Anda di halaman 1dari 7

Apa

faktor
resiko
penularannya?
Timbulnya penyakit Kusta pada sesorang tidaklah mudah sehingga tidak
perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor antara lain sumber
penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim.
Adapun faktor resiko penularanya adalah :
1.
Kontak serumah
2.
Daya tahan tubuh
3.
Lingkungan padat dan kumuh

) Determinan
Penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti. Adapun beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent, dan environment
antara lain:
a) Faktor Daya Tahan Tubuh (host). Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta
(95%). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang
tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini
belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.
b) Faktor Kuman (agent). Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung
pada suhu atau cuaca,dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan
penularan.
c) Faktor Sumber Penularan (environment). Faktor lingkungan pada populasi dengan kusta
merupakan faktor resiko. Kusta sebagain besar diderita di daerah pemukiman kumuh,
pemenuhan personal hygiene yang kurang, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah.
Pemeliharaan lingkungan rumah dan tempat tinggal penderita yang kontak langsung secara
terus menerus dapat dilakukan untuk mengurangi kemunduran keadaan kusta.

PENULARAN
Cara penularannya belum diketahui dengan jelas
Tapi diduga menular melalui salura pernapasan (droplet infection)
Pendapat lain mengatakan bhw penularannya melalui kontak langsung, erat dan
berlangsung lama
Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah
Umur, Jenis kelamin, Ras,Genetik, Iklim, Lingkungan/sosio ekonomi, Kekekbalan
> ( 93 95 % kekebalan pada penyakit lepra)

Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara
kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan
bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni
jumlah atau keganasan Mocrobakterillm Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping
itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :

Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat
sosial ekonomi rendah

Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

1. Kependudukan
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal
ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan
sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan
perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik
mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%)
dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya
30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
Umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa umur saat didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko

yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta. sesuai dengan penelitian Brigitte Ranque,
et.al (1997), yang menyimpulkan bahwa umur saat didignosa kusta lebih dari 15 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun
cenderung lebih sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem
imun anak, Th2 diduga kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensi reaksi
kusta lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T memori
lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya reaksi kusta lebih tinggi dan dapat
memicu reaksi silang antara antigen M. leprae dengan antigen non M. leprae seperti M.
Tuberculosis (Ranque B, 2004).
Schollard D.M, et.al (1994), yang menyatakan bahwa reaksi kusta tipe I ternyata
banyak dialami oleh penderita kusta masa adolesens hingga usia yang lebih tua. Reaksi kusta
tipe II lebih banyak terjadi pada penderita kusta dalam masa dekade kedua kehidupannya. Hal
ini disebabkan karena pengaruh endokrin yang menyebabkan perubahan imunologi pada
penderita kusta (Schollard D.M, 1997).

2. Lingkungan
Faktor lingkungan pada populasi dengan kusta merupakan faktor resiko. Populasi
seseorangdengan kusta umumnya berasal dari lingkungan sanitasi tempat tinggal yang buruk.
Populasi dengan kusta umumnya terkait dengan higiene sanitasi lingkungan penderita yang
buruk yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi keluarga terutama pada anak. Anak
sangat rentan terhadap paparan lingkungan yang kurang mendukung dalam masa
pertumbuhan dan perkembangannya sehingga berisiko untuk terkena penyakit infeksi dalam
jangka waktu cepat maupun lambat yang tergantung pada status nutrsisi dan imunitas
(Anderson, E., & Mc Farlane, J., 2004). Seseorang pada umumnya tertular kusta dari kontak
dan tinggal serumah dengan penderita kusta. Muchtar (2007) menyebutkan hasil tes MLPA

memberikan hasil positif 65% pada penderita kusta anak dan 34% positif pada kontak
serumah.
Kusta sebagain besar diderita di daerah pemukiman kumuh, pemenuhan personal
hygiene yang kurang, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Pemeliharaan lingkungan
rumah dan tempat tinggal penderita yang kontak langsung secara terus menerus dapat
dilakukan untuk mengurangi kemunduran keadaan kusta.
Rumah sehat merupakan situasi yang ideal untuk menghindari terjadi penularan dan
perkembangan penyakit kusta. Rumah disebut sehat apabila memenuhi syarat syarat :
i.

Kesehatan
Suatu rumah disebut memenuhi syarat kesehatan apabila :
Cukup hawa dan aliran udara segar, berarti mempunyai ventilasi yang cukup.

Kekuatan bangunan

o Rumah dengan struktur dan kontruksi bangunan yang cukup kuat sesuai dengan keadaan
setempat
o Rumah yang menggunakan bahan yang cukup kuat, tidak mudah rapuh dan tidak khawatir
dapat ambruk sewaktu waktu.

Keterjangkauan

o Secara sosial ekonomis, terjangkau oleh pemilik atau penghuni, baik ongkos / biaya sewa,
membeli atau membangun.
ii.

Kriteria Rumah Sehat


Rumusan yang dikeluarkan oleh APHA (American Public Health Association) bahwa
persyaratan rumah sehat :

a) Harus memenuhi kebutuhan kebutuhan physiologis


b) Harus memenuhi kebutuhan kebutuhan psycologis
c) Harus terhindar dari penyakit menular

d) Harus terhindar dari kecelakaan kecelakaan


Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang
cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula differetial diagnosisnya vitiligo, Pitiriasis Versikolor, Ptiriasis alba, Tinea
korporis. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea
korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis
dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai
dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis
autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan
kimia.
Hipotesis autoimun,ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan
hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest
maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan
katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek
merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah,
terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil
metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk
dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya
monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling
sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata,
mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Mukosa jarang
terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom,
dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan
muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah
makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah
makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora
normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat
atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi
ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat

rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara
dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang
diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan
lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal
ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Gejala
klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di
pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya
bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk
siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin.
Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken
planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya
bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan
transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak
ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak
bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip
dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler,
plakat, lentikuler dan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri
dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut
akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala
kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan,
dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas,
disfungsi ereksi dll
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis,
mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi
dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau
tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi
kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami
sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

XII.Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal.
Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada
pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya
adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos
sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik

Anda mungkin juga menyukai