konselor
profesional, konselor sekolah, dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial, guru bimbingan
dan konseling, atau ulama ( transdisipliner ) yang telah terlatih untuk tujuan itu.
Konselor adiksi harus mempunyai landasan sebagai berikut.
1. memahami adiksi ( Gangguan penggunaan NAPZA )
2. pengetahuan tentang terapi
3. penerapan dalam praktek
4. kesiapan profesional
Untuk memiliki keempat landasan tersebut, seoang konselor harus menguasai:
21

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

evaluasi klinis
rencana terapi
rujukan
edukasi terhadap klien, keluarga, dan masyarakat
dokumentasi
koordinasi layanan
tanggung jawab profesional dan etikal
Konseling

3.1. Teknik Dasar Konseling


Konseling adalah proses pemberian pertolongan secara psikologis oleh seseorang yang
terlatih untuk itu. Konseling bukan pertolongan medis, finansial maupun sosial.
Ketrampilan dasar seorang konselor
Seorang konselor bidang apapun harus memilki ketrampilan dasar sebagai berikut:
1. mampu memperhatikan klien dengan baik,
2. menfasilitasi klien untuk mengungkapkan masalahnya,
3. mengikuti arus pemikiran klien dengan sabar
4. menanggapi klien dengan baik
5. memperjelas apa yang disampaikan oleh klien
6. menggali informasi dari klien
7. menilai pandangan klien terhadap masalah yang dihadapi
8. mampu memahami dan menganalisis masalah klien
9. melihat klien sebagai manusia seutuhnya
10. menyadari potensi yang ada pada klien
11. menumbuhkan kemauan untuk berkembang pada klien
12. menunjukkan tantangan yang dihadapi klien
13. memahami latar belakang sosial, budaya, dan agama klien
14. menyadari nilai-nilai dibalik ungkapan-ungkapan verbal klien
15. dapat menguasai emosinya sendiri
Tahapan pada proses konseling
Egan membagi proses konseling dalam 3 tahap:
1. Tahap eksplorasi
Pada tahap eksplorasi konselor membentuk rapport yang baik, mengumpulkan
informasi yang diperlukan, identifikasi dan klarifikasi masalah klien.
2. Tahap intepretasi
Pada tahap intepretasi konselor melakukan asesmen terhadap masalah klien dan
menetapkan kembali permasalahannya secara profesional.
3. Tahap menentukan tujuan dan bertindak
Pada tahap ini konselor bersama klien menentukan sasaran yang ingin dicapai dan
merencanakan terapi.
Menguasai teori konseling dasar
Tujuan konseling adalah membantu klien untuk lebih memahami cara mengekspresikan
perasaannya, cara berpikirnya serta persepsi tentang diri dan lingkungannya sehingga

22

klien diharapkan menjadi lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapi secara lebih
efisien dan efektif serta lebih adaptif.
Setiap klien mempunyai sifat yang unik dan masalah yang dihadapi juga berbeda-beda.
Oleh karena itu seorang konselor sebaiknya menguasai berbagai teori konseling dasar
yang akan digunakan sebagai alat dalam memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan
klien ( ibarat memiliki kunci pas dengan berbagai ukuran untuk mur yang ukurannya juga
berbeda-beda ).
Misalnya klien depresi membutuhkan terapi kognitif, klien panik membutuhkan terapi
relaksasi, klien fobia membutuhkan terapi desensitisasi, klien Gangguan penggunaan
NAPZA membutuhkan terapi kognitif behavioral, dan masalah hubungan suami istri
membutuhkan konseling dengan pendekatan analisis transaktional.
Kekuatan konseling bergantung pada 2 faktor yang sangat erat hubungannya.
1. Kemampuan konselor untuk memfasilitasi konseling
2. Strategi yang dipilih untuk menciptakan suasana yang positif untuk melakukan
eksplorasi dan perubahan.
Kemampuan memfasilitasi
Kemampuan memfasilitasi untuk melakukan eksplorasi dan terjadinya perubahan pada
klien meliputi kemampuan untuk berempati, ketulusan untuk menolong, selalu siap,
kehangatan, menghargai klien, dan peka akan budaya klien.
Empati.
Empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan, pikiran dan sikap orang lain
( dalam hal ini klien ). Dengan empati tidak berarti bahwa konselor akan mengalami
perasaan, pikiran dan sikap seperti klien, melainkan menunjukkan bahwa konselor
mendapat gambaran yang jelas tentang situasi yang dihadapi klien. Jadi empati
menunjukkan kepedulian konselor bukan simpati. Empati sangat penting pada klien
dengan Gangguan penggunaan NAPZA, sebab klien biasanya bersikap ambivalen antara
berhenti menggunakan atau terus menggunakan NAPZA. Konselor dengan berempati
dapat membantu klien untuk mengenali perasaannya terhadap sisi positif maupun sisi
negatif dari penggunaan NAPZA.

Ketulusan
Dengan sikap yang tulus konselor akan tetap menjadi dirinya sendiri dan menghindari
bersikap berpura-pura dan tidak mengambil sikap defensif.
Klien dengan Gangguan penggunaan NAPZA sering dianggap tidak jujur dan
manipulatif. Bila konselor mempunyai anggapan yang demikian, maka sulit untuk
bersikap tulus. Ketulusan ini penting untuk mempertahankan klien dalam terapi.
Immediacy (Responsif)
Immediacy melibatkan perasaan-perasaan yang sesungguhnya antara konselor dan klien
saat itu dan di tempat itu ( now and here ). Idealnya konselor dan klien berbagi rasa apa
yang terjadi di antara mereka secara terbuka dan jujur. Cara ini akan memfokuskan klien
kepada kenyataan dan menjaga supaya konseling tetap berada pada jalur yang benar.

Kehangatan
23

Kehangatan berkaitan dengan ketulusan. Kehangatan diperlihatkan secara non-verbal,


misalnya tersenyum atau menganggukkan kepala. Kehangatan menunjukkan bahwa
konselor juga manusia dan hal ini akan meningkatkan kemanusiaan klien. Klien dengan
Gangguan penggunaan NAPZA membutuhkan bahwa dirinya diterima dengan
kehangatan dan dihargai, sebab selama ini ia kurang dapat diterima dalam masyarakat
atau keluarganya.

Dihargai
Klien harus dihargai sebagai individu yang mampu mengatasi persoalan yang
dihadapinya. Mereka cukup mampu
dan bebas menentukan pilihannya sendiri,
termasuk pilihan untuk mengikuti terapi atau tidak.
Kepekaan terhadap latar belakang budaya klien
Konselor harus menunjukkan bahwa ia memperhatikan latar belakang budaya klien.
Klien harus diyakinkan bahwa walaupun konselor berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, hal tersebut tidak akan menghalangi tercapainya hubungan yang baik
dalam konseling.
Strategi untuk menciptakan suasana yang kondusif untuk terjadinya perubahan.
Bila relasi dalam konseling antara klien dan konselor telah terbentuk, konselor harus
memusatkan perhatiannya untuk mendatangkan situasi yang memberi rasa aman kepada
klien sehingga klien dapat didorong untuk terbuka. Kemampuan untuk membangun
komunikasi dan mendengarkan dengan cermat pada fase ini adalah sangat penting.
Pertanyaan terbuka.
Konselor mendorong klien untuk menceriterakan masalahnya lebih lanjut dan lebih
mendalam dengan mengajukan pertanyaan terbuka yang eksploratif.
Misalnya: Dapatkah anda berceritera lebih lanjut tentang pekerjaan anda ?.... Atau:
.Anda dapat menceriterakan masalah itu lebih lanjut,,,,,
Pernyataan ulang
Konselor mengulang pernyataan klien dengan lebih jelas. Pernyataan ini akan
memperkuat ikatan terapeutik. Klien akan merasa bahwa konselor memperhatikan dan
peduli terhadap dirinya. Contoh: semua menganggap bahwa kebiasaan saya minum
minuman keras adalah suatu masalah. Ada baiknya kalau bicara dengan orangtua saya,
mereka yang punya masalah bukan saya.
Tanggapan konselor:. Nampaknya anda kurang senang akan semua tekanan yang
ditujukan kepada anda dan bahwa anda kurang yakin kiranya anda mempunyai masalah.
Seandainya saya bertemu dengan orangtua anda , bagaimana kiranya pertemuan itu dapat
menolong anda ?
Refleksi
Refleksi akan menfasilitasi komunikasi dan memberi rasa aman kepada klien dan bahwa
ia diperhatikan sehingga memperkuat relasi dalam konseling.
Contoh:
24

Klien : Setiap kali saya memikirkan kebiasaan saya minum, rasanya saya ingin
menyendiri dan menangis. Kadang-kadang terpikir oleh saya bahwa lebih mudah saya
minum terus, mungkin saya akan cepat mati
Konselor : Kedengarannya anda sangat malu terhadap kebiasaan minum anda. Anda
nampaknya tidak punya harapan dan sangat sedih

Mendorong klien untuk berani mulai berbicara.


Mengajukan pertanyaan dapat memperjelas kebutuhan, perasaan dan keyakinan klien
sehingga dapat menambah wawasan berpikir, kemajuan terapi dan pemahaman diri.
Pertanyaan bertubi - tubi tidak baik bagi proses terapi. Jangan mengajukan pertanyaan
untuk mengisi waktu. Pertanyaan yang baik adalah dengan kata tanya apa atau
bagaimana . Pertanyaan dengan kata tanya mengapa menyiratkan salah- benar
sehingga dapat memicu timbulnya mekanisme defensi intelektualisasi, rasionalisasi atau
penyangkalan. Bandingkan ketiga pertanyaan di bawah ini:
Konselor: Apa yang menyebabkan minum alkohol itu penting bagi anda ?
Konselor : Bagaimana perasaan anda karena biasa minum ?
Konselor : Mengapa anda minum?
Hening
Beberapa konselor berpendapat bahwa hening adalah tabu dalam konseling. Hal tersebut
tidak benar. Konselor harus bisa merasa nyaman dengan hening tetapi konselor harus
menggunakan hening secara tepat. Diam dapat memberi kesempatan untuk introspeksi
dan terjadinya kecemasan yang bersifat terapeutik. Keadaan ini dapat mendorong klien
untuk melangkah lebih lanjut menghadapi tahap terapi yang sulit dan menyakitkan.
Restrukturisasi kognitif
Ketika klien telah banyak menceriterakan tentang dirinya, konselor dapat mulai
meningkatkan komunikasi dengan klien pada tingkat yang lebih dalam. Dengan
restrukturisasi kognitif klien dilatih untuk menyampaikan ide dan keyakinan dengan
cara yang lebih sesuai dengan kenyataan daripada fantasi.
Contoh : Saya tidak dapat berubah menjadi Saya tidak mau berubah
Semua orang tidak suka saya menjadi Beberapa orang tidak
suka saya
Untuk mengembangkan restrukturisasi kognitif, klien dilatih untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyan sebagai berikut:
1. Apakah saya berpikir berdasarkan realitas atau angan-angan ?
2. Apakah pikiran saya dalam situasi ini untuk membantu saya melindungi
kehidupan saya atau kesehatan saya ?
3. Apakah pikiran saya ini dapat menolong atau menghambat saya untuk mencapai
sasaran jangka pendek maupun panjang ?
4. Apakah pikiran saya itu akan membantu saya menghindari konflik dengan orang
lain ?

25

5. Apakah pikiran saya membantu saya merasakan emosi seperti yang saya inginkan
?
Konfrontasi
Konfrontasi merupakan alat penting untuk mendorong klien untuk maju, tetapi hanya
akan efektif bila terbentuk relasi terapeutik yang solid dan bila klien telah siap
menghadapinya. Dalam keadaan ini, konfrontasi hanya dilakukan bila terdapat ketidaksesuaian antara kata dan apa yang mereka alami, antara apa yang dikatakan klien
kemarin dan yang dikatakan sekarang, apa yang dikatakan beda dari yang dilakukan. Ada
5 tipe konfrontasi:
1. Konfrontasi eksperiensial: konfrontasi ini terjadi kalau klien mengatakan sesuatu
tetapi konselor menangkapnya bahwa mereka tidak merasakan apa yang
dikatakan klien.
2. Konfrontasi kekuatan : terjadi bila klien menyatakan lemah dan tidak berdaya
tetapi konselor memberi dorongan dengan menunjukkan kenyataan bahwa apa
yang klien nyatakan tidak sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya.
3. Konfrontasi kelemahan : terjadi bila klien menyangkal adanya perasaan sakit
hati dan bersikap seolah-olah ia tidak terpengaruh oleh hal yang menyebabkan
perasaan sakit hati itu. Konselor akan mendorong klien untuk meninggalkan
penyangkalan itu dan mengakui keadaan yang sebenarnya.
4. Konfrontasi aksi : terjadi bila klien memperlihatkan perilaku tak berdaya
melaksanakan suatu tugas dan konselor mendorong klien untuk menyelesaikan
tugas tersebut.
5. Konfrontasi faktual : terjadi bila konselor mengoreksi mitos atau fakta tidak
benar yang dikemukakan klien.
Mengenali dan Mengatasi Situasi Risiko Tinggi
Bila klien dan konselor mengetahui situasi yang rawan untuk menggunakan NAPZA,
maka klien dengan bantuan konselor dapat menyusun rencana untuk menghadapi situasi
tersebut. Ada lima domain situasi ( Carroll, 1998 ) :
1. Sosial : misalnya dengan siapa klien menghabiskan waktunya, dengan siapa ia
menggunakan NAPZA, bagaimana hubungan mereka.
2. Lingkungan : misalnya waktu dan tempat khusus menggunakan NAPZA.
3. Emosional : adanya perasaan hati negatif maupun positif yang berkaitan dengan
penggunaan NAPZA
4. Kognitif : pikiran yang timbul setiap kali sebelum menggunakan NAPZA.
5. Jasmani : keadaan jasmani dan sensasi pada indra ( perabaan, pendengaran, dll )
sebelum menggunakan NAPZA.
Latihan Relaksasi Otot
Latihan Relaksasi Otot berguna pada keadaan cemas dan ketegangan. Pada Gangguan
pengunaan NAPZA relaksasi berguna untuk mengatasi ansietas ( dual diagnosis ),
mempermudah tidur, mengatasi kecemasan yang biasanya muncul sebelum kambuh, atau
meredakan ketegangan pada situasi emosional atau sosial. Cara ini mudah dilaksanakan
dan setelah dilatih klien dapat melakukan sendiri. Lamanya sekitar 30-60 menit.
26

Latihan Ketrampilan
Ketrampilan hidup adalah mutlak diperlukan untuk perubahan perilaku pada Gangguan
penggunaan NAPZA. Dengan memiliki ketrampilan hidup klien dapat mengatasi situasi
yang kondusif kepada penggunaan NAPZA. Dengan memilki ketrampilan hidup klien
juga akan lebih berhasil mencapai tujuan terapi, Ketrampilan intra- dan inter-personal
juga akan meningkatkan kemampuannya mempertahankan pola hidupnya yang baru.
Carlson dan Lewis membagi ketrampilan hidup yang bermanfaat bagi klien dengan
Gangguan penggunaan NAPZA sebagai berikut :
1. asertif
2. ketrampilan sosial
3. pengedalian diri terhadap perilaku
4. menemukan alternatif dari menggunakan NAPZA
5. penyelesaian masalah
6. mengatasi emosi
7. menejemen stres.
Menolak NAPZA dengan bersikap asertif
Ketrampilan untuk menolak NAPZA meliputi ketrampilan untuk
1. meminta pertolongan
2. memberi instruksi
3. menyakinkan orang lain
4. mengenal perasaan sendiri
5. mengekspresikan perasaan
6. menghadapi kemarahan orang lain
7. mengatasi perasan takut
8. mampu mengendalikan diri
9. mampu membela haknya
10. menanggapi godaan
11. menghindari bermasalah dengan orang lain
12. tidak melibatkan diri dalam perkelahian
13. mengatasi rasa malu
14. mengatasi perasaan ditinggalkan
15. menanggapi bujukan
16. menghadapi kegagalan
17. menghadapi dakwaan
18. siap menghadapi pembicaraan yang sulit
19. menghadapi tekanan kelompok
20. membuat keputusan
Memilih alternatif
Setelah terbiasa menggunakan NAPZA dalam waktu yang lama, ketika tidak
menggunakan lagi klien merasa kehilangan sesuatu dan tersisa waktu luang. Untuk
mengisi waktu luang itu sebaiknya tersedia bermacam-macam kegiatan. Klien memilih
satu atau dua kegiatan yang sesuai untuk klien. Untuk memulai suatu kebiasaan baru

27

tidak selalu mudah. Dalam hal ini konselor mendorong klien untuk memulai. Setelah
mencoba satu kali, selanjutnya biasanya akan berjalan lancar.
Mengatasi emosi
Penggunaan NAPZA cenderung menutupi emosinya. Oleh karena itu ketika klien berada
pada awal penyembuhan, sukar mengenali emosinya.
Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengatasi emosi adalah mengenalinya terlebih
dulu. Setelah itu klien harus belajar menerima emosi itu. Langkah selanjutnya adalah
mengubah emosi itu melalui pendekatan kognitif. Misalnya saya harus tidak
mempunyai perasaan ini menjadi tidak apa saya mempunyai emosi ini sejauh saya
tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain Langkah
selanjutnya adalah meentukan perilaku apa saja yang bisa mengatasi emosi itu teapi
tidak merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Selanjutnya ia menetapkan perilaku
mana yang akan dipilih dan dilaksanakan.
Mengatasi Stres
Tidak jarang klien menggunakan NAPZA untuk mengatasi stres. Oleh karena itu
kemampuan mengatasi stres adalah penting bagi klien yang berhenti menggunakan
NAPZA.
Orang dapat mengatsi stres dengan mengubah cara berpikir dari yang bersifat negatif ke
cara berpikir positif. Orang juga dapat mengatasi stres dengan mengubah respon
terhadap stres misalnya dengan latihan relaksasi otot. Demikian pula orang dapat
mengatasi stres dengan mengubah lingkungan
12 Langkah
12 langkah bukan sebuah terapi melainkan membantu eks-klien dalam fase rehabilitasi
untuk tetap bebas dari NAPZA melalui suatu kegiatan kelompok dengan mendorong
setiap anggota mengembangkan diri dengan menilik diri sendiri dan memperhatikan
masalah yang diakibatkan oleh NAPZA ( alkohol untuk Alcohol Anonymous, narkotikadalam hal ini opioida- untuk Narcotics Anonymous, kokain untuk Cocaine Anonymous ).
Pada dasarnya ini adalah suatu kelompok Tolong-Diri, bersifat nirlaba, tersebar di seluruh
dunia, tidak berafiliasi dengan agama atau lembaga, dengan struktur organisasi yang
sangat minimal dan tidak memberi hukuman atau mengucilkan anggotanya. Keterangan
mengenai 12 langkah dapat dilihat pada buku Pedoman Layanan Terapi dan Rehabiltasi
komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit.
Pemecahan Masalah
Perkembangan ego seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA sering kali tidak
sebagaimana diharapkan sehingga mudah bimbang dan sulit mengambil keputusan yang
bijak. Oleh karena itu juga menjadi mudah mengikuti pendapat, saran atau bujukan orang
lain. Memecahkan masalah mengikuti tahapan sebagai berikut:
S-tate your problem
O-utline your response
L- ist your alternatives
V- iew the consequencies
E- valuate your result.
28

Langkah-langkah yang dilakukan oleh konselor adalah:


1. mengklarifikasi masalah yang dihadapi klien bersama klien
2. mendorong dan membantu klien untuk menghasilkan pilihan
3. membantu klien menganalis pilihan yang ada secara kritis
4. menolong klien untuk memlih pilihan yang terbaik
5. membantu klien mengembangkan rencana tindakan
6. membantu klien untuk mengevaluasi hasil pilihannya,
3.2. MENINGKATKAN MOTIVASI UNTUK BERUBAH
Motivasi adalah semua faktor yang membangkitkan, mempertahankan dan mengarahkan
perilaku seseorang. Manusia tidak akan menerapkan apa yang telah mereka pelajari bila
apa yang telah dipelajari ketika dilaksanakan tidak mendatangkan imbalan atau
mempunyai nilai bagi dirinya.
Wawancara motivasional ( motivational Inteviewing, MI ) mendorong terjadinya
perubahan pada klien dengan menghindari pemberian label dan menekankan bahwa
pengambilan keputusan ada di tangan klien. Konselor mengumpulkan data secara
lengkap dan teliti serta berbagi data itu kepada klien. Selanjutnya terserah bagaimana
klien akan menggunakan data tersebut. Bila dalam wawancara konselor memberi label
pecandu kepada klien atau konselor memberi kesan bahwa semua masalah yang
dihadapi klien adalah akibat penggunaan NAPZA maka akan timbul sikap defensive pada
klien. Dalam melaksanakan MI fase yang paling sulit untuk merubah perilaku klien
adalah tahap kontemplasi mengingat ambivalensi klien sangat kuat sehingga diperlukan
langkah berikut yakni Motivational Enhancement Therapy (MET )
( Lihat Buku Pedoman Penanggulangan Gangguan Penggunaan NAPZA, Kemenkes RI ).
3.3. MELIBATKAN KELUARGA / PASANGAN DALAM PROSES KONSELING
Dalam kenyataan, tidak ada klien dengan Gangguan penggunan NAPZA memperoleh
efek terapi yang efektif tanpa memperhatikan interaksi sosialnya. Dalam hal ini peran
keluarga adalah yang paling penting.
Konselor harus memperhatikan dinamika dalam keluarga klien. Keluarga itu sendiri
mungkin menjadi sasaran untuk perubahan.
Konselor harus mempunyai seperangkat kompetensi untuk melibatkan keluarga dalam
terapi.
1. memahami karakteristik dan dinamika keluarga, pasangan, atau orang bermakna
lainnya.
Pengetahuan :
a. Dinamika yang berkaitan dengan penggunaan, penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA dalam keluarga, dengan pasangan atau orang
bermakna lain.
b. Dampak pola interaksi pada perilaku menggunakan NAPZA.
c. Dampak penggunaan NAPZA berkaitan dengan budaya. terhadap
keluarga,pasangan, atau orang bermakna lain.
d. Teori sistem dan dinamika ( keluarga ).
e. Tanda-tanda dan pola kekerasan dalam rumah tangga.
29

f. Dampak perilaku menggunaan NAPZA terhadap pola interaksi.


Ketrampilan:
a. mengenali interaksi dalam keluarga yang nampaknya akan memengaruhi
pemulihan.
b. mengenali peran orang-orang bermakna dalam sistem sosial
klien.
c. menerima faktor perbedaan kultural dalam keluarga yang
memengaruhi karakteristik dan dinamika keluarga, pasangan
atau orang signifikan lain.
Sikap
a. mengenali perilaku non konstruktif keluarga sebagai isu dalam
sistem
b. menerima bahwa interaksi sistemik berperan pada perilaku
menggunakan NAPZA.
c. menerima faktor budaya beragam yang memengaruhi dinamika
keluarga, pasangan atau orang bermakna lain.
2.

Membiasakan dan menempatkan penggunaan diagnosis dan intervensi keluarga,


pasangan, atau orang bermakna lain secara tepat.
Pengetahuan:
a. Strategi intervensi untuk sistem pada berbagai tingkat
perkembangan masalah
b. Strategi intervensi yang sesuai untuk perilaku kekerasan
c. Hukum yang berkaitan dengan tindak kekerasan
d. Strategi intervensi keluarga yang tidak bertentangan dengan
budaya
e. Instrumen asesmen yang tersedia dan sesuai untuk keluarga,
pasangan atau orang bermakna lainnya.
Ketrampilan:
a, menerapkan instrumen asesmen keluarga, pasangan dan
orang bermakna lainnya.
b. menerapkan strategi yang sesuai dengan budaya,
Sikap:
a. menghargai klien sebagai individu dan bagian dari keluarga
sebagai sebuah sistem.
b. menerima keanekaragaman dalam keluarga, pasangan atau
orang bermakna lainnya.

Selanjutnya konselor juga mampu memfasilitasi keterikatan anggota keluarga yang


terpilih, pasangan dan orang bermakna lainnya dalam terapi dan proses penyembuhan.
Konselor juga membantu keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya untuk
mengadopsi strategi perilaku yang akan mempertahankan
pemulihan
dan
mempertahankan hubungan baik dengan orang lain.
Konselor juga membantu keluarga, pasangan atau orang bermakna lainnya untuk
mengerti interaksi antara sistem keluarga dan perilaku menggunakan NAPZA.
30

Tahapan dalam Pemulihan Keluarga.


Keluarga mempunyai kebutuhan yang berbeda pada setiap tahap pemulihan. Bepko dan
Krestan ( 1985 ) menyebutkan ada 3 tahap dalam terapi.
Tahap pertama yaitu mencapai keadaan bebas NAPZA: pada tahap ini
keseimbangan digoyahkan sehingga memungkinkan terjadinya perubahan.
Tahap kedua adalah menyesuaikan dengan keadaan bebas NAPZA. Keluarga,
pasangan, atau orang bermakna lainnya berusaha menyeimbangkan kembali
sistem.
Tahap ketiga adalah mempertahankan bebas NAPZA jangka panjang, di mana
terjadi keseimbangan kembali dalam sistem.
Proses pemulihan keluarga merupakan suatu proses bukan suatu kejadian sesaat seperti
perubahan pada klien ( Prochaska ). Tidak semua anggota keluarga mempunyai kecepatan
perubahan yang sama. Konselor harus menolong setiap anggota keluarga sesuai dengan
tahapnya masing-masing anggota keluarga tersebut.
Konselor membantu keluarga bersama-sama dengan teman-teman mendesak klien
untuk menjalani terapi di suatu pusat terapi. Cara ini tidak membawa hasil dan ada
kalanya bahkan berakibat buruk.
Cara yang lebih baik dan lebih berhasil adalah dengan cara melepas kelekatan (
disengagement ). Keluarga dapat mulai melakukan perubahan tanpa melibatkan klien.
Konselor mendorong anggota keluarga lain untuk berubah dengan tujuan perkembangan
diri yang lebih baik dan demi kesehatannya sendiri.
Pengaruh pada Anak
Dampak Gangguan penggunaan NAPZA pada dinamika dalam keluarga dapat berdampak
buruk kepada anak-anak.
Konseling untuk anak-anak yang masih tinggal serumah dengan orangtuanya yang
mengalami Gangguan penggunaan NAPZA bertujuan utama untuk memberi dukungan
dan membantu klien dapat mengembangkan ketrampilan agar supaya mampu mengasuh
anaknya dengan baik, sekarang maupun di kemudian hari. Diharapkan anak tidak
menghadapi situasi tidak menentu dan terhindar dari masalah emosional yang kronis.
Anak dari keluarga yang mengalami disfungsi bisa menjadi pahlawan keluarga
( mengambil alih tugas yang mestinya menjadi tanggung jawab orang dewasa ), menjadi
kambing hitam keluarga ( dianggap tukang bikin masalah dan menarik perhatian keluarga
), anak yang hilang (kurang diperhatikan dan lebih banyak berada di belakang ),
atau menjadi maskot ( menjadi pusat perhatian untuk mengalihkan perhatian dari
masalah klien sehingga dapat meredakan ketegangan ).
Anak yang sudah remaja dari seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA tidak
banyak yang bertingkah. Kebanyakan dari remaja itu memendam perasaannya, dan
berbuat sebaik mungkin untuk beradaptasi dan bertahan tinggal dengan keluarga. Akan
tetapi sikap yang demikian itu membawa akibat kurang percaya diri, kesepian, perasaan
bersalah dan malu, sedih sehingga perlu pengawasan, kurang asertif, putus asa untuk
memperoleh kebahagiaan, dan sangat peka terhadap kritik.

31

3.4.
Kekambuhan ( Relapse ).
Kambuh adalah penggunaan kembali NAPZA ke pola yang lama setelah periode
abstinensia. Kambuh adalah salah satu masalah besar yang dihadapi oleh klien maupun
konselor.
Seseorang bisa saja kembali menggunakan NAPZA tanpa harus kembali pada polanya
yang lama (tidak kembali ke jenis zat semula atau dengan frekuensi yang jarang). Apabila
ia sesekali menggunakan lagi disebut Slips, apabila ia berulang kali menggunakan disebut
Lapses.
Faktor-faktor determinan pada kekambuhan
Klien dengan bantuan konselor mengidentikasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
slips atau kambuh
1. Situasi dengan risiko tinggi: yaitu situasi yang mengancam kemampuan
mengendalikan diri, misalnya masuk ke ruang di mana kawan-kawan sedang
mengonsumsi NAPZA, melalui jalan dimana ia dulu membeli NAPZA.
2. Pikiran dan sikap : misalnya pada awal pemulihan, klien merasa senang dan
yakin bahwa tidak akan ada masalah di masa yang akan datang. Ketika ia
menghadapi suatu masalah ia belum siap menghadapinya. Juga sering terjadi
bahwa klien merasa yakin dapat menghadapi situasi rawan kambuh.
Strategi Pencegahan terhadap Kekambuhan
Prevensi terhadap kemungkinan kambuh merupakan pendekatan berspektrum luas, melibatkan prosedur intervensi spesifik untuk menghindari atau membatasi
slips dan kambuh serta menjaga keseimbangan hidup. Prevensi terhadap kambuh sudah
diberikan pada saat klien masih menjalani terapi.
Strategi untuk Menyingkirkan Risiko
1. Monitoring diri sendiri
Monitoring diri adalah alat pertama yang diajarkan dalam pelatihan.
Klien membuat catatan kapan, dimana dan mengapa keinginan untuk
menggunakan NAPZA muncul. Klien lalu dilatih cara mengatasi
situasi tersebut.
2. Metode Pengamatan Langsung
Kepada klien diberikan daftar lengkap berbagai situasi rawan kambuh
dan diminta untuk memberikan urutan situasi dari yang paling rawan
sampai yang paling kurang rawan.
3. Ketrampilan mengatasi situasi rawan kambuh.
Setelah klien mengenali situasi rawan,klien dilatih untuk mengatasinya.
Ada situasi yang harus dihindarkan dan ada situasi yang harus dapat diatasi, misalnya
dengan latihan relaksasi, latihan asertif, cara berkomunikasi yang tepat, dan
menejemen stres. Contoh menejemen stres :
Hanya mengerjakan satu kegiatan atau pekerjaan setiap saat
Menghilangkan ketegangan fisik ( relaksasi )
32

Belajar untuk tidak menjadi perfeksionis


Humor
Mencari bantuan orang lain yang benar
Sediakan waktu untuk bersendirian
Miliki hobi atau kegiatan yang tidak berkaitan dengan NAPZA
Jangan bersikap kaku melainkan moderat
Makan dan tidur yang baik
Menyeimbangkan pengeluaran dan manfaatnya bagi hidup

4. Meningkatkan Efikasi Diri


Latihan untuk meningkatkan efikasi diri dilakukan dengan cara
imajinasi, dimana klien diminta untuk membayangkan situasi rawan
kambuh dan bagaimana klien mengatasinya.
5. Kontrak Perilaku
Surat kontrak perilaku ditanda tangani oleh klien dan konselor di atas
meterai, dibuat sesederhana mungkin, tidak bersifat menghakimi atau
menghukum. Isinya menyatakan bahwa slips bukanlah suatu kegagalan dan bahwa klien mempunyai kemampuan untuk mencegah slips lagi.
terjadi slips/lapses ia akan segera menghubungi konselor atau
institusi atau fasilitas terapi / rehabilitasi.
Klien juga diberi buku saku yang memuat tip yang sederhana dan lugas.

Bila

6. Membangun kembali struktur kognisi


Bila klien sudah kambuh, maka digunakan restrukturisasi kognitif, yaitu
klien dilatih untuk mengembangkan sikap mental positif. Klien dilatih
untuk berpikir secara obyektif, rasional dan adil.
Strategi Intervensi Komprehensif
Strategi Pengendalian Diri Komprehensif digunakan untuk memperkuat kembali usaha
pencegahan kambuh dan memungkinkan klien untuk
menghindari sama sekali situasi berisiko tinggi yang diakibatkan oleh pola hidup yang
tak seimbang.
Mengusahakan pola hidup yang seimbang
Proses kambuh biasanya dimulai dengan pola hidup yang tak seimbang Pola hidup tak
seimbang ini mengakibatkan stres atau hal-hal yang negatif pada klien. Pengendalian diri
secara umum bertujuan meningkatkan semaksimal mungkin kemampuan klien untuk
mengatasi stres dan mengatasi situasi risiko tinggi,yaitu dengan meningkatkan efikasi
diri, mengusahakan keseimbangan antara kerja dan rekreasi, kebahagiaan dan kesedihan,
kesakitan dan kenikmatan. Klien dianjuran untuk mempunyai waktu untuk bersantai, hobi
yang tidak mengandung stres, dan banyak waktu untuk diri sendiri. Juga dapat
dianjurkan untuk menjadi adiksi terhadap hal-hal yang positif seperti jogging, meditasi,
menyulam, dan lain-lain. Aktivitas ini bila dipadukan dengan pola hidup sehat akan
mencapai keseimbangan hidup.
33

Memenuhi Kepuasan yang Adaptif


Bila orang mengalami frustrasi dalam pola hidup yang tidak seimbang, seringkali orang
itu mencari kepuasan sebagai imbalannya. Pada program pencegahan kambuh dengan
memberi kepuasan yang berakibat baik dan bukannya memberi efek yang buruk. Klien
dapat mengikuti olah raga seperti futsal, main bola, main biliar, basket, mendaki gunung,
berlibur, berenang, nonton film, berjalan sepanjang pantai dan sebagainya.
Menghindari Dorongan dan Rasa Keinginan yang Kuat.
Klien harus menghindari tempat atau situasi di mana akan memicu timbulnya dorongan
dan keinginan kuat untuk menggunakan NAPZA. Misalnya jalan di depan sebuah bar,
melewati gang di mana biasa terjadi jual beli NAPZA ilegal, mencium bau ganja dan
sebagainya.

34

BAB 4. PENCATATAN & EVALUASI PROSES KONSELING


4.1.

PENCATATAN

Pencatatan proses konseling pada Gangguan penggunaan NAPZA tidaklah


berbeda dengan pencatatan proses konseling lainnya. Agar dapat menjadi landasan
bertindak bagi petugas kesehatan, hendaknya pencatatan dilakukan pada catatan / rekam
medis. Format pencatatan sederhana, meliputi nomor rekam medis, nama klien, tanggal
konseling, konselor, kemudian diikuti
pencatatan proses konseling. Pencatatan
hendaknya tidak dibuat dalam bentuk kolom agar memudahkan konselor untuk
menuliskan apapun yang dirasakannya penting.
Pencatatan proses konseling umumnya dilakukan pada saat proses konseling
tersebut berjalan. Beberapa konselor merasakan hal ini sebagai sesuatu yang mengganggu
dan tidak perlu untuk dilakukan karena dapat mengganggu proses konseling itu sendiri.
Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, terutama bila konselor begitu fokus untuk menulis
dan mengabaikan keberadaan klien. Namun demikian, melakukan penundaan
pencatatan seringkali justru kehilangan kata-kata kunci klien yang penting untuk
dijadikan landasan pengembangan proses konseling. Untuk itu disarankan untuk tetap
membuat catatan selagi proses konseling berlangsung. Berikut adalah hal-hal yang perlu
dilakukan agar pencatatan berjalan efisien:
Tuliskanlah hanya kata-kata kunci klien: hal-hal yang
ditekankan oleh klien, baik melalui kata yang diulang-ulang, intonasi suara,
isyarat non-verbal, maupun yang berkaitan dengan isu yang sedang dibahas.
Tuliskanlah hasil pengamatan atas perilaku non-verbal klien:
apakah ekspresi emosi sesuai dengan apa yang diucapkannya?
Segera setelah selesai konseling, lengkapilah catatan dengan halhal yang dirasakan perlu untuk ditambahkan
Pencatatan proses konseling terdiri dari dua hal: pencatatan awal dan pencatatan
lanjutan. Pencatatan awal umumnya merupakan bagian dari proses asesmen klien
Gangguan penggunaan NAPZA pada umumnya (lihat rincian domain asesmen pada sub
bab 4.2 di bawah ini). Informasi yang diperoleh pada saat proses konseling umumnya
dapat melengkapi pengisian domain-domain yang ada. Sebaliknya, proses konseling juga
dapat dimulai dari informasi yang diperoleh dari proses asesmen. Pencatatan awal
mencakup masalah utama yang dihadapi klien serta masalah-masalah lain yang terkait
dengan masalah utama. Pencatatan lanjutan umumnya hanya mencakup pada masalah
utama yang dibahas pada sesi konseling yang berlangsung, sekalipun tidak menutup
kemungkinan untuk juga mencatat hal-hal penting lainnya.
4.2.

INSTRUMEN EVALUASI

Ada dua jenis evaluasi program, yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi
proses bertujuan untuk mengetahui apakah layanan berjalan sebagaimana diharapkan.
Evaluasi hasil adalah untuk mengetahui apakah layanan yang diberikan telah memenuhi
keinginan klien atau komunitas.
35

Evaluasi proses dapat dilaksanakan dengan menciptakan sistem informasi menejemen


terpadu yang meliputi:
Informasi tentang komunitas: meliputi data demografik, karakteristik sosial
ekonomi dari klien.
Informasi tentang klien: meliputi masalah yang dikeluhkan klien, riwayat
penyakit, jenis layanan yang diterima, lamanya pelayanan, latar belakang keluarga
dan sosial ekonomi, pekerjaan, tingkat kepuasan, dan hasil layanan.
Informasi tentang layanan: meliputi jenis layanan apa saja yang ada pada institusi
tersebut, jumlah klien yang dilayani, jumlah klien yang mulai ikut konseling dan
yang selesai mengikuti program konseling dalam kurun waktu tertentu
Informasi tentang staf: termasuk lama waktu yang dibutuhkan seorang staf dalam
memberikan layanan, volume layanan konselor (misal: jumlah klien yang
dilayani).
Informasi tentang biaya: termasuk biaya seluruh kegiatan institusi, biaya setiap
jenis layanan yang harus dibayar klien
Evaluasi hasil pada gangguan penggunaan NAPZA menghadapi beberapa masalah, yaitu
pengukuran hasil dengan kriteria yang terlalu sempit dan tidak sensitif, sulit menemui
klien, kurang akuratnya laporan yang dibuat oleh klien sendiri
Penilaian dengan kriteria yang sempit adalah penilaian berdasarkan klien masih
menggunakan NAPZA atau sama sekali tidak menggunakan NAPZA. Pandangan
multivariat terhadap Gangguan penggunaan NAPZA menghasilkan metode evaluasi hasil
dengan kriteria tambahan dengan menanyakan hal hal dibawah ini dalam kurun waktu
tiga puluh hari terakhir:
a. Apakah klien menyelesaikan program konseling atau tidak.
b. Berapa kali klien masuk pusat rehabilitasi.
c. Jeda waktu terjadinya kematian sejak atau setelah mengikuti program
d. Kesehatan jasmani: berapa lama klien menderita masalah medik, berapa lama
minum obat yang diberikan oleh dokter, lama perawatan di rumah sakit.
e. Perilaku menggunakan NAPZA: berapa hari klien dalam keadaan abstinensia
tanpa bantuan obat.
f. Penggunaan NAPZA lain: berapa lama ia abstinensia atau tidak abstinensia dari
NAPZA lain itu.
g. Masalah hukum: berapa kali klien ditahan berkaitan maupun tidak berkaitan
dengan penggunaan NAPZA
h. Masalah pekerjaan: bagaimana status kepegawaiannya, jumlah hari klien bekerja.
i. Fungsi keluarga/sosial : seberapa memuaskan hubungan interpersonal dan mutu
waktu senggangnya
j. Emosi: apakah klien mempunyai keluhan psikitris
Beberapa instrumen yang bisa dipakai untuk evaluasi hasil adalah:
a. WHO Quality of Life
b. Addiction Severity Index; dan lain-lain
4.3.

INDIKATOR KEBERHASILAN
36

Sebelum menetapkan indikator keberhasilan, lebih dulu perlu disepakati hal yang
dimaksud dengan keberhasilan dalam konseling klien dengan Gangguan penggunaan
NAPZA. Apabila yang dimaksud dengan keberhasilan adalah klien sama sekali tidak
menggunakan NAPZA, maka klien berarti tidak menggunakan semua jenis NAPZA
termasuk tembakau ,kopi, dan alkohol.
Perlu diingat kembali bahwa yang dimaksud dengan Ganguan penggunaan NAPZA
adalah pola penggunaan NAPZA yang mengakibatkan gangguan pada kesehatan serta
fungsi sosial dan okupasional, termasuk masalah ekonomi, sosial, dan hukum.
Seorang yang biasa minum kopi, menghisap rokok tembakau atau minum minuman
beralkohol tanpa mengalami akibat pada kesehatan dan tidak mengganggu fungsi sosial
dan pekerjaan tidak dapat digolongkan gangguan penggunaan NAPZA. Seorang yang
menghisap ganja, mengonsumsi ecstasy, atau minum obat tidur bukan atas nasehat dan
resep dokter adalah ilegal dan dapat berurusan dengan penegak hukum.
Oleh karena itu indikator keberhasilan pada konseling klien dengan gangguan
penggunaan NAPZA didasarkan kepada perubahan perilaku dari yang maladaptif
menjadi adaptif dan tidak menderita gangguan pada kesehatannya atau penyakit yang
( terlanjur ) diderita mendapat pengobatan.
1. Emosi : stabil, dapat mengekspresikan perasaannya secara wajar.
2. Perilaku:
dapat mengendalikan perilaku dengan baik dan tidak
memperlihatkan perilaku yang maladaptif
3. Kognisi : dapat berpikir secara rasional dan realistis
4. Persepsi : tidak mengalami gangguan persepsi, dapat memperspsi diri dan
lingkungannya dengan baik
5. Hubungan interpersonal : memuaskan bagi dirinya dan orang lain
6. Fungsi sosial: dapat belajar dengan baik jika masih menempuh pendidikan
dan dapat bekerja dengan prestasi yang baik bila sudah bekerja.
7. Fungsi keluarga: dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota keluarga
( sebagai suami,sebagai istri, sebagai orangtua atau sebagai anak )
8. Tidak terlibat masalah hukum yang berkaitan dengan NAPZA
9. Pola hidup yang baik, teratur dan seimbang: makanan yang sehat dan
cukup, istirahat dan tidur yang cukup dan teratur, rekreasi yang sehat
Semuanya ini terdapat dalam WHO QOL dan dapat diakses melalui www.who.int

37

BAB 5. PENUTUP
Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu gangguan jiwa yang kronis dengan angka
kekambuhan yang tinggi. Proses penyembuhannya tidak lineair, melainkan melalui
beberapa tahap ( Prochaska ) dan seringkali mengalami perjalanan mundur dan maju
dari tahap satu ke tahap yang lain.
Peran konselor adalah membantu klien melalui tahapan tadi sebaik mungkin supaya
sesedikit mungkin mengalami perjalanan mundur.
Pada dasarnya konseling adalah membantu klien mengalami perubahan perilaku dari
yang maladaptif menjadi adaptif. Sasaran konseling untuk mengubah perilaku klien
seringkali kurang disadari oleh petugas kesehatan, klien maupun keluarga klien. Mereka
lebih mengharapkan perubahan dari menggunakan NAPZA menjadi tidak menggunakan
NAPZA sama sekali.
Mempelajari perilaku seseorang tidak cukup hanya mempelajari orang itu sendiri,
melainkan juga lingkungan di mana orang itu berada. Oleh karena itu untuk mengubah
perilaku seorang dengan Gangguan penggunaan NAPZA perlu melibatkan lingkungannya
terutama orangtua, pasangan, dan orang bermakna lainnya.
Oleh karena Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan yang sering kambuh,
maka penting untuk mencegah kekambuhan.
Peran konselor tidak selesai setelah klien selesai menjalani terapi, tetapi tetap berperan
dalam pencegahan kambuh yaitu memperkuat kembali klien agar tetap bertahan untuk
tidak kembali kepada perilaku semula. Biasanya konseling untuk menguatkan kembali
secara berkala setelah terapi berakhir.
38

DAFTAR REFERENSI
Addiction Counseling, Competencies, TAP 21, US Department of Health
And Human Services, 2008.
Gangguan Mental dan Perilaku Akbat Penggunaan Zat Psikoaktif,
Joewana.S, EGC, Edisi 2, 2005.
Mastering Counselling Theory, Ray Colledge, Palgrave Macmillan, 2002.
Substance Abuse Counseling, Lewis, J.A., Dana, R.Q., Blevins G.A;
Brooks/Cole, 3rd ed. 2002.
Substance Abuse, Informations for School Counselors, Social Workers,
Therapists and Counselors; Fisher, G.L. , Harrison, T.C., Allyn & Bacon,
1997.
Synopsis of Psychiatry, Sadock B.J., & Sadock,V.A. Lippincott, Williams &
Wilkins, 10th ed. 2009
Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Therepeutics, 11th. ed

39

Lampiran 1
ASESMEN AWAL PERILAKU DAN ANALISIS FUNGSIONAL
Tanggal.

Nama Konselor..
Nomor Rekam Medik....................

I. Biodata Klien
Nama..
Jenis Kelamin:
Umur:.
Status Perkawinan:..
Agama:
Suku Bangsa:..
Alamat: ..
No Telepon Rumah:.. No HP.
Riwayat pengobatan sebelumnya ( rawat jalan dan rawat inap ) untuk
Gangguan penggunaan NAPZA dan gangguan psikiatrik lain:.

.
II. Masalah yang dihadapi ( frekuensi, intensitas, lamanya, tidak wajar, tidak
Pada tempatnya )
A. Perilaku yang berlebihan:.
..
B. Perilaku yang kurang.
...
III. Kemampuan dan Kekuatan ( saat ini maupun yang terbaik di masa lalu )
A. Rapi.
...
B. Ketrampilan menolong diri sndiri:..
C. Ketrampilan sosial ( termasuk konversasi, rekreasi, dan persahabatan )
.
D. Pendidikan & Latihan Vokasional
.
IV. Analisis Fungsional terhadap Masalah
40

A. Apa konsekuensi positif maupun negatif daripada permasalahan yang


dihadapi klien saat ini ?

1. Siapa atau apa yang membujuk atau memaksa klien berobat ?

..
2. Siapa yang memperkuat masalah klien dengan simpati, pertolongan, perhatian,
atau reaksi emosional ?

3. Apa yang akan terjadi bila masalah itu diabaikan ?...............................


.
.
Menjadi lebih jarang ?............................................................................
..
4. Apa keuntungan bagi klien bila masalah itu disingkirkan ?..................
.
..
B. Pemicu yang determinan apa atau kondisi atau setting yang menyebabkan terjadinya masalah ?...............................................................................
...
1. Di mana ?.................................................................................................
2. Kapan ?....................................................................................................
3. Dengan siapa?.........................................................................................
C. Kesamaan dari apa yang diuraikan klien dan apa yang dilihat oleh
pengamat-pengamat lain ?..........................................................................
..
.
V. Survei faktor-faktor pendorong. Pastikan untuk melakukan asesmen tentang kesamaan
antara apa yang klien katakan dan yang anda serta orang signifikan lain amati
A. Orang. Dengan siapa klien menghabiskan waktu terbanyak ( keluarga,
sanak keluarga, teman, sejawat kerja ) ?
1..
4
2.
5
3...
6.
Klien lebih suka menghabiskan waktu dengan siapa ?
13
24
B. Tempat. Di mana klien menghabiskan waktunya terbanyak ?
41

( kamar tidur, dapur, halaman rumah, mobil, kerja, toko, musola, dsb ?)
1...4.
25.
36.
Di mana klien lebih suka menghabiskan waktunya ?
13.
24.
C. Benda. Klien menghabiskan waktunya terbanyak dengan barang apa ?
( buku, hobi, tembakau, makanan,minuman, pakaian,milik favorit)
15
26
37
4.8..
Klien ingin mempunyai akses paling mudah dengan benda atau makanan
apa?
1.3..
2.4..
D. Aktivitas. Aktivitas apa yang dijalani paling sering dan paling lama oleh
klien ? ( bekerja,merokok, olah raga, nonton TV, mendengarkan musik,
menari, tidur siang, bersendirian, mengemudi kendaraan, membaca ) ?
1..5
2..6.
3. 7
4. 8.
Aktivitas apa yang klien ingin tingkatkan ?
13
24.
E. Penguat negatif. Stimulus dan kejadian apa yang menyenangkan klien ?
( orang, zat, situasi, aktivitas, isolasi sosial)?
1..4.
2..5.
3..6.
F. Hukuman. Stimulus dan kejadian aversif apa yang tidak menyenangkan
klien ? ( orang,situasi, aktivitas, ketakutan, isolasi sosial dll )
1.4.
2.5.
3.6.
G. Penguat netral. Siapa di antara orang-orang dengan siapa klien sehari-hari berhubungan yang dapat menjadi mediator dalam konseling ?
15.
26..
37..
42

4.8..
VI. Analisis biologik
A. Masalah medis dan surgikal dan limitasi terhadap kegiatan ?
1..3
2..4
B. Tanggal pemeriksaan medis terakhr.
Nama dan alamat dokter yang memeriksa

C. Terapi medis dan nama obat saat sekarang..


.
..
D. Obat-obat psikotropika.
1. Saat ini
Dosis
Resep oleh
Tanggal
.
..

..
.
..

..
2. Yang lalu
..
..
..

Doses
.

Respon
..
..
..

E. Riwayat keluarga. Apakah ada anggota keluarga lain yang menderita


gangguan pskikiatrik atau Gangguan penggunaan NAPZA ?..............
..
.
VII. Analisis sosiokultural
A. Beban dalam lingkungan saat ini ( migrasi, konflk antar generasi,
konflik dalam keluarga, pindah kerja dll )..
.
...

B Perubahan hubungan sosial belum lama ini ( perpisahan,perceraian,


kematian )

C. Bahasa dan nilai-nilai ( konflik antara kelompok minoritas dengan


budaya mayoritas ).
.
.
D. Trauma dan stres lain baru- baru ini.
..
43

..
..
VIII. Prubahan perilaku yang ingin dicapai ( sebutkan secara spesifik )
A. Meningkatkan perilaku yang diinginkan ( termasuk memperkuat
aset ( modal diri )
1. Jangka pendek (3 bulan)
2. Jangka panjang (9 bulan-1 tahun)
.
.
.
.
.
.
B. Mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tak diinginkan
1. Jangka pendek ( 3 bulan )
2.Jangka panjang(9 bulan -1 tahun)
.
.
.
.
...
.
C. Teknik terapi dan intervensi
1..
2..
3..
4..
5..
6..
7..
D. Metode metode pencatatan
1...

Perilaku-perilaku

.
.
.

Diagnosis:

LAMPIRAN 2
KUESIONER TENTANG PENGGUNAAN NAPZA
Berilah tanda silang di tempat yang sesuai.
44

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di bawah ini hanya merujuk untuk kurun waktu 6


bulan terakhir
1. Merasa bersalah karena menggunaan NAPZA ?
2. Memperoleh nilai buruk pada waktu ujian atau
membuat makalah akibat menggunakan NAPZA
malam sebelumnya ?
3. Menggunakan NAPZA sebelum ke sekolah atau
sebelum tes?
4. Berhenti sekolah atau kehilangan pekerjaan setelah
beberapa kali menggunakan NAPZA?
5. Terlambat menyerahkan tugas dari guru karena hari
itu atau malam sebelumnya menggunakan NAPZA?
6. Apakah ada orang yang dekat dengan anda mengeluh
tentang kebiasaan anda menggunakan NAPZA dan
menyarankan agar mengurangi ?
7. Terlibat seks sesudah menggunakan NAPZA di mana
kemudian anda menyesal dan merasa malu ?
8. Mencapai high akibat NAPZA sebelum kencan ?
9. Passed out dari penggunaan NAPZA pada saat kencan atau pergi bersama teman ?
10.Bertengkar dengan teman atau kenalan sesudah
menggunakan NAPZA ?
11. Menggunakan NAPZA dan tinggal di rumah daripada
pergi bersama teman-teman ?
12. Dusta terhadap teman tetnang anda menggunakan
NAPZA?
13. Lebih sering berdebat dan marah sesudah menggunakan NAPZA ?
14. Tidak menyenangkan bersama dengan teman tanpa
menggunakan NAPZA ?
15. Mengalami nyeri perut pada pagi hari sesudah menggunakan NAPZA ?
16. Mencederai cukup berat diri sendiri akibat menggunakan
Napza sehingga perlu pengobatan ?
17. Lupa apa yang anda lakukan malam sebelumnya ketika
anda menggunakan NAPZA ?
18. Gagal ikut pelajaran pada pagi hari akibat hangover
19. Menggunakan NAPZA ketika merasa kesepian atau sedih ?
20. Makin sedih ketika mengonsumsi NAPZA ?
21. Mabuk sesudah gagal ujian atau mengalami kekecewaan
lain ?
22. Takut terhadap reaksi anda terhadap NAPZA ?
23. Boros karena anda terlalu banyak membelanjakan uang
untuk membeli Napza?
45

Ya
( )

tidak
( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )
( )

( )
( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )
( )

( )

( )

( )
( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )
( )

( )
( )
( )

( )

( )
( )
( )

( )

24. Mengalami masalah dengan polisi atau pejabat sekolah akibat perilaku anda di bawah pengaruh NAPZA ?
25. Menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli NAPZA
daripada yang seharusnya menurut pikiran anda ?
26. Merusak barang milik pribadi atau milik sekolah sesudah mengonsumsi NAPZA ?
27. Mengemudikan kendaraan walaupun anda menyadari telah
menggunakan NAPZA terlalu banyak ?
28. Mengemudikan kendaraan setelah mengonsumsi NAPZA
sehingga mengalami kecelakaan ?
29. Biasa mengonsumsi NAPZA beberapa kali agar cepat memperoleh high ?
30. Lebih suka tidak mengunjungi pertemuan ramah tamah sebab
tidak tersedia NAPZA ?
31. Menambah jumlah NAPZA yang dikonsumsi ?
32. Menyadari bahwa anda menggunakan lebih tetapi kurang
menyukai ?
33. Hampir setiap hari mengalami High karena mengonsumsi
NAPZA ?
34. Menggunakan NAPZA agar melupakan masalah atau supaya
merasa lebih nyaman ?
35. Berpendapat bahwa anda akan mempunyai masalah
NAPZA ?
36. Setelah menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas apakah anda berubah pendapat tentang penggunaan
NAPZA anda ?

00000000000000000

46

( )

( )

( )

( )
( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )

( )
( )

( )

( )
( )
( )

( )

( )

( )

( )

( )
( )
( )

( )
( )

Anda mungkin juga menyukai