Anda di halaman 1dari 8

22 Agustus 2014, 00:50

Black Gold
Oleh: Rio Heykhal Belvage

"Studi film telah membangkitkan sebentangan teori dan metode. Film dipelajari dari
segi potensinya sebagai 'seni', sejarahnya yang dituturkan sebagai momen-momen dalam
'tradsi yang hebat', film-film, bintang, dan sutradara yang paling berarti; film dianalisis
berdasarkan perubahan teknologi produksi film; film dikutuk sebagai industri budaya;
dan film didiskusikan sebagai situs penting bagi produksi subyektifitas individu dan
identitas nasional (John Storey, 2007: 67)". Kalimat tersebut saya dapati dalam tulisan
John Storey ketika menerangkan tentang teori dan metode kajian budaya dan budaya pop.
Tulisan tersebut pertama terbit tahun 1996, sehingga dapat dibilang perhatian seputar film
melalui perspektif budaya sudah bukan lagi hal baru. Sejak film bukan semata-mata
dianggap dan diproduksi sebagai hiburan, film punya peran yang jadi agak serius, bahkan
ambisius. Seiring waktu berjalan kajian tentang film semakin meluas, hal tersebut salah
satunya dipengaruhi oleh dinamika yang berlangsung dalam proses produksi, distribusi
hingga film distandarisasi supaya dianggap layak dikonsumsi. Ada yang mencoba melihat
film dari segi seni, sosial, politik, sejarah, maupun dari apa yang oleh Alfred Gell (2005)
disebut sebagai 'teknologi pesona'. Teknologi pesona dalam film ini mencakup seperti
misalnya tata musik, tata suara, sinematografi, seni peran, dan berbagai unsur lain yang
memperkuat konstruksi narasi dalam film sehingga dapat memikat khalayak penonton.

Paragraf pertama di atas sengaja ditulis begitu supaya terkesan serius seperti halnya
tulisan ilmiah pada umumnya yang mengkaji tentang produk budaya pop. Terlepas dari
teknik penulisan kaku ala ilmiah yang hanya separagraf itu, tulisan ini akan bercerita
tentang pengalaman 'membaca film'. Tetapi sebelumnya, ijinkan saya menyampaikan
terlebih dahulu dua hal yang perlu saya terangkan sebelum mengawali tulisan ini.
Pertama, di sini saya akan membedakan apa yang umumnya selama ini dipahami sebagai
'menonton film' dengan memperkenalkan istilah 'membaca film'. Bila menonton film,
penonton akan cenderung berposisi sebagai subyek pasif yang melihat scene demi scene
sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, maka membaca film adalah mengambil posisi
sebagai subyek aktif yang menempatkan film sebagai teks. Kedua, sebuah pembacaan
mensyaratkan kehadiran teks, dan oleh karenanya saya mengandaikan film layaknya
kumpulan teks (atau kumpulan scene) yang membentuk sebuah tulisan. Ketiga, dengan
menggunakan konsep Roland Barthes (2000) dalam Matinya Sang Pengarang, dimana
ketika sebuah teks diakhiri oleh pengarang (dalam konteks ini: sutradara bersama tim
produksinya), maka kedudukan pengarang telah mati. Sebuah tulisan menjadi suatu dunia
tersendiri yang dihadapi oleh pembaca/penonton, yang dengan kata lain, sutradara
bersama tim produksinya telah lenyap, ia tidak lagi hadir untuk memberi arahan kemana
sebuah teks mestinya dibaca, sebab pengarang telah sublim dalam teks itu sendiri. Maka
di sini, saya akan menampilkan hasil pembacaan dari teks yang tengah saya baca pada
film yang saya andaikan sebagai teks.
***
Film yang akan saya ulas ini menarik perhatian saya karena tema yang diangkat
kebetulan sama dengan penelitian yang sedang saya lakukan. Secara garis besar film
tersebut bercerita tentang respon masyarakat terhadap penemuan potensi emas hitam alias
minyak bumi yang melimpah di negeri seberang - yang merupakan refleksi tersendiri bagi
saya ketika melihat ketersedian sumber daya alam negeri ini, di mana sejak didirikannya
Indonesia sebagai negara baru, sumber daya alam telah menjadi berkah sekaligus kutukan
karena kelimpahannya juga berarti benih munculnya proletarisasi bagi masyarakat tempat
di mana sumber-sumber alam itu berada. Demikianlah latar belakang singkat ini
ditujukan sebagai formalitas untuk mendekati struktur tulisan yang baik dan benar.

Membaca Cerita Black Gold


Alkisah, tersebutlah negeri-negeri gersang yang penduduknya miskin dan penyakitan.
Hobeika dan Salmaah namanya. Dua negeri di wilayah timur tengah itu kerap berperang
untuk memperebutkan tanah di sebuah daerah yang dijuluki "Jalur Kuning". Jalur Kuning
adalah padang gersang yang tidak menjanjikan keuntungan apa-apa selain angin dingin
dari timur selama setengah tahun dan badai gurun yang bisa datang tiba-tiba. Bagi
sekelompok orang non-atheis, Jalur Kuning juga punya julukan lain, yaitu Rumah Tuhan.
Bila menonton film Black Gold, ada yang sudah menonton? Jika tidak salah film ini
pernah tayang di bioskop pada sekitar 2011 lalu. Diangkat dari sebuah novel jadul yang
disutradarai oleh orang berkebangsaan Perancis. Bila menonton film tersebut, mata kita
akan dibawa melihat pemandangan laki-laki bersorban yang mengenakan jubah lengkap
dengan pedang yang dililitkan di bagian pinggang seperti tradisi kuno Samurai Jepang,
sementara para perempuan mengenakan cadar yang tidak hanya untuk menutupi aurat
sesuai apa yang diperintahkan oleh agamanya, tetapi juga berguna untuk menghindari
terpaan debu dan panasnya padang pasir. Hal tersebut tentu sangat kontekstual jika
dibandingkan dengan jilboobs yang memanjakan mata kaum adam akhir-akhir ini.
Adegan-adegan seperti peperangan, hewan-hewan unta dan orang-orang hijrah yang
hampir mati kehausan akan mengingatkan kembali pada film Aladin atau Doraemon versi
petualangan padang pasir. Singkat cerita, film itu diawali dengan perjanjian damai setelah
perang yang dimenangkan oleh negeri Hobeika atas negeri Salmaah. Kedua petinggi yang
disebut sebagai sultan dari kedua negeri itu bertemu di Jalur Kuning untuk melakukan
perjanjian damai, namun dengan syarat dua anak Sultan dari Salmaah yang masih kecil
menjadi sandera dibawa ke Hobeika.
Hari demi hari berlalu. Dua anak kecil itu tumbuh dewasa di bawah asuhan Sultan
Hobeika bersama kedua anak kandungnya, perempuan cantik jelita dan seorang pangeran
gagah perkasa. Pada suatu hari yang biasa, datanglah dua orang petualang mengendarai
pesawat capung mendarat di pusat keramaian di Hobeika. Orang-orang langsung datang
mengerumuni benda terbang itu. Melihat peristiwa tersebut, pemimpin negeri Hobeika
yang miskin itu langsung mendatanginya. Keluarlah dua orang asing dari pesawat dan
memperkenalkan diri sebagai orang dari perusahaan minyak kecil di Texas yang dapat

menjanjikan kemakmuran untuk Hobeika. Waktu itu, sang sultan belum ngeh bahwa di
dekat wilayah kekuasaannya tersimpan minyak bumi dengan kualitas nomor satu.
Hobeika yang miskin dan malang, belum mampu membaca peluang ekonomi yang
sangat besar dari sumberdaya alam yang tersedia di tanahnya, sampai kemudian datang
orang pintar dari amerika dan memberitahu potensi itu.
Pertemuan orang Hobeika dengan para petualang minyak dapat dibilang merupakan
gambaran dari perjumpaan antara dunia lama dengan dunia baru, dunia orang pintar dan
dunia orang blo'on yang tidak mengenyam pengetahuan ekonomi barat, dunia di mana
ketika itu diam-diam "uang dan minyak telah menguasai dunia".
Berkat pertemuan singkat yang menjanjikan perubahan tersebut, dalam waktu tidak
begitu lama Hobeika telah benar-benar berubah total.
Setiap hari eksploitasi minyak berlangsung adem ayem dan setiap hari ada saja
ditemukan pembangunan dilakukan di Hobeika. Gedung-gedung sekolah dibangun
dengan begitu megah, masjid besar didirikan, rumah sakit, jaringan listrik, perpustakaan
dan tak lupa juga impor senjata modern untuk memperkuat pertahanan dan keamanan.
Negeri Hobeika yang semula miskin kini telah kaya raya. Bagaimana tidak, pada film
yang menggambarkan situasi tahun 1930'an itu, satu ladang minyak yang baik dapat
memproduksi seratus ribu barel perhari dengan harga 1dolar/barel. Itu masih hitungan
kasar saat harga minyak masih belum seperti sekarang dimana subsidi BBM dibatasi
karena harga minyak telah mencapai 90 dolar/barel. Sementara itu, sultan yang semula
harus menerima kenyataan pahit dimana kemiskinan dan penyakit melanda negerinya,
kini telah berubah drastis menjadi sultan tajir. Sebuah kekayaan, yang seperti dituturkan
dalam percakapan film itu, "dapat melebihi kekayaan Raja Inggris yang hanya punya
rumput dan topi basah".
Menarik memperhatikan bagian plot ini. Perubahan sosial-ekonomi yang berlangsung
di Hobeika sejak diintroduksikannya tambang minyak oleh para petualang dari Texas
mencerminkan perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem ekonomi masyarakat
padang pasir. Masyarakat sedang berubah. Hobeika membuka gerbang lebar-lebar kepada
dunia luar yang menjanjikan kekayaan seperti orde babe dengan Open Door Policy-nya
dulu. Satu-persatu para pekerja yang berasal dari Texas yang berdandan ala koboi tanpa
tanah terus didatangkan untuk mengebor sumur minyak disana-sini, mereka datang

memperkenalkan potensi tambang lalu bekerja jadi buruh di negeri orang. Sementara itu
kesultanan alias negeri Hobeika yang hanya menelan gaji buta, melakukan pembangunan
terus-menerus. Perpustakaan besar dibangun untuk melokalisir orang-orang pintar di
negerinya, dan kekayaan semakin bertambah dari hari ke hari.
Sampai pada suatu hari, kekerasan terjadi di wilayah pengeboran minyak. Beberapa
pekerja tambang dari Texas yang sedang beristirahat dibunuh, kedua kakinya diikat
menggunakan alat berat kemudian ditenggelamkan ke dalam tangki minyak. Ketika para
pekerja menemukan, mayatnya telah menghitam dilumuri minyak. Perseteruan dengan
orang asing dimulai. Kecurigaan bermunculan. Petugas keamanan menduga hal tersebut
dilakukan oleh suku Al Talabyns dan Aniza. Peristiwa pembunuhan itu lantas membuat
Sultan berpikir dua kali tentang keberlanjutan eksploitasi tambang, karena pada dasarnya,
sesuai perjanjian antara suku-suku selatan terdahulu, ternyata tempat dimana operasi
tambang itu dilakukan telah disepakati sebagai wilayah steril, tanah tak bertuan.
Rupanya dari peristiwa pembunuhan itu, tanpa disadari oleh pemimpin Hobeika,
telah tercipta jurang kemakmuran yang memicu munculnya kekerasan dan puncaknya
adalah kematian para koboi apes yang ditenggelamkan ke dalam tangki minyak kualitas
terbaik.
Untuk menghindari berlanjutnya kekerasan dan demi menjamin keselamatan
buruh-buruh Amerika yang mendatangkan kemakmuran baginya, Sultan Hobeika yang
cerdik, meskipun telah memiliki sistem pertahanan yang kuat karena dilengkapi dengan
persenjataan modern, tidak terpancing untuk membalas peristiwa itu dengan kekerasan.
Dia berpikir untuk menyelesaikannya melalui jalan dialog. Sultan Hobeika membuat
pertemuan dengan mengundang kepala-kepala suku yang bertujuan untuk mengambil hati
melalui perjamuan istimewa yang telah ia rencanakan. Jalinan kekerabatan yang
sebelumnya agak renggang dengan suku-suku lain dibangun kembali melalui pertemuan
dengan kepala-kepala suku. Di tengah perjamuan, sang sultan membagi-bagikan
cinderamata berupa jam tangan emas kepada kepala suku yang miskin.
Suku-suku yang menghuni padang pasir ketika itu diceritakan belum mengenal nilai
mata uang sebagaimana masyarakat dunia luar mengenalnya. Kecerdikan Sultan Hobeika
tergambar ketika dia membagi-bagikan benda berupa jam tangan emas kepada elit lokal
sebagai alat tukar untuk membeli kekerasan suku-suku di sekeliling wilayahnya. Pada

scene tersebut, tergambar kontrak sosial dan ekonomi yang berlaku dalam masyarakat
modern sebenarnya merupakan sisa-sisa peninggalan dari sistem tukar-menukar
pemberian yang berlaku dalam masyarakat kuno (Mauss, 1992; Sumintarsih, 1997).
Terbukti, peristiwa membagi-bagikan cinderamata itu menuai hasil. Kekerasan tidak lagi
terjadi. Sultan Hobeika mendapat restu dari suku-suku selatan untuk meneruskan aktivitas
penambangan. Kecuali satu negeri yang masih juga tidak dapat diajak berdialog dan
melakukan pertukaran, yaitu Salmaah.
Dalam film tersebut, Salmaah diceritakan sebagai sebuah negeri yang masih
memegang teguh nilai-nilai dari dunia lama dan memandang skeptis bahwa segala hal
yang berasal dari luar adalah kafir. Mereka menolak bujuk rayu yang dilakukan oleh
negeri Hobeika untuk melanjutkan operasi tambang dengan alasan, "Minyak itu durhaka
karena kita perlu orang-orang kafir untuk mengeluarkannya".
Menariknya, selain terbilang menutup diri terhadap kehadiran dunia baru yang
menjanjikan kemakmuran, negeri Salmaah memiliki kearifan lokal sebagaimana biasa
dijumpai oleh para antropolog romantis ketika turun ke lapangan. Meski sebelumnya
telah mengetahui bahwa di dekat wilayahnya terdapat sumber minyak, masyarakat
Salmaah mempergunakannya seperlunya saja, misalnya seperti untuk mengolesi luka atau
membilas kaki unta yang kelelahan. Mereka menolak komodifikasi sumber daya alam
minyak dengan alasan karena ada campur tangan orang asing dalam pengelolaaannya.
Salmaah memiliki sistem pengetahuan yang khas. Menganut sistem ekonomi
subsisten yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan cara saling bertukar barang.
Cara mereka menilai keberadaan uang sama halnya dengan cara mereka memandang
kehidupan dunia: bersifat fana. Uang bukan segala-galanya bagi Salmaah. Namun begitu,
meski menjadi negeri yang dengan tegas menolak ekspansi kapitalisme industri, Salmaah
sebagai sebuah negeri yang romantis juga masih menganut sistem perbudakan, sesuatu
yang ketika itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dari dunia jaman baru.

Struktur Narasi
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mencoba menampilkan strukturalitas cerita
dalam film Black Gold. Dalam narasi film tersebut, saya menduga ada beberapa unsur
yang menjadi perangkat dasar dari oposisi-oposisi yang saling berkaitan dan membentuk
struktur konflik sebagai berikut;
Negeri Hobeika

Negeri Salmaah

Sultan Nesib

Sultan Ammar

Liberal

Konservatif

Kaya

Miskin

Dunia baru

Dunia lama

Uang adalah segalanya

Uang tidak ada artinya

Senjata modern (tank, pistol,dll)

Senjata tradisional (pedang)

Walaupun begitu, selain gambaran oposisi-biner di atas, didapati juga unsur yang
saling menyatukan kedua unsur yang saling berlawanan, yaitu kedua negeri tersebut
sama-sama penganut islam yang taat, sama-sama cinta akan kedamaian dan sama-sama
menjadikan Qur'an sebagai penuntun.
Islam
Cinta kedamaian
Qur'an sebagai pedoman
Kontradiksi menarik yang dioposisikan pada perbedaan-perbedaan antara Hobeika
versus Salmaah itulah yang kemudian menggerakkan peperangan besar dimana
suku-suku lain juga turut masuk ke dalam pusaran konflik. Ada masa dimana perbedaan
mencair dan konflik meredam, namun ada juga masa dimana perbedaan menegas dan
perang muncul ke permukaan. Bukan semata perang adu fisik, melainkan perang yang
menyimbolkan dua dimensi kultural dengan nilai-nilai berbeda yang juga dapat diartikan
sebagai gambaran lain dari pertarungan resim ekonomi subsisten melawan resim ekonomi

industri. Sementara itu komodifikasi minyak di negeri Hobeika sejak diperkenalkan oleh
orang-orang Texas menyebabkan suku sekitar memasuki zona krisis subsistensi. Lambat
laun mereka mulai melihat peluang ekonomi baru dari usaha minyak yang dilakukan oleh
pemimpin Hobeika. Di akhir cerita, pihak yang kekeuh dengan nilai-nilai lama mesti
menerima kekalahan total atas datangnya nilai-nilai yang dibawa dari dunia jaman baru:
resim ekonomi industri.

Referensi
-

Roland Barthes, 2000, Matinya Sang Pengarang, dalam kumpulan esai Hidup
Matinya Sang Pengarang: Esai-esai tentang Kepengarangan oleh Sastrawan dan
Filsuf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Simatupang, Lono. 2006. Memahami Jagad Seni sebagai Refleksi Kemanusiaan,
dalam Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya, tahun 2013.
Yogyakarta: Jalasutra.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sumintarsih. 1997. Merajut Kerjasama, Menjangkau Pasar: Siasat Resiprositas
dalam Usaha Kerajinan Agel di Kulon Progo, Yogyakarta dalam Ekonomi Moral,
Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.

Anda mungkin juga menyukai