BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf dan jaringan lain sehingga tumbuh
mati sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa
penampilan seorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat
berbeda, baik dalam penyampaian puncak maupun saat menurunya, namun umumnya fungsi
fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Setelah mencapai puncak,
fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun
sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya umur.
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia
(Mariam. R. Siti, 2008: 32). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) No. 13 tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Mariam. R. Siti, 2008 :32).
2. Batasan Umur Lansia
Batasan umur menurut organisasi kesehatan dunia World Health Organisation
(WHO), ada empat tahap lanjut usia meliputi :
a. Usia pertengahan (Middle Age) = kelompok usia 45-59 tahun;
b. Lanjut usia (Elderly) = antara 60-74 tahun;
c. Lanjut usia tua (Old) = antara 75-90 tahun;
d. Usia sangat tua (Very Old) = diatas 90 tahun.
Klasifikasi pada lansia ada 5 (Mariam. R. Siti, 2008:33), yakni :
1. Pralansia (Prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia
mmHg yang akan mengakibatkan pusing mendadak. Tekanan darah dapat naik yang di
akibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer. (Nugroho, 2000:23).
3). Respirasi
Otot otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun,
kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, alveoli melebar dan
jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.
(Nugroho, 2000:23)
4). Pernafasan
Saraf pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespons
dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stess. Berkurang atau hilangnya
lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik dan reflek
(Maryam. R. Siti, 2008:56)
Pada sistem pernafasan terjadi pengecilan sarafpancaindra yang mengakibatkan
kurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf penciuman dan perasa
serta lebih sensitif terhadap perubahan suhu. Hubungan pernafasan menurun dan lambat
berespon atau bereaksi khususnya terhadap stress. (Nugroho, 2000:22)
Menurunnya hubungan persarafan, berat otak pun menurun 10-20% (sel saraf otak
setiap orang berkurang setiap harinya). Respon dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya
terhadap stess. Saraf pancaindra mengecil. Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang,
saraf penciuman dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu, dan rendahnya
ketahanan terhadap dingin. Kurang sensitif terhadap sentuhan. Defisit memori. (Nugroho,
2008:55).
5). Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang tulang
pendengaran mengalami kekakuan.(Maryam. R. Siti, 2008: 56)
Pada sistem pendengaran terjadi atrofi pada membran timpani dan penumpukan
serumen yang dapat mengeras karena peningkatan kreatin, sehingga hilangnya kemampuan
daya pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap suara suara tinggi, suara yang tidak
jelas dan sulit mengerti kata kata.(Nugroho, 2000:22)
6). Penglihatan
Pada sistem penglihatan sfingter pupil timbul sclerosis dan respons terhadap sinar
menghilang, terjadi kekeruhan pada lensa, menjadi katarak, daya adaptasi terhadap kegelapan
lebih lambat dan susah bila menglihat gelap, terjadi penurunan / hilangnya daya akomodasi,
dengan manifestasi presbiopi, sulit untuk melihat dekat yang dapat di pengaruhi
berkurangnya elastisitas lensa, lapangan pandang menurun, luas pandangan berkurang, daya
untuk membedakan warna menurun, terutama warna biru atau hijau. (Nugroho, 2008: 29).
Respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi
menurun, lapang pandang menurun, dan katarak. (Maryam. R. Siti, 2008: 57).
7). Muskuloskeletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (Osteoporosis), bungkuk (Kifosis),
persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut dan
mengalami sclerosis. (maryam. R. Siti, 2008: 57)
Pada sitem muskuloskeletal terjadi gangguan tulang, yakni mudah mengalami
demineralisasi. Kekuatan dan kestabilan tulang menurun, terutama pada bagian vetebra,
pergelangan. Insiden osteoforosis dan fraktur meningkat pada area tulang tersebut. Kartilango
yang meliputi permukaan sendi tulang penyangga rusak dan haus. Kifosis, gerakan pinggang,
lutut dan jari jari pergelangan terbatas, terjadi gangguan berjalan, discus intervertebralis
menipis dan menjadi pendek 9tingginya berkurang). Atrofi serabut otot, serabut otot menjadi
kecil sehingga gerakan menjadi lambat, otot kram, dan menjadi tremor (prubahan pada otot
cukup rumit dan sulit dipahami). Komposisi otot berubah sepanjang waktu (miofibril
digantikan oleh lemak, kolagen, dan jaringan parut). (Nugroho,2008:33).
8). Gastrointestinal
Esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun
sehingga daya tahan absorpsi juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi
organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim
(Maryam. R. Siti, 2008:57).
9). Vesika Urinaria
Otot otot melemah, kapasitasnya menurun sampai 200ml atau menyebabkan frekuensi
buang air seni meningkat. Prostate: Hipertrofi pada 75% lansia. (Maryam. R. Siti, 2008:56)
10).Endokrin
Produksi hormon menurun. Pada kelenjar pituitary pertumbuhan hormon ada tetapi
lebih rendah dan hanya di dalam pembuluh darah. Produksi dari ACTH, TSH, FSH, LH dan
Aldosteron menurun, sekresi hormon kelamin seperti progenteron, esterogen dan testosterone
juga mengalami penurunan. (Maryam. R. Siti, 2008:57).
11).Kulit
Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan telinga
menebal. Elastisitas menurun, vaskularirasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar
keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk
(Maryam. R. Siti, 2008: 57).
Pada sistem integument, kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak
dan permukaan kulit menjadi kusam, kasr, bersisi, timbul bercak pigmentasi akibat proses
melanogenesis yang tidak merata pada permukaan kulit sehingga tampak bintik bintik atau
noda coklat, terjadi perubahan disekitar mata, tumbuhnya kerutan halus di ujung mata akibat
lapisan kulit menipis, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang. (Nugroho, 2008:33).
b. Perubahan Mental
Menurut (Nugroho, 2008:34) perubahan perubahan mental yang terjadi pada lanjut
usia adalah perubahan pada sikap yang semakin egosentris, mudah curiga dan bertambah
pelit atau tamak bila memiliki sesuatu. Sikap umum yang di temukan pada hampir setiap
lanjut usia, yakni keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat mungkin di hemat.
Mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat. Ingin mempertahankan hak dan
hartanya, serta ingin tetap berwibawa. Jika meninggal pun, mereka ingin meninggal secara
terhormat dan masuk surga.
Faktor yang mempengaruhi perubahan mental:
1). Perubahan fisik
2). Kesehatan umum
3). Tingkat pendidikan
4). Keturunan (herediter)
5). Lingkungan
c.
Menggambarkan intervensi yang tepat yang mengarah pada pencegahan primer , skunder,
dan tersier dari imobilisasi dan intoleransi aktifitas.
d. Membuat daftar keuntungan keuntungan fisiologis, psikologis dan psikososial dari program
latihan untuk lansia.
e.
Menggambarkan komponen esensial dari program latihan fisik secara teratur kepada lansia.
f.
Menggambarkan program latihan yang tepat bagi klien lansia dan intoleransi aktifitas.
B. Teori Proses Menua
1. Defenisi
Tahap dewasa merupakan tahap tumbuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai mnyusut dikarenakan bekurangnya jumlah sel sel yang
ada dalam tubuh , sehingga akibatnya tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi secara
perlahan lahan ( Maryam .R.Siti, 2008: 45).
Penuaan atau proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsinya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi sserta memperbaiki kerusakan yang diderita.( Maryam.R.
Siti,2008 : 46).
Menurut world health organisasion (WHO) dan UU no.13 tahun 1998, tentang
kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun
adalah usia permulaan tua, menua bukan suatu penyakit tetapi suatu proses yang berangsur
angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan
kematian(Nugroho, 2008:11).
Proses menua (aging) adalah proses yang di sertai adanya penurunan kondisi fisik,
psikologi, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. (Ranah, 2006 :4).
2. Teori teori Proses Menua
a. Teori Biologi
1). Teori genetik Clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik, setiap spesies mempunyai
didalamnya inti selnya jam genetik yang telah di putar menurut suatu replikasi tertentu. Jadi
bila jam ini berhenti kita akan meninggal duni tanpa di sertai dengan keadaan lingkungan /
penyakit.
2). Teori Mutasi (teori error catastrapho)
Menurut teori ini, menua disebabkan kesalahan yang beruntun dalam jangka waktu yang
lama dalam transkripi dan trnslasi. Kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim
yang sama dan berakibat metabolisme yang salah, sehingga dapa mengurangi fungsional sel
walau pun dalam batasan tertentu kesalahan dalam pembentukan RNA dapat di perbaiki ,
namun kemampuan memperbaiki diri terbatas pada transkripsi yang akan menyebabkan
kesalahan sintesis protein enzim yang dapat menimbulakn metabolisme berbahaya.
(Nugroho,2008:14).
3). Teori Auto Immune
Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistim
imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat
di produksi zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan akit (Nugroho,2008:14).
4). Teori Radikal Bebas
Radikal bebas terdapat didalam bebas dan didalam tubuh karena ada proses metabolisme
atau proses pernafasan didalam mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau
molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga
sangat relatif mengikat atom atau melokul alin yang meniimbulakn berbagai kerusakan atau
perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (sel atom) mengakibatkan oksidasi
oksigen bahan bahan organik misalnya: karbo hidrat dan protein. (Nugroho , 2008:14).
b. Teori Psikologi
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan dengan mental dan keadaan
fungsional. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi kemampuan
kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami saat
berinteraksi(Mariam.R.Siti,2008:47).
Menurut Birren dan Jenner (1997) yang menunjukan kemapuan seseorang untuk
mengadakan penyesuaian situasi yang dihadapi ( Nugroho,2006:21)
c.
Teori Sosial
Peran yang dihadapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan
dengan usianya. Toeri ini terdiri dari :
Dari pihak lansia sendiri terdapat anggapan bahwa penuaan merupakan suatu perjuangan
untuk tetap muda dan berusaha untuk mempertahankan prilaku mereka semasa
mudanya(Maryam .R.Siti, 2008: 50).
3). Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia ,
pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat dia
menjadi lansia dapat terlihat bahwa gaya hidup, prilaku dan harapan seseorang menyatakan
tidak berubah meskipun telah menjadi lansia(Maryam . R. Siti,2008:51).
C. Tingkat kemandirian Lansia dalam melakukan AKS
1. Pengertian kemandirian
Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan pribadi yang masih
aktif. Seseorang lansia yang menolak untuk melakakukan fungsi dianggap sebagai tidak
melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. (Maryam .R.Siti, 2008:174). Kemandirian
adalah kemampuan atau keadaan dimana indifidu mampu mengurus atau mengatasi
kepentingannya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain (Zulfajri , 1995:547)
2. Gambaran Tingkat Kemandirian Lansia
Lansia yang mandiri adalah lansia yang kondisinya sehat dalam arti luas masih
mampu unutk menjalankan kehidupan pribadinya(Partini, 2005:3).
Kemadirian pada lansia meliputi kemampuan lansia dalam melakukan aktifitas sehari
hari , seperti : mandi, berpakaian rapi, pergi ke toilet, berpindah tempat, dapat mengontrol
BAK, atau BAB, serta dapat makan sendiri(Ranah,2006:4).
3. Aktifitas Kehidupan sehari - hari pada Lansia
Suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas kehidupan
sehari hari secara mandiri.penetuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasi
kemampuan dan keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat
(Maryam.R,Siti, 2008:177).
Menurut (Maryam.R.Siti,2008:177) dengan menggunakan indeks kemandirian Katz
untuk AKS yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau bergantung dari klien dalam
hal makan , kontinen (BAB/BAK), berpindah kekamarmandi dan berpakaian. Dapat diberi
penilaian dalam melakukan aktifitas sehari hari sebagai berikut:
a.
Mandi
1.
Mandiri : bantuan hanya pada satu bagian mandi ( seperti punggung atau ektremitas yang
tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya.
2. Bergantung : bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh , bantuan masuk dan keluar dari bak
mandi, serta tidak mandi sendiri.
b. Berpakaian
1. Mandiri : menganbil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian, mengancing /
mengikat pakaian.
2. Bergantung: tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian.
c.
Kekamar kecil
1. Mandiri : masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genitalia sendiri.
2. Bergantung : menrima bantuan untuk masuk kekamar kecil dan menggunakan pispot.
d. Berpindah
1. Mandiri : berpindah dari tempat tidur, bangkit dari kursi sendiri.
2.
Bergantung : bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak melakukan
sesuatu atau perpindahan.
e.
Kontinen
2.
Bergantung : inkontinesia persial atau total : menggunakan kateter dan pispot, enema dan
pembalut / pempers.
f.
Makanan
Bergantung : bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan menyuapinya, tidak
makan sama sekali, dan makan parenteral atau melalui naso gastrointestinal tube (NGT).
Defenisi
Imobilitas adalah ketidak mampuan untuk bergerak secra aktif akibat berbagai penyakit
atau impairment (gangguan pada alat organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental
( Lueckenotte, 1998:261).
b. Etiologi
1. Gangguan sendi dan tulang.
2. Penyakit rematik seperti pengapuran atau patah tulang tentu akan mengahambat pergerakan
(imobilisasi).
3. penyakit saraf
4. adanya stroke, penyakit parkinson dan gangguan saraf.
5. penyakit jantung atau pernafasan
6. gangguan penglihatan
7. masa penyembuhan
c.
Manifestasi klinis
imobilisasi penuh sampai ketergantungan fisik total atau ketidak efektifan, tetapi berkembang
secara perlahan dan tanpa disadari.
e.
Komplikasi
Imobilisasi dapat menimbulkan berbagai masalah sebagai berikut :
f.
Pemeriksaan fisik
4.
Mengkaji sistem otot kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan
ukuran masing masing otot. Lingkaran ekstremitas untuk memantau adanya edema atau
atrofi, nyeri otot.
3. Mudah Terjatuh
jatuh pada lansia merupakan masalah yan gpaling sering terjadi. Penyebabnya multi
faktor. Banyak yang berperan didalamnya, baik faktor intrinsik maupun dari dalam diri lanjut
usia. Misanya gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi,
sinkop atau pusing. Untuk faktor ekstrinsik, misalnya lantai yan glicin dan tidak rata,
tersandung benda, penglihatan yang kurang karena cahaya yang kurang terang dan
sebagainya, memang tidak dapat dibantah bila seseorang bertambah tua, kemampuan fisik
atau mentallnya pun perlahan pasti menurun. Akibatnya, aktifitas hidupnya akan terpengaruh,
yan gpada akhirnya akan dapat mengurangi ketegapan dan kesigapan seseorang. Sekitar 30
50% dari populasi lanjut usia (yang berusia 65 tahun)keatas mengalami jatuh setiap tahunnya.
Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang, perempuan lebih sering jatuh
dibanding dengan lanjut usia laki laki (Nugroho, 2008:41).
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk
mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks sistem saraf dan
muskuluskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural, jatuh terjadi manakala sistem
pengontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi
terhadap landasan penompang (kaki saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari
hilangnya keseimbangan. Kondisi ini sering kali merupakan keluhan utama yang
menyebabkan pasien berobat. (Nugroho, 2008:42). Jatuh adalah suatu kejadian yang
dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang
mendadak terbaring / terduduk dilantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka.
Untuk lebih dapat memahami faktor resiko jatuh, harus mengerti bahwa stabilitas
tubuh ditentukan atau dibentuk oleh:
1. Sistem sensori. Pada sistem ini, yang berperan adalah penglihatan dan pendengaran.
Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan gangguan
penglihatan. Begitu pula , semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan
pendengaran.
2. Sistem Saraf Pusat (SSP). Penyakit SSP sehingga berespons tidak baik terhadap input
sensori.
3. Kogitif. Pada beberapa penelitian, dimensia diasosiasikan dengan meningkatnya
resiko jatuh.
4. Muskuloskeletal. Faktor ini berperan besar pada terjadinya jatuh lanjut usia (faktor
murni). Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan hal ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis, misalnya:
a.
a.
d. Goyangan badan.
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah yang pendek,
penurunan irama, kaki tidak dapat menapak dengan kuat, dan endrung gampang goyah, susah
atau terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan, seperti : terpeleset, tersandung, kejadian
tiba-tiba sehingga mudah jatuh.
Secara singkat, faktor resiko jatuh pada lanjut usia itu dapat digoliongkan menjadi 2, yaitu
faktor instrinsik ( faktor dari dalam tubuh lanjut usia sendiri) dan faktor ekstrinsik (faktor dari
luar atau lingkungan).
Faktor instrinsik, misalnya :
1. Gangguan jantung atau sirkulasi darah.
2. Gangguan sistem susunan saraf.
3. Gangguan sistem anggota gerak.
4. Gangguan penglihatan dan pendengaran.
5. Gangguan psikologis.
6. Gangguan gaya berjalan.
7. Fertigo
8. Artritis lutut.
Faktor ekstrinsik, misalnya :
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, A. P. (2005) Sehat & Bugar Pada Usia Lanjut, Edisi I, Agromedia Pustaka : Jakarta
Depkes RI.(2003) Batasan Umur Pada Lansia
Lueckenotte. (1989). Pengkajian Gerontologi. Ahli bahasa oleh : Aniek maryunani. Jakarta : EGC
Maryam, R. Siti, dkk, (2008) Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, Jakarta : Salemba Medika
Nugroho. (2000) Keperawatan Gerontologi. Edisi 2. Jakarta : EGC
Nugroho. (2008) Keperawatan Gerontologi. Edisi 3. Jakarta : EGC
validitasnya untuk mengukur ADL dasar salah satunya adalah indeks ADL Katz.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi defisit status fungsional dasar dan
mencoba memperoleh cara mengatasi dan memperbaiki status fungsional dasar
tersebut. Skor ADL dasar dari setiap pasien lansia harus diikuti dan dipantau
secara berkala/periodik untuk melihat apakah terjadi perburukan atau perbaikan.
2.2.2 Faktorfaktor yang Mempengaruhi Activity of Daily Living (ADL)
Menurut Hardywinoto (2007), kemauan dan kemampuan untuk melakukan
activity of daily living tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
a. Umur dan status perkembangan
Umur dan status perkembangan seorang klien menunjukkan tanda kemauan
dan kemampuan, ataupun bagaimana klien bereaksi terhadap ketidakmampuan
melaksanakan activity of daily living. Saat perkembangan dari bayi sampai
dewasa, seseorang secara perlahanlahan berubah dari tergantung menjadi
mandiri dalam melakukan activity of daily living.
b. Kesehatan fisiologis
Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan partisipasi
dalam activity of daily living, contoh sistem nervous mengumpulkan,
menghantarkan dan mengolah informasi dari lingkungan. Sistem
muskuloskeletal mengkoordinasikan dengan sistem nervous sehingga dapat
merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan. Gangguan pada
sistem ini misalnya karena penyakit, atau trauma injuri dapat mengganggu
pemenuhan activity of daily living (Hardywinoto, 2007).
c. Fungsi Kognitif
Tingkat kognitif dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan
activity of daily living. Fungsi kognitif menunjukkan proses menerima,
mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensor stimulus untuk berpikir
dan menyelesaikan masalah. Proses mental memberikan kontribusi pada fungsi
kognitif dapat mengganggu dalam berpikir logis dan menghambat kemandirian
dalam melaksanakan activity of daily living (Hardywinoto, 2007).
d. Fungsi Psikososial
Fungsi psikologi menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengingat
sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang
realistik. Proses ini meliputi interaksi yang kompleks antara perilaku
intrapersonal dan interpersonal. Gangguan pada intrapersonal contohnya akibat
Adapun penilaian hasil dari pelaksanaan activity of daily living seperti tercantum dalam tabel
berikut.
Tabel 2.1 Pembacaan hasil penilaian activity of daily living
No Penilaian Kriteria
6 Mandiri total Mandiri dalam mandi, berpakaian, pergi ke toilet, berpindah,
kontinen dan makan.
5 Tergantung paling
ringan
Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali salah satu dari
fungsi di atas
4 Tergantung ringan Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi dan satu
fungsi lainnya
3 Tergantung sedang Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi,
berpakaian, dan satu fungsi lainnya
2 Tergantung berat Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi,
berpakaian, pergi ke toilet, dan satu fungsi lainnya
1 Tergantung paling
berat
Mandiri pada semua fungsi di atas, kecuali mandi,
berpakaian, pergi ke toilet, berpindah dan satu fungsi
lainnya
0 Tergantung total Tergantung pada 6 fungsi di atas
Sumber: Katz S, 1970 dalam Agung (2006)
2.3 Posyandu Lansia
2.3.1 Pengertian Posyandu Lansia
Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi kaum lansia yang
dilakukan dari, oleh, dan untuk lansia yang menitikberatkan pada upaya promotif
dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Notoatmodjo,
2007). Pelayanan kesehatan dikelompok lansia meliputi pemeriksaan fisik dan
mental emosional. Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia sebagai alat pencatat dan
pemantau untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita atau ancaman
masalah kesehatan yang dihadapi, dan mencatat perkembangan dalam Buku
Pedoman Pemeliharaan Kesehatan (BPPK) lansia atau catatan kondisi kesehatan
yang digunakan di Puskesmas (Departemen Kesehatan RI, 2003).
lansia).
c. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan dan dicatat pada grafik Indeks Massa Tubuh (IMT).
d. Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan Talquist, Sahli, atau Cuprisulfat
f. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya
penyakit gula.
g. Pemeriksaan adanya zat putih telur/protein dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit ginjal.
h. Pelaksanaan rujukan ke puskemas bila mana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan pada nomor 1 hingga 7.
i. Penyuluhan kesehatan. Penyuluhan bisa dilakukan di dalam atau diluar
kelompok dalam rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan
gizi sesuai dengan masalah kesehatan yang dihadapi oleh individu atau
kelompok lansia.
j. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok lansia yang tidak
datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat.
Beberapa jenis pelayanan kesehatan lansia tersebut dapat disimpulkan
bahwa pelayanan kesehatan dasar lansia dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
pelayanan pemeriksaan kesehatan fisik dan kesehatan mental. Dua aspek tersebut
merupakan komponen pembentuk kualitas hidup.
2.3.5 Mekanisme Pelayanan Posyandu
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), dalam memberikan pelayanan
kesehatan terhadap lansia di kelompok, mekanisme pelayanan yang sebaiknya
digunakan adalah sistem 5 tahapan (lima meja) sebagai berikut:
a. Tahap pertama: pendaftaran anggota kelompok lansia sebelum pelayanan yang
dilakukan kader.
b. Tahap kedua: pencatatan activity of daily living yang akan dilakukan lansia,
serta penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Pada tahap ini
dilaksanakan oleh kader dan dibantu petugas kesehatan.
30
c. Tahap ketiga: pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kesehatan, dan
pemeriksaan status mental yang dilakukan oleh petugas kesehatan.
IV - Pemeriksaan hemoglobin
(HB)
- Pemeriksaan urine
Meja, kursi
KMS
Leaflet
Poster
BPPK lanjut usia
Petugas (bisa
dibantu kader)
V - Penyuluhan
- Konseling
Meja, kursi
KMS
Leaflet
Poster
BPPK lanjut usia
Petugas kesehatan
Sumber: Departemen Kesehatan RI (2003)
2.3.6 Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lansia
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam pembinaan kesehatan lansia
merupakan upaya yang ditujukan untuk peningkatan kesehatan, kemampuan untuk
mandiri, produktif dan berperan aktif dalam komprehensif, azas kekeluargaan,
pelaksanaan sesuai protap, dan kendali mutu (Departemen Kesehatan RI, 2003).
Kebijakan tersebut dilakukan dengan pendekatan holistik, pelaksanaan terpadu,
pembinaan komprehensif tersebut terdiri dari:
a. Pembinaan kesehatan yang mencakup kegiatan:
1) Promotif, antara lain penyuluhan tentang PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat), penyakit pada lansia, gizi, upaya meningkatkan kebugaran jasmani,
kesehatan mental, dan kemandirian produktifitas.
2) Preventif, antara lain deteksi dini dan pemantauan kesehatan lansia yang
dapat dilakukan yaitu Pelatihan Kader Kelompok Usia Lanjut
(POKSILA)/puskesmas dengan menggunakan KMS Lansia, buku
pemantauan kesehatan pribadi lansia.
b. Pendekatan Psikis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada klien lansia, perawat dapat berperan sebagai suporter, interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan
sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian
dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan agar para lansia merasa puas. Klien lansia membutuhkan
rasa aman dan cinta kasih dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan
perawatan (Bandiyah, 2009).
c. Pendekatan Sosial
Lansia dengan adanya kemunduran fisik, dan berbagai masalah yang
dihadapinya secara tidak langsung akan mempengaruhi dalam melakukan
aktivitas sosialnya (Budiarti, 2003). Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan
bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberi
kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lansia berarti
menciptakan sosialisasi mereka. Pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan
bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain. Saat pelaksanaannya perawat dapat menciptakan
hubungan sosial antara lansia dan lansia maupun lansia dan perawat sendiri
(Bandiyah, 2009).
d. Pendekatan Spiritual
Perawat harus memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya. Terutama bila klien
lansia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian (Bandiyah, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Iskandar. 2006. Uji Keandalan dan Kesahihan Indeks Activity of Daily
Living Barthel untuk Mengukur Status Fungsional Dasar pada Usia
Lanjut di RSCM. Tesis. Jakarta: Program Studi Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Akhirinasari, Dwi R. 2010. Perbedaan Penggunaan Alat KB pada Kelompok
Hipertensi dan Tidak Hipertensi di Puskesmas Bangsalsari Kabupaten
Jember. Jember: PSIK UNEJ.
Arikunto, Suharsimi, Prof. Dr.. 2006. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember. 2009. Kabupaten Jember dalam Angka
2009. Jember: Badan Pusat Statistik.
Bandiyah, Siti. 2009. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Biro Pusat Statistik. 2005. Sensus Penduduk Indonesia. Jakarta: EGC.
Blackburn & Catherine. 2007. Handbook of Gerontology: Evidence-based
Approaches to Theory, Practice, and Police. United States of America
Brockopp, Dorothy Young, et al.. 1999. Dasar-dasar Riset Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Budiarti, Ritma. 2010. Faktor-faktor Succesfull Aging Lansia. Tidak
Dipublikasikan. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Dahlan, Sopiyudin M.. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.
Jakarta: Salemba Medika.
Darmojo, B.. 2003. Konsep Menua Sehat Dalam Geriatri, Jurnal Kedokteran dan
Farmasi Medika, Jakarta : Grafiti Medika Pers.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut
Bagi Petugas Kesehatan. Tidak Dipublikasikan. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Pemantauan dan Penilaian Program
Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Bina Kesehatan
Masyarakat Departemen Kesehatan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Lanjut usia
2.1.1 Lanjut Usia
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Menurut WHO 2008, dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk berdasarkan kelompok usia
lainnya, peningkatan proporsi jumlah lansia penduduk berusia lebih dari 60 tahun meningkat
cukup cepat di berbagai negara sebagai hasil dari semakin panjangnya tingkat harapan hidup dan
menurunnya angka kematian.
2.1.2 Batasan-Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO (1999) batasan lanjut usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (Elderly) antara 60-70 tahun
c. Lanjut usia tua (Old) antara 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (Very old) diatas 90 tahun.
2.1.3 Teori Penuaan
Teori penuaan terbagi atas dua, meliputi:
A. Teori Genetik
Teori genetik memfokuskan mekanisme penuaan yang terjadi pada nucleus sel. Penjelasan teori
yang berdasarkan genetik diantaranya:
1. Teori Hayflick. Menurut studi hayflick dan Moorehead (1961), penuaan disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain perubahan fungsi sel, efek kumulatif dari tidak normalnya sel, dan
kemunduran sel dalam organ dan jaringan.
2. Teori Kesalahan. Dalam teori ini dinyatakan bahwa kesalahan dalam proses atau mekanisme
pembuatan protein akan mengakibatkan beberapa efek. Penurunan ketepatan sintesis protein
secara spesifik telah dihipotesiskan penyebabnya, yaitu ketidaktepatan dalam penyiapan pasangan
kodon Mrna dan atikodon tRNA.
3. Teori DNA lewah (kelebihan DNA). Medvedev (1972) mengemukakan teori yang berhubungan
dengan teori kesalahan, ia percaya bahwa perubahan usia biologis merupakan hasil akumulasi
kesalahan dalam memfungsikan gen (plasma pembawa sifat).
4. Teori rekaman. Rekaman (transcription) adalah tahap awal dalam pemindahan informsi dari
DNA ke system protein. Teori yang mengacu pada teory Hayflick itu menyatakan 4 kondisi
berikut:
a. Dengan peningkatan usia terjadi perubahan yang sifatnya merusak metabolisme Posmitotic
cells yang berbeda.
b. Perubahan merupakan hasil dari kejadian primer yang terjadi pada inti kromatin.
c. Perubahan itu terjadi dalam inti kromatin kompleks, merupakan satu mekanisme kontrol yag
bertanggung jawab terhadap penampilan dan urutan penuaan primer.
d. Mekanisme kontrol itu meliputi regulasi transkripsi meskipun regulasi lain dapat terjadi.
B. Teori Non Genetik
Teori non genetik memfokuskan lokasi diluar nucleus, seperti organ, jaringan, dan system. Teori
yang berdasarkan non genetik antara lain:
1. Teori radikal bebas. Pada dasarnya radikal bebas adalah ion bermuatan listrik yang berada
diluar orbin dan berisi ion tak berpasangan, radikal bebas mampu merusak membran sel, lisosom,
mitokondria dan inti membran melalui reaksi kimia yang disebut peroksidasi lemak.
2. Teori autoimun. Menurut teori autoimun, penuaan diakibatkan oleh antibody yang bereaksi
terhadap sel normal dan merusaknya. Reaksi itu terjadi karena tubuh gagal mengenal sel normal
dan memproduksi antibodi yang salah.
3. Teori hormonal. Donner Denckle percaya bahwa pusat penuaan terletak pada otak. Pernyataan
ini didasarkan pada studi hipotiroidisme. Hipotiroidisme dapat menjadi fatal apabila tidak di obati
dengan tiroksi, sebab seluruh menifestasi dari penuaan akan tampak, seperti penuaan system
kekebalan, kulit kriput, uban dan penuaan proses metabolisme secara berlahan.
4. Teori pembatasan energy. Roy Walfrod (1986) adalah penganut kuat diet yang di dasarkan
pada pembatasan kalori yang di kenal sebagai pembatasan energy. Diet nutrisi tinggi yang rendah
kalori berguna untuk meningkatkan untuk tubuh agar tidak cepat tua.
2.1.4 Permasalahan Kesehatan Lansia