Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit kronik pada anak dan
dewasa. Diabetes mellitus adalah sindrom homeostasis gangguan energi yang
disebabkan oleh defisiensi insulin atau oleh defek kerjanya dan mengakibatkan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak tidak normal. Kelainan ini
merupakan gangguan metabolik endokrin masa anak dan remaja yang paling
lazim dengan konsekuensi penting pada perkembangan fisik dan emosi.1
Kurang lebih 151.000 penderita diabetes berusia < 20 tahun. Ketika
diabetes terjadi pada usia anak-anak, jenis diabetes tersebut adalah diabetes tipe 1
atau diabetes mellitus juvenil. Studi di Eropa juga menunjukkan adanya
peningkatan frekuensi diabetes tipe 1 terutama pada anak-anak. Namun pada dua
dekade terakhir, terjadi peningkatan frekuensi diabetes melitus tipe 2 pada anak
dan dewasa. Menurut Centers for Disease Control (CDC), anak-anak di Amerika
yang lahir pada tahun 2000 akan mengalami peningkatan risiko menderita
diabetes tipe 2, sebelumnya disebut diabetes dewasa.2
Morbiditas dan mortalitas yang berasal dari gangguan metabolik dan dari
komplikasi jangka panjang yang mempengauhi pembuluh darah kecil maupun
besar serta menyebabkan retinopati, nefropati, penyakit jantung iskemik, dan
obstruksi arteri dengan ulkus diabetik. Manifestasi klinis akut dapat sepenuhnya

dimengerti dalam lingkup ilmu pengetahuan sekarang ini mengenai sekresi dan
kerja insulin; perkembangan genetik dan etiologi lain yang mengarah pada
mekanisme autoimun sebagai faktor pada kejadian diabetes tipe 1 dan faktor
keturunan penderita DM tipe 2 serta obesitas yang menjadi faktor pada diabetes
tipe 2. pertimbangan-pertimbangan ini membentuk dasar pendekatan terapeutis
terhadap penyakit ini.1

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Referat ini diajukan sebagai syarat mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diabetes mellitus terutama
pada anak

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia kronik akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein. Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) terjadi akibat
kerudakan sel -pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin secara absolut yang
dapat disebabkan oleh adanya proses autoimun meupun penyebab lain yang
belum diketahui (idiopatik). Diabetes melitus tipe 2 banyak disebabkan faktor
aktivitas, nutrisi, dan keturunan yang menyebabkan adanya resistensi insulin
disertai defsiensi insulin relatif.3

B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi DM tipe 1 maupun tipe 2 bervariasi baik antar negara maupun
dalam suatu negara. Dari data epidemiologis puncak usia terjadinya DM pada
anak adalah usia 5-7 tahun dan pada saat menjelang remaja. Insiden penderita
diabetes mellitus tipe 1 pada anak meningkat secara signifikan di Negara Barat.
Survey di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi diabetes pada anak umur
sekolah adalah sekitar 1,9 dalam 1.000. namun frekuensinya sangat berkorelasi

dengan meningkatnya usia. Data yang ada menunjukkan kisaran 1 dalam 1.430
pada anak usia 5 tahun sampai 1 dalam 360 pada anak usia 16 tahun.1
Dahulu DM tipe 2 lebih sering terjadi pada pasien berusia di atas 40 tahun
dan sampai tahun 1990 lebih dari 95% anak yang menderita DM adalah DM tipe
1. Namun dengan meningkatnya insidensi obesitas di Negara barat dan onsetnya
yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi diabetes tipe 2 pada
orang dewasa muda dan anak-anak. Saat ini 10-50% penderita DM pada anakanak adalah DM tipe 2.4

C. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI5


1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel, biasanya akibat defisiensi insulin absolut)
a. Diperantarai imun
b. Idiopatik
2. Diabetes tipe 2 (bervariasi dari dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif atau dominan defek sekretori dengan resistensi insulin)
3. Tipe spesifik yang lain
a. Defek genetik fungsi sel
1) Kromosom 12, HNF-1 (MODY3)
2) Kromosom 7, glukokinase (MODY2)
3) Kromosom 20, HNF-4 (MODY1)
4) Kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY4)
5) Kromosom 17, HNF-1 (MODY5)
6) Kromosom 2, NeuroD1 (MODY6)

7) Mitochondrial DNA
8) Lain-lain
b. Defek genetik kerja insulin
1) Resistensi insulin tipe A
2) Leprechaunism
3) Rabson-Mendenhall syndrome
4) Lipoatrofi diabetes
5) Lain-lain
c. Penyakit eksokrin pankreas
1) Pankreatitis
2) Trauma/pankreatektomi
3) Neoplasia
4) Fibrosis kistik
5) Hemokromatosis
6) Fibrokalkulosa pankreatopati
7) Lain-lain
d. Endokrinopati
1) Akromegali
2) Cushings syndrome
3) Glukagonoma
4) Feokromositoma
5) Hipertiroidisme
6) Somatostatinoma

7) Aldosteronoma
8) Lainnya
e. Induksi obat atau kimia
1) Vacor
2) Pentamidin
3) Asam nikotinat
4) Glukokortikoid
5) Hormon tiroid
6) Diazoxide
7) adrenergic agonists
8) Thiazides
9) Dilantin
10) Interferon
11) Lainnya
f. Infeksi
1) Rubella kongenital
2) Cytomegalovirus
3) Lainnya
g. Bentuk tidak lazim dari diabetes yang diperantarai imun
1) Stiff-man syndrome
2) Anti-insulin receptor antibodies
3) Lainnya
h. Sindrom genetik lain yang kadang berhubungan dengan diabetes

1) Down syndrome
2) Klinefelter syndrome
3) Turner syndrome
4) Wolfram syndrome
5) Friedreich ataxia
6) Huntington chorea
7) Laurence-Moon-Biedl syndrome
8) Myotonic dystrophy
9) Porphyria
10) Prader-Willi syndrome
11) Lainnya
4. Diabetes mellitus gestasional

D. SEKRESI DAN KERJA INSULIN


Gen pengkode insulin terletak di lengan pendek kromosom 11. Insulin
disekresi oleh sel pulau Langerhans. Insulin merupakan protein yang terdiri dari
dua rantai yaitu rantai A (21 asam amino) dan rantai B (30 asam amino) dan
terhubung oleh 2 jembatan disulfida.6
Insulin merupakan hasil pembelahan proinsulin yang merupakan turunan
dari prekursor yang lebih besar yaitu prepoinsulin yang disintesis di reticulum
endoplasma kasar. Proinsulin merupakan rantai kontinu yang berawal dari ujung
terminal N rantai B dan berakhir di ujung terminal C rantai A. peptide

penghubung (peptide C) berinterposisi di antara ujung terminal C rantai B dan


ujung terminal N rantai A. pada apparatus golgi dan granula penyimpanan, suatu
enzim pengkonversi membelah proinsulin menjadi insulin.6
Sintesis dan sekresi insulin distimulasi oleh glukosa yang menstimulasi
ambilan kalsium (Ca2+) ekstraseluler pada sel B. Kation ini memicu mekanisme
kontraktil di mana mikrotubulus berperan dalam pergerakan granula yang
mengandung insulin menuju membran sel, di mana granula berfusi dan isi granula
dilepaskan ke ruang ektraseluler melalui eksositosis. Glukagon yang disintesis
oleh sel pancreas menstimulasi pelepasan insulin melaui efek langsung pada sel
. Pelepasan insulin juga dipengaruhi sistem saraf dan neurotransmitter.6
Insulin bersirkulasi sebagai monomer dan tidak terikat pada protein
plasma. Insulin difiltrasi oleh glomerulus namun hampir seluruhnya direabsorbsi
pada tubulus proksimal dan didegradasi oleh ginjal. Hati membuang separuh
insulin portal hepatik yang melewatinya.7

Gambar 2.1 Mekanisme sekresi insulin. Dikutip dari Ben Greenstein dan
Diana FW. At a Glance Sistem Endokrin. 2007

Reseptor insulin terdapat beberapa subunit yaitu dua subunit alfa dan dua
subunit beta yang saling berikatan kovalen melalui jembatan disulfide. Ketika
insulin berikatan dengan lokasi reseptor subunit alfa, interaksi ini ditransmisikan
ke domain intraseluler pada subunit beta. Subunit ini akan melakukan
autofosforilasi yang akan mengaktifkan protein kinasenya sendiri, menghasilkan
kaskade reaksi fosforilasi dan defosforilasi intraseluler untuk mengekspresikan
kerja insulin.6
Kaitan antara resepror insulin dengan kaskade fosforilasi lainnya dapat
berupa suatu famili protein yang disebut substrat reseptor insulin (insulin resptor
substrate, IRS). Dua protein IRS yaitu IRS-1 dan IRS-2 bersifat esensial untuk
ekspresi

kerja

insulin

yang

komplet.

Autofosforilasi

reseptor

insulin

menyebabkan fosforilasi tirosin pada protein IRS sehingga mampu berikatan


dengan kelompok protein sinyal sehingga menimbulkan efek insulin pada
transport glukosa, sintesis glikogen, sintesis protein, dan mitogenesis. Glukosa
diambil oleh transporter glukosa melalui proses difusi terfasilitasi.8

Gambar 2.2 Mekanisme kerja insulin. Dikutip dari Fauci AS, Kasper DL,
Braunvald EH, Longe DL, In Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th
Edition
Setelah

reseptor

mengikat

insulin,

kompleks

hormone

reseptor

meninggalkan membran melalui proses endositosis dan masuk ke dalam sel.


Setelah berikatan dengan reseptor, kompleks tersebut terselubungi dalam suatu
celah berlapis yang dibentuk melalui invaginasi dan fusi permukaan. Begitu
berada di dalam sel, celah tersebut menjadi tidak terlapisi dan membentuk suatu
endosom,. Endosom melepaskan reseptor dan insulin kemudian didaur ulang ke
membran dan insulin didegradasi. Proses internalisasi reseptor dapat merupakan
suatu regulasi efek insulin dengan membatasi jumlah reseptor yang dapat
berikatan dengan hormon. Proses ini merupakan mekanisme down regulation
reseptor insulin.8
Setelah makan, insulin memindahkan glukosa dari sirkulasi dan memacu
konversinya menjadi glikogen dan lipid. Insulin memacu konversi asam lemak
menjadi lipid, serta ambilan asam amino ke dalam hati dan otot skelet tempat

10

keduanya dikembangkan menjadi protein. Oleh karena itu insulin merupakan


suatu hormon anabolik.8

E. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


1. Diabetes Melitus Tipe 1
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM
tipe 1 walaupun 80% penderita DM tipe 1 tidak mempunyai riwayat keluarga
dengan penyakit serupa. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu,
tetapi sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor
kerentanan. Kerentanan yang meningkat terhadap sejumlah penyakit telah
dikaitkan dengan satu atau lebih antigen HLA yang dikenali. Pewarisan
antigen HLA halotipe DR-3 arau DR-4 menyebabkan peningkatan risiko dua
atau tiga kali terhadap perkembangan DM tipe 1. Bila DR3 maupun DR4
diwariskan, risiko relatif untuk perkembangan diabetes meningkat 7-10 kali
lipat.9
Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin, dll)
diperlukan untuk menimbulkan gejala-gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang
yang rentan. Proses ini akan berlangsung dalam beberapa bulan sampai tahun
sebelum manifestasi klinisnya timbul. Infeksi enterovirus berhubungan
berhubungan dengan timbulnya autoantibodi pada populasi dan enterovirus
telah ditemukan di dalam sel islet anak diabetes. Awalnya kerusakan sel
pankreas dispicu melalui mekanisme makrofag yang teraktivasi, limfosit T

11

sitotoksik dan supresor, dan limfosit B yang menimbulkan insulitis destrukstif


yang sangat selektif terhadap populasi sel . Sekitar 70-90% sel hancur
sebelum timbul gejala klinis. 85-90% anak dengan hiperglikemia puasa akan
ditemukan petanda autoantibodi terhadap sel beta pankreas seperti sel islet,
GAD (Glutamic Acid Decarboxylase), IA-2, IA-2B, atau autoantibodi
insulin.9

Susceptibilit
y
Environment

Genetic
Imunological
Priming

Autoimune
Disease
Islet Cell
Destruction
Insulin Deficiency
Cilinical
Diabetes
Gambar 2.3 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 1. dikutip dari William HL.
Pediatric Type 1 Diabetes Mellitus. Available at:http//emedicine.medscape.com
Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan
mempercepat proses katabolisme. Insulopenia menyebabkan penggunaan
glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan hiperglikemia

12

postprandial. Bila insulin makin menurun maka tubuh akan berusaha


memproduksi

lebih

banyak

glukosa

melalui

glikogenolisis

dan

glukoneogenesis. Akan tetapi karena kadar glukosa dalam darah tidak dapat
masuk ke dalam sel maka hepar akan berusaha lebih keras lagi, sebagai
aibatnya adalah timbulnya hiperglikemia puasa, menimbulkan diuresis
osmotik disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah terlampaui (180 mg/dl).
Akibatnya tubuh kehilangan kalori, elektrolit, dan cairan, terjadi rehidrasi
yang selanjutnya menimbulkan stres fisiologis dengan hipersekresi hormon
stres dan maikn menurunnya kadar insulin yang menyebabkan peningkatan
glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, dan ketogenesis serta ketoasidosis
diabetik.8
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel pancreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas,
amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak
dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel
hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas
mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan
homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir

13

untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan


penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun
dikompensasi

dengan

hiperinsulinemia;

disamping

itu

juga

terjadi

peningkatan asam lemak bebas dalam darah.10


Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin
relatif

(walaupun

telah

dikompensasi

dengan

hiperinsulinemia)

mengakibatkan sel pankreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan


metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi
Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada
DM tipe 2 ada peran sel pankreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon
berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa.10
Diabetes tipe 2 merupakan keadaan yang ditandai oleh resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif. Hal tersebut akibat adanya
hiperinsulinemia yang berkepanjangan hingga menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin. Faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya respon
jaringan terhadap insulin yaitu:8
1.

Inhibitor prareseptor: antibodi terhadap insulin

2.

Inhibitor
hiperinsulinisme,

reseptor:

down

hiperinsulinisme

regulation
primer

reseptor

(adenoma

sel

akibat
alfa),

hiperinsulinisme sekunder terhadap defek pasca reseptor (obesitas,


sindrom Cushing, akromegali, kehamilan), dan hiperglikemia yang lama
(diabetes melitus dan pasca uji toleransi glukosa)

14

3.

Kelainan pasca reseptor: respon yang jelek terhadap organ sasaran


akibat obesitas, penyakit hepatik, dan inaktivitas otot.

4.

Kelebihan

hormon:

glukokortikoid,

hormon

pertumbuhan,

kontrasepsi oral, progesteron, katekolamin, tirosin.

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala klasik DM meliputi poliuri, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan. Untuk mendiagnosis DM tipe 1 dari anamnesis sering dijumpai
anak sering ngompol (poliuria), anak sering menangis minta makan atau
minum lebih banyak (polidipsi dan polifagi), adanya penurunan berat badan,
badan yang lemah, daya tahan tubuh menurun, sehingga dari anamnesis
diketahui anak mudah terinfeksi beberapa jenis penyakit seperti penyakit
kulit, dan infeksi saluran kemih. Pada anamnesis juga ditanyakan riwayat
diabetes melitus dalam keluarga.3,5
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada diabetes melitus biasanya tidak ditemukan
tanda-tanda yang spesifik dari DM. Jika terdapat tanda-tanda spesifik maka
hal tersebut terjadi akibat komplikasi yang telah terjadi.5
3. Pemeriksaan Penunjang3,5,7
a. Kadar glukosa darah sewaktu: 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Pada penderita
asimtomatis ditentukan kadar gula darah puasa lebih tinggi dari normal
dan uji toleransi glukosa terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

15

b. Kadar gula darah puasa 126 mg/dl (yang dimaksud puasa adalah tidak
ada asupan kalori selama 8 jam)
c. Kadar gula darah 2 jam pasca toleransi glukosa 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
d. Kadar C-peptida: untuk melihat fungsi sel residu yaitu sel yang masih
memproduksi insulin dan dapat digunakan apabila sulit membedakan
diabetes tipe 1 dan 2.
e. Pemeriksaan HbA1c dilakuka rutin tiap 3 bulan. Pemeriksaan kadar
HbA1c berguna untuk mengukur kadar gula darah selama 120 hari yang
lalu (sesuai usia eritrosit), menilai perubahan terapi 8-12 minggu
sebelumnya, dan menilai pengendalian penyakit DM dengan tujuan
mencegah terjadinya komplikasi diabetes
f. Glukosuria tidak spesifik untuk DM dan perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan glukosa darah
g. Penanda autoantibodi: hanya sekitar 70-80% dari penderita DM tipe 1
memberikan hasil pemeriksaan autoantibodi (ICA, IAA) yang positif,
sehingga pemeriksaan ini bukan merupakan syarat mutlak diagnosis.

16

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis DM menurut WHO3


Kriteria
Darah vena

Kadar Glukosa (mg/dl)


Kapiler

Plasma

>100

>110

>126

>180

>200

>200

<110

<110

<126

>120 dan <180

>140 dan <200

>140 dan <200

>100dan <110

>100 dan <110

>110 dan <126

<120

<140

<140

Diabetes melitus:
Puasa
Atau
2 jam PP
atau keduanya
Impaired glucose
tolerance (IGT):
Puasa (jika diukur)
dan
2 jam PP
Impaired Fasting
Glycaemia (IFG):
Puasa
dan
2 jam PP
(jika diukur)

Ket: Puasa: tidak ada asupan kalori selama 8 jam


2 jam PP: 2 jam setelah pemberian larutan glukosa 75 gr atau 1,75 g/kgBB
dosis maksimum 75 gr

17

Obesitas
Ya

Tidak

Kadar CPeptide / insulin


Puasa

autoantibodi

Tidak
Tinggi

Ya

Rendah

DM Tipe 2

Kadar C-peptide/
insulin puasa

Autoantibodi

Ya

DM tipe 1

Tidak

Rendah

DM tipe 2 atau MODY

DM
tipe 1

Tinggi

DM tipe 2

Gambar 2.4 Algoritma Diagnosis DM pada anak3

G. PENATALAKSANAAN
Hal yang harus dipahami adalah bahwa DM tidak dapat disembuhkan
tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin dengan
mengusahakan kontrol metabolik yang baik. Kontrol metabolik yang baik adalah
mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau mendekati
nilai normal tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun dianggap masih ada
kelemahan, parameter HbA1c merupakan parameter kontrol metabolik standar

18

pada DM. Nilai HbA1c <7% berarti kontrol metabolik baik, HbA1c<8% cukup
dan HbA1c >8% dianggap buruk. Pilar utama penataksanaan DM adalah edukasi,
terapi gizi medis, latihan jasmani atau olahraga dan intervensi farmakologis.3,7
Bagi penderita DM tipe 1, insulin merupakan elemen utama kelangsungan
hidup berbeda dengan penderita DM tipe 2. menurut ADA (2005), prinsip terapi
penderita DM tipe 2 adalah:12,13
- Mencapai dan mempertahankan kadar mendekati normoglikemia (A1C <7%).
- Terapi dimulai dengan intervensi pola hidup dan metformin
- Bila target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan maka
ditambahkan obat-obat baru dan diubah jadi regimen baru.
- Pada pasien yang tidak mencapai target glikemik maka diberikan terapi
insulin secara lebih dini.
1. Insulin
Awita, puncak kerja, dan lama kerja insulin merupakan faktor yang
menentukan dalam pengobatan penderita DM. Respon klinis terhadap insulin
tergantung pada faktor:14
- Umur individu
- Tebal jaringan lemak
- Status pubertas
- Dosis insulin
- Tempat injeksi
- Latihan (exercise)

19

- Kepekatan, jenis, dan campuran insulin


- Suhu ruangan dan suhu tubuh
Berikut ini digambarkan jenis sediaan insulin dan profil kerjanya
Jenis insulin

0,15-0,35

Puncak kerja
(jam)
1-3

Lama kerja
(jam)
3-5

0,5-1

2-4

5-8

Kerja menengah
Semilente
NPH
IZS lente type

1-2
2-4
3-4

4-10
4-12
6-15

8-16
12-24
18-24

Insulin basal
Glargine
Detemir

2-4
1-2

Tidak ada
6-12

24
20-24

Kerja panjang
Ultralente type

4-8

12-24

20-30

Insulin campuran
Cepat menengah
Pendek menengah

0,5
0,5

1-12
1-12

16-24
16-24

Kerja cepat (rapid


acting) (aspart,
glulisine, dan lispro)
Kerja pendek
(regular/soluble)

Awitan (jam)

Tabel 2.2 Jenis sediaan insulin dan profil farmakokinetiknya 14

20

Gambar 2.5 Profil farmakokinetik insulin.Dikutip dari Hirsch IB, N England J


Med 2005; 352: 174-183
Para ahli sepakat bahwa jenis kerja panjang kurang sesuai digunakan
pada anak, kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan
harus sesuai dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek
sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan finansial), sosiokultural (sikap
muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat.3
Dalam pemberian insulin penting dikenali adanya efek adanya
kompensasi terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya akibat pemberian
insulin yang berlebihan pada malam hari (jam 02.00-03.00) dan sebaliknya
yaitu efek akibat kerja hormon-hormon kontra insulin pada malam hari. Efek
kompensasi terhadap hipoglikemia sebelumnya memerlukan penambahan
makanan kecil sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin malam hari dan
sebaliknya efek hormon kontra insulin memerlukan penambahan dosis insulin
malam hari untuk menghindari hiperglikemia pagi hari.3
Pedoman dosis insulin yaitu:14

21

- Selama periode honeymoon total dosis insulin harian <0,5 U/kgBB/hari


- Anak sebelum pubertas (di luar periode honeymoon) dalam kisaran dosis
0,7-1,0 U/kgBB/hari
- Selama pubertas kebutuhan akan meningkat di atas 1 U samapai 2
U/kgBB/hari.
Distribusi dosis insulin pada anak dengan dua kali regimen suntikan,
pada pagi hari diberikan lebih banyak (2/3) dari total dosis harian dan dosis
lebih sedikit (1/3) pada sore hari. Pada regimen ini kandungan insulinnya
terdiri dari 1/3 dosis insulin kerja pendek dan kurang lebih 2/3 insulin kerja
menengah.14
Pada regimen basal bolus insulin kerja menengah sebagai sebagai
insulin basal diberikan malam hari sebesar 30% (jika bolus menggunakan
insulin kerja pendek) dan 50% (jika bolus menggunakan insulin kerja cepat)
dari dosis total harian. Kebutuhan insulin bolus kurang lebih 50% (jika
menggunakan insulin kerja cepat) sampai 70% (jika menggunakan insulin
kerja pendek) yang diberikan secara terbagi antara 3-4 kali.14
Periode honeymoon berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu atau bulan setelah terapi insulin. Kriteria periode honeymoon bila
kebutuhan insulin <0,5 U/kgBB/hari dengan HbA1c <7%.7
a.

Insulin kerja cepat (rapid acting)7,14


Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam
bentuk dimmer dan heksamer yang akan memperlambat absorbsi dan lama

22

awitan kerjanya. Insulin Lispro, Aspart, dan Glulisine tidak membentuk


agregat dimmer maupun heksamer sehingga dapat dipergunakan sebagai
insulin kerja cepat. Ketiganya merupakan analog insulin kerja pendek
(regular) yang dibuat secara biosintetik.
Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih, mempunyai
awitan kerja yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit dan lama
kerja berkisar 3-5 jam. Potensi dan efek hipoglikemia sama dengan insulin
regular. Dengan sifat tersebut maka insulin kerja cepat direkomendasikan
untuk digunakan pada jam makan atau penatalaksanaan insulin saat sakit.
Insulin jenis ini dapat diberikan dalam regimen 2 kali sehari atau regimen
basal bolus.
Anak-anak dan orang muda dengan diabetes tipe 1 menggunakan
beberapa regimen insulin setiap hari harus diberi tahu bahwa injeksi
analog insulin kerja cepat sebelum makan mengurangi tingkat glukosa
darah

postprandial

dan

dengan

demikian

membantu

untuk

mengoptimalkan kontrol glukosa darah.


Anak-anak prasekolah dengan DM tipe 1 mungkin saja cocok
dengan menggunakan analog insulin kerja cepat setelah makan karena
asupan makanan yang tidak bisa diprediksi.
b.

Insulin kerja pendek (short acting)7,14


Insulin ini biasanya digunakan untuk mengatasi kedaan akut
seperti ketoasidosis, penderita baru dan tindakan bedah. Insulin jenis ini
kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit)

23

sebelum makan atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada 2


regimen 2 kali sehari.
DM tipe 1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin
jenis ini untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola
makan yang seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada
usia balita menuntut pemakaian insulin kerja pendek atau digabung
dengan insulin kerja menengah. Insulin kerja pendek pilihan terbaik untuk
intravena dan KAD dan prosedur operasi. Insulin kerja cepat juga dapat
digunakan sebagai terapi intra vena tetapi efeknya tidak lebih baik
dibandingkan insulin kerja pendek dan harganya lebih mahal.
c.

Insulin kerja menengah (intermediate acting)14


Sesuai dengan lama kerjanya insulin ini digunakan dalam regimen
dua kali dan sebelum tidur pada regimen basal bolus. Jenis insulin ini
lebih sering digunakan untuk penderita yang telah mempunyai pola hidup
yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama untuk
menghindari terjadinya episode hipoglikemia.

d.

Insulin kerja panjang (long acting)14


Insulin kerja panjang mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam
sehingga dapat digunakan dalam regimen basal bolus. Profil kerja pada
penderita diabetes anak sangat bervariasi dengan efek akumulasi dosis.

e.

Insulin kerja campuran14


Di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin yang mempunyai
pola kerja bifasik. Terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan

24

menengah atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh
pabrik. Sediaan insulin campuran kerja pendek atau kerja cepat dengan
insulin kerja menengah tersedia dalam beberapa rasio perbandingan antara
lain 10:90, 15:85, 20:80, 25:75, 30:70, 40:60, 50:50. sediaan yang ada di
Indonesia adalah dengan kombinasi 30:70 artinya terdiri dari 30% insulin
kerja cepat atau pendek dan 70% insulin kerja menengah.
Sediaan insulin kerja campuran bermanfaat pada keadaan-keadaan
sebagai berikut:
- Penderita diabetes usia muda dengan pendidikan orang tua yang
rendah
- Penderita dengan problem psikososial pada individu maupun
keluarganya
- Pada remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin
campuran yang rumit
- Pada penderita dengan penggunaan insulin dengan rasio yang stabil
f.

Insulin basal analog14


Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang
mempunyai kerja panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini
sudah tersedia insulin glargine dan detemir yang keduanya mempunyai
profil kerja yang lebih terduga dengan variasi harian yang lebih stabil
dibandingkan insulin NPH. Insulin ini tidak direkomendasikan untuk anak
usia <6 tahun tetapi tercatat insulin glargine dapat diberikan pada anak

25

usia 1-5 tahun. Insulin glargine dan detemir dapat dicampur dengan
insulin jenis lainnya.
2. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 yaitu:15
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Dari segi efikasinya,
sulfonilurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~
1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa
berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang
berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar
dengan

chlorpropamide

dan

glibenklamid

dibandingkan

dengan

sulfonilurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan


penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam
memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis
maksimal, dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari.
Obat golongan sulfonilurea merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.15

26

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan


sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Glinid menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini
memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada
sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
Golongan glinid dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan
berat badan pada glinid menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko
hipoglikemia nya lebih kecil.7
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.3

27

c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)


Efek utama metformin adalah menurunkan hepatic glucose
output dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya
metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang
paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi
metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat
digunakan

secara

aman

tanpa

menyebabkan

hipoglikemia

pada

prediabetes. Efek non glikemik yang penting dari metformin adalah tidak
menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan
berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk
pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktat;
komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal.3
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan
polisakarida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi
berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial
dihambat.

Monoterapi

dengan

penghambat

-glukosidase

tidak

mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan


sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun
sebesar 0,5 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan
meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian

28

klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek


samping tersebut.15

Gambar 2.6 Mekanisme kerja obat hipoglikemik oral15

Algoritme pengelolaan Diabetes Mellitus tipe 2 menurut ADA (2005)15


Algoritme dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi
individual, sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan
mempertahankan A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin bila
target glikekemik tidak tercapai.
Tier 1 : well validated core therapy
Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta
merupakan strategi terapi yang cost-effective untuk mencapai target
glikemik. Algoritme tier 1 ini merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes
tipe 2.

29

Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin.


Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka
panjang bila berat badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat
tercapai dan dipertahankan serta cost effectiveness bila berhasil, maka
konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan
sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru.
Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil
lipid, dan menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan
berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2.,
bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun
berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik
tetap berperan sebagai pendukung pengobatan.
Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal
mencapai atau mempertahankan target metabolik karena kegagaalan
menurunkan berat badan atau berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini
yang progresif atau kombinasi faktor- faktor tersebut. Oleh sebab itu pada
konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan
dengan

intervensi

pola

hidup

pada

saat

diagnosis.

Metformin

direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal, pada keadaan tidak ada


kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa
penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping
yang sedikit, dapat diterima oleh pasien dan harga yang relatif murah.

30

Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan


bila terdapat hiperglikemia simtomatik persisten.
Langkah kedua : menambah obat kedua
Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang
dapat ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan
sebaiknya ditambah obat lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau
setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap
metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka perlu diberikan
obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonilurea.
Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien dengan
A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin;
dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi
banyak juga pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap
obat oral.
Langkah ketiga : penyesuaian lebih lajut
Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin
basal tidak menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah
mengintesifkan terapi insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa
berupa suntikan short acting atau rapid acting yang diberikan sebelum
makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka sekretagog insulin harus
dihentikan.

31

Tier 2 : less well-validated therapies


Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini
dapat dipertimbangkan. Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti
(misalnya pada mereka yang melakukan pekerjaan yang berbahaya), maka
penambahan exenatide atau pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila
penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C mendekati
target (<8%), exenatide merupakan pilihan.
Bila inervensi ini tidak efektif dalam mencapai target A1C, atau
pengobatan tersebut tidak dapat ditolerir oleh pasien, maka penambahan
dengan sulfonilurea dapat dipertimbangkan. Alternatif lain adalah bahwa tier
2 intervention dihentikan dan dimulai pemberian insulin basal.

32

Gambar 2.7 Alur Penatalaksanaan DM tipe 2 pada Anak menurut Medscape


Monoterapi DM tipe 2 pada anak dapat dimulai dengan menggunakan
metformin 500 mg 2 kali sehari bersama saat makan. Jika dosis belum sesuai
dosis dapat dinaikkan 500 mg per minggu sampai maksimum 2000 mg/hari.
Untuk agen antidiabetik selain metformin belum mendapat persetujuan FDA
mengenai dosis untuk penggunaan pada populasi pediatrik.

33

Tabel 2.3 Dosis dan Cara pemberian Obat Hipoglikemik Oral pada Dewasa

34

3. Diet
Pengaturan makan atau diet pada penderita DM tipe 1 bertujuan
mencapai kontrol metabolik yang baik, tanpa mengabaikan kalori yang
dibutuuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, ataupun untuk
aktivitas. Dengan ini anak diharapkan tidak menjadi obes dan dapat dicegah
timbulnya hipoglikemia. Sedangkan pada DM tipe 2 bertujuan mengurangi
asupan kalori, penurunan berat badan, serta mencegah, memperlambat, dan
menurunkan risiko mikro-makrovaskuler.16
Pengaturan makan dilakukan segera setelah diagnosis. Kebutuhan
kalori per hari dapat dihitung dengan rumus: bila berusia 0-12 tahun
menggunakan rumus 1000 + {usia (tahun) x 100} = kal/hari dan jika berusia
lebih dari 12 tahun = 2000 kal/m2.3
Makanan yang dimakan sehari-hari mengandung karbohidrat, protein,
lemak serta vitamin dan mineral. Karbohidrat merupakan nutrien yang paling
berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. 90-100% karbohidrat akan diubah
menjadi glukosa dalam waktu 15-90 menit setelah makan. Protein 58% akan
dirubah menjadi glukosa dalam waktu 3-4 jam setelah makan, sedangkan
lemak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengubah 10% lemak
menjadi glukosa. Komposisi makanan yang disarankan per hari adalah:16
a. Karbohidrat 50-55%, sukrosa sedang (sampai dengan 10% total kalori)
b. Lemak 30-35%
<10% lemak jenuh + asam lemak trans
<10% lemak tak jenuh rantai ganda

35

>10% lemak tak jenuh rantai tunggal (sampai dengan 20% total kalori)
c. Protein 10-15%

4. Latihan Jasmani atau Olahraga1,3,7


Pada penderita DM berolahraga dapat membantu menurunkan kadar
glukosa darah, menimbulkan perasaan sehat atau well being dan
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin sehingga mengurangi kebutuhan
akan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa olahraga dapat
meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi terjadinya komplikasi
DM jangka panjang.
Yang perlu diperhatikan dalam berolahraga adalah pemantauan
terhadap kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia saat atau
pasca olahraga sehingga mungkin memerlukan penyesuian dosis insulin.
Jenis olahraga disesuaikan dengan minat anak. Pada umumnya terdiri
dari pemanasan selama 10 menit, dilanjutkan 20 menit untuk latihan aerobic
seperti berjalan atau bersepeda. Olahraga harus dilakukan paling sedikit 3 kali
seminggu dan sebaiknya dilakukan pada waktu yang sama untuk
memudahkan pemberian insulin dan pengaturan makan. Lama dan intensitas
olahraga disesuaikan dengan toleransi anak. Asupan cairan perlu ditingkatkan
sebelu, setelah dan saat olahraga.
Pada anak sehat, olahraga akan menurunkan sekresi insulin dan
meningkatkan hormon kontraregulator glukosa yang akan meningkatkan
produksi glukosa di hati. Glukosa akan digunakan oleh otot selama olahraga

36

dan akan menjaga kadar glukosa darah tetap stabil selama olahraga.
Sedangkan pada penderita DM tipe 1 terkontrol, pankreas tidak dapat
mengatur kadar insulin sebagai respon dari olahraga dan juga mungkin
disertai

gangguan

hormon

kontraregulasi

glukosa

sehingga

terjadi

hipoglikemia selama olahraga.


Bagi penderita DM terutama yang tidak terkontrol dengan baik, olah
raga dapat menyebabkan keadaan yang tidak diinginkan seperti keadaan
hiperglikemia sampai dengan KAD, makin beratnya komplikasi diabetik yang
sudah dialami, dan hipoglikemia. Sekitar 40% hipoglikemia dicetuskan oleh
olahraga.
H. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia7
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita
merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam
(pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung
meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat
terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50
mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala
hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa
darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat
pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.

37

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1,


yang dapat dialami 1 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah
dilakukan di Inggris diperkirakan 2 4% kematian pada penderita
diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita
diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun
penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada
penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
a.

Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang


atau malam)

b.

Makan

terlalu

sedikit,

lebih

sedikit

dari

yang

disarankan oleh dokter atau ahli gizi


c.

Berolah raga terlalu berat

d.

Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih


besar dari pada seharusnya

e.

Stress

f.

Mengkonsumsi

obat-obatan

lain

yang

dapat

meningkatkan risiko hipoglikemia


Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan
apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya
adalah:
a. Dosis insulin yang berlebihan
b. Saat pemberian yang tidak tepat

38

c. Penggunaan glukosa yang berlebihan, sebagai contoh yaitu olahraga


anaerobik berlebihan
d. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu
terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
b. Ketoasidosis diabetik (KAD)9,17
Ketoasidosis diabetik (KAD) disefinisikan sebagai kondisi yang
mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif dalam
tubuh atau berkaitan dengan resistensi insulin dan disertai produksi
hormone-hormon kontra regulator yaitu glukagon, katekolamin, kortisol
dan growth hormone. Diagnosis KAD didasarkan atas trias biokimia yaitu
hiperglikemia (glukosa darah > 200mg/dl), ketonemia, dan asidosis (pH
darah <7,3), kadar bikarbonat <15 mmol/l. Beberapa faktor yang sering
menjadi pencetus KAD adalah infeksi, trauma/stres, penghentian atau
tidak adekuatnya terapi insulin, serta gangguan psikologis yang berat.
Gejala klinis KAD biasanya berlangsung cepat kurang dari 24 jam.
Poliuri, polidipsi, serta penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi
beberapa hari menjelang KAD dan seringkali disertai gejala mual, muntah,
dan nyeri perut yang sering disalah artikan sebagai akut abdomen.
Walaupun penyebabnya belum diketahui dengan pasti, asidosis metabolik
diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri abdomen, gejala tersebut
akan menghilang sendirinya setelah asidosisnya teratasi.
Pemeriksaan klinis yang ditemukan pada KAD dapat berupa
penurunan kesadaran, dan bahkan koma (10% kasus), tanda-tanda

39

dehidrasi dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering, penurunan turgor,


hipotensi, takikardi). Tanda klinis lain adalah nafas cepat dan dalam
(Kussmaul) yang merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis
metabolik, disertai nafas bau aseton.

Gambar 2.7 Patofisiologi KAD17

Penatalaksanaan KAD:12,13, 17
Tujuan dari terapi KAD dan SHH, yaitu:
1. Restorasi volume sirkulasi dan perfusi jaringan
2. Penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma
3. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit

40

4. Perbaikan keadaan ketoasidosis pada KAD


5. Mengatasi faktor pencetus
Terapi Cairan
Apabila

terjadi syok

atasi syok

terlebih

dahulu dengan

memberikan cairan NaCl 0,9% 20 ml/kg dalam 1 jam sampai syok


teratasi. Resusitasi cairan selanjutnya diberikan secara perlahan dalam 3648 jam berikutnya. Selama keadaan belum stabil secara metabolik (stabil
bila kadar bikarbonat natrium >15 mE/q/L, gula darah <200 mg/dL, pH
>7,3) maka pasien dipuasakan. Perhitungan kebutuhan cairan resusitasi
total sudah termasuk cairan untuk mengatasi syok. Apabila ditemukan
hipernatremia maka lama resusitasi cairan diberikan selama 72 jam. Jenis
cairan resusitasi awal yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Apabila kadar
gula darah sudah turun mencapai <250 mg/dl cairan diganti dengan
dekstrose 5% dalam NaCl 0,45%.
Terapi Insulin
Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi
risiko terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah
untuk

meningkatkan

penggunaan

glukosa

oleh

jaringan

perifer,

menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan


konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk
menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan
mengurangi ketogenesis.

41

Terapi insulin diberikan setelah syok teratasi dan resusitasi cairan


dimulai. Gunaan rapid atau regular insulin secara intra vena dengan dosis
insulin antara 0,05-0,1 U/kgBB/jam. Bolus insulin tidak perlu siberikan.
Penurunan kadar glukosa darah secara bertahap tidak lebih cepat dari 75100 mg/dl/jam. Insulin intravena dihentikan dan asupan per oral dimulai
apabila secara metabolik sudah stabil (kadar biknat >15 mEq/L, gula
darah <200 mg/dL pH>7,3). Selanjutnya insulin reguler diberikan secara
subkutan dengan dosis 0,5-1 U/kgBB/hari dibagi 4 dosis atau untuk pasien
lama dapat digunakan dosis sebelumnya.
Koreksi elektrolit
Tentukan kadar natrium dengan menggunakan rumus kadar Na
terkoreksi = Na + (1,6 (kadar gula darah-100))/100 (nilai gula darah dalam
satuan mg/dl). Pada hipernatremia gunakan cairan NaCl 0,45%. Kalium
digunakan sejak awal resusitasi kecuali pada anuria. Dosis kalium adalah
5 mEq/kgBB per hari diberikan dengan kekuatan larutan 20-40 mEq/L
dengan kecepatan tidak lebih dari 0,5 mEq/kg/jam.
Terapi Bikarbonat
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Asidosis
metabolik berat dapat mengakibatkan kerusakan kontraktilitas jantung,
vasodilatasi serebri dan koma, serta komplikasi gastrointestinal. Akan
tetapi, alkalinisasi darah yang agresif juga dapat mengakibatkan
hipokalemia, asidosis SSP paradoks, dan asidosis intraseluler karena
peningkatan produksi CO2.

42

Beberapa studi gagal memperlihatkan perbaikan keadaan dengan


pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH darah arteri antara
6,9-7,1. Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena
dalam cairan isotonik dengan dosis 1-2 mEq/kgBB.

2. Komplikasi Kronis4,7,12,13
Komplikasi kronis pada DM meliputi komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi meliputi retinopati,
nefropati, dan neuropati. Komplikasi makrovarkuler yang terjadi yaitu
penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit vaskuler
perifer.

43

Gambar 2.8 Patofisiologi komplikasi kronis DM7

44

I. PEMANTAUAN (MONITORING)7
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut
maupun kronis, baik dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun
secara mandiri di rumah, meliputi :
1. Keadaan umum, tanda vital.
2. Kemungkinan infeksi.
3. Kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan
glukometer) setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.
4. Kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
5. Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).
6. Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).
7. Fungsi ginjal.
8. Tanda endokrinopati yang lain dievaluasi setiap tahunnya seperti
pembesaran kelenjar tiroid dengan memeriksa kadar TSH
9. Kontrol kolesterol darah setiap tahunnya
10. Funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah
3-5 tahun menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).
11. Tumbuh kembang.

45

BAB III
KESIMPULAN

1. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan


hiperglikemia kronik akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya.
2. Pada anak dapat terjadi DM tipe 1 maupun tipe 2.
3. DM tipe 1 terjadi akibat kerudakan sel -pankreas sehingga terjadi defisiensi
insulin secara absolut akibat proses autoimun maupun idiopatik, sedangkan DM
tipe 2 banyak disebabkan faktor aktivitas, nutrisi, dan keturunan yang
menyebabkan adanya resistensi insulin disertai defsiensi insulin relatif.
4. Tujuan terapi DM adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengusahakan
kontrol metabolik yang baik
5. Pilar utama terapi DM adalah edukasi, diet, olahraga, dan intervensi
farmakologis.
6. Monitoring penting bagi penderita DM untuk mengurangi morbiditas akibat
komplikasi akut maupun kronis.
7. Komplikasi akut pada penderita DM meliputi hipoglikemia dan KAD atau HHS
dan komplikasi kronis meliputi komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler.

46

Anda mungkin juga menyukai