Anda di halaman 1dari 4

Minggu, 050415.

10:00

Nekolim

Tidak seperti di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dimana kolonialisasi
dan alienasi ruang bisa berwujud macam-macam dari konservasi sampai tambangisasi, di
perkotaan kolonialisasi hanya terdiri dari beberapa kalimat, seperti: pemulung dilarang
masuk, dilarang jualan di sini, no smoking area, dilarang nganan, kencing 2ribu, buang
sampah 100ribu, de el el.
Padahal bila ditarik mundur ke belakang tanpa melepas kontek dan relevansinya di
masa sekarang, kolonialisasi serta alienasi ruang dalam wujud kamus pelaranganpelarangan itu dapat diketahui asal-muasalnya dari relasi ekonomi-politik yang berjalinkelindan dalam pelaksanaan proyek nasional bernama pembangunan.
Kekuasaan bersifat produktif, begitu kata Foucault di warung kopi, pemikir Perancis
yang banyak dijadikan kiblat berpikir ilmuwan-ilmuwan sosial. Pada jamannya, gagasan
Foucault tersebut merupakan salah satu perspektif baru dalam melihat kekuasaan. Dalam
hal ini, kekuasaan ditempatkan sebagai obyek sekaligus subyek bagi ilmu pengetahuan.
Dengan menggunakan model berpikir biopolitik, kekuasaan dibayangkan sebagai sebuah
sistem yang selalu beranak-pinak dan memproduksi sesuatu. Oleh karenanya kekuasaan
bersifat produktif dan tidak mandeg. Tetapi ini bukan berarti kekuasaan yang produktif
selalu negatif sebagaimana dibayangkan kaum anarkis.
Nun jauh di sana follower Foucault kerap lupa satu hal. Disangkanya dengan begitu
kemudian tidak ada masalah dengan kekuasaan yang produktif. Padahal di saat yang
sama, seperti digambarkan Foucault dalam Kegilaan dan Peradaban, beroperasinya
kekuasaan selalu melahirkan alienasi. Dalam hal ini, Foucault memberikan contoh
tentang cara-cara mengatasi orang gila dari masa ke masa yang kemudian melahirkan
disiplin ilmu psikologi dan pada selanjutnya memisah manusia antara yang normal dan
abnormal. Pengasingan dan keterasingan inilah yang dirasakan oleh sekelompok manusia
yang menjadi obyek kekuasaan. Tulisan ini ingin melacak, seperti apa gaya yang dimiliki

penguasa dalam mempraktekkan pembangunan di daerah pinggiran dan di daerah-daerah


yang berada di pusat kekuasaan.
Pertama-tama, harus dipahami terlebih dahulu bahwa ada dua gaya yang khas dan
berbeda ketika proyek pembangunan diterapkan. Di sini, saya menggunakan kata pusat
dan pinggiran untuk membedakan kecenderungan wilayah yang berlaku umum. Pusat
adalah perkotaan, tempat dimana beragam jenis kekuasaan berkumpul dan bersenggama
di kamar bola. Sementara pinggiran adalah wilayah yang kerap dibayangkan sebagai
daerah pedesaan dengan citra desa-desa eksotis/tertinggal dimana sebagian besar
perekonomiannya bersumber dari apa yang disediakan alam kepadanya. Ciri pinggiran ini
mudah dikenali dari tipe-tipe masyarakat petani atau nelayan, tak terkecuali masyarakat
desa-desa hutan yang sudah eksis bahkan jauh sebelum kapitalisme kolonial (VOC)
menjajah ruang hidupnya.
Perbedaan gaya pembangunan yang dilakukan penguasa ini tentu ada sangkut-pautnya
dengan kegagalan para penguasa di berbagai daerah dalam memahami kata pembangunan.
Kegagalan pemahaman ini menjadi poin penting karena di sanalah sumber dari segala
akar masalah berasal. Sejak disosialisasikannya istilah pembangunan di masa Orde Baru
melalui akronim PELITA, di dalam wacana pembangunan selalu mengalir pertarungan
pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal versus penguasa dengan legitimasi hukum
dan perhitungan ekonomi kapitalisme. Pertarungan yang jelas-jelas tidak seimbang inilah
yang memupuk benih resistensi sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Supaya memperoleh gambaran lebih jelas perbedaan gaya pembangunan di pusat dan
pinggiran yang saya maksud, mari kita amati bagaimana pola politik yang diterapkan
penguasa dalam melaksanakan proyek pembangunan.
Pegunungan Kapur Utara dan Citra Kemajuan Sebuah Kota
Telah sejak lama wilayah pegunungan di utara Jawa dilihat sebagai suatu daerah yang
memiliki nilai ekonomi tinggi. Pandangan ini tentu tidak dengan sendirinya muncul. Kita
dapat menelusuri jejak kemunculan sudut pandang kapitalistik semacam ini sejak jaman
kerajaan di mana ketika itu, pada sekitar abad ke-17 desa-desa hutan di utara Jawa (Pati,
Rembang, Jepara, Blora, Bojonegoro, Tuban) merupakan wilayah potensial bagi kerajaan

karena selain melimpahnya persediaan kayu-kayu alam untuk memperindah arsitektur


bangunan kerajaan, juga hasil bumi masyarakat yang disetor ke penguasa sebagai upeti.
Pola penguasaan semacam ini, semakin dimantapkan oleh kedatangan kongsi dagang
Hindia Timur (VOC) ke Jawa yang berbisnis kayu dengan pihak kerajaan. Wilayah desadesa hutan yang sebelumnya merupakan daerah kekuasaan raja, diberikan kepada orangorang asing untuk dieksploitasi dengan perjanjian yang sudah ditentukan antara penguasa
dan kolonial (bukan oleh warga lokal).
Di sinilah jalin kelindan antara ekonomi dan politik membangun hubungan mesra.
Pihak kerajaan yang memiliki kekuasaan memberi ijin kepada pengusaha asing yang bisa
menjual hasil alam di daerah kekuasaan kerajaan. Satu persatu daerah ditundukkan lalu
dibabat untuk disedot habis persediaan kayunya. Demi kelancaran distribusi, kemudian
dibangunlah sebuah pelabuhan di Batavia yang menghubungkan Jawa dengan Belanda.
Batavia merupakan salah satu pelabuhan tua yang menjadi saksi bisu bagaimana
kapitalisme dan para elit saling bergandeng tangan menggencet warga lokal. Di sini kita
menjadi tahu apa yang membuat Jakarta sekarang menjadi tempat kekuasaan pada dugem.
Sebagai sebuah wilayah yang hari ini suka banjir, Jakarta punya akar sejarah yang lekat
dengan intrik ekonomi dan politik, bahkan genosida.
Dengan berlangsungnya hubungan baik antara kerajaan dan kongsi dagang dari negeri
asing, dua pihak yang menjadi representasi dari perilaku ekonomi-politik ini seakan lupa
bahwa di desa-desa hutan ada beragam masyarakat dengan kultur yang berbeda bila
dibandingkan dengan kultur super adiluhung milik kerajaan, apalagi kultur yang melekat
pada kapitalisme dengan watak serakahnya. Pihak kerajaan seakan menutup mata pada
fenomena semacam ini. Mungkin jaman dulu memang belum ada antropolog berdarah
pribumi. Kalaupun ada, sudah pasti jadi kaki tangan penguasa.
Menjelang abad ke-20 ketika kayu di Jawa sudah mulai ludes, konsentrasi kolonial
terhadap potensi hutan di Pegunungan Utara Jawa mulai beralih ke potensi minyak bumi
dan perkebunan. Mereka melakukan eksplorasi dan eksploitasi di beberapa wilayah
dengan mendirikan perusahaan-perusahaan dimana pribumi menjadi babu di tanah sendiri.
Di masa ini, resistensi menjadi kultur pribumi kelas bawah. Seperti perusakan kebun tebu
di Bangil dan Surabaya, gerakan Samin di Blora dan banyak lagi di tempat lain.

Bila berkaca pada masa itu, kita akan mendapati pola yang senada dengan apa yang
diterapkan dalam proyek pembangunan di masa sekarang. Hari-hari ini, masih di wilayah
yang sama, di sekitar pegunungan di utara Jawa, sedang ramai dengan isu pro-kontra
pendirian pabrik semen. Lagi-lagi, seperti yang pernah dilakukan oleh sistem kekuasaan
terdahulu, negara dan para elit sebagai agen penguasa memuluskan niat pengusaha untuk
memperluas skala produksinya dengan membangun pabrik semen baru di salah satu sudut
Pegunungan Utara Jawa. Rencana ini menuai banyak resistensi tidak hanya di kalangan
warga lokal yang sumber kehidupannya terancam, melainkan juga meledak di kalangan
aktivis di berbagai daerah yang berpihak kepada masyarakat lokal dengan membangun
solidaritas yang isinya mengecam rencana pembangunan pabrik tersebut.
Di sini kita bisa melihat dan memperbandingkan gaya pembangunan yang berlangsung
di pinggiran dan di pusat. Di pinggiran, penguasa selalu mengandalkan potensi bumi
dengan retorika kopi paste dari proyek usang kolonial. Efek dari gaya pembangunan
pinggiran semacam ini, menyebabkan kelangsungan hidup masyarakat lokal akan selalu
terancam dan berada di garis bahaya. Dengan merawat logika pembangunan semacam ini,
maka dapat dipastikan resistensi akan terus hidup sepanjang karir penguasa buta masih
juga bebal membaca situasi politik di tingkat bawah.
Lain cerita dengan gaya pembangunan di wilayah pinggiran, proyek pembangunan
yang berlangsung di pusat bukanlah pengerukan sumber daya alam sebagaimana yang
diterapkan di wilayah-wilayah pinggiran, melainkan dengan penciptaan imajinasi modern
yang ditopang oleh kapitalisasi ruang gila-gilaan. Citra modern sebuah kota yang bersih
dan rapi, yang gemerlap dan maju, yang patuh dan bebas pengemis serta anak jalanan
begitu marak diterapkan di semua kota di negeri ini. Semua berlomba mengejar piagam
adipura demi mendapat kesan ideal sebagaimana dibayangkan oleh penguasa. Padahal
bila ditarik mundur ke belakang (lagi-lagi), bukankah pengemis dan anak jalanan yang
mengotori kota lahir dari produktifitas kekuasaan itu sendiri yang berhasrat memajukan
segala hal tanpa memperhitungkan dampak sosial yang diakibatkan olehnya?
Di ruang-ruang tunggu, manusia kota tanpa sadar semakin diperbodoh oleh sosialisasi
pengaturan ruang berlabel No Smoking Area, Pemulung dilarang masuk, Dilarang
berjualan di sini dan Mohon doa restu di sini akan dibangun apartemen.

Anda mungkin juga menyukai