Anda di halaman 1dari 11

SYOK HIPOVOLEMIK

Paul Kolecki, MD, FACEP, Associate Professor, Department of Emergency Medicine, Thomas
Jefferson University Hospital, Director of Undergraduate Emergency Medicine Student
Education, Jefferson Medical College, Philadelphia, PA, Consultant, Philadelphia Poison Control
Center, Philadelphia, PA
Update: 20 Agustus 2008
LATAR BELAKANG
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi
yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang
berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga
dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada
dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat
dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari
kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi
akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
Pembahasan utama dari artikel ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan
kontraversi mengenai penanganannya. Pembaca dianjurkan membaca artikel lain untuk
mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan syok hipovolemik akibat kehilangan cairan
dibandingkan darah.
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun 1900-an yang
berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi syok hemoragik. Selama
perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok
hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama
Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang
Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat
penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain
membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik.
Namun, peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang, muncul kontraversi
seputar penaganan optimal pada syok hemoragik.
PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama
sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi
kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2
lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan
membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak
menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan
bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan
darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan

denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah


perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang
dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan
penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari
apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang
selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik,
yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik
Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon
terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan
konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH
menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis sebelumnya.
Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi. Mekanisme yang rumit
yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan
darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang
mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ
akan segera terjadi.
MANIFESTASI KLINIS
Riwayat Penyakit
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk
menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat
kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam
kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan
status mental.
Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai
pada semua pasien.
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan
memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi
kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor)
Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri
Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.
Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri
panggul.
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang
hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang
lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting.

o Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan.


o Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan
mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat
hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal
berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam
(termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita
usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes
kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus
dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini
menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga
pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi
kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami
takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang.
Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata.
Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan
klasifikasi awal.
Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
o Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
o Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.
o Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%
Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
o Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan
nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan .
o Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah
diastolik.
Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
o Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria,
dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
o Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan
darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
o Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian
darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
o Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit
(atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan
status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
o Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok.
Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade
jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea,
suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan
defisit neurologis)
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian
luar tubuh.
o Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena
perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi
paru.
o Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang
menunjukkan cedera intraabdominal.
o Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur femur
dan perdarahan dalam paha).
o Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus
diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma
aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada perdarahan
trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double set-up di ruang operasi. Periksa
abdomen, uterus,atau adneksa.
Penyebab
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau
berhubungan dengan kehamilan
Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul. Trauma
yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard,
laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur,
dan laserasi pada tengkorak.
Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain
aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara lain:
perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory-Weiss tears, dan fistula
aortointestinal.
Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu, plasenta
previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum terjadi. Syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi,
tetapi pernah dilaporkan.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Solusio plasenta Kehamilan ektopik
Aneurisma abdominal Perdarahan post partum
Aneurisma thoracis Trauma pada kehamilan
Fraktur femur Syok hemoragik
Fraktur pelvis Syok hipovolemik
Gastritis dan ulkus peptikum Toksik

Plasenta previa
MASALAH LAIN YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN
Perdarahan gastrointestinal
Trauma tembus
LANGKAH DIAGNOSIS
Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung
pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood
Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT,
AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya
ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara
adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi
segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. .
Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat
ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.
Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit
gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan
gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto
polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave.
Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari
sumber perdarahan.
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien hamil
dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera
dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat
kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien
dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.
Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal,
dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.
Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal
Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan
umumnya dilakukan pada pasien yang stabil.
Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.
PENATALAKSANAAN
Penanganan Sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di
rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera
lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang
sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah
yang lebih lanjut.

Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis
harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu.
Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke
rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan
definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang
membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat
dipindahkan sangat berbahaya.
Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin
jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik
vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi
dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok
hipovolemik.
Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa
prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika
pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya
ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas.
Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke
tempat pelayanan kesehatan.
Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military Antishock
Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak kesuksesan yang
dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah
sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, American College of Surgeon Commite on
Trauma memasukkan penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tandatanda dan gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan
hasil dengan penggunaan MAST. American College of Surgeon Commite on Trauma tidak
lama merekomendasikan penggunaan MAST.

Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: (1)
memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan
saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih
lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan
frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi
(seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus
segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan
pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang
mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa
aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan
diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar;

diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena
antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik
Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter
lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling
penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk
pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas
darah.
o Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik,
seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB
pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu
dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan
dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus
kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan
kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah
tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus
berdasarkan kondisi pasien.
o Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan
kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah
memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan
memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi
aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk
koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma.
Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
Kontol perdarahan lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan
secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang
ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
o Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat
diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk
menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di
ruang operasi.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah
digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia,
gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk
penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan
o Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan
gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja
vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
o Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat

dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama
dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini
dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi
mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat
sementara pada keadaan yang ekstrim.
o Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan
ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.
o Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan
kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan
penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu
untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
o Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang
serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada
pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi
abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli
bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang
tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi
masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada
resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin,
fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
o Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan
menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah
pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang
intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi
faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
o Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume
intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum
menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.
o Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma,
dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya
dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi
edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan
perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama
perawatan, atau kelangsungan hidup.
o Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta
menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian
di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan
dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan
resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau
Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi
adalah harga cairan tersebut.
Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume
sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.
o Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami syok. Dia

kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan
minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya.
o Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang mengalami perdarahan
telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang ini memperoleh resusitasi cairan.
Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol dengan ligasi setelah binatang tersebut
mengalami perdarahan.
o Selama perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat telah
dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan resusitasi yang agresif
memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun 1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas
pada masyarakat sipil.
o Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini valid
pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari penelitian tersebut
menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada hipotensi yang berat dan
kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan bahwa peningkatan tekanan menyebabkan
perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi
berat dapat meningkatkan risiko perfusi otak
o Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah sebagai berikut: mekanisme dan
pola cedera yang mana yang disetujui untuk pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan
darah yang adekuat, tetapi tidak berlebihan?
o Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 80-90 mmHg mungkin
adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih
lanjut.
o Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau
Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa
memperhatikan penyebab yang mendasari.
PENGOBATAN
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi
Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.
Somatostatin (Zecnil)
Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel
usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama
dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam
sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.
Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya;
maintenance 2-5 hari jika berhasil
Anak-anak
Tidak dianjurkan
Interaksi
Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.
Kontraindikasi
Hipersensitifitas

Kehamilan
Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat
digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.
Perhatian
Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat
pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.
Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama
dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama.
Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari
abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.
Dosis
Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg;
penanganan hingga 5 hari.
Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Kehamilan
Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa
penelitian pada binatang.
Perhatian
Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk
mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini
karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan),
dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi
aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien
dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.
FOLLOW UP
Komplikasi
Sekuele neurologi
Kematian
Prognosis
Prognosis tergantung derajat kehilangan cairan
SERBA-SERBI
Medicolegal Pitfalls
Kesalahan yang umum terjadi pada penanganan syok hipovolemik adalah gagal mengenali
keadaan ini secara cepat.
o Kesalahan ini menyebabkan keterlambatan diagnosis penyebab dan penanganan resusitasi pada
pasien.
o Kekesalahan ini sering disebabkan oleh kepercayaan terhadap tekanan darah dan level
hematokrit yang lebih besar dibandingkan tanda-tanda berupa penurunan perfusi perifer, dalam

mendiagnosis.
o Beberapa cedera pada pasien yang mengalami trauma dapat terlewatkan, khususnya jika
pemeriksa memusatkan perhatian hanya pada cedera yang kelihatan. Kesalahan ini dapat dicegah
dengan melakukan pemeriksaan fisis yang lengkap, secara rutin dan ketat mengamati status
pasien dan melakukan pemeriksaan serial.
o Pasien usia lanjut menunjukkan toleransi yang kurang terhadap keadaan hipovolemik
dibandingkan populasi yang lain. Terapi yang agresif seharusnya diberikan segera untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut, seperti infark miokard dan stroke.
o Pada pasien yang membutuhkan volume resusitasi yang cukup banyak, harus diperhatikan
untuk mencegah hipotermia , karena hal ini dapat menyebakan aritmia atau koagulopati.
Hipotermia dapat dicegah dengan menghangatkan cairan intravena yang digunakan untuk
penanganan pasien,
o Pasien yang mengkonsumsi beta bloker, atau calcium channel bloker dan pada pengguna alat
pacu jantung tidak menunjukkan respon takikardi terhadap hipovolemik; kurangnya respon ini
dapat menyebabkan terlambatnya ditegakkan diagnosis syok. Untuk meminimalkan
kemungkinan keterlambatan ini, pada anamnesis selalu ditanyakan riwayat pengobatan
sebelumnya. Pemeriksa seharusnya juga mengandalkan tanda-tanda penurunan perfusi perifer
selain takikardi.
o Koagulopati dapat terjadi pada pasien yang menerima resusitasi dalam jumlah yang besar. Hal
ini terjadi karena dilusi platelet dan faktor pembekuan darah, tetapi jarang pada jam pertama
resusitasi. Pengetahuan tentang dasar koagulasi seharusnya digambarkan dan sebagai panduan
penanganan platelet dan fresh frozen plasma.
Diposkan oleh Situs Asrama Medica di 07:14
Label: Anastesi
0 komentar:
Poskan Komentar dari nhas makasar
Silahkan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka


Langgan: Poskan Komen

Anda mungkin juga menyukai