101
107
108
113
114
2
8
10
8
12
20
40
60
100
Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, (2005) menyatakan bahwa jika anak dirawat
di rumah sakit maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak
mengalami stress akibat perubahan yang telah dialaminya. yaitu perubahan lingkungan,
pemicu timbulnya stress di rumah sakit dapat bersifat fisik, psikososial, maupun spiritual.
Terapi Bermain boneka tangan dapat dijadikan sebagai suatu terapi karena berfokus pada
kebutuhan anak untuk mengekspresikan diri mereka melalui penggunaan mainan boneka
dalam aktivitas bermain dan dapat juga digunakan untuk membantu anak mengerti
tentang penyakitnya.
Berdasarkan fakta dan teori diatas peneliti berpendapat bahwa tidak ada perbedaan
signifikan karena pengaruh dari lama anak dirawat di rumah sakit, sebagian besar anak
dirawat 4-6 hari sehingga anak sudah mengalami kejenuhan dan diberi terapi bermain:
boneka tangan anak tetap maladaptif. Selain itu faktor penyebab stress hospitalisasi
yaitu pakaian putih petugas kesehatan dan pengalaman stress selama dirawat di rumah
sakit, sehingga anak tidak kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang diberikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sebagian besar anak yang diberikan terapi bermain: boneka tangan berespons
adaptif saat dilakukan tindakan injeksi. Sebagian besar anak yang tidak diberikan terapi
bermain berespons maladaptif saat dilakukan tindakan injeksi. Faktor yang mempengaruhi
respon anak saat injeksi antara lain: kemampuan adaptasi anak terhadap lingkungan, anak
bosan terhadap prosedur pengobatan. Tidak ada perbedaan signifikan pengaruh terapi
bermain: boneka tangan terhadap respons anak pra sekolah.
Saran
Perlu evaluasi bagi rumah sakit agar lebih meningkatkan fasilitas sarana dan
prasarana khususnya tempat terapi bermain pada anak dan dapat dijadikan metode
pengetahuan bagi orang tua tentang penerapan pola bermain pada anak prasekolah.
KEPUSTAKAAN
Chiles, B. L. (2006). Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Alih Bahasa: dr. Jan
Tamboyang. Jakarta. EGC.
Kristiani. (2007).http://klinis.wordpress.com/penerapan-terapi-bermain.
Rabu tanggal 14 November 2012 jam 16.00 WIB
Diakses
hari
Nursalam, Susilaningrum, dan Utami. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.
Jakarta: Salemba Medika.
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Wong, Donna. L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
117
122
123
124
125
129
132
- 2,646
0,008
Berdasarkan tabel di atas dengan uji statistik non parametrik Wilcoxon Signed Rank
Test dengan tingkat kemaknaan < 0,05 didapatkan hasil p= 0,008 artinya ada pengaruh
yang signifikan pemberian informed consent terhadap pasien pre operasi katarak.
Informed consent merupakan suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara petugas kesehatan dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa
yang akan dan tidak akan dilakukan terhadap pasien (Sampurna, dkk, 2005). Sebelum
melakukan tindakan operasi medik, dokter berkewajiban untuk memberikan informasi
tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik yang akan dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien serta risiko-risiko yang mungkin timbul dari tindakan medik
tersebut kepada pasien dan keluarganya (Ermawati, 2010). Karena informed consent
merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan operasi medik, maka keberadaan
informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan perjanjian pelayanan
kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed consent sangat penting
dan diperlukan di rumah sakit.
Sebelum diberikan informed consent sebagian responden ada yang menolak untuk
dilakukan tindakan operasi, hal itu terjadi karena responden kurang mengetahui tentang
tindakan medis pasca operasi dan responden takut untuk dilakukan tindakan operasi,
mungkin responden berfikir bahwasanya operasi katarak bisa mengakibatkan rasa sakit
atau kecacatan. Sesudah diberikan informed consent, responden yang sebelumnya menolak
untuk dilakukan tindakan operasi akhirnya menyetujui untuk dilakukan tindakan operasi
katarak. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sangat memperhatikan ketika diberikan
informed consent. Dalam hal ini apabila seorang pasien benar-benar mau diberikan
informed consent dan mau memperhatikan petugas kesehatan saat memberikan informasi,
maka setiap orang yang terkena katarak tidak akan takut lagi untuk dilakukan tindakan
operasi.
3. Tingkat Pengetahuan Pasien Pre Operasi Katarak Sebelum dan Sesudah
diberikan Informed Consent.
Tabel 2 Tingkat Pengetahuan Pasien Pre Operasi Katarak Sebelum dan Sesudah
diberikan Informed Consent di Poli Mata RSUD Ibnu Sina Gresik Bulan
Januari 2013
Pengetahuan
Minimum
Maximum
Mean
SD
Sebelum
30
60
45,00
10,364
Sesudah
40
80
56,43
13,393
133
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
-3,464
0,001
Hasil uji statistik non parametrik Wilcoxon Signed Rank Test dengan tingkat
kemaknaan < 0,05 didapatkan hasil p= 0,001 artinya ada pengaruh yang signifikan antara
informed consent terhadap peningkatan pengetahuan pasien.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi, sehingga dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan
cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun media massa.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pengetahuan yang didapatkan.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (perilaku)
dan perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Sebelum diberikan informed consent, dari hasil pengisiaan karakteristik responden
dan kuesioner pengetahuan responden sebagian besar berpendidikan SD (61%) dan
berpendidikan SMA (29%), yang ditemukan sebagian besar (82%) mempunyai
pengetahuan yang kurang. Mungkin dikarenakan karena faktor dari usia dan tingkat
pendidikannya, semakin bertambahnya umur maka daya ingat atau daya piker seseorang
134
-1,043
0,297
137
138
139
142
Publisher
Danar,R.B.D. (2004). Optimasi Lokasi Untuk Group Tower Crane Pada Proyek Kelapa
Gading Mall Jakarta. Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
146
147
6
6
1
13
22,2
22,2
3,7
48,1
= 0,169
1
0
0
1
3,7
0,0
0,0
3,7
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
r = -,273
11
12
4
27
40,7
44,4
14,8
100,0
Hasil penelitian yang diperoleh dari 27 responden diketahui bahwa setengah yaitu
12 (44,4%) responden mempunyai kebiasaan merokok 10 20 batang per hari,
setengahnya lagi yaitu 11 (40,7%) responden mempunyai kebiasaan merokok kurang dari
10 batang per hari dan hanya sebagian kecil yaitu 4 (14,8%) responden mempunyai
kebiasaan merokok lebih dari 20 batang per hari. Jumlah konsumsi rokok per hari dapat
digunakan sebagai indikator tingkatan merokok seseorang. Dalam penelitian ini konsumsi
rokok dikategorikan menjadi 3 yaitu kurang dari 10 batang per hari (perokok ringan), 10
20 batang per hari (perokok sedang), dan lebih dari 20 batang per hari (perokok berat).
Dari hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa setengah yaitu 12 (44,4%) responden
termasuk perokok sedang dan setengah lagi 11 (40,7%) responden termasuk perokok
ringan dan hanya sebagian kecil saja yang termasuk perokok berat 4 (14,8%) responden.
Hal ini dikarenakan masyarakat sebetulnya tahu bahaya merokok. Sebagian besar
masyarakat merokok dengan alasan bukan kecanduan tetapi merokok yang dilakukan oleh
150
152
156
158
Tabel di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keluhan nyeri pada
kelompok jelly oles dan kelompok pembanding dengan jelly semprot. Hasil uji MannWhitney U Test didapatkan bahwa p=0,010 dan ini menunjukkan ada perbedaan yang
signifikan dari teknik pemberian jelly oles dan pemberian jelly semprot terhadap tingkat
nyeri pasien. Pasien pria dewasa yang menjalani kateterisasi urine dengan cara pelumasan
jelly dioleskan menghasilkan intensitas nyeri yang lebih tinggi daripada cara pelumasan
jelly disemprotkan.
Hasil penelitian menunjukkan adalah bahwa rata-rata intensitas nyeri yang dialami
responden ternyata lebih tinggi pada pemasangan kateter dengan cara pelumasan melumuri
jelly pada ujung kateter daripada dengan cara memasukkan jelly langsung ke dalam uretra.
Intensitas nyeri pada tindakan kateterisasi urin dengan cara pelumasan melumuri jelly pada
ujung kateter dengan berkisar skor 1-9 atau dengan kata lain berkisar nyeri ringan sampai
berat, sedangkan cara pelumasan dengan cara lubrikasi yaitu memasukkan langsung
kedalam uretra intensitas nyeri yang diungkapkan oleh responden berkisar skor 1-5 atau
antara nyeri ringan dan nyeri sedang. Ini membuktikan bahwa memang terdapat pengaruh
teknik pemberian jelly dalam pemasangan kateter urin terhadap keluhan nyeri yang dialami
oleh responden.
Rasa nyeri sebagian disebabkan secara langsung oleh spasme otot karena
terangsangnya reseptor nyeri yang bersifat mekanosensitif karena tekanan dan gesekan
pada dinding uretra. Rasa nyeri juga secara tak langsung disebabkan oleh pengaruh
spasme otot yang menekan pembuluh darah dan menyebabkan ischemia. Spasme otot juga
akan meningkatkan kecepatan metabolisme jaringan otot sehingga relatif memperberat
keadaan iskemia. Keadaan ini merupakan kondisi yang ideal untuk pelepasan bahan kimia
seperti glutamate sebagai pemicu timbulnya rasa nyeri. Mengacu pada teori yang ada
bahwa kateter dengan jelly yang di semprotkan akan memperbaiki kualitas pelumasan
karena lubrikasi terjadi lebih total, jelly lebih merata masuk kedalam uretra sehingga akan
mengurangi terjadinya pergesekan dan tekanan. Pembuktian yang lebih bersifat kasat mata
tentunya diperlukan bila hendak mengetahui secara pasti bahwa cara pelumasan
memasukkan jelly ke dalam uretra dapat mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra
akibat pergesekkan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara pelumasan dengan
melumuri jelly pada ujung kateter. Akan tetapi dari indikator nyeri kiranya dapatlah
diyakini bahwa metode lubrikasi (pelumasan dengan memasukkan jelly ke dalam uretra)
adalah lebih baik karena responden melaporkan intensitas nyeri yang lebih rendah karena
seperti yang dikatakan oleh McNelly dan Marie (1999) bahwa intensitas nyeri merupakan
refleksi dari berat ringannya kerusakan jaringan. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan
dengan pemberian jelly semprot kualitas pelumasan lebih baik sehingga pemasangan
kateter lebih cepat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Teknik pemberian jelly oles pada pasien kateterisasi urin dengan nilai nyeri rata-rata
2,4. Teknik pemberian jelly semprot pada pasien kateterisasi urin dengan nilai nyeri rata160
161
Tabel 1 Kepuasan Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Petrokimia Gresik tanggal 1
November s/d 30 November 2012
Kepuasan Pasien
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
N
%
N
%
N
%
N
%
3
4,8
25
39,7
35
55,6
63
100
Tabel diatas menunjukkan data responden kepuasan pasien rawat inap di Rumah
Sakit Petrokimia Gresik didapatkan data sebagai berikut: sebagian besar mempunyai
kepuasan tinggi terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan yaitu sebanyak 35 orang
(55,6%) dan sebagian kecil mempunyai kepuasan yang rendah terhadap pelayanan yang
diberikan yaitu sebanyak 3 orang (4,8%).
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau
hasil yang dirasakan dengan harapan. Ada dua variabel yang menentukan kepuasan
pelanggan yaitu expectation (harapan) dan performance (kenyataan). Menurut Junaidi
(2007), ada empat aspek untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu (1) kenyamanan
(kebersihan, kenyamanan ruangan, makanan dan minuman, penerangan, kebersihan WC,
kesegaran ruangan, dan lain-lain), (2) hubungan pelanggan dengan petugas (keramahan,
informasi yang diberikan, komunikasi, responsi, seberapa tanggap dokter/perawat diruang
rawat inap), (3) kompetensi tekhnis petugas (kecepatan pelayanan, keterampilan petugas,
pengalaman petugas medis, dan sebagainya), (4) biaya (kejelasan komponen biaya,
kewajaran biaya, dan lain-lain).
Mutu pelayanan tidak ditentukan semata-mata oleh hasil evaluasi pelayanan yang
diberikan jasa pelayanan kesehatan kepada pelanggan (pasien), tetapi juga ditentukan oleh
proses yang diberikan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Mutu asuhan
keperawatan di rawat inap dikatakan baik, apabila petugas bisa memenuhi kebutuhan
pasien, kelancaran komunikasi antara petugas dalam melayani pasien, kerendahan hati
164
Tabel 2 Loyalitas Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Petrokimia Gresik tanggal 1
November s/d 30 November 2012
Total
Loyalitas Pasien
Rendah
Sedang
Tinggi
N
%
N
%
N
%
N
%
3
4,8
17
27
43
68,3
63
100
Tabel 2 menunjukkan data loyalitas pasien rawat inap di Rumah Sakit Petrokimia
Gresik didapatkan data sebagai berikut: sebagian besar mempunyai loyalitas tinggi yaitu
165
Tabel 3 Tabulasi Silang Hubungan Kepuasan Pasien dengan Loyalitas Pasien Rawat Inap
di Rumah Sakit Petrokimia Gresik tanggal 1 November s/d 30 November 2012
Kepuasan Pasien
Loyalitas Pasien
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
N
%
N
%
N
%
N
%
Rendah
0
0
1
33,3 2
66,7 3
4,8
Sedang
3
12,0 11 44,0 11
44,0 25 39,6
Tinggi
0
Jumlah
3
Analisis Spearman rho
0
5
4,8
17
p= 0,001
14,3
27,0
30
85,7
43
68,3
r= 0,404
35
63
55,6
100
Tabel 3 hasil uji statistik menggunakan uji Spearman Rho Correlation, diketahui
sebagian besar mempunyai kepuasan dan loyalitas tinggi yaitu sebanyak 30 orang (85,7%)
166
167
168
172
173
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Gresik Jl. A.R.
Hakim No. 2B Gresik, email: monogoes@gmail.com
** RS GRHA HUSADA Jl. Padi No. 3, Perum Petrokimia Gresik
ABSTRAK
Stres dapat didefinisikan sebagai reaksi tubuh terhadap situasi yang menyebabkan
ketegangan dan perubahan emosional. Saat ini semakin banyak pasien dengan gangguan
fungsi jantung karena gaya hidup atau komplikasi, semakin banyak pasien yang
membutuhkan perawatan intensif. Tempat yang membutuhkan peran optimal profesional
kesehatan khususnya perawat. Pandangan publik ketika dirawat di ruang ICU dalam
kondisi kritis dan hampir mati, sehingga psikologi pasien ICU sebelum memasuki ruangan
menjadi sangat sensitif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian
informasi tentang ICU terhadap tingkat stres pasien.
Desain penelitian yang digunakan Pra Eksperimental dengan desain pre-post test.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien di ruang ICU Rumah Sakit Grha Husada
Petrokimia Gresik. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan purposive
sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani
perawatan di ruang ICU sebanyak 20 pasien pada bulan Juli 2012. Variabel bebas adalah
pemberian informasi tentang ICU dan variabel dependen adalah tingkat stres pasien. Data
dikumpulkan menggunakan kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis statistik dengan menggunakan uji
statistik Wilcoxon diperoleh nilai yang signifikan p= 0,001 < 0,05, berarti H1 diterima,
sehingga ada pengaruh pemberian informasi tentang ICU dengan tingkat stres pasien.
Pasien yang masuk ruang ICU merasa stres. Oleh karena itu sangat penting peran
perawat dalam mengurangi tingkat stres melalui pemberian informasi tentang ICU untuk
pasien dengan cara komunikasi terapeutik.
Kata kunci: Pemberian Informasi, ICU, Tingkat stres pasien
ABSTRACT
Stress can be defined as the body's reaction to situations that cause stress, tension
and emotional changes. Today, increasing numbers of patients with impaired cardiac
function due to lifestyle or complications, the more patients who require intensive care
where it is needed the optimal role of health professionals especially nurses. The public
view when admitted to the ICU room is in critical condition and near death, so the
psychological ICU patients before entering the room to be very sensitive. The purpose of
this study was to determine the influence of the provision of information about the ICU to
stress levels of patients.
The study designs was used Pra Experimental with pre-post test design. The
populations in this study were all patients in ICU room of Grha Husada Petrokimia Gresik
Hospital. The sampling technique this study was used purposive sampling. The sample
used in this study were patients undergoing treatment in the ICU room as many as 20
patients in July 2012. Independent variable was provision of information about ICU and
dependen variable was stress level of patients. Datas were collected used questionnaires.
The results showed that the statistical analysis using the Wilcoxon statistical test
found significant value p= 0.001, which is less than 0.05, it means that H1 is accepted, so
there were the influence of provision of information about ICU to the stress level of
patients.
174
Pengaruh Pemberian informasi tentang Ruang ICU terhadap tingkat stres pasien
Tabel Pengaruh Pemberian informasi tentang Ruang ICU terhadap tingkat stres pasien di
Ruang ICU RS Grha Husada Petrokimia Gresik pada bulan Juli 2012
Post
Tingkat Stres
Total
Tidak Stress
Stres Ringan
Stres Sedang
0
2
1
3
Pre Stress Ringan
Stress Sedang
1
11
3
15
Stress Berat
0
2
0
2
Total
1
15
4
20
Analisis statistik Wilcoxon
p = 0,001
Dari tabel di atas menunjukkan penurunan tingkat stres pasien antara sebelum dan
sesudah pemberian informasi tentang ICU. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji
statistik Wilcoxon didapatkan nilai signifikansi p= 0,001 dimana lebih kecil dari 0,05, yang
berarti H1 diterima, sehingga ada pengaruh pemberian informasi tentang ICU terhadap
tingkat stres pasien.
Informasi merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi tingkat stress
seseorang. Menurut Notoatmodjo (2008) bahwa semakin banyak informasi dapat
mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang dan dengan pengetahuan
menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya. Informasi bisa dikatakan sebagai pengetahuan yang
didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi, dalam hal ini khususnya dari
perawat kepada pasien di R. ICU. Pemberian informasi bertujuan untuk menurunkan
tingkat stress pada pasien yang masuk di Ruang ICU. Proses penerimaan informasi
menurut Zulkifli (2011), dijelaskan bahwa model belajar pemrosesan informasi yang
sering pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar
ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu: 1) Sensory atau intake register:
informasi masuk ke sistem melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk
periode waktu terbatas, 2) Working memory: pengerjaan atau operasi informasi
berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar dan 3)
Long-term memory, dimana secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga
mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki penerima informasi. Informasi
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi177
180
183
184
186
Infark
Sebelum
Mobilisasi
Miring
di Ruang Gardena
Total
N
11
9
20
%
55%
45%
100%
Konstipasi pada Pasien Stroke Infark setelah Mobilisasi Miring Kanan Miring
Kiri tiap 2 Jam
Tabel 1 Kejadian Konstipasi Pada Pasien Stroke Sesudah Tindakan di Ruang Gardena
RSUD Ibnu Sina Gresik Bulan Oktober-November 2011
Konstipasi
Kel. Perlakuan
Kel. Kontrol
Total
Hari 1
Hari 2
Hari 1
Hari 2
N
%
Sudah BAB
1
7
0
3
11
45%
Hasil analisis statistik Mann Whitney p= 0,028
Hasil penelitian selama 2 hari menunjukkan pasien yang dirawat di ruang Gardena
RSUD Ibnu Sina Gresik bahwa setelah diberi perlakuan mobilisasi miring kanan miring
kiri tiap 2 jam didapatkan sebagian besar bisa defekasi pada hari ke 2, hanya 1 responden
yang defekasi hari ke 1.
Hal inidi karenakan selain adanya perlakuan, faktor asupan nutrisi menjadi penting
dalam hal ini. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden cukup asupan
nutrisi. Makanan hal ini berkaitan dengan diet atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang dikonsumsi dengan kandungan serat tinggi
dapat membantu proses percepatan defekasi. Asupan nutrisi dan cairan yang kurang dalam
187
189
Tabel 2 Tabulasi silang hubungan sikap perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial
dengan pelaksanaan cuci tangan
Sikap
Pelaksanaan Cuci Tangan
Total
Kurang
Cukup
Baik
N
%
N
%
N
%
N
%
Cukup
1
2,8
3
8,3
0
4
11,1
Baik
7
19,4
13
36,1 12 33,3 32 88,9
Total
8
22,2
16
44,4 12 33,3 36 100
Uji statistik rank spearman
=0,285
Berdasarkan data diatas dapat dijelaskan bahwa dari 36 responden sebagian besar
mempunyai sikap yang baik dengan pelaksanaan cuci tangan yang cukup sebesar 36,1%
(13) dan tidak ada responden yang menunjukkan sikap cukup dengan pelaksanaan baik.
Responden yang bersikap cukup dengan pelaksanaan cuci tangan yang cukup pula sebesar
8,3% (3) responden, responden yang bersikap cukup dengan pelaksanaan yang kurang
sebanyak 2,8% (1) responden dan tidak ada satupun responden yang bersikap cukup dapat
melaksanaan cuci tangan secara baik. Hasil uji statistik rank spearmans antara dua
variabel diperoleh taraf signifikan ()=0,285. Dalam keputusan hipotesa ()>0,05 yang
diartikan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap perawat tentang pencegahan
infeksi nosokomial dengan pelaksanaan cuci tangan.
Menurut Azwar (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diantaranya
pengaruh orang lain yang dianggap penting. Dimana kepala ruangan maupun perawat
senior sangat berperan dalam hal ini. Jika kepala ruangan maupun perawat senior
melakukan cuci tangan yang baik dan benar akan diikuti pula dengan staff yang lain.
193
195
200
Pintar:
Latihan
Origami.
Jakarta:
PT.
203