Anda di halaman 1dari 7

Selamat Jalan Isteriku, Engkau Layak Atas

Karunia Syahid itu...


Minggu, 13 Januari 2013

17 tahun yang lalu, saat masih aktif menjadi penulis buletin dakwah, aku membaca nama
pelanggan yang memesan buletin tersebut. Hj. Robiatul Adawiyah, pasti wanita yang sudah tua.
Sudah naik haji dan namanya jadul sekali.

Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini, tanyaku kepada Pak Marjani yang bertugas
mengantar buletin. Ndak tahu, nggak pernah ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin
itu untuk dikirim via bis ke Kotabangun.
Wah wanita yang mulia, mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada masyarakat
di hulu sungai Mahakam. Tak lama kemudian setelah kita menikah, Buletin Ad Dakwah
dari Yayasan Al Ishlah Samarinda diantar ke rumah. Ternyata wanita mulia tersebut
adalah engkau istriku, bukan wanita tua seperti yang kukira. Melainkan mahasiswi yang
aktif mengajar di Taman Al Quran.
Istriku, beruntung aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda kaya yang mencoba
mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan kedudukanmu sebagai putri
seorang ulama besar menjadi magnet bagi para pria yang ingin memiliki istri sholehah.
Kamu beralasan belum ingin menikah karena mau konsentrasi kuliah. Padahal alasan
utamanya adalah kamu masih ragu dengan kesholehan mereka. Ketika Ustadzah
Purwinahyu merekomendasikan diriku, tanpa banyak tanya kau langsung menerimaku.
Hanya karena aku aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa peduli berapa
penghasilanku.
Istriku, semua orang mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. Jarang seorang wanita
bercita-cita memiliki delapan anak sepertimu. Melihatmu seperti melihat
wanitaPalestina yang berada di Indonesia. Jika bertemu dengan Ustadz Hadi Mulyadi,
suamimba Erni ustadzahmu, pasti pertanyaan pertama kepadaku adalah, Berapa
sekarang anakmu?. Sering orang bertanya kepadaku, Gimana caranya ngurus anak
sebanyak itu? Mudah, rahasianya adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.
Kehangatanmu membuat anak-anak kita merasa nyaman di dekatmu. Di saat kau lelah
sepulang dari mengisi halaqoh atau talim mereka segera menyambutmu dan
melepaskan kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka membuntuti kemana
kamu pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di sekitarmu, pindah ke ruang tamu,
pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk ke kamar, berbondong-bondong mereka ke
kamar. Sampai ada anak yang selalu memegang-megang bajumu dan kamu
berkomentar, Nih anak kayak prangko aja, nempeeel terus. Jangan salahkan mereka,
akupun memiliki perasaan yang sama dengan mereka.
Kadang jika cintaku meluap aku berkata padamu, Bener nih kamu ndak nyantet aku?
Aku kok bisa tergila-gila begini sama kamu? Kamu tersenyum dan berkata, "cinta Umi

ke

Abi

lebih

besar

dari

cinta

Abi

ke

Umi,

Abi

aja

yang

ndak

tahu.

Rasulullah bersabda, "Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai


anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu
dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat (HR. Ahmad). Sungguh aku merasa telah
mendapatkan segalanya dengan kau di sisiku.
Kepribadianmu yang mudah bergaul menjadikanmu disenangi oleh banyak orang.
Kamal berkata, Umi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba Aisyah, Mas Nashih,
Hamidah, Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Umi. Guru-guru kenal kami karena
kami anak umi. Aku ingat perjuanganmu menggalang beberapa orang tua murid ke
kantor diknas untuk meminta tambahan kelas agar anak kita yang terlalu muda bisa
diterima sekolah. Akhirnya SDN 006 Balikpapan mendapat tambahan kelas dan anak
kita bisa bersekolah di sana. Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan kamu.
Aku terpesona dengan caramu menjalin silaturahim dengan keluarga besarmu. Ketika
kita pindah ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu menelpon menanyakan kapan
liburan ke Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu KH. Fachrudin, seringkali
menelpon, "Kita mau ngadain acara ini, kamu ke Samarinda kah? Syarani, kakakmu
yang sering bepergian ke Jawa, ketika mendarat di Balikpapan pun sering berkata,
"Baru dari Jawa, mau ikut saya sekalian naik mobil ke Samarinda? Keponakan-keponakanmu pun sering bertanya, Acil Robiah kapan ke Samarinda? Jika kita liburan ke
Samarinda, maka kemeriahan meledak begitu mendengar suaramu mengucapkan
salam. Wah, Haji Robiah dari Balikpapan.
Aku kagum dengan semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering
kerinduanmu kepada keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang harus
kamu kerjakan. Sebenarnya akhir pekan ini keluarga besar kumpul. Ada acara
keluarga. Tapi ada halaqoh ini dan majelis talim ini jadi ndak bisa ke Samarinda.
Semoga Allah SWT memasukkanmu ke dalam barisan orang-orang yang berjuang
menegakkan agama ini.
Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau tetap
komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika PKS berdiri,
kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Kulihat kau begitu menikmati
hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang sangat melelahkan.
Kamu juga aktif mengisi kajian Siroh Shahabiyah di Radio IDC FM. Ketika engkau
ingin berhenti karena hamil dan mengajukan ustadzah lain, mba Irna yang mengasuh
acara menolak dan mengatakan sebaiknya cuti saja dan sementara akan diputar ulang
rekaman yang terdahulu. Saya tahu mereka pun telah jatuh cinta kepadamu.
Saat Ustadz Cahyadi mengadakan pelatihan keluarga, beliau meminta para peserta
menulis tentang pasangannya. Aku terkejut ternyata engkau mengenaliku dengan baik.
Engkau tahu makanan yang kusukai dan kubenci, teman-teman yang kuanggap
shahabatku, karakter-karakterku, dan teman-teman Halaqohku. Diam-diam engkau
memperhatikanku. Terimakasih telah memahami diriku.

Pernah kau mengatakan bahwa kau ingin naik haji bersamaku. Aku mengatakan bahwa
kamu sudah naik haji sehingga tidak wajib lagi. Kalau aku punya uang aku akan
mengajak anak kita naik haji bukan kamu. Kamu berkata, Aku akan kumpulkan uang
daganganku agar bisa naik haji bersamamu. Kamu pernah bercerita bahwa saking
nikmatnya berada di Kota Mekah, kamu pernah berusaha tukar kloter dengan orang
lain agar bisa bertahan lebih lama di kota Mekah.
Istriku, aku suka dengan caramu berbakti kepadaku. Ketika ustadz Muhadi mengajakku
mendirikan SDIT Nurul Fikri Balikpapan kau pun mendukungku. Padahal kau tahu
bahwa ini akan kembali mengurangi jatah uang belanja untukmu. Bahkan kau berkata,
"Aku akan alihkan infaq-infaq yang selama ini ke lembaga zakat ke Nurul Fikri. Selama
ini kau memang menyisihkan uang transport dari mengisi majelis-majelis talim untuk
menunjang dakwahmu.
Istriku, aku menikmati sentuhan bibirmu ke pundakku sambil memelukku di saat kita
naik motor berdua. Mungkin itu caramu menunjukkan kesetiaanmu. Aku tersanjung
dengan gayamu menunjukkan cemburumu. Aku merindukan caramu menegurku jika
engkau melihatku lalai dalam urusan agama kita. Aku merasa bahagia saat kau
memujiku. Aku merasa hebat ketika engkau bermanja kepadaku.
Aku salut dengan kecintaanmu terhadap ilmu. Setiap ada talim yang mendatangkan
ustadz yang berkualitas kau berkata, Harus duluan nih biar dapat duduk di depan.
Sayang, karena begitu banyaknya anakmu terkadang kau terhambat untuk berada di
depan. Pernah kau begitu sedih karena tidak dapat menghadiri talim yang diisi DR.
Samiun Jazuli. Terlintas di dalam pikiranku, kelak aku akan membiayaimu untuk
melanjutkan kuliah S2 agar kau bahagia.
Kau juga begitu bersemangat mengikuti tatsqif (Kajian Tsaqofah Islam) yang diadakan
oleh PKS. Ketika ada ujian tatsqif, kau berusaha mengerjakan soal-soal tanpa berusaha
menyontek. Tiba-tiba kau mendengar peserta ujian yang lain di sebelahmu saling
berbisik tentang jawaban soal yang engkau tidak bisa mengerjakannya. Kamu pun
menulis jawaban tersebut. Sepulang ke rumah engkau begitu menyesal dan gelisah.
Engkau merasa berbuat curang karena mengerjakan soal dari mendengar percakapan
orang lain. Gimana nih Mas, aku sudah nyontek? tanyamu. Aku jawab sambil
bercanda, "Telpon dosennya, minta dicoret jawabanmu yang dapat dari hasil
mendengar itu. Ternyata engkau benar-benar menelpon ustadz Fahrur agar
jawabanatas soal tersebut dicoret saja. Itu yang sering kulihat darimu, begitu takut akan
dosa-dosamu. Aku bangga padamu istriku.
Istriku, hal yang sering membuatku bergetar adalah di saat melihat engkau sholat.
Begitu khusyuk dan menjaga adab. Tidak pernah aku melihatmu terburu-buru di dalam
sholat. Aku menikmati melihat caramu menghadap Tuhanmu. Selelah apapun
dirimu kamu selalu berusaha membaca Quran satu juz perhari. Engkau juga
tidak ingin meninggalkan dzikir harianmu. Haru rasanya saat-saat melihatmu tertidur
dengan Quran masih berada di tanganmu.

Sering aku berangan-angan aku akan membahagiakanmu kelak saat anak-anak sudah
besar. Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota wisata. Aku akan membelikanmu
perhiasan walaupun sekedarnya. Karaktermu yang tidak pernah meminta memang
membuatku lalai memperhatikan kebutuhanmu. Bahkan motor pun tidak pernah
kubelikan. Motor butut yang kau pakai adalah motor yang memang telah kau bawa dan
kau miliki sejak masih gadis.
Aku yakin bahwa kebersihan hatimulah yang memancarkan aura persahabatan dari
wajahmu. Banyak yang mengatakan kepadaku, Beliau adalah tempat saya
menyampaikan curhat. Terkadang kau terlambat pulang dari mengisi pengajian, ketika
ku tanya kenapa terlambat, kau menjawab, Kasihan ada yang pingin curhat, jadi
dengerin dia dulu. Semoga Allah segera kasih dia jalan keluar. Saya yakin mereka
curhat kepadamu karena mereka merasakan kebaikanmu.
Kamu sering memujiku, Suami yang pintar. Kulihat, kamulah yang lebih pintar
mengaplikasikan teori ke dalam praktek dunia nyata. Sebenarnya aku banyak belajar
darimu. Kamu pintar sekali memulyakan orang lain. Kamu sering memberikan sesuatu
kepada tetangga-tetangga kita. Terkadang aku malu karena yang kau berikan adalah
hal-hal yang sederhana. Malu ah ngasih ke tetangga segitu. Nggak level buat mereka.
Ternyata sikap perhatianmu kepada tetangga inilah yang membuat mereka
mencintaimu.
Kamu mengatakan kepada pembantu kita, Kumpulkan teman-teman yang lain, nanti
saya yang membimbing bacaan Qurannya. Dengan sabar kamu melatih mereka
membaca Quran. Kau pun membelikan peralatan memasak sebagai hadiah kepada
mereka yang lulus dan melanjutkan bacaan ke jilid berikutnya. Pernah kau melihat
salah seorang diantara mereka sedang berlatih mandiri di rumahnya. Kau berkata,
"Bahagianya aku Bi melihat mereka mau melatih bacaan secara mandiri. Sampai
terucap dari mulut pembantu kita, Bu, saya ini mendapat hidayah dari tangan Ibu
lho.
Terkadang aku lupa untuk memberikan uang belanja, ketika kutanya engkau
menjawab,Aku pakai uang daganganku. Kau kadang membelikanku baju sebagai
hadiah ulang tahunku. Aku memang seorang yang berprinsip minimalis, terkadang jika
ada barang yang menurutmu harus dibeli, aku mengatakan bahwa itu tidak perlu dibeli,
kita dai tidak usah terlalu mengejar kesempurnaan. Seperti biasa kau pun mengalah
dan berkata, "Ya sudah pake uang aku aja.
Ketika engkau mengalami pendarahan saat melahirkan anak kita yang ke delapan,
engkau mengalami step. Sungguh hancur hatiku melihatmu menderita. Ketika dokter
mengatakan butuh tiga kantung darah, aku segera keluar berlari menuju PMI tanpa
sempat mengambil alas kaki. Aku sangat takut kehilangmu. Ketika diberitahu bahwa
putra kita telah meninggal, aku sudah tidak peduli lagi, Tolong selamatkan istri saya
dok. Setelah dioperasi kau sempat tersadar, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa
putra kita telah meninggal. Aku tidak ingin kau tahu bahwa kandungan yang sangat kau
cintai dan sering kau elus-elus dengan penuh cinta telah mendahuluimu.

Dokter mengatakan bahwa kondisi sangat kritis, biasanya kondisi ini berakhir dengan
kematian. Dengan kesedihan yang terus mengelayuti aku berkata, Umi tidak usah
ngomong apa-apa, semua abi yang urus, Umi nyebut Allah saja. Aku berharap
seandainya Allah memanggilmu, maka ucapan terakhirmu adalah Allah. Walau tidak
ada suara yang kudengar, kulihat mulutmu menyebut nama Allah dua kali. Saat itu aku
bernazar, aku pun bertawashul dengan segala amalku agar Allah memberikan
kesempatan agar engkau masih bisa bersamaku. Dan ternyata anak-anak kita bercerita
bahwa saat itu di rumah mereka juga bernazar agar ibu mereka selamat.
Dengan sisa harapan yang tersisa di hatiku, aku berusaha membangkitkan semangatmu,
Cepat sembuh, anak-anak kita menunggumu di rumah. Engkau mengangguk-angguk.
Ternyata Allah SWT sangat mencintaimu. Allah SWT ingin memberimu karunia syahid.
Kematianmu karena melahirkan putra kita menunjukkan bahwa Allah ingin
memberikan yang terbaik untukmu. Sebagaimana Rasulullah mengatakan bahwa
wanita yang mati karena melahirkan termasuk orang-orang yang mati syahid.
Seorang shahabatmu, Ustadzah Mahmudah, menelponku, "Mba Robi itu kalau saya
perhatikan sangat khusyuk kalau memimpin doa atau mengaminkan doa. Kalau berdoa,
saat kalimat wa amitha 'ala syahaadati fii sabiilik (matikanlah jiwa kami dalam syahid
di jalan-Mu) sering saya lihat mba Robi meneteskan air mata. Ternyata kita memang
tidak boleh meremehkan kekuatan doa.
Pak Emil tetangga kita berkata, Saya tidak pernah berinteraksi dengan almarhumah.
Hanya istri saya yang bergaul dengannya. Tapi kepergiannya membuat saya merasa
kehilangan sampai dua hari. Mungkin dia shock karena melihat istrinya terguncang.
Ustadzah Sujarwati berkata, "Saya mengisi pengajian dekat SMPN 10, mereka bercerita
bahwa almarhumah ustadzah Robiah yang merintis majelis talim ini. Mereka semua
kemudian menangis karena teringat istri sampeyan. Banyak yang terkejut dengan
kepergianmu. Ada yang baru mendengar kematianmu, datang ke rumah untuk
kemudian menangis karena kehilanganmu.
Hari kematianmu menjadi saksi atas kesholihanmu. Begitu banyak yang datang untuk
memberikan penghormatan kepadamu. Ustadz Muslim mengatakan, "Sahabat-sahabatnya dari pesantren Al Amin, Madura sudah siap-siap mau beli tiket untuk ke
Balikpapan, tapi mendengar jenazah akan di bawa ke Samarinda mereka tidak jadi
datang. Beberapa ustadz datang dari Samarinda. Bahkan Ustadz Masykur Sarmian,
Ketua DPW PKS Kaltim pun datang dari Samarinda dan menjadi imam yang
mensholatimu. Aku pun melihat ustadz Cahyadi Takariawan, penulis buku dari Yogya,
hadir di masjid itu. Mungkin Allah sengaja mengutus orang-orang sholih tersebut untuk
mensholatimu dan menyempurnakan pahalamu. Motor-motor memenuhi jalan masuk
ke komplek kita. Seseorang dengan heran mengatakan bahwa kemarin kepala kantor
meninggal di komplek ini yang datang nggak sebanyak ini. Ini cuma ibu rumah tangga
kok banyak banget yang datang.
Sesudah disholatkan di masjid Balikpapan, engkaupun dibawa ke Samarinda. Sampai di
masjid Ar Raudhah, Aku melihat KH. Mushlihuddin, LC Koordinator Qiroati untuk

Kalimantan hadir di sana. Kamu sering berkata bahwa kamu sudah menganggap beliau,
guru mu membaca Quran, seperti ayah sendiri. Kecintaanmu kepada Quran membuat
kamu mencintai beliau yang selalu komitmen berjuang menegakkan Al Quran di muka
bumi. Sering kamu mengatakan bahwa kamu kangen dengan gurumu, ustadz Mushlih.
Segera aku meminta beliau untuk menjadi imam sholat jenazah untukmu.
Kakakmu, Ibu Mursyidah berkata, Kepergiannya persis seperti ayahnya, KH. Abdul
Wahab Syahrani. Disholatkan dari masjid ke masjid. Sebelum meninggal beliau
berwashiat untuk dikuburkan di Kotabangun. Karena washiat itu beliau disholatkan di
tiga masjid di tiga kota oleh murid-murid beliau. Pertama disholatkan di Islamic Centre
Samarinda, kemudian disambut oleh Bupati Kutai Kartanegara (Beliau adalah Ketua
Majelis Ulama Indonesia Kab. Kukar) dan disholatkan di masjid agung Tenggarong,
kemudian disholatkan kembali oleh murid-murid beliau di masjid Kotabangun.
Dengan lelehan airmata aku ikut memandikanmu, mengangkatmu, memasukanmu ke
liang lahat. Seseorang berkata, "Antum duduk saja biar yang lain saja. Tidak, Aku tidak
mau
kehilangan
kesempatan
ini.
Aku
sudah
kehilangan
kesempatan
membahagiakanmu di dunia. Aku sudah kehilangan kesempatan membalas dengan baik
pelayananmu kepadaku. Biarlah hari ini aku melayanimu walaupun sekedar mengurus
jasadmu.
Terimakasih istriku, selama hidupmu kau selalu berusaha tidak merepotkanku. Ketika
aku ke bengkel untuk menambal ban, aku mengabarkan kematianmu dan memohon
doa untukmu. Tukang tambal ban, mendoakannya dan berkata, "Istri sampeyan sering
ke sini sendiri, menuntun sepeda motor untuk menambal ban, atau kadang ganti ban
motor. Sekuat tenaga ku tahan airmataku. Aku tahu sebenarnya itu adalah tugasku.
Kubayangkan adakah wanita lain yang mau menuntun motor ke bengkel untuk
menambal ban karena tidak ingin merepotkan suaminya.
Mungkin kamu saat ini telah tersenyum bahagia bercanda bersama Abdullah, putra kita.
Mungkin kamu sudah bertemu dengan ayah ibumu yang sangat kamu cintai. Walaupun
aku betul-betul kehilanganmu, aku tahu bahwa karunia syahid yang Allah SWT berikan
kepadamu adalah yang terbaik untukmu.
Istriku, aku menulis ini untuk menumpahkan rindu yang bergejolak di hatiku. Aku juga
berharap agar orang yang membacanya mau meringankan lidahnya untuk
mendoakanmu. Aku berharap tulisan ini dapat membalas jasamu kepadaku. Sungguh
betapa lambatnya hari-hari berlalu tanpamu. Ingin rasanya aku segera masuk ke surga
agar dapat bertemu kembali denganmu. Selamat jalan Khadijahku.....

Balikpapan, hari ke sembilan belas tanpamu di sisiku


Yang bersyukur mendapatkanmu
Suamimu,
Abu Muhammad

Anda mungkin juga menyukai