Anda di halaman 1dari 2

A.

Latar Belakang Masalah


Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat sama dengan jenis kejahatan lai
n seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini.
Masalah utama yang dihadapi adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kema
juan kemakmuran dan teknologi. Bahkan pengalaman memperlihatkan semakin maju pem
bangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan mendorong orang untuk mel
akukan korupsi.
Di Indonesia korupsi sudah sampai pada titik nadir yang tidak dapat ditolerir, b
egitu mengakar dan sistematis. Kerugian negara atas menjamurnya praktek korupsi
sudah tidak terhitung lagi. Soemitro Djoyohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran
dana pembangunan antara 1989-1993 sebesar 30% dan hasil penelitian World Bank k
ebocoran dana pembangunan mencapai 45%. (Tempo, 22 Januari 1994). Sedangkan berd
asarkan penelitian Transparency International (TI) selama lima (5) tahun berturu
t-¬turut dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, Indonesia selalu menduduki p
osisi 10 besar negara paling korup di dunia. (Transparency International, Corrup
tion Perception, Index 1995, 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2000)
Selanjutnya berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC
) tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. (Tempo, 22 Jan
uari 1994). Pada tahun 2001, posisi Indonesia pada urutan negara terkorup kedua
setelah Vietnam.
Korupsi sudah terjadi pada semua aspek, baik eksekutif, legislatif maupun yudika
tif, bahkan tidak mustahil pada tahun 2002 jumlah tersebut sudah semakin meningk
at. Daniel Kaufmann dalam laporan mengenai bureaucratic and judicial bribery men
yatakan bahwa penyuapan peradilan di Indonesia yang tertinggi diantara negara-ne
gara berkembang (Adnan Buyung Nasution, 2001:2). Disinyalir tidak sedikit hakim
di semua tingkat pengadilan yang diduga kuat melakukan korupsi. Ini memperlihatk
an bahwa integritas yang rendah dan kemampuan terbatas menyebabkan banyak putusa
n pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyaraka
t.
Berdasarkan pengalaman empiris selama ini terlihat bahwa di dalam penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan d
an wewenang yang bersifat extra ordinary (luar biasa), profesional dan dukungan
biaya yang besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang
cukup.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi amanat bangsa Indonesia
yang telah dituangkan dalam ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyeleng
garaan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang diwujudka
n dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko
rupsi.
Kendala utama yang dihadapi selama penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 d
alam penanganan tindak pidana korupsi yaitu kurangnya dukungan anggaran, sumber
daya manusia yang masih belum memadai dan hambatan-hambatan penyidikan terhadap
pejabat-pejabat negara, sulitnya menembus rahasia bank, hukum acara pidana yang
tidak efektif dan efisien, serta rendahnya dukungan semua pihak baik pemerintah
maupun masyarakat sendiri.
Reformasi mengandung arti perubahan untuk perbaikan, maka di dalam era reformasi
ini perlu adanya penegakan supremasi hukum di segala aspek kehidupan, termasuk
juga perbaikan kinerja lembaga-lembaga hukum dan aparat penegak hukum.
Dalam rangka menangani dan memberantas korupsi yang sudah membudaya dan sistemat
is dalam kehidupan bangsa Indonesia, serta untuk lebih menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak
-hak sosial ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tin
dak pidana korupsi maka Pemerintah Indonesia memandang perlu adanya perubahan at
as Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang dirasakan belum memadai untuk pemberantasan korupsi yang bersifat luar bia
sa sehingga perlu diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nep
otisme dan diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yaitu :
Pertama, pada rumusan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasa
l 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusa
n pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada Pasal-Pasal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-
masing Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Kedua, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencantumkan ketentuan meng
enai Gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik (Pembalikan Beban Pembuktian)
yang terdapat dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C;
Ketiga, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga memberikan kewenangan untuk melak
ukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak
pidana yang dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) meskipun terdakwa telah meninggal
dunia selama persidangan.
Gratifikasi adalah suatu pemberian, imbalan atau hadiah oleh orang yang pernah m
endapat jasa atau keuntungan atau oleh orang yang telah atau sedang berurusan de
ngan suatu lembaga publik atau pemerintah dalam misalnya untuk mendapatkan suatu
kontrak. (Barda Nawawi Arief, 2002:216)
Pelaporan gratifikasi meliputi pelaporan terhadap pemberian (dalam arti luas) ya
itu meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bu
nga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratif
ikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pelaporan gratifikasi juga mengandung delik sistem pembalikan beban pembuktian y
aitu beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berla
ku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam pelaporan gratifikasi dalam r
angka pemberantasan tindak pidana korupsi sudah diterapkan oleh Malaysia dan Sin
gapura. Dengan adanya penerapan delik sistem pembalikan beban pembuktian pada pe
laporan gratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diharapkan pencegaha
n terhadap tindak pidana korupsi akan lebih optimal dan efektif, setidak-tidakny
a dapat mengurangi praktek korupsi yang selama ini telah terjadi (A. Hamzah, 200
2:78).
Beranjak dari ketentuan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, p
enulis mengambil judul Tinjauan Yuridis Sistem Pembuktian Terbalik dalam Gratifi
kasi pada Tindak Pidana Korupsi
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan terdahulu, beberapa masalah da
pat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Sejauhmanakah efektivitas sistem pembuktian terbalik dalam gratifikasi?
2. Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam penerapan sistem pembuktian t
erbalik dalam gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?
3. Efektivitas pelaksanaan sistem pembuktian terbalik dalam gratifikasi.
4. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapan sistem pembuktian terbalik
dalam gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi teoritis yakni :
1. Bagi mereka yang membutuhkan informasi tentang sistem pembalikan beban p
embuktian dalam gratifikasi pada tindak pidana korupsi.
2. Menambah informasi yang lebih konkret bagi usaha pembaharuan hukum pidan
a khususnya di bidang pencegahan tindak pidana korupsi.
3. Untuk melengkapi bahan-bahan penelitian dan studi perbandingan mengenai
tindak pidana korupsi, terutama sebagai bagian dari proses penegakan hukum pada
umumnya dan penanggulangan tindak pidana korupsi pada khususnya.
2. Kegunaan Praktek
Secara praktek penelitian ini diharapkan memberi masukan kepada lembaga-lembaga
terkait baik eksekutif maupun legislatif untuk mengantisipasi dan mempersiapkan
solusi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

Anda mungkin juga menyukai