Neko Lim
Neko Lim
10:00
Nekolim
Tidak seperti di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dimana kolonialisasi
dan alienasi ruang bisa berwujud macam-macam dari konservasi sampai tambangisasi, di
perkotaan kolonialisasi hanya terdiri dari beberapa kalimat, seperti: pemulung dilarang
masuk, dilarang jualan di sini, no smoking area, dilarang nganan, kencing 2ribu, buang
sampah 100ribu, de el el.
Padahal bila ditarik mundur ke belakang tanpa melepas kontek dan relevansinya di
masa sekarang, kolonialisasi serta alienasi ruang dalam wujud kamus pelaranganpelarangan itu dapat diketahui asal-muasalnya dari relasi ekonomi-politik yang berjalinkelindan dalam pelaksanaan proyek nasional bernama pembangunan.
Kekuasaan bersifat produktif, begitu kata Foucault di warung kopi, pemikir Perancis
yang banyak dijadikan kiblat berpikir ilmuwan-ilmuwan sosial. Pada jamannya, gagasan
Foucault tersebut merupakan salah satu perspektif baru dalam melihat kekuasaan. Dalam
hal ini, kekuasaan ditempatkan sebagai obyek sekaligus subyek bagi ilmu pengetahuan.
Dengan menggunakan model berpikir biopolitik, kekuasaan dibayangkan sebagai sebuah
sistem yang selalu beranak-pinak dan memproduksi sesuatu. Oleh karenanya kekuasaan
bersifat produktif dan tidak mandeg. Tetapi ini bukan berarti kekuasaan yang produktif
selalu negatif sebagaimana dibayangkan kaum anarkis.
Nun jauh di sana follower Foucault kerap lupa satu hal. Disangkanya dengan begitu
kemudian tidak ada masalah dengan kekuasaan yang produktif. Padahal di saat yang
sama, seperti digambarkan Foucault dalam Kegilaan dan Peradaban, beroperasinya
kekuasaan selalu melahirkan alienasi. Dalam hal ini, Foucault memberikan contoh
tentang cara-cara mengatasi orang gila dari masa ke masa yang kemudian melahirkan
disiplin ilmu psikologi dan pada selanjutnya memisah manusia antara yang normal dan
abnormal. Pengasingan dan keterasingan inilah yang dirasakan oleh sekelompok manusia
yang menjadi obyek kekuasaan. Tulisan ini ingin melacak, seperti apa gaya yang dimiliki
Bila berkaca pada masa itu, kita akan mendapati pola yang senada dengan apa yang
diterapkan dalam proyek pembangunan di masa sekarang. Hari-hari ini, masih di wilayah
yang sama, di sekitar pegunungan di utara Jawa, sedang ramai dengan isu pro-kontra
pendirian pabrik semen. Lagi-lagi, seperti yang pernah dilakukan oleh sistem kekuasaan
terdahulu, negara dan para elit sebagai agen penguasa memuluskan niat pengusaha untuk
memperluas skala produksinya dengan membangun pabrik semen baru di salah satu sudut
Pegunungan Utara Jawa. Rencana ini menuai banyak resistensi tidak hanya di kalangan
warga lokal yang sumber kehidupannya terancam, melainkan juga meledak di kalangan
aktivis di berbagai daerah yang berpihak kepada masyarakat lokal dengan membangun
solidaritas yang isinya mengecam rencana pembangunan pabrik tersebut.
Di sini kita bisa melihat dan memperbandingkan gaya pembangunan yang berlangsung
di pinggiran dan di pusat. Di pinggiran, penguasa selalu mengandalkan potensi bumi
dengan retorika kopi paste dari proyek usang kolonial. Efek dari gaya pembangunan
pinggiran semacam ini, menyebabkan kelangsungan hidup masyarakat lokal akan selalu
terancam dan berada di garis bahaya. Dengan merawat logika pembangunan semacam ini,
maka dapat dipastikan resistensi akan terus hidup sepanjang karir penguasa buta masih
juga bebal membaca situasi politik di tingkat bawah.
Lain cerita dengan gaya pembangunan di wilayah pinggiran, proyek pembangunan
yang berlangsung di pusat bukanlah pengerukan sumber daya alam sebagaimana yang
diterapkan di wilayah-wilayah pinggiran, melainkan dengan penciptaan imajinasi modern
yang ditopang oleh kapitalisasi ruang gila-gilaan. Citra modern sebuah kota yang bersih
dan rapi, yang gemerlap dan maju, yang patuh dan bebas pengemis serta anak jalanan
begitu marak diterapkan di semua kota di negeri ini. Semua berlomba mengejar piagam
adipura demi mendapat kesan ideal sebagaimana dibayangkan oleh penguasa. Padahal
bila ditarik mundur ke belakang (lagi-lagi), bukankah pengemis dan anak jalanan yang
mengotori kota lahir dari produktifitas kekuasaan itu sendiri yang berhasrat memajukan
segala hal tanpa memperhitungkan dampak sosial yang diakibatkan olehnya?
Di ruang-ruang tunggu, manusia kota tanpa sadar semakin diperbodoh oleh sosialisasi
pengaturan ruang berlabel No Smoking Area, Pemulung dilarang masuk, Dilarang
berjualan di sini dan Mohon doa restu di sini akan dibangun apartemen.